Kaisar Meiji
Mutsuhito (Jepang: 睦仁 , 3 November 1852 – 30 Juli 1912), secara anumerta dihormati sebagai Kaisar Meiji[a] (明治天皇 , Meiji-tennō), adalah Kaisar Jepang ke-122, menurut urutan suksesi tradisional. Memerintah dari tahun 1867 hingga kematiannya, ia adalah Kaisar ke-122 Kekaisaran Jepang dan memimpin era Meiji. Pemerintahannya dikaitkan dengan Restorasi Meiji, serangkaian perubahan cepat yang menyaksikan transformasi Jepang dari negara isolasionis, feodal menjadi kekuatan dunia industri. Pada saat kelahiran Kaisar Meiji pada tahun 1852, Jepang merupakan negara feodal pra-industri yang didominasi oleh isolasionis Keshogunan Tokugawa dan daimyō yang tunduk padanya, yang memerintah 270 domain yang terdesentralisasi di negara ini.[2] Pada saat kematiannya, Jepang telah mengalami revolusi politik, ekonomi, dan sosial yang luas dan muncul sebagai salah satu kekuatan besar di kancah dunia. The New York Times merangkum transformasi ini pada pemakaman kaisar pada tahun 1912: "perbedaan antara keadaan sebelum mobil pemakaman dan setelahnya sungguh mencolok. Sebelumnya Jepang bergaya lama; namun kini muncul sebuah gaya Jepang yang baru."[3] Sejak zaman modern, ketika seorang kaisar Jepang meninggal, ia diberi nama anumerta. Nama tersebut merupakan kombinasi dari era di mana ia memerintah dan bertepatan dengan kontribusi kaisar terhadap takhta saat ia masih hidup. Oleh karena itu, selama hidupnya ia dikenal publik hanya sebagai "Kaisar", namun secara historis ia dikenal sebagai "Kaisar Meiji" setelah kematiannya, nama tersebut secara resmi diberikan kepadanya pada 27 Agustus 1912.[4] Ia memperoleh gelar saat ini sehubungan dengan era Meiji, yang berlangsung hampir sepanjang masa pemerintahannya. Nama pribadinya (yang tidak digunakan dalam konteks formal atau resmi apa pun, kecuali tanda tangannya) adalah Mutsuhito (睦仁 ). Ia juga merupakan kaisar pertama yang memerintah di bawah sistem "satu kaisar, satu nama era." (一世一元), dimana suatu era berakhir hanya dengan kematian atau turun takhta kaisar, sedangkan sebelumnya, suatu era dapat berubah pada pertengahan masa pemerintahan setelah peristiwa penting, seperti bencana.[5] Latar belakangKeshogunan Tokugawa didirikan pada awal abad ke-17.[6] Jepang diperintah oleh shogun yang berasal dari klan Tokugawa. Kira-kira 180 tuan tanah yang disebut daimyo menguasai domain feodal yang disebut han. Daimyo tunduk kepada shogun yang kadang-kadang memanggil daimyo untuk meminta hadiah, tetapi daimyo tidak terkena pajak. Shogun menguasai para daimyo dengan banyak cara, hanya shogun yang dapat menyetujui perkawinan mereka, dan shogun dapat mencabut hak atas tanah feodal milik daimyo.[7] Pada tahun 1615, Tokugawa Ieyasu, shogun pertama Tokugawa yang secara resmi sudah pensiun dari jabatannya, bersama putranya pejabat shogun tituler Tokugawa Hidetada mengeluarkan kode etik bangsawan. Berdasarkan kode etik tersebut, kaisar diharuskan mengabdikan waktunya untuk ilmu dan seni.[8] Para kaisar di bawah keshogunan tampak sangat patuh dengan kode etik ini, mereka mempelajari buku klasik Konfusianisme dan mengabdikan waktu menulis puisi dan kaligrafi.[9] Mereka hanya diajarkan dasar-dasar sejarah dan geografi Jepang serta Tiongkok.[9] Shogun tidak meminta persetujuan atau nasihat dari kaisar untuk keputusan yang diambilnya.[10] Kaisar-kaisar hampir tidak pernah meninggalkan kompleks istana Gosho di Kyoto, kecuali bila sudah pensiun atau perlu berlindung di kuil ketika istana sedang kebakaran.