Bahasa Semende
Bahasa Melayu Semende (Jawi: بهاس ملايو سمند) atau Bahase/Base Semende adalah isolek bahasa Melayu Tengah atau bahasa Melayu Barisan Selatan yang dituturkan oleh suku Semende (Melayu Semende) yang mendiami daerah Sumatera Selatan[3] (Kabupaten Muara Enim, Kota Prabumulih, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan) serta Provinsi Lampung (Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tanggamus, dan Kabupaten Way Kanan). Di luar wilayah tuturnya, bahasa ini dikenal dengan nama bahasa Semendo.[4] Bahasa Semende pada umumnya dipakai sebagai bahasa pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan pada acara-acara resmi seperti saat berpidato atau berkhotbah, para penutur bahasa ini akan tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.[5] Karena cakupan wilayahnya yang relatif kecil, variasi dialektis dalam bahasa Semende bersifat minim dan terletak pada pemilihan kosakata yang cenderung disebabkan karena perbedaan regional atau status dan tingkatan jabatan serta pendidikan.[5] Bahasa Semende pernah memiliki sistem penulisannya sendiri yang disebut dengan Surat Ulu dan masih berkerabat dengan Aksara Rejang serta Aksara Lampung. Bahasa Semende juga pernah ditulis dengan menggunakan sistem penulisan Arab-Melayu, yang membuktikan pengaruh Islam yang kuat dan mengakar dalam budaya Melayu Semende.[5] Sistem bahasa Semende memiliki banyak persamaan dengan bahasa Besemah.[5] Secara fonologis, bahasa Semende memiliki 28 fonem, 4 vokal, 20 konsonan, serta 4 fonem supra segmental.[5] Adapun pola suku kata dalam bahasa Semende antara lain ialah V, VK, KV, KVK, dan KKV.[5] Dalam struktur morfologis, bahasa Semende menunjukkan keistimewaan dalam kata ganti orang.[5] Untuk orang kedua tunggal dipakai kata kabah bagi pantaran yang memiliki jenis kelamin yang sama, dengah bagi pantaran yang berbeda jenis kelamin, dan kamu bagi orang yang lebih tua atau dihormati.[5] Morfem terikat bahasa ini berupa imbuhan, yaitu 8 awalan, 5 akhiran, dan 3 sisipan.[5] Awalan peN- jarang digunakan untuk menyatakan orang yang melakukan apa yang disebutkan dalam kata dasar, oleh karenanya kata-kata seperti petani dan pedagang dalam bahasa Semende dinyatakan sebagai jeme tani (orang tani) dan jeme dagang (orang dagang).[5] Akhiran -an dalam bahasa Semende lazim digunakan untuk menyatakan pengertian kebun atau ladang, seperti kaweghan yang berarti kebun kopi (kata dasar kawe) dan pisangan yang berarti kebun pisang (kata dasar pisang).[5] Bahasa Semende juga memiliki keistimewaan dalam pembentukan kata ulang dengan pola fonem awal bentuk dasar + /e/ + bentuk dasar, misalnya dedue (dua-dua), tetige (tiga-tiga), dan sesenai (lambat-lambat, kata dasar senai).[6] Nama bahasaKata Semende memiliki beberapa macam arti. Menurut Bahar Datuk Mangkuto Alam, seorang akademisi yang berasal dari Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Andalas, mengatakan: "Istilahnya Semende, dengan -e, bukan Semendo, dengan -o. Asal katanya adalah "same ande" yang secara ringkas dapat diterjemahkan sebagai "sama-sama anak, sama-sama berhak".[7] Dalam penelitian lainnya oleh Barmawi menjelaskan bahwa kata "Semendo" berasal dari kata "semende" yang berarti perkawinan. Kata semende terdiri dari kata se + ende yang mendapatkan sisipan -m-. "Se" berarti satu, sedangkan "ende" berarti kedua pihak laki-laki masuk ke rumah perempuan mematuhi satu adat perkawinan, yaitu laki-laki masuk rumah perempuan tersebut tidak dijual, demikian pula pihak perempuan tidak membeli. Kata semende berasal dari same + nde yang berarti bahwa di dalam suatu perkawinan, keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan memiliki hak serta kewajiban yang sama terhadap anak dan menantu.