Abdul Karim (Sang Munsyi)
Hafiz Mohammed Abdul Karim CIE, CVO (1863 – April 1909) (bahasa Hindi: हाफ़िज़ मुहम्मद अब्दुल करीम, bahasa Urdu: حافظ محمد عبد الكريم), dikenal sebagai "Sang Munsyi", adalah seorang Muslim India pengiring Ratu Victoria. Ia bekerja melayani Ratu Victoria selama 15 tahun terakhir masa pemerintahannya, dan selama itu pula beroleh kasih sayang keibuan darinya.[1] Karim lahir di Lalatpur, dekat kota Jhansi, India Britania, sebagai putra seorang asisten rumah sakit. Pada 1887, tahun Yubileum Emas Ratu Victoria, Karim menjadi salah satu dari dua orang India yang terpilih menjadi pelayan Sri Ratu. Ratu Victoria sangat berkenan dengan pelayanannya dan menganugerahinya gelar "Munsyi", sebuah kata dari bahasa Urdu yang kerap diterjemahkan menjadi "juru tulis" atau "guru". Ratu Victoria mengangkat Karim menjadi sekretaris pribadi, melimpahinya dengan kehormatan, dan mengaruniakan sebidang tanah di India kepadanya.[2] Hubungan platonis yang akrab antara Karim dan Ratu Victoria menimbulkan keretakan dalam Rumah Tangga Istana, karena sebagian warga Rumah Tangga Istana menganggap derajat mereka lebih mulia daripada Karim. Ratu Victoria bersikeras mengikutsertakan Karim dalam perjalanan-perjalanannya, sehingga menimbulkan perdebatan antara Sri Ratu dan para pengiringnya yang lain. Setelah Ratu Victoria mangkat pada 1901, penggantinya, Raja Edward VII, memulangkan Karim ke India dan menitahkan agar surat-menyurat antara Karim dan Ratu Victoria disita serta dimusnahkan. Karim kemudian hidup tenang di dekat kota Agra, di lahan pribadi karunia Ratu Victoria, sampai akhir hayatnya pada usia 46 tahun.[3] Masa mudaKarim terlahir dalam sebuah keluarga Muslim di Lalatpur, dekat kota Jhansi, pada 1863.[4] Ayahnya, Haji Mohammed Waziruddin, adalah seorang asisten rumah sakit yang ditempatkan di Central India Horse, salah satu resimen kavaleri Inggris.[5] Karim memiliki seorang abang, Abdul Aziz, dan empat orang adik perempuan. Ia diajari bahasa Persia dan bahasa Urdu secara privat,[6] dan di masa remajanya pernah melakukan perjalanan menjelajahi India Utara sampai ke Afganistan.[7] Ayah Karim ikut serta dalam perbarisan ke Kandahar, yang mengakhiri Perang Inggris-Afgan II, pada bulan Agustus 1880. Seusai perang, ayah Karim dipindahtugaskan dari Central India Horse untuk menduduki sebuah jabatan sipil di Pusat Tahanan Agra, sementara Karim bekerja sebagai vakil ("agen" atau "wakil") dari Nawab Jawara di kantor perwakilan Agar. Karim mengundurkan diri sesudah tiga tahun bekerja di Agar, pindah ke Agra, dan bekerja sebagai juru tulis bahasa pribumi di Pusat Tahanan. Ayahnya menjodohkan Karim dengan saudari rekan sejawatnya.[8] Para penghuni Pusat Tahanan Agra dilatih dan dikaryakan menjadi penenun permadani sebagai bagian dari upaya pemasyarakatan mereka. Pada 1886, 34 orang narapidana diberangkatkan ke London untuk memperlihatkan cara menenun permadani dalam Colonial and Indian Exhibition (Pameran Wilayah Jajahan dan India) di South Kensington. Karim tidak menyertai para narapidana, tetapi membantu Kepala Pusat Tahanan, Sir John Tyler, untuk mengatur pemberangkatan mereka, serta membantu memilih permadani-permadani dan para penenun yang layak diberangkatkan. Ketika mengunjungi pameran, Ratu Victoria menerima persembahan dari Tyler berupa sepasang gelang tangan emas yang juga merupakan hasil pilihan Karim.[9] Sri Ratu, yang sudah lama memendam ketertarikan pada wilayah jajahan Inggris di India dan hendak mempekerjakan beberapa orang India sebagai pelayan dalam perhelatan Yubileum Emas, meminta Tyler memilih dua orang pengiring yang dapat dipekerjakan selama setahun.[10] Karim pun lekas-lekas dilatih menguasai tata krama dan bahasa Inggris, kemudian diberangkatkan ke Inggris bersama-sama dengan Mohammed Buksh. Mayor-Jenderal Thomas Dennehy, yang tak seberapa lama kemudian ditunjuk untuk bertugas dalam Rumah Tangga Istana, pernah mempekerjakan Mohammed Buksh sebagai pelayan.[11] Menurut rencana, kedua pria India ini akan bekerja sebagai pelayan meja makan, dan akan mempelajari tugas-tugas lain.[12] Pelayan istanaSetelah melakukan perjalanan dengan kereta api dari Agra ke Bombay, disambung berlayar dengan menumpang kapal api pos menuju Inggris, Karim dan Buksh akhirnya tiba di Puri Windsor pada bulan Juni 1887.[13] Mereka ditempatkan di bawah pengawasan Mayor-Jenderal Dennehy dan pertama kali berkesempatan melayani Ratu Victoria sewaktu sarapan di Frogmore House, Windsor, pada 23 Juni 1887. Sri Ratu menggambarkan perawakan Karim dalam buku hariannya pada hari itu sebagai berikut: "Seorang lagi, yang jauh lebih muda, lebih cerah warna kulitnya (dibandingkan dengan Buksh), tinggi, dan beraut wajah serius yang halus. Ayahnya adalah seorang dokter pribumi di Agra. Keduanya mencium kakiku."