[11] Beberapa kaisar hidup panjang umur hingga pensiun. Dari lima pendahulu Kaisar Meiji, hanya kakeknya yang hidup hingga usia empat puluhan, dan meninggal dunia pada usia 46 tahun.[10] Keluarga kekaisaran menderita tingkat mortalitas anak yang sangat tinggi. Semua kakak perempuan atau kakak laki-laki dari lima kaisar meninggal dunia sewaktu masih kecil, dan hanya lima dari lima belas anak-anaknya yang mencapai usia dewasa.[10] Tidak lama setelah berkuasa pada awal abad ke-17, pejabat keshogunan (biasa disebut bakufu) menghentikan semua perdagangan Jepang dengan dunia Barat, dan melarang misionaris untuk datang ke Jepang. Hanya orang Belanda yang diperbolehkan untuk terus berdagang dengan Jepang. Mereka memiliki sebuah pos perdagangan di pulau Dejima, Nagasaki.[12] Meskipun demikian, kapal-kapal Amerika dan Eropa pada awal abad ke-19 makin sering muncul di perairan sekitar Jepang.[13] Masa kecilMutsuhito dilahirkan 3 November 1852 di sebuah rumah kecil milik kakek dari pihak ibu di ujung utara Gosho. Pada masa itu, kelahiran dipercaya sebagai sesuatu yang kotor, oleh karena itu, pangeran-pangeran tidak dilahirkan di istana, tetapi biasanya di bangunan, sering bangunan sementara, di dekat rumah ayah dari wanita yang melahirkan. Ibu Mutsuhito bernama Nakayama Yoshiko, adalah selir (gon no tenji) dari Kaisar Kōmei, anak dari pejabat penasihat utama Nakayama Tadayasu.[14] Pangeran muda ini diberi nama Sachinomiya, atau Pangeran Sachi.[15] Mutsuhito lahir ketika Jepang sedang mengalami perubahan besar. Perubahan tersebut terjadi setelah Komodor Matthew Perry dan armada kapal perang Amerika Serikat yang disebut Jepang "Kapal Hitam" tiba di pelabuhan Edo pada bulan Juli 1853. Perry memaksa Jepang untuk membuka pelabuhan untuk perdagangan dengan kapal-kapal asing, dan mengancam Jepang dengan kekuatan militer bila mereka tidak setuju.[16] Semasa krisis akibat kedatangan Komodor Perry, Keshogunan Tokugawa berkonsultasi dengan Istana Kekaisaran, sebuah tindakan yang tidak biasa dilakukan keshogunan. Menurut pendapat pejabat-pejabat yang membantu Kaisar Kōmei, mereka merasa Amerika harus diizinkan untuk berdagang dan meminta agar pihak kekaisaran lebih dulu diberitahu tentang langkah-langkah yang akan diambil keshogunan kalau Perry kembali lagi ke Jepang. Permintaan tersebut awalnya dituruti oleh keshogunan, dan untuk pertama kalinya dalam setidaknya 250 tahun, mereka berkonsultasi dengan Istana Kekaisaran sebelum mengambil keputusan.[17] Keshogunan merasa Jepang tidak akan memenangkan perang, sehingga pemerintah Jepang mengizinkan perdagangan dan tunduk terhadap perjanjian yang disebut sebagai "Perjanjian Tidak Adil", melepaskan otoritas tarif dan hak untuk mengadili orang asing di pengadilan Jepang.[16] Kerelaan keshogunan untuk berkonsultasi dengan istana hanya berumur pendek. Pada tahun 1858, pihak istana diberi tahu tentang sudah ditandatanganinya Perjanjian Persahabatan dan Perdagangan dengan Amerika, bersama sebuah surat yang menyatakan bahwa mengingat sedikitnya waktu, sulit untuk keshogunan untuk berkonsultasi. Kaisar Kōmei begitu marah hingga ia mengancam untuk turun takhta. Meskipun demikian, untuk turun takhta, kaisar perlu mendapat persetujuan dari shogun.[18] Masa kecil Kaisar Meiji banyak diketahui dari kesaksian-kesaksian di kemudian hari. Kisah-kisah yang ditulis oleh penulis biografinya, Donald Keene sering kontradiktif. Salah satu kisah kontemporer tentang masa kecilnya menggambarkan dirinya sebagai pangeran muda yang sehat dan kuat, agak suka mengganggu dan sangat berbakat dalam sumo. Kisah lain mengatakan pangeran sangat rapuh dan sering sakit. Beberapa penulis biografi mengatakan kalau dia pingsan ketika pertama kali mendengar tembakan senjata api, sedangkan penulis lain menyangkal kisah tersebut.