Hujan kuningHujan kuning atau yellow rain adalah istilah yang merujuk pada fenomena yang terjadi pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, di mana hujan dengan tetesan kuning atau cairan kental yang berwarna kuning jatuh di beberapa wilayah di Asia Tenggara, terutama di Kamboja, Laos, dan Vietnam. Fenomena ini menyebabkan kontroversi internasional karena Sekretaris Negara Amerika Serikat, Alexander Haig menuduh bahwa tetesan tersebut adalah senjata kimia berupa T-2 mycotoxin—racun jamur—yang digunakan oleh pasukan Uni Soviet dan sekutunya dalam konflik di wilayah tersebut.[1][2] Para pengungsi melaporkan adanya cairan kuning lengket yang jatuh dari pesawat atau helikopter, yang kemudian disebut sebagai hujan kuning. Pemerintah Amerika Serikat mengklaim bahwa lebih dari sepuluh ribu orang tewas akibat serangan dengan senjata kimia ini. Namun, Uni Soviet membantah tuduhan tersebut, dan penyelidikan awal oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak dapat memberikan kesimpulan yang jelas mengenai kebenaran klaim tersebut.[3] Sampel yang diduga sebagai agen kimia yang diberikan kepada ilmuwan independen ternyata berupa kotoran lebah madu, yang mengindikasikan bahwa hujan kuning sebenarnya disebabkan oleh defekasi massal dari butiran pollen yang dicerna oleh kawanan besar lebah. Meskipun sebagian besar penelitian ilmiah kini membantah hipotesis bahwa hujan kuning merupakan senjata kimia yang digunakan oleh Uni Soviet,[4][5] Pemerintah Amerika Serikat masih belum menarik tuduhannya,[6] dengan alasan bahwa masalah ini belum sepenuhnya terungkap.[3] Selain itu, banyak dokumen yang berkaitan dengan insiden ini tetap dirahasiakan oleh Pemerintah Amerika Serikat.[2] Tuduhan terkait T-2 mycotoxinTuduhan mengenai penggunaan senjata kimia ini bermula dari peristiwa yang terjadi di Laos dan Vietnam Utara pada 1975, ketika kedua negara yang beraliansi dengan Uni Soviet berperang melawan suku Hmong, yang sebelumnya mendukung Amerika Serikat dan Vietnam Selatan dalam Perang Vietnam. Para pengungsi melaporkan bahwa mereka menyaksikan serangan yang mereka yakini sebagai serangan senjata kimia yang dilakukan oleh pesawat atau helikopter yang terbang rendah. Beberapa laporan menggambarkan cairan berminyak berwarna kuning yang kemudian disebut hujan kuning. Mereka yang terpapar mengklaim mengalami gejala neurologis dan fisik, termasuk kejang, kebutaan, dan pendarahan. Laporan serupa juga datang dari invasi Vietnam ke Kamboja pada 1978.[1][7] Dalam sebuah buku teks yang diterbitkan oleh Departemen Medis Angkatan Darat AS pada tahun 1997, disebutkan bahwa lebih dari sepuluh ribu orang tewas akibat serangan yang menggunakan senjata kimia di Laos, Kamboja, dan Afghanistan. Deskripsi mengenai serangan ini sangat beragam, termasuk penggunaan wadah yang dijatuhkan dari udara, semprotan, perangkap ranjau, peluru artileri, roket, dan granat yang menghasilkan tetesan cairan, debu, bubuk, asap, atau bahan berwarna kuning, merah, hijau, putih, atau coklat yang mirip dengan bahan kimia atau serangga.[3] Pada September 1981, Sekretaris Negara AS, Alexander Haig, mengungkapkan keprihatinan komunitas internasional terkait laporan yang terus-menerus mengenai penggunaan senjata kimia mematikan oleh Uni Soviet dan sekutunya di Laos, Kamboja, dan Afghanistan. Ia menyatakan bahwa AS telah menemukan bukti fisik dari Asia Tenggara yang telah dianalisis, dan hasilnya menunjukkan adanya kadar yang sangat tinggi dari tiga jenis mikotoksin beracun, yang tidak berasal dari wilayah tersebut dan sangat berbahaya bagi manusia serta hewan.[8][9] Uni Soviet membantah tuduhan ini, menyebutnya sebagai kebohongan besar, dan menyatakan bahwa pemerintah AS justru menggunakan senjata kimia selama Perang Vietnam dan menyuplai senjata kimia kepada pemberontak Afghanistan serta tentara El Salvador.