[14] Lima hari kemudian, Sri Ratu mencatat bahwa "Orang-orang India itu sekarang selalu bertugas melayani meja makan dan menjalankan tugasnya dengan begitu baik dan tenang."[15] Pada 3 Agustus, Sri Ratu mencatat: "Aku sedang belajar sepatah dua kata dalam bahasa Hindustan untuk berbicara dengan pelayan-pelayanku. Aku sungguh-sungguh tertarik baik pada bahasanya maupun pada orang-orangnya, yang tentu saja belum pernah aku jumpai sebelumnya."[16] Pada 20 Agustus Sri Ratu menikmati "kari lezat" yang dimasak oleh salah seorang pelayannya.[17] Pada 30 Agustus, Karim mengajari Sri Ratu berbahasa Urdu,[18] yang ia gunakan dalam sebuah audiensi pada bulan Desember untuk menyapa Maharani Chimnabai dari Vadodara.[19] Ratu Victoria sangat menyukai Karim dan menitahkan agar ia diberi bimbingan belajar bahasa Inggris.[20] Pada bulan Februari 1888, Karim telah berhasil "menguasai bahasa Inggris dengan sangat baik" menurut Ratu Victoria.[21] Setelah Karim menyampaikan keluhan kepada Sri Ratu, bahwa ia pernah bekerja sebagai juru tulis di India sehingga pekerjaan kasar semacam melayani meja makan bukanlah pekerjaan yang pantas baginya,[22][23] jabatannya pun dinaikkan menjadi "Munsyi" pada bulan Agustus 1888.[24] Dalam buku hariannya, Sri Ratu mencatat bahwa perubahan ini ia lakukan agar Karim merasa betah: "Aku secara khusus ingin untuk tetap memanfaatkan jasa-jasanya karena ia membantuku mempelajari bahasa Hindustan, yang sangat menarik bagiku, ia pun sangat cerdas dan berguna."[25] Foto-foto Karim semasa bekerja sebagai pelayan meja makan dimusnahkan dan ia pun resmi menjabat sebagai sekretaris pribadi pertama yang berkebangsaan India bagi Ratu Victoria.[26] Buksh tetap bekerja melayani Sri Ratu, tetapi hanya sebagai seorang khidmatgar atau pelayan meja makan,[27] sampai akhir hayatnya di Windsor pada 1899.[28] Menurut penulis biografi Karim, Sushila Anand, surat-surat Ratu Victoria sendiri membuktikan bahwa "diskusi-diskusinya dengan Sang Munsyi berkisar seputar perkara-perkara filsafat, politis dan praktis. Baik pikiran maupun hati dilibatkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa bagi Sri Ratu, Abdul Karim merupakan jembatan menuju suatu dunia asing yang sangat memikat, sekaligus orang kepercayaan yang tidak akan mencekokinya dengan penyampaian resmi pemerintah."[29] Karim diberi tugas mengepalai pelayan-pelayan India lainnya dan bertanggung jawab atas prestasi kerja mereka. Ratu Victoria memuji Karim dalam surat-surat dan buku hariannya. "Aku sungguh sangat suka padanya" tulis Sri Ratu, "Dia begitu baik dan lemah-lembut dan memahami semua yang aku kehendaki dan sungguh-sungguh membuatku merasa nyaman."[30] Sri Ratu mengagumi "sekretaris pribadi dan Munsyi India sang Ratu, seorang pria yang luar biasa, pintar, benar-benar saleh dan penuh tata krama, yang suka berkata, 'begitulah perintah Allah' ... perintah-perintah Allah adalah apa yang serta-merta mereka patuhi! Iman mereka yang sedemikian dan ketekunan yang sedemikian sangat patut kita teladani."[31] Di Puri Balmoral, kediaman Ratu Victoria di Skotlandia, Karim ditempatkan di kamar yang sebelumnya ditempati oleh mendiang John Brown, pelayan kesayangan Ratu Victoria yang meninggal dunia pada 1883.[32] Meskipun Karim tampil serius dan berwibawa di luar istana, Sri Ratu menulis bahwa "dia benar-benar ramah dan ceria pada dayang-dayang Ratu dan tertawa dan bahkan bercanda sekarang—dan mengundang mereka untuk datang melihat-lihat semua barang bagus yang ia punya dengan menawari mereka bolu buah untuk dimakan".[33] Kedengkian dalam Rumah Tangga IstanaPada bulan November 1888, Karim diberi izin bercuti ke India selama empat bulan agar dapat menjenguk ayahnya. Karim menyurati Ratu Victoria bahwa ayahnya, yang sudah saatnya undur diri dari pekerjaannya, mengharapkan pensiun bagi dirinya sendiri dan kenaikan pangkat bagi mantan atasannya, John Tyler. Alhasil, selama enam bulan pertama tahun 1889, Ratu Victoria menyurati Raja Muda India, Lord Lansdowne, mendesaknya untuk mengambil tindakan sehubungan dengan pemberian pensiun bagi Waziruddin dan kenaikan pangkat bagi Tyler. Raja Muda India berenggan-enggan menyelesaikan pengurusannya karena Waziruddin telah melapor kepada Gubernur Agra, Sir Auckland Colvin, bahwa yang ia harapkan hanyalah sekadar ucapan terima kasih, juga karena Tyler terkenal berperilaku ceroboh dan kasar tutur katanya.