[19] Pada 16 Agustus 1860, Sachinomiya dinyatakan sebagai pangeran pewaris takhta, dan secara resmi diadopsi oleh permaisuri ayahnya. Kemudian pada tahun yang sama, tanggal 11 November, ia diangkat sebagai putra mahkota dan diberi nama dewasa, Mutsuhito.[20] Ia mulai mendapat pendidikan pada usia 7 tahun.[21] Ia membuktikan diri sebagai siswa kurang perhatian, dan di kemudian hari menulis puisi menyesali dirinya yang seharusnya lebih mendalami latihan menulis.[22] Kerusuhan dan naik takhtaPada awal 1860-an, keshogunan berada di bawah sejumlah ancaman. Perwakilan dari negara-negara asing ingin meningkatkan pengaruhnya di Jepang. Daimyo makin banyak yang tidak puas dengan cara keshogunan menangani urusan luar negeri. Sejumlah besar samurai muda yang dikenal sebagai shishi atau "pria bertujuan luhur" mulai mengadakan pertemuan dan menyuarakan perlawanan terhadap keshogunan. Para shishi menghormati Kaisar Kōmei dan memilih aksi kekerasan langsung untuk menyembuhkan penyakit sosial. Meski pada awalnya mereka menginginkan kematian atau pengusiran semua orang asing, shishi kemudian berubah menjadi lebih pragmatis, dan mulai menganjurkan modernisasi negara.[23] Keshogunan melakukan sejumlah upaya untuk menyenangkan berbagai kelompok, dan berharap dapat mengadu domba antara shishi dan daimyo.[24] Kyoto adalah pusat utama berkumpulnya shishi yang memiliki pengaruh terhadap Kaisar Kōmei. Pada tahun 1863, mereka berhasil membujuk kaisar untuk mengeluarkan "perintah mengusir orang barbar". Perintah tersebut menempatkan keshogunan dalam posisi sulit, karena mereka kekurangan tenaga untuk melaksanakannya. Beberapa serangan dilakukan terhadap orang-orang asing atau kapal-kapal mereka, dan pasukan asing membalasnya. Pasukan keshogunan berhasil mengusir hampir semua shishi dari Kyoto, dan upaya mereka untuk kembali pada tahun 1864 berhasil digagalkan. Meskipun demikian, kerusuhan sudah menjalar ke seluruh Jepang.[24] Tidak diketahui pasti apakah Mutsuhito muda sadar tentang adanya kemelut politik.[25] Pada waktu itu, ia sedang belajar puisi tanka, pertama dari ayahnya, lalu dari pujangga-pujangga istana.[26] Sewaktu ia meneruskan pendidikan klasiknya pada tahun 1866, Tokugawa Yoshinobu terpilih sebagai shogun baru. Shogun Yoshinobu adalah seorang reformis yang ingin mengubah Jepang menjadi negara ala Barat dan menjadi shogun terakhir Jepang. Yoshinobu mendapat perlawanan dari kalangan keshogunan sendiri, sejalan dengan berlanjutnya aksi-aksi militer dan kerusuhan. Pada pertengahan tahun 1866, tentara keshogunan dikirim untuk memadamkan pemberontakan di Jepang selatan, namun berakhir dengan kekalahan tentara keshogunan.[27] Kaisar Kōmei memiliki kondisi kesehatan yang prima, dan baru berusia 36 tahun pada Januari 1867 ketika ia jatuh sakit parah. Meskipun ia tampaknya agak sembuh, tetapi keadaannya tiba-tiba memburuk dan meninggal dunia pada 30 Januari 1867. Sebagian sejarawan percaya Kaisar Kōmei diracuni, perkiraan yang lumrah pada zaman itu: Diplomat Britania Raya Sir Ernest Satow menulis, "sulit untuk disangkal bahwa menghilangnya [Kaisar Komei] dari panggung politik, meninggalkan seorang anak laki-laki berusia lima belas atau enam belas [sebenarnya empat belas], sebagai penggantinya adalah yang paling tepat".