Amangkurat II
Amangkurat II (bahasa Jawa: ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧒꧇, translit. amangkurat kapindo, har. 'amangkurat dua', dikenal juga sebagai Sunan Amral) adalah susuhunan Mataram kelima yang memerintah dari tahun 1677 hingga 1703 dan memindahkan pusat pemerintahannya dari Keraton Plered menuju ke Keraton Kartasura.[2] Ia merupakan sunan yang suka memakai seragam angkatan laut Belanda sehingga Amangkurat II dijuluki sebagai Sunan Amral. "Amral" merupakan ejaan Jawa untuk admiral (laksamana).[3] Kehidupan awalSunan Amangkurat II atau Sunan Amral adalah putra dari Amangkurat I dan Ratu Kulon, dan memiliki nama asli Raden Mas Rahmat.[4] Setelah ibunya meninggal dunia, ia dibesarkan di Surabaya oleh kakeknya dari pihak ibu, Pangeran Pekik.[5] Semasa menjadi putra mahkota, Raden Mas Rahmat berselisih dengan ayahnya sendiri karena ada berita bahwa jabatan Adipati Anom (putra mahkota) akan digantikan dengan putra Amangkurat I yang lain, yaitu Pangeran Singasari.[4] Akhirnya pada tahun 1661, Raden Mas Rahmat melakukan pemberontakan, tetapi Amangkurat I dapat menumpasnya. Perselisihan ini semakin memburuk di tahun 1668 ketika Raden Mas Rahmat jatuh hati pada Rara Oyi, seorang gadis dari Surabaya yang hendak dijadikan sebagai selir ayahnya. Berkat bantuan kakeknya, ia bisa mengambil Rara Oyi dari ayahnya untuk dinikahkan. Akibatnya, Amangkurat I murka dan membunuh Pangeran Pekik sekeluarga beserta pengikutnya. Raden Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.[4][5] Pindah ke KartasuraPada tahun 1680, Amangkurat II memerintahkan pembersihan hutan di daerah Wanakarta (berjarak sekitar 10 kilometer di selatan Surakarta)[6] untuk dibangun sebuah keraton baru. Keraton ini kemudian diberi nama Keraton Kartasura.[7] Pangeran Puger yang semula menetap di Kajenar pindah ke Keraton Plered setelah kota itu ditinggalkan oleh Trunajaya. Ia menolak bergabung dengan Amangkurat II karena mendengar berita bahwa Amangkurat II bukanlah Raden Mas Rahmat (kakaknya), melainkan anak Cornelis Speelman yang menyamar sebagai Raden Mas Rahmat. Berita simpang siur ini muncul pada 1680 dan akhirnya menyebabkan kericuhan di tengah rakyat. Perang antara Keraton Plered (Pangeran Puger) dengan Keraton Kartasura (Amangkurat II) meletus pada bulan November 1680. Babad Tanah Jawi menyebutnya sebagai perang antara Mataram melawan Kartasura. Akhirnya setahun kemudian, yaitu 28 November 1681 Pangeran Puger menyerah kalah. Babad Tanah Jawi menyebut istana Plered di Mataram runtuh tahun 1677, sedangkan Kartasura adalah keraton baru sebagai penerus dari keraton Plered, seusai pemberontakan Trunajaya. Kemudian yang memberikan legitimasi pengasahan kekuasaan Amangkurat ke II adalah Panembahan Natapraja dari Adilangu yang dianggap sebagai sesepuh Mataram. Sikap terhadap VOCAmangkurat II dikisahkan sebagai sunan berhati lemah yang mudah dipengaruhi. Pangeran Puger adiknya, jauh lebih berperan dalam pemerintahan. Amangkurat II naik takhta atas bantuan VOC dan pada awal pemerintahannya tampak dengan mudah tunduk pada VOC.[8] Ia juga berhutang atas biaya perang sebesar 2,5 juta gulden. Tokoh anti VOC bernama Patih Nerangkusuma berhasil menghasutnya agar lepas dari jeratan hutang tersebut. Pada tahun 1683 terjadi pemberontakan Wanakusuma, seorang keturunan Kajoran. Pemberontakan yang berpusat di Gunung Kidul ini berhasil dipadamkan. Pada tahun 1685 Amangkurat II menampung buronan VOC bernama Untung Suropati yang tinggal di rumah Patih Nerangkusuma. Untung Suropati diberinya tempat tinggal di desa Babirong untuk menyusun kekuatan. Bulan Februari 1686 Kapten François Tack tiba di Kartasura untuk menangkap Untung Suropati. Amangkurat II pura-pura membantu VOC dalam pertempuran di keraton Kartasura. Setelah Pasukan Tack masuk dalam perangkap, Untung Suropati serta pasukannya lalu menumpas habis pasukan Kapten Tack. Sang kapten sendiri mati dibunuh oleh pasukan Untung Suropati. Amangkurat II kemudian merestui Untung Suropati dan Nerangkusuma untuk merebut Pasuruan. Anggajaya bupati Pasuruan yang semula diangkat Amangkurat II terpaksa menjadi korban. Ia melarikan diri ke Surabaya bergabung dengan adiknya yang bernama Anggawangsa alias Adipati Jangrana. Kehidupan pribadiAmangkurat II dikabarkan memiliki banyak istri, tetapi hanya memiliki satu putra, yaitu Raden Mas Sutikna. Menurut Babad Tanah Jawi, ibunya mengguna-guna semua istrinya yang lain sehingga mandul.[9] Kehidupan selanjutnyaSetelah Amangkurat II berhasil menumpas berbagai pemberontakan berkat bantuan VOC dan kerajaannya dirasa aman, ia mulai hilang rasa hormat pada VOC dan tidak lagi bergantung pada VOC.[8] Sikap Amangkurat II yang mendua akhirnya terbongkar oleh VOC. Pihak VOC menemukan surat-surat Amangkurat II kepada Cirebon, Johor, Palembang, dan Inggris yang isinya ajakan untuk memerangi VOC. Amangkurat II juga mendukung pemberontakan Kapitan Jonker tahun 1689. Pihak VOC menekan Kartasura untuk segera melunasi biaya perang Trunajaya sebesar 2,5 juta gulden. Amangkurat II sendiri berusaha memperbaiki hubungan dengan pura-pura menyerang Untung Suropati di Pasuruan. Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan takhta Kartasura antara putranya, yaitu Amangkurat III melawan adiknya, yaitu Pangeran Puger. ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|