[34][35] Jalan karier Karim yang mulus menimbulkan dengki dan ketidakpuasan di kalangan warga Rumah Tangga Istana, yang lazimnya tidak pernah bergaul dengan orang-orang India yang berderajat di bawah seorang pangeran. Sri Ratu mengharapkan mereka menerima Karim, seorang India dari kalangan rakyat jelata, di tengah-tengah mereka; mereka enggan melakukannya.[33] Karim sendiri berharap untuk diperlakukan sederajat. Ketika Albert Edward, Pangeran Wales (kelak naik takhta menjadi Raja Edward VII), menyelenggarakan acara hiburan bagi Sri Ratu di kediamannya di Sandringham pada 26 April 1889, Karim mendapati dirinya didudukkan bersama para pelayan. Karena merasa terhina, ia pun undur diri ke kamarnya. Sri Ratu membela Karim dengan menegaskan bahwa sudah selayaknya ia didudukkan bersama warga Rumah Tangga Istana.[36] Ketika Ratu Victoria menghadiri Braemar Games pada 1890, putra sang Ratu, Pangeran Arthur, Adipati Connaught dan Strathearn, menyampaikan protes kepada Sekretaris Pribadi Ratu, Sir Henry Ponsonby, karena berang melihat Sang Munsyi ditempatkan bersama-sama kaum bangsawan. Ponsonby menjawab bahwa semua itu dilakukan "atas titah Sri Ratu", dan oleh karena itu alangkah baiknya jika Sang Adipati menyampaikan protesnya secara langsung kepada Sri Ratu.[37] "Jawaban ini langsung membungkamnya", ungkap Ponsonby.[38] Penulis biografi Ratu Victoria, Carolly Erickson, menggambarkan situasi ini sebagai berikut:
Bilamana menerima pengajuan keberatan, Ratu Victoria senantiasa menampik semua komentar negatif mengenai diri Karim.[40] Sri Ratu mengabaikan keprihatinan orang sehubungan dengan perilaku Karim, yang dianggap sewenang-sewenang oleh warga dan para staf Rumah Tangga Istana, dan menilai anggapan mereka itu "sangat keliru".[41] Pada bulan Juni 1889, ipar Karim, Hourmet Ali, kedapatan menjual salah satu bros Ratu Victoria kepada seorang tukang perhiasan di Windsor. Sri Ratu puas dengan penjelasan Karim bahwa Ali menemukan bros itu dan sudah menjadi adat orang India untuk menyimpan segala sesuatu yang ditemukannya, sementara seisi Rumah Tangga Istana menduga Ali mencuri bros itu.[42] Pada bulan Juli, Karim ditempatkan di kamar yang sebelumnya ditempati oleh Dokter (kelak Sir) James Reid, tabib Ratu Victoria, dan diizinkan menggunakan ruang duduk pribadi.[43] Sri Ratu, di bawah pengaruh Sang Munsyi, terus-menerus menyurati Lord Lansdowne sehubungan dengan anugerah kenaikan pangkat bagi Tyler dan urusan-urusan administrasi pemerintah India Britania. Sri Ratu mengungkapkan keberatannya atas gagasan mengenai pembentukan suatu majelis beranggotakan orang-orang yang dipilih oleh rakyat dengan alasan bahwa umat Muslim tidak akan memenangkan banyak kursi, mengingat mereka merupakan kaum minoritas di India, dan mendesak agar hari-hari raya Hindu dijadwal-ulang sehingga tidak bertabrakan dengan hari-hari raya Islam. Lansdowne mengabaikan desakan itu karena dikhawatirkan dapat menyulut konflik,[44] tetapi mengangkat Tyler menjadi Acting Inspector General of Prisons (Pelaksana Tugas Inspektur Jenderal Rumah-Rumah Tahanan) pada bulan September 1889.[45] Yang sangat mencengangkan dan menimbulkan keprihatinan di kalangan Rumah Tangga Istana adalah peristiwa yang berlangsung ketika Ratu Victoria berada di Balmoral pada bulan September 1889. Sri Ratu dan Karim menginap bersama selama satu malam di sebuah rumah terpencil di atas lahan Puri Balmoral, Glassalt Shiel, di Danau Muick. Ratu Victoria sering menginap di Glassalt Shiel bersama Brown, dan sesudah kematian Brown, Sri Ratu bersumpah tidak akan mendiami lagi rumah itu.[45] Pada awal 1890, Karim jatuh sakit dan tumbuh bisul yang membengkak pada lehernya. Ratu Victoria menitahkan Reid, tabibnya, untuk merawat Karim.[46] Sri Ratu menyurati Reid, mengungkapkan kecemasannya serta menjelaskan betapa ia merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan para pelayan Indianya karena mereka sudah begitu jauh merantau meninggalkan kampung halaman.[47] Reid melakukan operasi untuk membuka dan mengeringkan bisul bengkak itu, dan kesehatan Karim pun pulih sesudahnya.[47] Reid menulis pada 1 Maret 1890 bahwa Sri Ratu "menjenguk Abdul dua kali setiap hari di kamarnya untuk belajar bahasa Hindustan, menandatangani surat-surat penting, memeriksa keadaan lehernya, mengempukkan bantal-bantalnya, dan lain sebagainya."[48] Anugerah tanah dan hal-ihwal keluargaPada 1890, Ratu Victoria menitahkan Heinrich von Angeli untuk membuat lukisan potret Karim. Menurut Sri Ratu, von Angeli sangat berminat membuat lukisan Karim karena ia belum pernah melukis orang India dan "sangat terpukau melihat ketampanan wajah dan warna kulitnya".