Hipostasis (filsafat dan agama)Hipostasis (bahasa Yunani: ὑπόστασις, hypostasis) berarti keadaan yang mendasari atau substansi yang mendasari, dan merupakan realitas fundamental yang menunjang segala sesuatu. Dalam Neoplatonisme, hipostasis jiwa, intelek (nous), dan Yang Esa dikemukakan oleh Plotinus.[1] Dalam teologi Kristen, suatu "hipostasis" atau "pribadi" adalah salah satu dari ketiga elemen Trinitas.[2] Teologi KristenDalam tulisan-tulisan Kristen awal, hipostasis digunakan untuk menyatakan "realitas substantif" dan tidak selalu dibedakan artinya dengan ousia ("esensi" atau "substansi"). Penggunaan seperti ini diperlihatkan oleh Tatian dan Origenes, dan juga dalam berbagai anatema yang dilampirkan dalam Kredo Nicea tahun 325. Definisi Trinitarian
Istilah ini diklarifikasi dan distandardisasi terutama di bawah pengaruh Bapa-bapa Kapadokia, sehingga rumusan "Tiga Hipostasis dalam satu Ousia" memperoleh penerimaan sebagai suatu inti doktrin ortodoks mengenai Trinitas.[3] Secara khusus, Basilius dari Kaisarea berpendapat bahwa kedua istilah tersebut tidak sama dan karenanya tidak untuk digunakan secara samar dalam mengacu kepada Ketuhanan. Ia menuliskan:
Tetapi konsensus ini pada awalnya tidak terwujud tanpa beberapa kebingungan dalam benak para teolog Barat, karena terdapat perbedaan kosakata di dunia Barat. Hal ini menyebabkan banyak teolog berbahasa Latin memahami hypo-stasis sebagai "sub-stantia" (substansi); sehingga ketika berbicara tentang tiga "hipostasis" dalam ketuhanan, mereka mungkin menduga tiga "substansi" atau triteisme. Bagaimanapun sejak pertengahan abad ke-5 dan seterusnya, ditandai dengan Konsili Kalsedon, kata tersebut telah dibedakan dengan ousia dan digunakan dalam arti "realitas individual", khususnya dalam konteks Kristologis dan trinitarian. Pandangan kalangan Kristen tentang Trinitas atau Tritunggal sering kali dideskripsikan sebagai suatu pandangan tentang satu Allah yang terdapat di dalam tiga hypostases/persona/pribadi berbeda.[4] Lihat pulaReferensi
|