Share to:

 

Ikatan Pencak Silat Indonesia

Ikatan Pencak Silat Indonesia
SingkatanIPSI
Tanggal pendirian18 Mei 1948
Didirikan diSurakarta
TipeOrganisasi Pencak silat
Kantor pusatPadepokan Nasional Pencak Silat Indonesia, Jalan Taman Mini Indonesia Indah I, Jakarta Timur, Indonesia
Bahasa resmi
Bahasa Indonesia
Ketua Umum
Jenderal TNI (HOR).(Purn.) H. Prabowo Subianto
Situs webpbipsi.com

Ikatan Pencak Silat Indonesia atau disingkat IPSI adalah wadah organisasi bagi seluruh jajaran pencak silat Indonesia.

IPSI didirikan pada tanggal 18 Mei 1948 di Surakarta, Jawa Tengah.[1]

IPSI didirikan dengan maksud mengkoordinasikan dan melaksanakan pembinaan kegiatan pencak silat di dalam pelestarian, pengembangan, dan peningkatan kualitas seni dan budaya serta prestasi pencak silat secara menyeluruh dan berkesinambungan.[2]

IPSI bertujuan mempersatukan, membina persaudaraan dan kesetiakawanan antar perguruan pencak silat dalam rangka meningkatkan peran serta pencak silat untuk membangun Indonesia seutuhnya, serta mengangkat harkat dan martabat bangsa.[3]

IPSI bersifat kekeluargaan, persaudaraan, kebersamaan, dan kesetiakawanan, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, nirlaba, serta tidak berafiliasi, berorientasi, dan berfungsi politik.[4]

Sejarah IPSI

Pencak silat merupakan olahraga seni beladiri yang berasal dari bangsa rumpun Melayu, termasuk Indonesia. Jumlah perguruan pencak silat sangat banyak, berdasarkan catatan PB IPSI sampai dengan tahun 1993 telah mencapai 840 perguruan pencak silat di Indonesia.[5] Induk organisasi pencak silat di Indonesia adalah IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia). IPSI didirikan pada tanggal 18 Mei 1948 di Surakarta, Jawa Tengah.[1]

Upaya untuk mempersatukan pencak silat sebenarnya sudah dimulai pada masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1922 di Sagalaherang, Subang, Jawa Barat, didirikan Perhimpoenan Pentjak Silat Indonesia untuk menggabungkan aliran pencak Jawa Barat yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara. Pada masa pendudukan Jepang, Presiden Soekarno pernah menjadi pelindungnya.[6]

Upaya serupa juga diadakan di Yogyakarta. Pada tahun 1943, beberapa pendekar pencak silat, yaitu R. Brotosoetarjo (pendiri perguruan silat Budaya Indonesia Mataram), Mohamad Djoemali (pendekar pencak Setia Hati dari Sekolah Taman Siswa), R.M. Harimoerti (pendiri aliran pencak Tejokusuman), Abdoellah (pendekar Pencak Kesehatan), R. Soekirman (pendekar pencak Rukun Kasarasaning Badan), Alip Poerwowarso (pendekar pencak Setia Hati Organisasi), Soewarno (pendekar pencak Setia Hati Terate), R. Soepono Mangkoepoedjono (pendiri perguruan pencak Persatuan Hati), dan R.M. Soenardi Soerjodiprodjo (pendiri perguruan pencak Tunggal Hati), mendirikan organisasi dengan nama Gaboengan Pentjak Mataram yang disingkat Gapema untuk bersama-sama menggalang pencak silat yang tumbuh di Kesultanan Yogyakarta. Gapema diketuai oleh K.P.H. Nototaruno, adik Sri Paduka Paku Alam VIII.[7]

Setelah beberapa tahun, tepatnya pada tahun 1947, di Yogyakarta juga berdiri satu organisasi bernama Gabungan Pentjak Seluruh Indonesia yang disingkat Gapensi dengan tujuan mempersatukan aliran pencak silat di seluruh Indonesia. Gapensi didirikan oleh Mohamad Djoemali (pendekar pencak Setia Hati dari Sekolah Taman Siswa) bersama beberapa tokoh pencak silat lainnya, yaitu R.M. Soebandiman Dirdjoatmodjo (pendiri perguruan silat Perisai Diri), Ki Netra Widjihartani (pendiri perguruan pencak silat Prisai Sakti Mataram), R. Brotosoetarjo (pendiri perguruan silat Bima), dan Widjaja.[7]

