Canang sari adalah upakāra (perlengkapan) keagamaan umat Hindu di Bali untuk persembahan tiap harinya.[1][2] Persembahan ini dapat ditemui di berbagai pura, kuil, tempat sembahyang kecil di rumah-rumah, dan di jalan-jalan sebagai bagian dari sebuah persembahan yang lebih besar lagi.[3]
Canang sendiri merupakan salah satu bentuk banten atau "persembahan". Dari segi penggunaan, bentuk, dan perlengkapannya, canang dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain Canang Genten, Canang Burat Wangi, Lenge Wangi, Canang Sari, dan Canang Meraka.[4]
Etimologi
Frasa "canang sari" diperoleh dari kata sari ("inti, esensi") dan canang (wadah anyaman daun kelapa).[3] Menurut kamus bahasa Bali, canang merupakan sebuah kata benda dengan tingkatan bahasa halus yang memiliki arti "sirih".[5] Buku "Sembahyang menurut Hindu" menyebutkan bahwa pada zaman dulu sirih bernilai sangat bernilai tinggi dan menjadi lambang penghormatan. Sirih disuguhkan kepada tamu yang sangat dihormati.[4]
Menurut Ida Pedanda Gede Made Gunung, seorang pedandaBali, kata "canang" terdiri atas dua suku kata bahasa Kawi, "ca" ("indah") dan "nang" ("tujuan"). Dengan demikian, pengertian canang dapat djabarkan menjadi sebuah sarana yang bertujuan untuk memohon keindahan (sundharam) ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.[1]
Bentuk dan simbolisme
Simbolisme dari bagian-bagian penyusun canang adalah sebagai berikut:[1][3][4] 1. Ceper
Ceper adalah alas dari sebuah canang yang memiliki bentuk segi empat dan melambangkan angga-sarira (badan). Keempat sisi ceper melambangkan pembentuk angga-sarira, yaitu Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, dan Panca Karmendriya. Canang yang dialasi ceper merupakan simbol Ardha Candra, sedangkan yang dialasi oleh tamas kecil merupakan simbol dari Windhu.
2. Beras
Beras atau wija melambangkan Sang Hyang Ātma atau yang membuat badan mejadi hidup, melambangkan benih di awal kehidupan yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Ātma.
3. Porosan
Porosan atau peporosan terbuat dari daun sirih, kapur, dan jambe (gambir) yang melambangkan Tri-Premana, yaitu Bayu ("pikiran"), Sabda ("perkataan"), dan Idep ("perbuatan"). Ketiganya membuat tubuh yang bernyawa dapat melakukan aktivitas. Porosan juga melambangkan Trimurti, yaitu Siwa (kapur), Wisnu (sirih), dan Brahma (gambir). Porosan mempunyai makna bahwa setiap umat harus mempunyai hati (poros) penuh cinta dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
4. Jajan, tebu, dan pisang
Jajan, tebu, dan pisang menjadi simbol dari Tedong Ongkara yang melambangkan kekuatan Upetti, Stiti, dan Pralinan dalam kehidupan di alam semesta.
5. Sampian uras
Sampian uras atau juga disebut duras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai yang melambangkan roda kehidupan dengan astaa iswaryanya ("delapan karakteristik') yang menyertai setiap kehidupan umat manusia.
6. Bunga
Bunga yang diletakkan di atas sampian urasari melambangkan kedamaian dan ketulusan hati. Penyusunan bunga diurutkan sebagai berikut:
Bunga berwarna putih disusun di timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara.
Bunga berwarna merah disusun di selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma.
Bunga berwarna kuning disusun di barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa.
Bunga berwarna biru atau hijau disusun di utara sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu.
Kembang rampai disusun ditengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata.
7. Kembang rampai
Kembang rampai diletakkan di atas susunan bunga dan memiliki makna sebagai lambang kebijaksanaan. Bermacam-macam bungai ada yang harum dan ada yang tidak berbau, melambangkan kehidupan manusia tidak selamanya senang atau susah. Untuk itulah, dalam menata kehidupan, manusia hendaknya memiliki kebijaksanaan.
8. Lepa
Lepa atau boreh miyik merupakan lambang sebagai sikap dan perilaku yang baik. Perilaku menentukan penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya seseorang.
9. Minyak wangi
Minyak wangi atau miyik-miyikan menjadi lambang ketenangan jiwa atau pengendalian diri. Dalam menata kehidupan, manusia hendaknya hendaknya menjalankannya dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik.
Sebuah canang sari disempurnakan dengan meletakkan sejumlah kepeng (uang logam) atau uang kertas, konon untuk menjadi esensi (sari) dari persembahan.[6]
Fungsi
Canang memiliki peranan yang sangat penting dalam ritual keagamaan umat Hindu di Bali sehingga juga disebut Kanista atau "inti dari upakara". Sebesar apapun upacara tersebut maka tidak akan menjadi lengkap kalau tidak diisi dengan canang.[1]
Canang sari digunakan sebagai persembahan harian kepada Sang Hyang Widhi Wasa sebagai ungkapan syukur atas kedamaian yang telah diberian kepada dunia; merupakan persembahan rumah tangga yang paling sederhana. Filosofi dari proses persembahan adalah mengurbankan diri sendiri, sebab perlu waktu dan tenaga untuk mempersiapkan persembahan. Canang sari tidak digunakan saat ada kematian di dalam masyarakat atau keluarga.[2] Canang sari juga digunakan dalam hari-hari tertentu, seperti Kliwon, Purnama, dan Tilem.[6]