[49] Pada 11 Juli 1890, Sri Ratu menyurati Lansdowne, dan Sekretaris Negara untuk India, Lord Cross, menitahkan pemberian "anugerah sebidang tanah kepada Munsyi muda Sri Ratu yang baik budi dan patut diteladani, Hafiz Abdul Karim".[50] Sri Ratu yang semakin uzur itu tidak mempercayai kaum kerabatnya dan Rumah Tangga Istana untuk memperhatikan hajat hidup Sang Munsyi sepeninggalnya kelak, dan oleh karena itu berusaha untuk menjamin masa depannya.[51] Lansdowne membalas bahwa anugerah tanah hanya diberikan kepada para serdadu, itu pun serdadu yang sudah lama bertugas dan berjasa. Meskipun demikian, Sang Raja Muda bersedia mencari sebidang tanah untuk dianugerahkan kepada Karim yang dapat menghasilkan kira-kira 600 Rupee setahun, sama dengan jumlah pensiun yang dapat diharapkan oleh seorang serdadu tua setelah bertugas dengan sangat baik.[52] Ratu Victoria berulang kali menyurati Lansdowne antara bulan Juli sampai bulan Oktober, mendesaknya untuk segera menyelesaikan urusan pemberian anugerah itu. Selain lahan tandus, hanya ada sedikit saja tanah pemerintah di dekat Agra; karena itulah Lansdowne kesulitan mendapatkan sebidang tanah yang layak.[53] Pada 30 Oktober, Sang Munsyi meninggalkan Balmoral untuk bercuti selama empat bulan di India, berangkat dengan kapal yang sama dengan yang ditumpangi Nyonya Lansdowne. Di hari yang sama, Lord Lansdowne mengabari Sri Ratu melalui telegraf bahwa anugerah sebidang tanah di pinggiran kota Agra telah disiapkan.[54] Lansdowne sengaja menegaskan dalam pemberitahuannya itu bahwa:
Lansdowne berkunjung ke Agra pada bulan November 1890. Ia dan Sang Munsyi bertemu, dan Lansdowne mengatur agar Karim duduk bersama-sama staf raja muda dalam sebuah Durbar.[56] Lansdowne secara pribadi bertemu langsung dengan Sang Munsyi maupun dengan Waziruddin, dan Lady Lansdowne bertemu langsung dengan istri dan ibu mertua Sang Munsyi, yang diselundupkan secara rahasia ke dalam kamp Raja Muda agar tidak melanggar adat purdah.[57] Pada 1891, sekembalinya Karim ke Britania, ia meminta Reid untuk mengirimkan sejumlah besar obat-obatan kepada ayahnya, termasuk striknin, kloralhidrat, morfin, dan macam-macam ramuan lainnya. Reid menaksir jumlah ramuan itu "lebih dari cukup untuk membunuh 12.000 sampai 15.000 orang dewasa atau sangat banyak anak-anak" dan oleh karena itu menolak permintaan Sang Munsyi.[58] Reid justru memberi anjuran kepada Sri Ratu agar bahan-bahan kimia itu sebaiknya dibeli atas biaya Sri Ratu oleh pihak-pihak yang berwenang di India.[58] Pada bulan Juni 1892, Waziruddin berkunjung ke Britania dan menginap baik di Puri Balmoral maupun di Puri Windsor.[59] Waziruddin pensiun pada 1893 dan dianugerahi gelar Khan Bahadur dalam acara New Year Honours 1894. Anugerah gelar ini memuaskan Ratu Victoria, dan oleh Lansdowne disebut sebagai "anugerah gelar yang dalam keadaan biasa tidak akan berani diharapkan si Dokter".[60] Pada bulan Mei 1892, Sang Munsyi kembali ke India untuk bercuti selama enam bulan; sekembalinya dari cuti, ia ditemani oleh istri dan ibu mertuanya. Kedua wanita itu dikerudungi dari ujung kepala sampai ke ujung kaki, naik ke kereta api, dan duduk dalam kompartemen dengan tirai diturunkan. Ratu Victoria menulis, "kedua wanita India ... yang aku yakini, adalah wanita-wanita Mohammedan (umat Muhammad) dan penganut adat purdah pertama yang pernah datang kemari ... mempertahankan adat-istiadat mereka untuk sepenuhnya mengasingkan diri dan menyelubungi seluruh tubuhnya bilamana keluar dari rumah, terkecuali dua lubang untuk mata mereka."[61] Sebagai sesama perempuan, Ratu Victoria boleh melihat mereka dalam keadaan tidak berkerudung.[62] Sang Munsyi dan keluarganya tinggal di loji-loji Puri Windsor, Puri Balmoral, dan Osborne House, petirahan Sri Ratu di Pulau Wight.[63] Ratu Victoria berkunjung secara teratur, biasanya ditemani tamu-tamu perempuannya, termasuk Permaisuri Kekaisaran Rusia dan istri Pangeran Wales, untuk bertatap muka dengan kerabat perempuan Sang Munsyi.[64] Salah seorang pengunjung, Marie Mallet, dayang-dayang Sri Ratu, istri pejabat sipil Bernard Mallet, mencatat:
