Desa Adat MatabesiKampung Adat Matabesi merupakan salah satu desa yang terletak di Kabupaten Belu, Atambua, Nusa Tenggara Timur.[1] Terdapat 12 suku yang menetap di kampung adat Matabesi. Suku-suku itu diantaranya adalah Uma Isberan atau Uma Kakaluk sebagai pusat atau induk dari keduabelas suku, Uma Bot, Uma Bei Hale uma bot, Uma Bei Hale kiik, Uma Bei Bere, Uma Matabesi kiik, Uma Ba'a, Uma Mahein Lulik, Uma Meo, Uma Manehat, Uma Mane Ikun dan Uma Lokes. Masing-masing suku memiliki rumah adat. Enam rumah adat dari masing-masing suku dapat dilihat secara fisik. Sementara enam rumah suku yang tersisa, telah diupayakan oleh pemerintah setempat untuk dibangun kembali. Kampung adat Matabesi merupakan salah satu destinasi wisata berbasis budaya yang terdekat di kabupaten Belu (dua kilometer jauhnya dari pusat pemerintahan daerah). Suku Matabesi adalah salah satu suku yang memegang peran penting dalam struktur adat kerajaan atau ke-Nai-an Lidak (sepertiga wilayah Kabupaten Belu). Bila dianalogikan suku Matabesi adalah perdana menterinya kerajaan Lidak di masa itu. Suku Matabesi sendiri berasal dari kata Mak ta dan Besi (arti harafiah; orang yang memotong besi/sesuatu yang kuat) yang berarti orang yang bertugas sebagai eksekutor/hakim/penengah/ahli strategi. Sehingga Matabesi bergelar Makerek Badaen istilah ini diberikan oleh suku tertua yakni suku Lawalu yang membuat Matabesi melekat erat dengan sebuah jabatan penting akan pengambilan keputusan atau kebijakan dalam tatanan kerajaan (Ke-Nai-an) Lidak seperti juru bicara, hakim, ahli strategi, penengah ataupun panglima perang. Betapa tersohornya Matabesi sehingga sering dijuluki dengan istilah lainnya seperti “Manu Sesu Rai – Manu Lia Manas (Hakim yang tersohor). Sejarah MatabesiSesuai dengan penuturan Mako’an (Imam Adat) ringkasan perjalanan migrasi Suku Matabesi dapat digambarkan sebagi berikut: Leluhur suku Matabesi datang dari Sinamuti Malaka yang diawali dengan perjalanan tiga leluhur yang dikenal dengan sebutan “as na’in tolu besi nain tolu-ubu nain tolu bei nain tolu”. Tiga leluhur bersaudara tersebut adalah: Nai Laka Besi, Nai Mali Besi, dan Nai Bei Luan.[2] Melalui persinggahan pertama di Larantuka Baboe, ketiga leluhur ini berurutan bergerak menuju Mutis Ornai (TTU), Weto Maubesi (Timor Leste), kembali ke Malaka dan melanjutkan ke Suai (Timor Leste) kembali lagi ke Wesei Wehali (Belu-Malaka), dan bermigrasi terus sampai berlabu di Lakaan-Lahurus (Belu). Dari Lakaan, mereka bergerak terus menuju Toro (Atambua Barat). Di Toro inilah mereka bertemu dengan 2 Suku Besar dan tertua yakni suku Lawalu dan Makluli Fahi. Oleh mandat kedua suku besar tersebut Suku Matabesi diberikan ulayat dengan predikat Makerek Badaen beserta 3 bukit batu suci yakni Sumeta, Ro’o Fau dan Kaku’a sebagai benteng mulia (Batak bot Tolu-Tuik Bot Tolu) yang selanjutnya akan menjadi Manaran bukti eksistensi Suku Matabesi sebagai Mauk Mai Tan – Mauk Tur Hein (Pendatang masa lalu-Pemilik/Tuan Tanah). Ketiga Bukit Batu tersebut akan menjadi Manaran yang berperan sebagai Foho atau Wadah Suci untuk Sang Pencipta. Dalam perjalanannya, ketiga leluhur ini mengajarkan tata laksana peradaban baru yang lebih modern pada waktu itu. Adapun yang lebih melekat dan krusial yang diajarkan ketiga leluhur tersebut adalah tentang beradaptasi dengan lingkungan dan ilmu pengetahuan (teknologi rekayasa) atau dalam sebutan Bahasa Tetun, "makerek no badaen". Suku primitif (dalam bahasa setempat “melus-mauk tur hein”) di wilayah yang