[28] Putra Mahkota Mutsuhito secara resmi naik takhta pada 3 Februari 1867 dengan sebuah upacara singkat di Kyoto.[29] Sebagai kaisar baru, ia meneruskan pendidikan klasik yang tidak memasukkan urusan politik. Pada saat bersamaan, Shogun Yoshinobu sedang berjuang untuk mempertahankan kekuasaan. Ia berulang kali meminta persetujuan kaisar untuk tindakan-tindakannya, yang akhirnya ia terima. Namun, tidak ada indikasi kalau kaisar yang masih muda itu ikut serta dalam pengambilan keputusan. Sementara itu, para shishi dan pemberontak lainnya terus membentuk visi mereka untuk Jepang baru. Meski mereka mendukung kaisar, mereka tidak berpikiran untuk membuatnya berperan aktif dalam proses politik.[30] Perjuangan politik mencapai klimaksnya pada akhir 1867. Pada bulan November, persetujuan dengan keshogunan tercapai. Yoshinobu masih dapat mempertahankan gelar shogun dan sejumlah kekuasaannya, tetapi kekuasaan legislatif akan diberikan kepada badan legislatif bikameral berdasarkan model Britania. Pada bulan berikutnya, perjanjian tersebut batal setelah para pemberontak berbaris ke Kyoto, dan mengambil alih Istana Kekaisaran.[31] Pada 4 Januari 1868, kaisar secara seremonial membacakan sebuah dokumen di hadapan istana memproklamasikan "restorasi" atau pemulihan kekuasaan kekaisaran.[32] Pada bulan berikutnya, dokumen-dokumen tersebut dikirim ke negara-negara asing:[31]
Yoshinobu mencoba untuk melawan untuk waktu singkat, namun baru pada akhir tahun 1869, kubu pertahanan terakhir keshogunan akhirnya dikalahkan.[31] Pada bulan sembilan tahun berikutnya, nama zaman diganti menjadi Meiji, atau "pemerintahan terang" yang nantinya dipakai sebagai nama anumerta Kaisar Mutsuhito. Peristiwa ini menandai dimulainya tradisi penamaan zaman di Jepang sesuai dengan masa pemerintahan kaisarnya, dan menyebut nama kaisar yang sudah meninggal dunia dengan nama era pemerintahannya. Segera setelah naik takhta, pejabat-pejabat istana mencalonkan Ichijō Haruko sebagai calon permaisuri. Ia adalah anak perempuan dari seorang pejabat istana yang berusia tiga tahun lebih tua dari kaisar yang masih harus menunggu hingga selesai gembuku (upacara kedewasaan) sebelum dapat menikah. Keduanya menikah pada 11 Januari 1869.[34] Istri dari Kaisar Meiji, setelah meninggal dunia disebut Permaisuri Shōken, sekaligus permaisuri kaisar yang pertama kali menerima gelar kōgō (arti harfiah: istri kaisar, diterjemahkan sebagai Permaisuri) setelah ratusan tahun sebelumnya. Meski Permaisuri Shōken bukan permaisuri kaisar yang pertama kali menjalankan tugas kenegaraan, ia tidak dikaruniai keturunan. Lima belas anak Kaisar Meiji dilahirkan oleh lima selir resmi. Hanya lima anak di antaranya yang hidup hingga dewasa: seorang pangeran anak dari Putri Naruko (1855–1943, anak dari Yanagiwara Mitsunaru), dan empat putri yang dilahirkan Putri Sachiko (1867–1947, anak tertua Pangeran Sono Motosachi). Nama anak-anak Kaisar Meiji:
Era MeijiKonsolidasi kekuasaanWalaupun keshogunan terusir, para pemberontak tidak sempat menyusun pemerintah pusat yang efektif. Pada 23 Maret 1868, utusan negara-negara asing untuk pertama kalinya diizinkan mengunjungi Kyoto dan beraudiensi dengan kaisar[35] Pada 7 April 1868, kebijakan dasar pemerintah Meiji dinyatakan dalam Sumpah Tertulis Lima Pasal yang isinya berupa lima butir pernyataan tentang karakteristik pemerintah baru, dimaksudkan untuk merangkul pihak-pihak yang belum mendukung rezim baru. Dokumen tersebut kemudian diumumkan secara resmi oleh kaisar, isinya menghapus feodalisme dan menyatakan pembentukan pemerintah demokrasi modern di Jepang. Sumpah Tertulis Lima Pasal nantinya dikutip oleh Kaisar Hirohito dalam Deklarasi Humanitas sebagai dukungannya untuk perubahan yang ditetapkan dalam Pemerintah Jepang setelah Perang Dunia II.