Dr Reid tidak pernah melihat istri Karim tanpa kerudung, walaupun ia mengaku bahwa setiap kali ia dipanggil untuk memeriksa kesehatan wanita itu, sekerat lidah yang lain daripada yang lain dijulurkan dari balik kerudung untuk ia periksa.[66] Pada 1892, nama Sang Munsyi mulai dicantumkan dalam Surat Edaran Istana di antara nama-nama pejabat yang mengiringi Sri Ratu dalam kunjungan tahunannya ke Côte d'Azur.[32] Sebagaimana lazimnya, Ratu Victoria melewatkan Natal 1892 di Osborne House, tempat Sang Munsyi, sebagaimana yang ia lakukan pada tahun-tahun sebelumnya, ikut serta dalam tableaux vivants yang dirancang sebagai acara hiburan.[67] Pada tahun berikutnya, dalam liburan tahunan Ratu Victoria di daratan Eropa, ia diperkenalkan ke hadapan Raja Umberto I dari Italia.[68] Surat-surat kabar kala itu mewartakan bahwa, "Baginda Raja tidak habis pikir mengapa si Hindoo yang agung dan memukau itu perlu secara resmi diperkenalkan ke hadapannya. Orang-orang Italia mengira bahwa Sang Munsyi adalah seorang Pangeran India tawanan, yang dibawa berkeliling oleh Baginda Ratu sebagai tanda lahiriah dan kasatmata dari supremasi Baginda di Timur."[69] Pada 1893, Ratu Victoria mengirim catatan-catatan kepada Karim yang ditandatanganinya dalam bahasa Urdu.[63] Sri Ratu acap kali mengakhiri surat-suratnya kepada Karim dengan kalimat "your affectionate mother, VRI" (ibu yang menyayangimu, VRI)[70] atau "your truly devoted and fond loving mother, VRI" (ibu yang sungguh-sungguh peduli dan mengasihimu, VRI).[71] Perjalanan-perjalanan dan perhelatan Yubileum IntanSang Munsyi dianggap telah memanfaatkan posisinya sebagai orang kesayangan Sri Ratu, dan bersikap melampaui statusnya yang hanya seorang juru tulis rendahan, sehingga menimbulkan kedongkolan di kalangan istana. Suatu kali dalam perjalanannya melintasi Italia, ia memasang iklan di surat kabar Florence Gazette yang berisi pernyataan bahwa "ia berasal dari keluarga baik-baik yang sangat terpandang".[32] Karim menolak untuk bepergian bersama-sama dengan orang-orang India lain dan mengambil alih kamar mandi dayang-dayang untuk digunakannya sendiri.[72] Dalam suatu kunjungan ke Coburg, ia menolak menghadiri upacara pernikahan cucu Ratu Victoria, Putri Victoria Melita dari Saxe-Coburg dan Gotha, karena ayahnya, putra Ratu Victoria, Alfred, Adipati Saxe-Coburg dan Gotha, menempatkannya di balkon belakang bersama-sama para pelayan.[73] Meskipun ditentang habis-habisan oleh kerabat dan orang-orang upahannya, Sri Ratu tetap membela orang kesayangannya.[74] Sri Ratu menyurati sekretaris pribadinya, Sir Henry Ponsonby: "mengata-ngatai Sang Munsyi budiman yang malang itu sebagai orang yang sangat rendahan benar-benar keterlaluan & sungguh tidak pada tempatnya di sebuah negeri seperti Inggris ... Baginda kenal 2 uskup agung yang masing-masing adalah putra seorang tukang jagal & seorang pemilik toko kelontong ... Ayah Abdul telah menjalani masa tugasnya dengan baik & terhormat selaku seorang Dr & ia [Karim] merasa jantungnya tersayat-sayat dikata-katai sedemikian rupa."[75] Masa jabatan Lord Lansdowne berakhir pada 1894, dan digantikan oleh Lord Elgin. Putra Ponsonby, Frederick sempat bekerja sebagai aide-de-camp Lord Elgin di India sebelum ditunjuk menjadi equerry di bawah Ratu Victoria. Ratu Victoria meminta Frederick untuk mengunjungi Waziruddin, "direktur kesehatan militer" di Agra.[76] Sekembalinya ke Inggris, Frederick memberitahu Ratu Victoria bahwa Waziruddin "bukanlah direktur kesehatan militer (surgeon-general) melainkan hanya seorang apoteker di rumah tahanan", yang ditentang keras oleh Sri Ratu dengan mengatakan bahwa Frederick "pasti sudah keliru menemui orang lain".[76] Untuk "menegaskan ketidaksenangan Baginda", Ratu Victoria tidak mengundang Frederick ke acara makan malam selama setahun.[76] Pada hari Natal 1894, Sang Munsyi mengirimkan sepucuk kartu ucapan yang sentimental kepada Lord Elgin, yang membikin kesal Ratu Victoria karena diabaikan.[77] Melalui Frederick Ponsonby, Sri Ratu menyampaikan keberatannya kepada Elgin, yang membalas bahwa ia "tidak menyangka bahwa perlu dibuat surat tanda terima untuk kartu ucapan, ataupun bahwa Sri Ratu mengharapkannya untuk mengirimkan sepucuk surat tanda terima", dan menegaskan bahwa "sangatlah tidak mungkin seorang Raja Muda India melakukan surat-menyurat semacam itu".[78] Frederick menyurati Elgin pada bulan Januari 1895 bahwa Karim sangat tidak disenangi di kalangan Rumah Tangga Istana, dan bahwa ia menempati "posisi yang sangat mirip dengan posisi yang pernah ditempati John Brown".[79] Baik Putri Louise, Putri Beatrice, Pangeran Henry dari Battenberg, Perdana Menteri Lord Rosebery, maupun Sekretaris Negara untuk India Henry Fowler telah menyampaikan keprihatinan mereka perihal Karim kepada Sri Ratu, yang "menolak untuk mendengarkan apa yang hendak mereka sampaikan malah sangat murka, jadi sebagaimana kau lihat sendiri Sang Munsyi adalah semacam peliharaan, seperti anjing atau kucing yang tidak akan dilepas Sri Ratu dengan suka rela".[79] Elgin sudah diwanti-wanti oleh Ponsonby dan Jawatan India bahwa Sri Ratu menyerahkan surat-suratnya kepada Sang Munsyi untuk dibaca, dan karena itu sebaiknya surat-surat yang ia kirim kepada Sri Ratu tidak berisi hal-hal yang perlu dirahasiakan.