Meskipun organisasi di Jawa Barat dan Yogyakarta ini bercita-cita nasional, namun keanggotaannya masih berskala lokal. Untuk itu PORI (Persatuan Olahraga Republik Indonesia), yang kemudian berganti nama menjadi KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia), mengadakan sebuah Konferensi Bagian Pencak di Solo pada tanggal 2 Juni 1948.[6]

Pertemuan tersebut sebelumnya telah diawali dengan rapat pembentukan Panitia Persiapan Persatuan Pencak Silat Indonesia di Solo pada awal tahun 1947 yang diprakarsai oleh Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, yang di kemudian hari beliau menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.[8] Dari hasil rapat ini dibentuklah panitia IPSI (Ikatan Pentjak Seluruh Indonesia) pada bulan Mei 1947 yang diketuai oleh Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro. IPSI bernaung di bawah Kementerian Negara Urusan Pemuda.

Para pendiri IPSI pada tanggal 18 Mei 1948 di Surakarta adalah :[7]

  • Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Gubernur Jawa Tengah
  • Soeratno Sastroamidjojo, Sekretaris Pusat Kebudayaan Kedu
  • R. Marijoen Soedirohadiprodjo dari Setia Hati Organisasi
  • Dr. Sahar dari Silat Sumatera
  • Soeria Atmadja dari Pencak Jawa Barat
  • Soeljohadikoesoemo dari Setia Hati Madiun
  • Rachmad Soeronegoro dari Setia Hati Madiun
  • Moenadji dari Setia Hati Solo
  • Roeslan dari Setia Hati Kediri
  • Roesdi Imam Soedjono dari Setia Hati Kediri
  • S. Prodjosoemitro, Ketua PORI Bagian Pencak
  • Mohamad Djoemali dari Yogyakarta
  • Margono dari Setia Hati Yogyakarta
  • Soemali Prawiro Soedirdjo dari Persatuan Olahraga Republik Indonesia
  • Karnandi dari Kementerian Pembangunan dan Pemuda
  • Ali Marsaban dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dengan didirikannya organisasi ini diharapkan bahwa pencak silat dapat digerakkan dan disebarluaskan sampai ke berbagai pelosok di tanah air sebagai suatu ekspresi kebudayaan nasional. Masyarakat juga mengharapkan bahwa pencak silat distandarisasi agar dapat diajarkan sebagai pendidikan jasmani di sekolah-sekolah dan dapat dipertandingkan dalam even-even olahraga nasional.

Sesuai dengan keinginan tersebut, langkah pertama yang diusahakan oleh IPSI adalah terbentuknya suatu sistem pencak silat nasional yang dapat diterima oleh seluruh perguruan pencak silat yang ada di tanah air. Untuk sementara waktu, diadopsikan sebagai standaard systeem pelajaran pencak silat dasar yang sudah disusun oleh R.M. S. Prodjosoemitro dan diajarkan di sekolah-sekolah di wilayah Solo dengan dukungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Kota Surakarta. Hasil dari usaha standarisasi awal pencak silat ini dipertunjukkan oleh kurang lebih 1.000 pesilat anak-anak dalam demonstrasi senam pencak silat massal pada Pembukaan PON I tanggal 8-12 September 1948 di Solo. Sejak PON I tersebut, pencak silat dilombakan sebagai demonstrasi dalam kategori solo dan ganda, baik tangan kosong maupun senjata.[6]

Tidak semua aliran dan perguruan pencak silat sepakat mengenai perlunya organisasi nasional. Ada yang khawatir bahwa dengan penyusunan sistem pencak silat nasional maka persatuan aliran-aliran pencak silat tidak akan terlaksana, bahkan akan terdapat perpecahan karena tiap aliran atau perguruan pencak silat akan mengklaim dirinya yang terbaik.