[10] Tuduhan Amerika ini memicu penyelidikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Pakistan dan Thailand, yang melibatkan lima dokter dan ilmuwan yang mewawancarai saksi yang diduga terlibat serta mengumpulkan sampel yang diduga berasal dari Afghanistan dan Kamboja. Namun, hasil wawancara menghasilkan kesaksian yang bertentangan dan analisis sampel yang tidak konklusif. Para ahli PBB juga memeriksa dua pengungsi yang mengklaim menderita dampak dari serangan kimia, tetapi pengungsi tersebut didiagnosis mengidap infeksi kulit jamur. Tim PBB melaporkan bahwa mereka tidak dapat memverifikasi apakah senjata kimia digunakan, tetapi mencatat adanya bukti tidak langsung yang mengarah pada kemungkinan penggunaan zat kimia beracun dalam beberapa kejadian.[11] Analisis mikotoksin oleh Amerika Serikat diterbitkan dalam literatur ilmiah pada tahun 1983 dan 1984, yang melaporkan adanya jumlah mikotoksin dalam jumlah kecil, berupa trikotensena, dengan kadar yang bervariasi mulai dari bagian per juta hingga jejak-jejak dalam bagian per miliar.[12][13] Namun, beberapa ketidaksesuaian dalam laporan-laporan tersebut memicu perdebatan mengenai validitas analisis tersebut.[14] Sebuah ulasan medis pada tahun 2003 mencatat bahwa perdebatan ini mungkin diperburuk oleh kenyataan bahwa meskipun metode analisis masih dalam tahap awal saat kontroversi ini berlangsung, metode tersebut sudah cukup sensitif untuk mendeteksi kadar rendah kontaminasi trikotensena di lingkungan.[15] PenyelidikanPenyelidikan awal yang dilakukan oleh C. J. Mirocha dari Universitas Minnesota pada tahun 1982 bertujuan untuk mencari keberadaan mikotoksin trikotensena, termasuk racun T-2, diacetoxyscirpenol (DAS), dan deoksinivalenol (DON). Penyelidikan ini mencakup analisis kimia terhadap darah, urin, dan jaringan tubuh para korban yang diduga terkena serangan kimia di Laos dan Kamboja. Hasilnya menunjukkan keberadaan racun T-2, HT-2, dan DAS dalam darah, urin, dan jaringan tubuh korban, yang dianggap sebagai bukti kuat penggunaan trikotensena sebagai agen perang non-konvensional. Penemuan signifikan lainnya termasuk trikotensena yang ditemukan pada sampel daun (T-2, DON, nivalenol) dan bubuk kuning (T-2, DAS). Bukti yang paling meyakinkan adalah keberadaan T-2 dan DAS dalam bubuk kuning tersebut, mengingat kedua racun ini jarang ditemukan bersama di alam, dan biasanya produsen T-2 seperti Fusarium tricinctum tidak menghasilkan DAS, begitu pula sebaliknya, produsen DAS yang baik seperti Fusarium roseum 'Gibbosum' tidak menghasilkan T-2.[16] PenjelasanHipotesis Kotoran LebahPada tahun 1983, tuduhan tentang hujan kuning dibantah oleh ahli biologi Harvard dan penentang senjata biologis, Matthew Meselson, bersama timnya yang melakukan penyelidikan terpisah di Laos. Tim Meselson mencatat bahwa mikotoksin trikotensena, termasuk T-2, DAS, dan DON, sebenarnya dapat ditemukan secara alami di wilayah tersebut dan meragukan kesaksian para saksi. Mereka mengajukan hipotesis alternatif bahwa hujan kuning sebenarnya adalah kotoran harian dari lebah madu.[17] Sebagai bukti, mereka menunjukkan bahwa tetesan hujan kuning yang ditemukan di daun terdiri sebagian besar dari serbuk sari, yang mengandung campuran serbuk sari dari berbagai jenis bunga, seperti yang diharapkan jika berasal dari lebah yang berbeda.[18] Serbuk sari tersebut menunjukkan sifat-sifat yang khas, yakni protein di dalam butirannya hilang, sementara kulit luar yang tidak dapat dicerna tetap utuh. Selain itu, campuran serbuk sari itu berasal dari spesies tumbuhan yang khas di daerah tempat tetesan tersebut ditemukan.[19][20] Pemerintah AS menanggapi temuan ini dengan mengklaim bahwa serbuk sari itu sengaja ditambahkan untuk membuat zat yang mudah dihirup dan memastikan racun tetap berada di tubuh manusia.[21][20] Namun, Meselson membantah klaim ini, mengatakan bahwa sangat tidak masuk akal jika ada yang memproduksi senjata kimia dengan cara mengumpulkan serbuk sari yang telah dicerna oleh lebah. Menurutnya, fakta bahwa serbuk sari tersebut berasal dari Asia Tenggara juga menunjukkan bahwa Uni Soviet tidak mungkin memproduksi zat tersebut di dalam negeri dan harus mengimpor serbuk sari dalam jumlah besar dari Vietnam.