[80] Para penasihat Ratu Victoria mengkhawatirkan kedekatan Karim dengan Rafiuddin Ahmed, seorang pegiat politik India yang tinggal di London dan berhubungan dengan Liga Patriotik Muslim. Mereka curiga Ahmed memerah informasi rahasia dari Karim untuk diteruskan kepada Amir Afganistan, Abdur Rahman Khan.[81] Tidak ada indikasi bahwa kekhawatiran mereka memiliki dasar yang kuat, ataupun bahwa Sang Munsyi tidak pandai menyimpan rahasia.[82] Sewaktu Sri Ratu menghabiskan liburan tahunannya di Riviera Prancis, pada bulan Maret 1895, surat-surat kabar setempat memuat artikel-artikel bertajuk Le Munchy, secrétaire indien dan le professor de la Reine, yang menurut Frederick Ponsonby dipicu oleh Karim.[83] Dalam acara pemberian Penghargaan Ulang Tahun 1895 Sri Ratu pada bulan Mei tahun itu, Karim diangkat menjadi seorang Companion ("Rekan", jajaran tamtama) Ordo Kekaisaran India,[84] sekalipun ditentang oleh Rosebery dan Fowler.[85] Tyler tercengang mengetahui pengangkatan Karim tatkala berkunjung ke Inggris pada bulan berikutnya.[85] Selepas pemilihan umum Britania Raya, 1895, Rosebery digantikan oleh Lord Salisbury dan Fowler digantikan oleh Lord George Hamilton. Hamilton menganggap Karim tidak seberbahaya yang disangka orang dan justru adalah "orang bodoh, sehingga dapat diperalat orang lain."[86] Pada awal 1896, Karim bercuti ke India selama enam bulan, sementara Hamilton dan Elgin memberlakukan pengawasan ketat "secara diam-diam" atas dirinya.[86] Mereka tidak berani bertindak terang-terangan karena tidak ingin membuat Sang Munsyi curiga dan mengadu kepada Sri Ratu.[87] Meskipun ada kekhawatiran bahwa Karim akan bertemu dengan agen-agen musuh, kepulangannya ke India tampaknya tidak menimbulkan gejolak apa-apa.[88] Ia bertolak dari Bombay menuju Britania pada bulan Agustus 1896, membawa serta kemenakannya yang masih belia, Mohammed Abdul Rashid.[89] Karim tidak memiliki anak. Ratu Victoria mengatur agar seorang dokter perempuan memeriksa istri Sang Munsyi pada bulan Desember 1893, karena pasangan itu terus-menerus berusaha tetapi tak kunjung berhasil mendapatkan keturunan.[90] Pada 1897, menurut Reid, Karim mengidap kencing nanah.[91] Pada bulan Maret 1897, tatkala bersiap-siap berangkat menyertai Ratu Victoria dalam rangka kunjungan tahunannya ke Cimiez, warga Rumah Tangga Istana bersikeras menolak keikutsertaan Karim dan mengancam akan mengundurkan diri jika Karim tetap ikut serta dalam rombongan. Ketika Harriet Phipps, salah seorang dayang kehormatan, menyampaikan keputusan bersama itu kepada Sri Ratu, dengan sangat murka ia menyapu isi meja kerjanya sehingga tercampak ke lantai.[92] Warga Rumah Tangga Istana mengalah, tetapi acara liburan itu diwarnai ketidaksenangan dan persitegangan yang kian lama kian sengit antara warga Rumah Tangga Istana dan Ratu Victoria. Sri Ratu menganggap sikap tidak percaya dan ketidaksukaan mereka pada Karim termotivasi oleh "prasangka ras" dan dengki.[93] Ketika Rafiuddin Ahmed datang bergabung dengan Karim di Cimiez, warga Rumah Tangga Istana memaksanya pulang. Tindakan ini dinilai "tidak pantas" oleh Ratu Victoria. Sri Ratu meminta perdana menteri untuk menulis surat permintaan maaf kepada Ahmed yang menjelaskan bahwa ia tidak diikutsertakan hanya karena pernah menulis artikel-artikel yang dimuat dalam surat-surat kabar, sementara pers tidak diperbolehkan meliput perjalanan liburan Ratu.[94] Ponsonby menulis dalam suratnya pada akhir April, "rupa-rupanya [Sang Munsyi] adalah seorang yang benar-benar bodoh dan tidak berpendidikan, dan sepertinya hal satu-satunya yang ia pikirkan dalam hidup adalah tidak melakukan apa-apa dan makan sebanyak mungkin."[93] Reid mewanti-wanti Sri Ratu bahwa keakrabannya dengan Karim telah membuat orang mempertanyakan kewarasannya,[95] dan Hamilton mengirim telegraf kepada Elgin meminta informasi mengenai Sang Munsyi dan keluarganya dengan maksud mendiskreditkannya.[96] Ketika menerima balasan dari Elgin bahwa Sang Munsyi dan keluarganya adalah orang-orang "terhormat dan layak dipercaya ... tetapi berasal dari kalangan rendahan",[96] Hamilton menyimpulkan bahwa "Sang Munsyi sepengetahuan saya tidak pernah melakukan tindakan yang tercela atau yang patut dibatasi secara resmi ... pengusutan-pengusutan tidaklah tepat, kecuali ada kaitannya dengan beberapa pernyataan atau tuduhan yang definitif." Meskipun demikian, ia mengotorisasi penyelidikan lebih lanjut terhadap "si Mohamedan penebar desas-desus yang bernama Rafiuddin".