Pada awalnya Gapensi ikut menolak karena anggota panitia IPSI dianggap didominasi oleh anggota perguruan pencak silat Setia Hati. Selain itu, beberapa perguruan pencak silat di daerah Kauman, yang saat ini dikenal dengan nama Tapak Suci, ikut menolak karena Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro yang dijadikan Ketua IPSI dikenal sebagai salah seorang tokoh aliran kebatinan. Salah satu anggota Gapensi, yaitu Soeko Winadi, kemudian mendirikan organisasi yang bernama PerPI (Persatuan Pentjak Indonesia) yang menaungi perguruan pencak silat Benteng Mataram, Mustika, Bayu Manunggal, Bima Sakti, dan Trisno Murti. Organisasi baru ini didukung oleh Phashadja Mataram dan Tapak Suci.[6]

Persatuan dan kesatuan jajaran pencak silat di Indonesia masih belum benar-benar terwujud dengan adanya berbagai organisasi pencak silat tersendiri di luar IPSI seperti Gapensi, PerPI, Putra Betawi, dan sebagainya. Ditambah lagi pada tahun 1950 ketika terjadi pergolakan pemberontakan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilakukan oleh kelompok gerakan separatis DI/TII. Panglima Komando Tentara dan Teritorium III Siliwangi, Kolonel R.A. Kosasih, dibantu oleh Kolonel Hidajat dan Kolonel Haroen, pada bulan Agustus 1957 mendirikan PPSI (Persatuan Pentjak Silat Indonesia) di Bandung yang bertujuan menggalang kekuatan jajaran pencak silat untuk menghadapi DI/TII yang berkembang di wilayah Lampung, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah bagian barat, dan Yogyakarta. Sesuai dengan wilayah pembinaannya, yang masuk di dalam PPSI adalah perguruan pencak silat aliran daerah Pasundan.[6]

Akibat dibentuknya PPSI menimbulkan dualisme pembinaan dan pengendalian pencak silat di Indonesia. Pendekar-pendekar Jawa Barat merasa bahwa kegiatan yang diprakarsai IPSI didominasi Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak mencapai Jawa Barat. Menurut pendekar Jawa Barat tetap diperlukan suatu organisasi khusus untuk mengayomi dan mengembangkan perguruan-perguruan pencak silat yang beraliran Jawa Barat. Pada tahun 1950-an IPSI dan PPSI bersaing berebut pengaruh di dunia persilatan dengan saling banyak mendirikan cabang di seluruh provinsi di Indonesia. PPSI berkembang di daerah Jawa Barat, Lampung, dan Jawa Timur bagian timur.[6]

Pada tanggal 21-23 Desember 1950 di Yogyakarta diadakan Kongres IPSI II yang memutuskan untuk mengukuhkan organisasi dan menyusun Pengurus Besar IPSI di mana Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro diangkat sebagai Ketua Umum, Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai Wakil Ketua Umum, dan Rachmad sebagai Sekretaris Umum. Gapensi dan PerPI ikut bergabung dengan IPSI. Tokoh-tokoh Gapensi dan PerPI menduduki jabatan penting dalam keorganisasian IPSI.[6]

Pada tahun 1952 dibentuk Lembaga Pencak Silat di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1953 aktivitas pencak silat dipindahkan dari Jawatan Pendidikan Masyarakat ke Jawatan Kebudayaan. Pada tahun tersebut juga diadakan Kongres IPSI III di Bandung. Demonstrasi pencak silat yang bersifat internasional dalam misi kebudayaan Indonesia dilakukan pada tahun 1955 di Praha, Leningrad, Budapest, dan Kairo.[6]

Sistem pencak silat nasional yang telah distandarisasi oleh IPSI ternyata belum dapat memenuhi harapan masyarakat, sehingga peralihan pencak silat dari sarana beladiri menjadi sejenis senam jasmani memakan waktu yang cukup lama. Tim ahli teknik IPSI yang terdiri dari pakar-pakar dari berbagai aliran dan perguruan pencak silat mempelajari ratusan kaidah dan gerak kemudian mencoba menyatukannya tanpa menghilangkan warna-warni yang khas. Mereka juga menyesuaikan sistem pelajaran tradisional pencak silat yang berpatokan kepada jurus (seri atau kumpulan gerakan) dengan prinsip olahraga modern.