[36] Pada pertengahan Mei, untuk pertama kalinya sejak masa kecilnya, Kaisar Meiji keluar dari kompleks istana di Kyoto untuk menjadi komandan tentara yang mengejar sisa-sisa tentara keshogunan. Perjalanan dilakukan dalam iring-iringan yang lambat, perjalanan dari Kyoto ke Osaka memakan waktu tiga hari, melalui jalan-jalan yang sudah dipenuhi oleh barisan penonton.[37] Di Osaka sedang tidak ada perang, pemimpin pemerintah baru ingin kaisar lebih banyak tampil di depan rakyatnya dan utusan negara asing. Pada akhir Mei, setelah dua minggu di Osaka (dalam suasana yang kurang formal dibandingkan di Kyoto), kaisar pulang ke Kyoto.[38] Tidak lama setelah tiba kembali di Kyoto, istana mengumumkan bahwa kaisar akan mulai memimpin semua urusan negara, sedangkan studi sastra lebih lanjut akan dilakukan pada waktu luang.[39] Baru mulai tahun 1871, buku-buku pelajaran kaisar berisi materi mengenai urusan kontemporer.[40] Pada 19 September 1868, kaisar mengumumkan penggantian nama kota Edo menjadi Tokyo, atau "ibu kota timur". Ia secara resmi dimahkotai di Kyoto pada 15 Oktober (upacara yang ditunda dari tahun sebelumnya akibat ketidakstabilan dalam negeri). Tidak lama sebelum naik takhta, ia mengumumkan era baru atau nengō (nama zaman) yang disebut Meiji atau "pemerintahan terang". Sebelumnya, nama zaman sering diganti berulang kali sepanjang masa pemerintahan seorang kaisar. Mulai saat itu, ia mengumumkan hanya akan ada satu nengō untuk satu masa pemerintahan.[41] Tidak lama setelah naik takhta, kaisar melakukan perjalanan ke Tokyo lewat jalan Tōkaidō, sekaligus kunjungan pertamanya ke Tokyo. Ia tiba pada akhir November, dan mulai memperpanjang masa tinggalnya di Tokyo. Kaisar menghadiahkan sake kepada penduduk Tokyo yang menanti-nantikan kunjungan kekaisaran. Tokyo (Edo) adalah ibu kota keshogunan, dan penduduk khawatir kotanya mengalami kemunduran setelah dihapuskannya keshogunan.[42] Namun baru pada tahun 1889, keputusan akhir diambil untuk memindahkan ibu kota ke Tokyo.[43] Sewaktu berada di Tokyo, kaisar untuk pertama kalinya menaiki kapal angkatan laut Jepang, dan keesokan harinya memberi instruksi untuk mempelajari cara-cara memperkuat angkatan laut Jepang.[44] Segera setelah tiba kembali di Kyoto, sebuah titah dikeluarkan atas nama kaisar (tapi kemungkinan besar ditulis oleh pejabat istana). Isinya menunjukkan niat kaisar untuk terlibat dalam urusan pemerintahan, dan memang ia menghadiri rapat-rapat kabinet dan tugas-tugas pemerintahan yang jumlahnya tidak terhitung, meskipun jarang berbicara, hampir hingga hari kematiannya.[45] Reformasi politikTokoh-tokoh revolusioner mengatur diri mereka dalam sebuah Dewan Negara dan kemudian menjadi sebuah sistem pemerintahan yang dipimpin tiga menteri utama. Sistem ini bertahan hingga diciptakannya jabatan perdana menteri yang memimpin sebuah kabinet model Barat pada tahun 1885.[46] Pada awalnya, kelangsungan kaisar bahkan tidak jelas, pemimpin revolusioner Gotō Shojiro kemudian hari menyatakan bahwa beberapa pejabat "takut para ekstremis mungkin bertindak lebih jauh dan menghapus Mikado".[47] Pemimpin-pemimpin baru Jepang berusaha melakukan reformasi sistem tambal sulam domain yang diperintah oleh daimyo. Pada tahun 1869, beberapa daimyo yang sebelumnya mendukung revolusi menyerahkan tanah-tanah mereka kepada kaisar, dan ditunjuk kembali sebagai gubernur dengan gaji cukup. Pada tahun berikutnya, tindakan itu diikuti semua daimyo lainnya. Pada tahun 1871, kaisar mengumumkan bahwa semua domain dihapus, dan Jepang dibagi menjadi 72 prefektur. Mantan daimyo diberi gaji tahunan setara hingga sepuluh persen dari pendapatan mereka sebelumnya (yang tidak perlu lagi dikurangi biaya pemerintahan), tetapi mereka diharuskan pindah ke ibu kota baru, Tokyo. Sebagian besar dari mereka pensiun dari dunia politik.[48] Pemerintah baru secara bertahap menghapus sebagian besar hak istimewa samurai, termasuk hak mereka untuk mendapat uang saku dari pemerintah. Namun tidak seperti para daimyo, samurai banyak yang menderita secara finansial dari perubahan ini. Sebagian besar pembedaan berdasarkan kelas dihapus. Diskriminasi legal terhadap burakumin diakhiri. Meskipun demikian, sebagian di antara mereka tetap menderita diskriminasi di Jepang hingga kini.[49] Ketika Parlemen Jepang bentuk saja dibentuk, dewan ini tidak memiliki kekuasaan riil dan begitu pula kaisar. Keshogunan Tokugawa mendistribusikan kekuasaan ke tangan-tangan daimyo dan samurai lainnya yang memimpin restorasi. Jepang waktu itu dikendalikan oleh Genrō atau sebuah oligarki yang terdiri dari tokoh-tokoh paling berpengaruh dari kalangan militer, politik, dan ekonomi. Kekuasaan politik Kaisar Meiji ternyata bertahan lama dibandingkan kaisar-kaisar sebelumnya. Kaisar Meiji adalah kaisar pertama Jepang yang tetap bertakhta setelah usia 50 tahun setelah Kaisar Ōgimachi turun takhta pada tahun 1586. Orang Jepang sangat bangga dengan Restorasi Meiji karena restorasi dan industrialiasi yang menyertainya menjadikan Jepang sebagai kekuatan unggul di Pasifik dan sebagai salah satu negara utama di dunia hanya dalam satu generasi. Walaupun demikian, peran Kaisar Meiji masih terus dapat diperdebatkan. Ia memang dapat mengendalikan Jepang, tetapi seberapa besar pengaruhnya tidak diketahui. Perannya juga tidak akan pernah jelas apakah memang mendukung Perang Sino-Jepang (1894–1895) dan Perang Rusia-Jepang (1904–1905). Perasaan pribadi Kaisar Meiji antara lain dituangkannya ke dalam puisi, yang isinya tampak menunjukkan kesan pasifisme, atau sedikitnya dari seorang laki-laki yang berharap perang dapat dihindari. Ia menggubah puisi tanka bernada pasifisme berikut ini:
Menjelang akhir hidup Kaisar Meiji, beberapa anarkis, termasuk Kotoku Shusui dieksekusi (1911) dengan dakwaan telah bersekongkol menyusun rencana membunuh kaisar. Persekongkolan ini disebut Insiden Pengkhianatan Besar (1910). KematianKaisar Meiji menderita diabetes, nefritis, dan gastroenteritis, meninggal karena uremia pada usia 59 tahun. Meskipun pengumuman resmi Kantor Badan Rumah Tangga Kekaisaran mengatakan Kaisar Meiji meninggal dunia pada 30 Juli 1912 pukul 00.43, ia sebenarnya meninggal dunia di istana pada pukul 22.40 tanggal 29 Juli 1912.[51] Setelah kematiannya, Parlemen Jepang pada tahun 1912 mengeluarkan resolusi untuk memperingati perannya dalam Restorasi Meiji.[52] Sebuah taman Iris germanica di Tokyo yang pernah dikunjungi Kaisar Meiji dan Permaisuri Shoken dipilih sebagai lokasi pembangunan kuil Shinto bernama Meiji-jingu. Referensi
Catatan Kaki
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Meiji Emperor. Wikisource Inggris memiliki teks asli yang berkaitan dengan artikel ini:
|