[7] Dengan demikian, kata Semende merujuk kepada adat istiadat dalam perkawinan tunggu tubang, yakni suatu adat yang memposisikan serta menugaskan anak perempuan tertua di dalam suatu keluarga sebagai penunggu rumah dari keluarga tersebut. Rumah seperti ini disebut dengan rumah tunggu tubang dalam adat Semende.[7] Tradisi sastra lisanBahasa Semende memiliki beberapa jenis tradisi sastra lisan dalam bentuk sajak dan cerita rakyat. Di bawah ini disajikan jenis-jenis sastra lisan Melayu Semende yang masih terus dilestarikan oleh para penuturnya hingga saat ini. Seluruh contoh sastra lisan Melayu Semende yang terdapat di bawah ini disusun dan dialihbahasakan oleh A. Kudir Ariman, penutur bahasa Melayu Semende yang berasal dari Tanjung Laut sekaligus akademisi yang berasal dari Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan Universitas Sriwijaya.[8] Rejung (pantun)
Pribase (peribahasa)
Memuning (teka-teki)
Jampi (mantra)Berikut ini adalah contoh jampi (mantra) yang diucapkan oleh seorang bujang untuk menyuruh seorang gadis menoleh ke belakang atau ke arah dirinya:
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
KosakataNyeyalat
Kalimat
Wilayah tuturSumatera SelatanBahasa Semende adalah bahasa ibu dari suku Semende. Suku Semende merupakan salah satu suku Melayu pribumi di Sumatera Selatan yang utamanya terkonsentrasi di Kecamatan Semende Darat Laut, Kecamatan Semende Darat Tengah, dan Kecamatan Semende Darat Ulu di Kabupaten Muara Enim. Suku Semende di Sumatera Selatan dapat diklasifikasikan menjadi dua subsuku yaitu Semende Darat dan Semende Lembak. Selain di Kabupaten Muara Enim, suku Semende juga terkonsentrasi di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan tepatnya di Kecamatan Mekakau Ilir, Kecamatan Pulau Beringin, Kecamatan Sindang Danau dan Kecamatan Sungai Are. Suku Semende juga menetap di Kota Prabumulih, Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Ogan Komering Ulu. LampungSelain di Sumatera Selatan, para penutur bahasa Semende juga tersebar di beberapa wilayah di Provinsi Lampung. Pada Sensus Penduduk Indonesia 2010, suku Semende, penutur bahasa Semende, dicatat dalam data sebagai subsuku Melayu asal Sumatera Selatan bersama suku Besemah, suku Lintang, suku Kikim, suku Lematang, suku Enim, suku Ogan, suku Mesuji dan suku Melayu Palembang. Suku Melayu di Lampung mencapai 427.326 jiwa dan mencakup 5,64% dari total penduduk Provinsi Lampung sehingga menjadi kelompok suku terbesar keempat setelah suku Jawa, Lampung, dan Sunda. Secara signifikan suku Semende dapat ditemukan di Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tanggamus, dan Kabupaten Way Kanan. Suku Semende di Kabupaten Tanggamus dapat ditemukan di Pekon Gunung Megang, Pekon Muara Dua, Pekon Penantian, Pekon Pulau Panggung, dan Pekon Tekad di Kecamatan Pulau Panggung; Pekon Banding Agung, Pekon Sinar Banten, Pekon Sinar Semendo, Pekon Suka Merindu dan Pekon Talang Padang di Kecamatan Talang Padang; serta seluruh pekon di Kecamatan Ulubelu (16 pekon). Sebagian nama-nama pekon tersebut memiliki kesamaan nama dengan nama-nama daerah yang dihuni suku Semende di daerah asalnya di Sumatera Selatan, seperti Gunung Megang, Muara Dua, dan Penantian. Akulturasi dengan bahasa JawaPopulasi penutur bahasa Semende di Kabupaten Tanggamus terkonsentrasi di Kecamatan Ulubelu. Kecamatan ini merupakan daerah tujuan program transmigrasi era Soekarno dan Soeharto sehingga mayoritas penduduk di kecamatan ini berasal dari suku Jawa, lebih spesifiknya para penutur bahasa Jawa Mataraman yang berasal dari Kabupaten Ponorogo di Provinsi Jawa Timur saat ini. Hal ini kemudian memunculkan fenomena akulturasi bahasa dan budaya Jawa Mataraman dengan bahasa dan budaya Semende yang sudah lebih dahulu menduduki wilayah Kecamatan Ulubelu jauh sebelum para transmigran dari Jawa hadir dan menetap. Akulturasi ini salah satunya tercermin dari penyerapan kosakata