Pada tahun 1960, PB IPSI membentuk Laboratorium Pencak Silat yang bertujuan untuk menyusun peraturan pertandingan pencak silat yang baku dan memenuhi kriteria suatu pertandingan olahraga yang dapat dipertandingkan di tingkat nasional. Anggota laborat tersebut terdiri dari R. Arnowo Adji H.K.P. dari Perisai Diri, Janoearno dan Imam Soejitno dari Setia Hati Terate, Mohamad Hadimoeljo dibantu dr. Rachmadi Djoko Soewignjo dan dr. Mohamad Djoko Waspodo dari Studi Grup Pencak Silat Nusantara.[6]

Selain mengalami kesulitan teknis dalam mengembangkan metode dan sistematika olahraga yang dapat diterima oleh semua pihak, IPSI juga mendapat resistensi dari kalangan pendekar tradisional yang enggan menerima pemikiran-pemikiran baru karena tidak menginginkan reduksi pencak silat hanya kepada satu bentuknya, yaitu olahraga. Mereka khawatir bahwa aspek integral yang lain, khususnya aspek seni dan aspek spiritual, akan diabaikan dan tidak dapat dirasakan lagi sebagai unsur-unsur yang saling terkait dalam satu totalitas sosiokosmik.

Kesulitan juga datang dari luar dunia pencak silat, karena persaingan yang ketat dari beladiri impor. Antara tahun 1960 s.d. 1966, pada waktu terjadi kemerosotan ekonomi dan politik negara yang turut berdampak terhadap IPSI, beladiri karate dari Jepang secara resmi masuk Indonesia dan dengan tangkasnya memasuki kalangan pelajar dan militer. Pada awalnya, karate dan judo dipraktikkan sebagai olahraga dan dipertandingkan di depan umum. Penerimaan yang positif terhadap beladiri asing, memaksa kalangan pencak silat untuk berpikir dan berbuat lebih baik dalam usaha mengembangkan pencak silat olahraga. Kehadiran karate di Indonesia merupakan cambuk yang benar-benar efektif untuk membangunkan kalangan pencak silat dari tidurnya.

Penggeseran konseptual akhirnya terjadi, meskipun beberapa pendekar pencak silat keberatan apabila makna pencak silat sebagai unsur kebudayaan dalam arti luas dipersempit agar aspek olahraga dapat diutamakan. Pada bulan Januari 1961 IPSI dipindahkan dari Jawatan Kebudayaan ke Jawatan Pendidikan Jasmani. Kemudian pada tanggal 31 Desember 1967 IPSI turut aktif dalam mendirikan KONI. Jawatan Pendidikan Jasmani menyelenggarakan Seminar Pencak Silat Seluruh Indonesia yang membahas masalah penyusunan cara pertandingan pencak silat nasional. Kemudian dilakukan uji coba pertandingan bebas full body contact di Solo dan Madiun. Pada tahun yang sama berlangsung PON V di Bandung yang juga mempertandingkan pencak silat.[6]

Pada tahun 1970-an muncul kerangka konseptual dimana induk-induk olahraga beladiri dianggap sebagai alat pertahanan nasional. Sebagai akibatnya cabang-cabang ilmu beladiri mulai ditempatkan di bawah pimpinan tokoh-tokoh militer.

Pada Kongres IPSI IV tahun 1973 di Jakarta, Ketua Umum PB IPSI Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro yang usianya sudah sangat tua diganti oleh Letjen TNI Tjokropranolo, yang di kemudian hari beliau menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Letjen TNI Tjokropranolo atau yang akrab dengan panggilan Bang Nolly ini dulunya adalah pengawal pribadi Panglima Besar Jenderal Soedirman pada masa revolusi nasional Indonesia melawan pendudukan penjajah Belanda. Pada tanggal 20-24 Nopember 1973 diadakan Seminar Pencak Silat III di Bogor, nama Ikatan Pentjak Seluruh Indonesia diubah menjadi Ikatan Pencak Silat Indonesia.[6]

Beliau dengan dibantu oleh beberapa perguruan pencak silat melakukan pendekatan kepada pimpinan PPSI yang akhirnya dalam keputusan Kongres IPSI IV ini PPSI bergabung ke dalam IPSI. Kebetulan ketiga pimpinan PPSI satu korps dengan beliau di Corps Polisi Militer. Perguruan-perguruan tersebut dianggap telah berhasil mempersatukan kembali seluruh jajaran pencak silat ke dalam organisasi IPSI.