[97] Tidak pernah ditemukan bukti yang dapat digunakan untuk mendakwa Ahmed,[98] yang kelak menjadi seorang pejabat pemerintah Bombay dan dianugerahi gelar kesatria (Sir) pada 1932.[99] Dampak dari persitegangan itu, dalam kata-kata Hamilton, adalah "semakin memojokkan [Sang Munsyi] pada kedudukannya yang rendah, dan pengaruhnya tidak akan sama lagi di masa-masa yang akan datang".[100] Sesudah persitegangan 1897, Ratu Victoria berusaha menghilangkan kekhawatiran Sang Munsyi. "Aku sudah mengatur dalam Surat Wasiatku agar kesejahteraanmu terjamin," tulisnya dalam surat kepada Karim, "dan senantiasa berprasangka baik terhadap dirimu. Surat panjang terlampir yang ditulis hampir sebulan yang lalu sepenuhnya dan semata-mata adalah gagasanku sendiri, tak seorang pun akan pernah mengetahui isinya ataupun balasanmu padaku. Jika engkau tidak dapat membacanya aku akan membantumu dan sesudah itu segera membakarnya."[102] Ia menyampaikan kepada Reid bahwa perselisihan sepele itu telah membuatnya dan Sang Munsyi merasa tertekan, yang dibalas Reid bahwa sepertinya tidak demikian yang dirasakan Sang Munsyi "dilihat dari sosoknya yang bugar dan perawakannya yang tetap saja kekar".[103] Lord Salisbury menyampaikan kepada Reid bahwa menurut pemikirannya Sri Ratu juga tidak merasa tertekan, dan bahwa Sri Ratu dam-diam menikmati persitegangan itu karena merupakan "satu-satunya cara untuk bersenang-senang yang sang Ratu punya".[104] Agaknya Reid juga ikut serta mengajukan keberatan perihal Sang Munsyi bersama warga Rumah Tangga Istana lainnya, karena Sri Ratu menyuratinya, "Aku mengira engkau berdiri sebagai penengah antara aku dan mereka, tetapi sekarang aku merasa bahwa engkau seia sekata dengan yang lain."[105] Pada 1899, warga Rumah Tangga Istana sekali lagi bersikeras menolak keikutsertaan Karim dalam rombongan kerajaan bilamana Sri Ratu menjalani liburan tahunannya di Cimiez. Sri Ratu mengalah dan menyuruh Karim tetap tinggal di Windsor, tetapi sesudah rombongan kerajaan sampai di hotel Excelsior Regina, ia mengirim telegram kepada Karim berisi undangan untuk datang bergabung.[106] Masa tuaPada akhir 1898, Karim merampungkan urusan pembelian sebidang tanah yang bersebelahan dengan tanah anugerah Sri Ratu; ia telah menjadi seorang hartawan.[107] Reid mengungkapkan dalam buku hariannya bahwa ia pernah menantang Karim sehubungan dengan pengaturan keuangan yang dilakukannya: "Anda telah memberi tahu Sri Ratu bahwa di India orang tidak menerbitkan resi sebagai tanda terima uang, dan oleh karena itu anda tidak wajib menunjukkan resi kepada Sir F Edwards [Penjaga Pundi-Pundi Pribadi]. Ini suatu dusta dan artinya anda berniat mencurangi Sri Ratu."[108] Sang Munsyi memberi tahu Sri Ratu bahwa ia akan menunjukkan resi untuk menanggapi segala dakwaan itu, dan Ratu Victoria pun menyurati Reid agar meniadakan segala dakwaan yang ia sebut "memalukan" itu.[109] Karim meminta Ratu Victoria untuk menganugerahinya gelar "Nawab", padanan India untuk gelar ningrat warisan di Inggris, dan untuk mengangkatnya menjadi seorang Knight Commander ("Kesatria Hulubalang", jenjang perwira) Ordo Kekaisaran India, sehingga membuatnya layak disapa "Sir Abdul Karim". Elgin yang tak habis pikir dengan permintaan-permintaan itu menganjurkan agar Sri Ratu lebih baik mengangkat Karim menjadi Member ("Anggota", jenjang tamtama) Ordo Kerajaan Victoria, sebagai karunia pribadi dari Sri Ratu, tanpa gelar, dan kecil dampak politisnya di India.[110] Penjaga Pundi-Pundi Pribadi Sir Fleetwood Edwards dan Perdana Menteri Lord Salisbury bahkan menganjurkan agar Sri Ratu tidak memberi gelar yang lebih rendah sekalipun.[111] Akan tetapi pada 1899, pada kesempatan perayaan hari ulang tahunnya yang ke-80, Ratu Victoria mengangkat Karim menjadi Commander ("Hulubalang", jenjang bintara) Ordo Kerajaan Victoria, jenjang menengah di antara Member dan Knight ("Kesatria", jenjang perwira).[112] Sang Munsyi pulang ke India pada bulan November 1899 selama setahun. Waziruddin, yang digambarkan sebagai "seorang pria tua yang santun" oleh Lord Curzon, pengganti Elgin sebagai Raja Muda India, yang meninggal dunia pada bulan Juni 1900.[113] Manakala Karim kembali ke Britania pada bulan November 1900, Ratu Victoria sudah terlihat uzur, dan kesehatannya menurun. Dalam tempo tiga bulan ia pun mangkat.[114] Sepeninggal Ratu Victoria, putranya, Raja Edward VII, membebastugaskan Sang Munsyi beserta orang-orang dekatnya dan memulangkan mereka ke India. Tetapi Edward mengizinkan Sang Munsyi menjadi orang terakhir yang melayat jenazah Ratu Victoria sebelum peti matinya ditutup,[115] dan ikut serta dalam arak-arakan pemakamannya.[116] Nyaris seluruh surat-menyurat antara Ratu Victoria dan Karim habis dibakar atas titah Raja Edward.[117] Lady Curzon mencatat pada 9 Agustus 1901 sebagai berikut,