bahasa Jawa Mataraman ke dalam bahasa Semende, seperti penggunaan kata "lanang" dan "mambu" untuk menyebut laki-laki dan sesuatu yang berbau busuk. Sebagian besar generasi tua masih menggunakan kosakata asli Semende untuk merujuk kepada dua hal tersebut, yakni "jantan" untuk laki-laki dan "busok" untuk merujuk kepada sesuatu yang berbau busuk. Dalam kehidupan sehari-hari, para penutur bahasa Jawa Mataraman ini masih tetap melestarikan penggunaan bahasa Jawa Mataraman bahkan jika lawan bicaranya bukan berasal dari suku Jawa. Penggunaan bahasa Jawa dikecualikan di lingkungan sekolah dan saat acara-acara resmi digelar, bahkan tidak jarang para guru juga mengajar dengan menggunakan bahasa Jawa selama proses pembelajaran berlangsung di dalam kelas. Hal ini kemudian memunculkan suatu fenomena unik dimana para penutur bahasa Semende memiliki keahlian dalam berbahasa Jawa dan terkadang ikut mencampuradukkan bahasa Jawa dengan bahasa Semende dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh dalam bahasa Lampung ApiBahasa Semende juga memiliki banyak persamaan kosakata dengan bahasa Lampung Api. Berikut adalah daftar kosakata yang sama antara bahasa Semende dan bahasa lampung Api, terutama bahasa Semende yang dituturkan oleh orang Semende yang berada di Provinsi Lampung:
Bahasa Semende di Way KananSelain Bahasa Ogan, bahasa Semende juga eksis di Kabupaten Way Kanan. Wilayah tutur bahasa Semende di Kabupaten Way Kanan terdapat di sepanjang wilayah barat Kabupaten Way Kanan. Mayoritas penutur bahasa Semende berada di Kecamatan Kasui, Kecamatan Banjit, Kecamatan Rebang Tangkas, sebagian Kecamatan Baradatu, dan sebagian wilayah Kecamatan Umpu Semenguk. Penutur bahasa Semende di Kabupaten Way Kanan adalah masyarakat Semende yang bermarga Rebang Kasui. Di Kabupaten Way Kanan, khususnya di tiga kecamatan penutur bahasa Semende terbanyak (Kasui, Banjit, dan Rebang Tangkas) menjadikan bahasa Semende sebagai bahasa sehari-hari serta sebagai bahasa pasar. Bahasa Semende di Kabupaten Way Kanan sudah banyak berakulturasi dengan bahasa-bahasa lain di Kabupaten Way Kanan. Hingga saat ini, wilayah Kabupaten Way Kanan khususnya di wilayah sebelah barat Way Kanan, bahasa Semende menjadi bahasa mayoritas penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Bahasa Semende di Kota Bandar LampungSebagai salah satu kota terbesar sekaligus kota terpadat di Pulau Sumatra dan di luar Pulau Jawa, Bandar Lampung memainkan perananan penting sebagai pusat perekonomian, pusat pendidikan serta pusat kebudayaan di Provinsi Lampung. Hal ini menjadikan Bandar Lampung sebagai sebuah kota yang sarat akan multikulturalisme, kota yang berbilang bangsa dan berbilang kaum dengan jumlah penduduk sebesar 1.209.937 jiwa dan kepadatan penduduk 6.100 jiwa per kilometer persegi.[9] Para penutur bahasa Semende di Kota Bandar Lampung memiliki kecenderungan untuk mencampuradukkan bahasa Semende dengan bahasa-bahasa daerah lain atau bahkan bahasa asing, terutama bahasa Melayu Palembang, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Salah satu contoh yang paling kentara adalah pengadopsian sufiks -ke yang diadopsi dari bahasa Melayu Palembang untuk menggantikan sufiks -kah dalam bahasa Semende, serta kata yang yang diadopsi dari bahasa Indonesia untuk menggantikan kata ye dalam bahasa Semende. Dengan demikian, para penutur bahasa Semende di Kota Bandar Lampung akan menggunakan kalimat "Nak dimasukke ke mane?" untuk menggantikan kalimat "Nak dimasukkah ke mane?" dan akan menggunakan kalimat "Yang mane?" untuk menggantikan kalimat "Ye mane?". Selain itu, terdapat juga kosakatata yang diserap dari bahasa Melayu klasik seperti surai untuk menggantikan kata gumbak (rambut) dan kosakata seperti blangkit yang diserap dari bahasa Inggris blanket (selimut). Lihat pula
Referensi
Pranala luar
|