[22] Meselson berargumen bahwa temuannya memberikan bukti yang kuat bahwa hujan kuning mungkin memiliki penjelasan alami yang tidak berbahaya.[15] MikotoksinAnalisis sampel hujan kuning yang dilakukan oleh pemerintah Inggris, Perancis, dan Swedia mengonfirmasi adanya serbuk sari dan tidak menemukan jejak mikotoksin.[21][23] Penelitian toksikologi juga mempertanyakan keandalan laporan yang menyatakan bahwa mikotoksin terdeteksi pada korban hingga dua bulan setelah paparan, karena senyawa ini tidak stabil dalam tubuh dan akan hilang dari darah dalam beberapa jam.[14] Sebuah otopsi terhadap seorang pejuang Khmer Merah bernama Chan Mann, yang diduga menjadi korban serangan hujan kuning pada 1982, menunjukkan adanya jejak mikotoksin, tetapi juga aflatoksin, demam air hitam, dan malaria.[22] Survei juga menunjukkan bahwa jamur penghasil mikotoksin dan kontaminasi mikotoksin cukup umum di Asia Tenggara, yang semakin meragukan klaim bahwa mendeteksi senyawa-senyawa ini adalah kejadian yang tidak biasa.[24][25] Sebagai contoh, sebuah laboratorium militer Kanada menemukan mikotoksin dalam darah lima orang dari wilayah tersebut yang tidak pernah terpapar hujan kuning, dari 270 orang yang diuji, namun tidak ditemukan dalam darah sepuluh korban yang diduga terpapar.[20][26] Sebuah penelitian tahun 1988 juga melaporkan bahwa penyakit akibat paparan mikotoksin bisa menjadi ancaman kesehatan yang serius di Malaysia.[27] Kini, telah diakui bahwa kontaminasi mikotoksin pada makanan seperti gandum dan jagung adalah masalah umum, terutama di wilayah dunia yang beriklim sedang.[25][28] Keandalan Kesaksian Mata-mataPada tahun 1987, The New York Times melaporkan bahwa permintaan informasi terbuka menunjukkan bahwa penyelidikan lapangan oleh tim pemerintah AS pada 1983-1985 tidak menemukan bukti yang mendukung tuduhan awal dan justru meragukan keandalan laporan awal. Namun, laporan kritis ini tidak dirilis ke publik.[29] Sebuah analisis terhadap laporan awal yang dikumpulkan dari pengungsi Hmong yang diterbitkan dalam Journal of the American Medical Association pada 1989 mencatat adanya ketidakkonsistenan yang signifikan yang merusak validitas kesaksian, serta mengkritik metode wawancara yang digunakan oleh tim medis Angkatan Darat AS. Masalah tersebut meliputi wawancara yang hanya dilakukan kepada orang-orang yang mengklaim memiliki pengetahuan tentang serangan senjata kimia dan pertanyaan yang memandu dalam wawancara. Para penulis mencatat bahwa cerita para saksi berubah seiring waktu, tidak konsisten dengan kesaksian lain, dan orang-orang yang awalnya mengaku menjadi saksi mata ternyata kemudian menyatakan bahwa mereka hanya menyampaikan cerita orang lain.[30] Pada tahun 1982, Meselson mengunjungi kamp pengungsi Hmong dengan membawa sampel kotoran lebah yang ia kumpulkan di Thailand. Sebagian besar pengungsi yang ia wawancarai mengklaim bahwa sampel tersebut adalah senjata kimia yang mereka serang, namun seorang pria dengan tepat mengidentifikasinya sebagai kotoran serangga, meskipun kemudian beralih ke cerita senjata kimia setelah berdiskusi dengan pengungsi lainnya.[31] Kemungkinan Asal Usul Amerika SerikatLaporan CIA dari tahun 1960-an melaporkan tuduhan oleh pemerintah Kamboja bahwa pasukan mereka diserang dengan senjata kimia yang meninggalkan bubuk kuning. Pemerintah Kamboja menyalahkan Amerika Serikat atas serangan senjata kimia tersebut. Beberapa sampel "hujan kuning" yang dikumpulkan dari Kamboja pada tahun 1983 menguji positif untuk CS (2-chlorobenzalmalonitrile) merupakan senjata pengendali kerusuhan yang sebelumnya digunakan oleh Amerika Serikat selama Perang Vietnam. CS adalah bentuk gas air mata yang tidak bersifat sangat toksik, tetapi dapat menjelaskan beberapa gejala ringan yang dilaporkan oleh para pengungsi Hmong.[22] Referensi
|