Pada masa kepemimpinan Mayjen TNI Eddie Mardjoeki Nalapraya, perguruan-perguruan yang ikut aktif dalam memperjuangkan keutuhan IPSI tersebut diberi istilah Perguruan Historis Pencak Silat dan dijadikan Anggota Khusus IPSI. Mereka dipandang mempengaruhi sejarah dan perkembangan IPSI serta pencak silat pada umumnya antara tahun 1948 dan 1973 dengan memberikan kontribusi kepada kesatuan pemikiran dalam pembentukan organisasi nasional tunggal pencak silat Indonesia yang diberi nama IPSI, kesatuan tekad untuk mempertahankan IPSI sebagai satu-satunya organisasi nasional pencak silat di Indonesia, kesatuan dukungan untuk menjadikan IPSI sebagai anggota KONI, dan kesatuan dukungan untuk memasukkan pencak silat dalam PON sebagai cabang olahraga yang dipertandingkan.[6]


Sampai pertengahan tahun 2020, pencak silat telah menyebar ke 66 negara, diwadahi organisasi sebagai berikut :[9]

Tahun 1982 pencak silat mulai dipertandingkan pada tingkat internasional melalui Invitasi Pencak Silat Internasional ke-1 di Istana Olahraga Senayan, Jakarta. Yang ke-2 diadakan tahun 1984 di Jakarta dan yang ke-3 tahun 1986 di Wina, Austria. Pada tahun 1987, nama ini diganti menjadi Kejuaraan Dunia Pencak Silat yang diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia. Selain Kejuaraan Dunia, pencak silat juga dipertandingkan di SEA Games.[6]

Sebagai usaha memasukkan pencak silat ke Asian Games, IPSI dan anggota Persilat lainnya telah membentuk organisasi pencak silat Asia Pasifik pada bulan Oktober 1999. Pada Asian Games 2002 di Korea Selatan, pencak silat masuk dalam agenda sport cultural event.[6]


>

Pada Munas IPSI tahun 2003, Ketua Umum PB IPSI yang dijabat oleh Mayjen TNI Eddie Mardjoeki Nalapraya digantikan oleh Letjen TNI Prabowo Subianto. Baru pada tahun 2018, pencak silat berhasil menjadi cabang olahraga resmi yang dipertandingkan di Asian Games.

Keanggotaan IPSI

Anggota IPSI adalah perguruan pencak silat.[10]

Keanggotaan IPSI terdiri dari :[11]

  1. Keanggotaan IPSI Pusat
  2. Keanggotaan IPSI Provinsi
  3. Keanggotaan IPSI Kabupaten/Kota
  4. Keanggotaan IPSI Kecamatan

Untuk menjadi anggota IPSI Kecamatan, perguruan pencak silat yang bersangkutan harus mempunyai anggota aktif sekurang-kurangnya 25 orang dan memiliki domisili dan/atau sekretariat yang jelas.[12]

Untuk menjadi anggota IPSI Kabupaten/Kota, perguruan pencak silat yang bersangkutan harus mempunyai jumlah pengurus tingkat kecamatan yang seluruhnya telah menjadi anggota IPSI Kecamatan, sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah IPSI Kecamatan yang terdapat di wilayah kerja IPSI Kabupaten/Kota bersangkutan. Ketentuan ini tidak berlaku bagi Kabupaten/Kota yang belum mempunyai IPSI Kecamatan dan hanya ada satu perguruan pencak silat di wilayahnya, perguruan pencak silat bersangkutan dapat secara langsung mendaftar menjadi anggora IPSI Kabupaten/Kota yang terkait.[12]

Untuk menjadi anggota IPSI Provinsi, perguruan pencak silat yang bersangkutan harus mempunyai jumlah pengurus tingkat cabang yang seluruhnya telah menjadi anggota IPSI Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya setengah dari jumlah IPSI Kabupaten/Kota yang terdapat di wilayah kerja IPSI Provinsi bersangkutan.[12]

Untuk menjadi anggota biasa IPSI Pusat, perguruan pencak silat yang bersangkutan harus mempunyai jumlah wilayah dan/atau cabang yang seluruhnya telah menjadi anggota IPSI Provinsi sekurang-kurangnya setengah ditambah satu IPSI Provinsi.[12]

Untuk mendapatkan keanggotaan IPSI, perguruan pencak silat harus mengajukan surat permohonan dengan mengisi formulir yang dapat diperoleh dari pengurus IPSI setempat dan menyerahkan kembali bersama dengan lampiran-lampiran lain, yaitu :[13]

  1. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga perguruan yang sejiwa dan selaras dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IPSI.
  2. Penjelasan tentang sumber aliran dan sejarah berdirinya perguruan pencak silat bersangkutan.
  3. Susunan pengurus dan jumlah anggota.
  4. Surat pernyataan kesanggupan menjunjung tinggi nama dan kehormatan IPSI dan mendukung serta berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan kebijakan dan program IPSI.