didatangi tersebut adalah suku Lawalu, mak luli fahi, dan beberapa suku kecil lainnya mempercayai suku Matabesi untuk sebuah peran penting dalam tatanan Kerajaan Lidak. Suku Matabesi diberikan ulayat sepenuhnya oleh suku-suku tersebut dan ditugaskan sebagai Makerek Badaen (sebuah jabatan untuk mengatur sebuah pemerintahan secara sosio-politik, sosio-humanitas, dan hukum adat) sehingga Suku Matabesi tidak lagi dianggap sebagai tamu melainkan disebut sebagai pemilik tanah (Mauk Maitan-Mauk Turhein). Sistem PerkawinanSistem perkawinan di suku Matabesi menganut patrialisme (garis keturunan Bapak). Karena itu, apabila seorang pria menikahi wanita, maka ia diwajibkan memberikan maskawin (hafoli-faen) sesuia nilai yang ditetapkan oleh pihak orang tua wanita. Penerapan aturan tersebut dimaksudkan untuk memasukkan sang wanita itu ke dalam suku pria. Ketentuan setelah perkawinan adalah Ulun Sorun-Hare Ulun-Batar Ulun yang sering didaraskan dalam bahasa tetun “Nalaka hai, Naroma badut iha fuk dato-Tahan dato ba sisawan ba lororaik (hak suku ibu untuk mengambil anak sulung dan atau anak bungsu menjadi pewaris suku ibu). Sebutan adatAda beberapa sebutan adat dalam tatanan agama asli suku Matabesi atau budaya orang Lidak pada umumnya yakni: Nai Luli Waik - Nai Manas Waik, Lolo liman la to’o - Bi’i ain la dais, atau Iha fulan fohon - iha fitun fohon. Hal ini mencakup kepercayaan akan sang Pencipta Alam Semesta. Masyarakat adat suku Matabesi selalu menyebutnya dalam do’a dan ritual adat dengan beberapa gelar tersebut untuk menghormati dan menjunjung sang Khalit. Tugas dan peran masyarakat adatTugas dan peran masyarakat adat suku Matabesi diantaranya sebagai berikut :
Norma - norma yang menjadi nilai luhur masyarakat adat Suku Matabesi di antaranya :
Pada tahun 2018, pemerintah pusat melalui platform indonesiana bersama komunitas lokal Fohorai mempromosikan kegiatan rutin tahunan dari suku Matabesi yakni ritual Rai Fohon atau ritual adat atas makanan padi ladang yang telah di panen. Pemerintah bersama warga lokal telah berupaya untuk melakukan promosi untuk menjadikan rumah suku di Kampung Adat Matabesi sebagai salah satu tujuan wisata di Nusa Tenggara Timur.[3] Sistem pemukimanRumah adat (Uma) atapnya berbentuk seperti perahu terbalik dibuat dengan menutupi fondasi utama dan bahkan ujung bawah atapnya nyaris menyentuh tanah. Tidak ada jendela di rumah adat ini. Di dalam Uma dengan model rumah panggung ini, belasan keluarga dapat hidup berdampingan. Dapat dikatakan rumah adat ini mirip seperti Rumah Niang milik masyarakat Waerebo. Desa ini sangatlah luas dan setiap Uma memiliki nama dan fungsi dan tingkatan yang berbeda. Yang terletak di sebelah makam dan merupakan Uma tertinggi adalah Uma Meo, atau rumah panglima. Selain sebagai rumah tinggal, rumah ini sering kali digunakan untuk acara adat, seperti Upacara Leno Urat.[2] Masyarakat setempat pada umumnya menolak untuk merenovasi rumah suku. Hal ini dilakukan untuk menjaga keaslian atau kekhasan dari masing-masing rumah suku. Rumah adat Suku Matabesi berbentuk bulat kerucut dengan dua tiang agung sebagai Bei Mane dan Bei Feto (perwakilan dari leluhur pria dan wanita). Rumah adat suku Matabesi bercerita dengan filosofi hidup masyarakat dengan alam sebagai tanda harmonis. Rumah adat ini berupa rumah panggung dan dapat diisi oleh 12 keluarga dari 12 suku Matabesi. Pada umumnya rumah ini dibangun sejak puluhan tahun yang lalu dan tidak pernah direnovasi untuk menjaga keasliannya.[4] Referensi
|