Pada 1905–06, George, Pangeran Wales, berkunjung ke India dan menyurati Raja Edward dari Agra, "Pada malam hari kami melihat Sang Munsyi. Ia tidak bertambah bagus dan sudah gemuk. Harus saya katakan bahwa ia sungguh santun dan rendah hati dan benar-benar senang melihat kami. Ia mengenakan bintang kehormatan C.V.O. miliknya yang tidak saya ketahui pernah ia terima. Saya diberitahu bahwa ia hidup tenang di sini dan tidak menimbulkan masalah sama sekali."[119] Sang Munsyi meninggal dunia di kediamannya, Loji Karim, yang berdiri di atas tanah miliknya di Agra pada 1909.[120] Ia meninggalkan dua orang istri,[121] dan jenazahnya disemayamkan di dalam sebuah gedung makam mirip pagoda di lahan pemakaman Panchkuian Kabristan di Agra bersebelahan dengan ayahnya.[122] Atas instruksi Raja Edward VII, Komisioner Agra, W. H. Cobb, berkunjung ke Loji Karim untuk mencari sisa-sisa surat-menyurat antara Sang Munsyi dan Sri Ratu atau warga Rumah Tangga Istana, yang kemudian disita dan dikirim kepada Raja.[123] Raja Muda India (saat itu dijabat oleh Lord Minto), Letnan-Gubernur John Hewitt, dan para pejabat sipil di Jawatan India tidak membenarkan tindakan penyitaan itu, dan mengajukan usulan agar surat-surat tersebut dikembalikan.[124] Pada akhirnya Raja mengembalikan empat pucuk surat, dengan syarat surat-surat itu harus dikirim kembali kepadanya bilamana istri pertama Sang Munsyi meninggal dunia.[125] WarisanKarena Sang Munsyi tidak memiliki keturunan, maka kekayaan dan harta bendanya diwarisi oleh kemenakan-kemenakan dan anak-anak dari kemenakan-kemenakannya. Keluarga Sang Munsyi menetap di Agra sampai India merdeka. Sesudah peristiwa Pemisahan India pada bulan Agustus 1947, mereka beremigrasi ke Pakistan. Tanah dan bangunan keluarga, termasuk Loji Karim, disita oleh pemerintah India dan dibagi-bagikan kepada para pengungsi Hindu dari Pakistan. Setengah dari Loji Karim dibagi menjadi dua tempat tinggal terpisah, sementara setengahnya lagi dijadikan sebuah panti perawatan dan kantor dokter.[126] Sampai dengan diterbitkannya memoar Frederick Ponsonby pada 1951, hanya sedikit fakta yang diketahui sehubungan dengan riwayat hidup Sang Munsyi.[127] Kajian ilmiah atas riwayat hidup dan hubungannya dengan Ratu Victoria dimulai sekitar era 1960-an,[128] berfokus pada Sang Munsyi sebagai "suatu gambaran tentang prasangka ras dan kelas di Inggris pada zaman Victoria".[129] Mary Lutyens, ketika menyunting buku harian neneknya, Edith (istri Lord Lytton, Raja Muda India 1876–80), menyimpulkan, "Sekalipun orang bisa mengerti bahwa Sang Munsyi tidak disukai, sebagaimana yang hampir selalu dialami oleh anak-anak kesayangan ... Orang mau tidak mau merasa bahwa pemicu utama kedengkian warga Rumah Tangga Istana terhadap dirinya adalah perilaku gila hormat dan prasangka terhadap warna kulit."[130] Elizabeth Longford menulis, "Abdul Karim menggugah kembali imajinasi yang sama dalam diri Sri Ratu yang pernah membuatnya begitu mengagung-agungkan jasa-jasa John Brown ... Akan tetapi, [hal itu] mempermulus jalan bagi seorang pribadi rendahan untuk meraih kepercayaan Sri Ratu, sementara hal itu memperhebat mabuk kepayang bangsa terhadap suatu impian rendahan, impian akan Imperium Kolonial."[131] Para sejarawan membenarkan kecurigaan-kecurigaan warga Rumah Tangga Istana bahwa Sang Munsyi telah mempengaruhi opini-opini Sri Ratu sehubungan dengan hal-ihwal India, membuat Sri Ratu menentang umat Hindu dan memihak umat Muslim.[132] Tetapi kecurigaan-kecurigaan bahwa ia telah membocorkan rahasia kepada Rafiuddin Ahmed tidak termasuk di dalamnya. Ratu Victoria menegaskan bahwa "tidak ada surat-surat politik dalam bentuk apa pun yang pernah disentuh tangan Sang Munsyi, bahkan di hadapan Sri Ratu sekalipun. Ia hanya membantu Sri Ratu membaca kata-kata yang tidak terbaca olehnya atau surat-surat keputusan yang diajukan untuk ditandatangani belaka. Ia tidak cukup lancar membaca tulisan dalam bahasa Inggris untuk dapat membaca hal-hal penting."[133] Oleh karena itu, agaknya tidak benar bahwa ia dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah mengenai India atau membocorkan informasi yang berguna bagi para aktivis Muslim.[129] Film fitur tahun 2017 Victoria & Abdul, garapan Stephen Frears dan dibintangi oleh Ali Fazal sebagai Abdul Karim dan Judi Dench sebagai Ratu Victoria, menawarkan versi fiksionalisasi dari hubungan antara Karim dan ratu.[134] Rujukan
Daftar pustaka
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Abdul Karim (Sang Munsyi).
|