Formulir yang telah diisi dan lampiran-lampirannya diserahkan kepada pengurus IPSI yang bersangkutan, yaitu :[13]

  • Untuk keanggotaan IPSI Pusat kepada PB IPSI
  • Untuk keanggotaan IPSI Provinsi kepada Pengprov IPSI
  • Untuk keanggotaan IPSI Kabupaten/Kota kepada Pengkab/Pengkot IPSI
  • Untuk keanggotaan IPSI Kecamatan kepada Pengcam IPSI

Pengurus IPSI yang bersangkutan melakukan penilaian terhadap kebenaran syarat-syarat dan pengisian formulir keanggotaan IPSI dan lampiran-lampiran yang telah ditentukan.[13]

Apabila semua syarat dan formulir keanggotaan IPSI beserta lampirannya dinilai benar, maka perguruan pencak silat yang bersangkutan diberi sertifikat atau surat keterangan keanggotaan IPSI. Duplikat sertifikat tersebut dikirim kepada pengurus IPSI setingkat di atasnya dan kepada PB IPSI.[13]

Berdasarkan AD/ART IPSI IPSI hasil Munas XIV tahun 2016, terdapat 16 perguruan pencak silat yang terdaftar sebagai anggota IPSI Pusat, yang terdiri dari 10 anggota khusus dan 6 anggota biasa sebagai berikut :[14]


  1. Persaudaraan Setia Hati
  2. Persaudaraan Setia Hati Terate
  3. Keluarga Silat Nasional Indonesia Perisai Diri
  4. Perguruan Silat Nasional Perisai Putih
  5. Perguruan Seni Beladiri Indonesia Tapak Suci Putera Muhammadiyah
  6. Perguruan Pencak Silat Phashadja Mataram
  7. Perguruan Pencak Indonesia Harimurti
  8. Persatuan Pencak Silat Indonesia
  9. Persatuan Pencak Silat Putra Betawi
  10. Keluarga Pencak Silat Nusantara (KPS Nusantara)
      • Dibawah ini adalah Organisasi yang masuk IPSI setelah Pembentukan IPSI
  1. Perguruan Pencak Silat Bela Diri Tangan Kosong Merpati Putih
  2. Perguruan Pencak Silat Satria Muda Indonesia
  3. Perguruan Silat Nasional ASAD (Persinas ASAD)
  4. Pencak Silat Tenaga Dasar Indonesia
  5. TETADA Kalimasada Indonesia
  6. Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa

Kedudukan sebagai anggota biasa di tingkat IPSI Pusat dan anggota di tingkat IPSI Provinsi dapat dilakukan evaluasi tentang terpenuhinya syarat-syarat untuk menjadi anggota.[14]

Referensi

  1. ^ a b Pasal 2 Anggaran Dasar IPSI
  2. ^ Pasal 6 Anggaran Dasar IPSI
  3. ^ Pasal 7 Anggaran Dasar IPSI
  4. ^ Pasal 4 Anggaran Dasar IPSI
  5. ^ Murhananto. 1993. Menyelami Pencak Silat. Jakarta: Puspa Swara.
  6. ^ a b c d e f g h i j k l m n Maryono, O’ong. 1999. Pencak Silat Merentang Waktu. Yogyakarta: Galang Press.
  7. ^ a b c Win, Agus. 2016. Nunchaku Pencak Silat. Yogyakarta: Diandra Kreatif.
  8. ^ "Situsweb Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia". Diakses tanggal 25 Desember 2021. 
  9. ^ "Situsweb Persilat International Pencak Silat Federation". Diakses tanggal 25 Desember 2021. 
  10. ^ Pasal 11 Anggaran Dasar IPSI
  11. ^ Pasal 1 Anggaran Rumah Tangga IPSI
  12. ^ a b c d Pasal 5 Anggaran Rumah Tangga IPSI
  13. ^ a b c d Pasal 6 Anggaran Rumah Tangga IPSI
  14. ^ a b Pasal 4 Anggaran Rumah Tangga IPSI

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya