Share to:

 

Mundinglaya Dikusumah

Mundinglaya Dikusumah adalah cerita rakyat dari masyarakat Sunda. Cerita rakyat tersebut menceritakan kehidupan seorang pangeran yang kemudian diangkat menjadi raja saat Prabu Siliwangi memerintah kerajaan tersebut. Kerajaan Sunda sendiri sering disebut oleh orang Sunda sebagai Pajajaran (nama ibu kota kerajaan) setelah Cirebon dan Banten memisahkan diri dari kerajaan tersebut.

Sumber

Cerita rakyat ini berasal dari tradisi lisan orang Sunda yang disebut cerita pantun, yang kemudian ditulis dalam bentuk buku oleh para penulis Sunda baik dalam Bahasa Sunda maupun Bahasa Indonesia).[1] karya-karya roman yang mengadopsi cerita pantun Mundinglaya Dikusumah di antaranya

  • Pasini Jangji di Muaraberes karya Rohmat Tasdik Al-Garuti (dalam tiga bahasa: Sunda, Indonesia, dan Inggris)

Rangkuman

Keluarga Kerajaan Pajajaran

Prabu Siliwangi memiliki dua orang istri yaitu Nyimas Tejamantri dan Nyimas Padmawati yang menjadi permaisuri. Dari perkawinannya dengan Nyimas Tejamantri, mereka memiliki seorang putra, yaitu Pangeran Guru Gantangan. Sementara itu, dari pernikahannya dengan Permaisuri Nyimas Padmawati, dilahirkan Pangeran Mundinglaya. Terdapat perbedaan usia yang signifikan antara kedua pangeran tersebut; ketika Pangeran Guru Gantangan telah memegang posisi sebagai bupati di Kutabarang dan menikah dengan Nyimas Ratna Inten, Pangeran Mundinglaya masih dalam masa pertumbuhan.

Karena tidak mempunyai anak, pangeran Guru Gantangan menangkat seorang anak yang diberi nama Sunten Jaya. Guru Gantangan juga tertarik untuk merawat Mundinglaya sebagai anaknya. Saat pangeran Guru Gantangan meminta Mundinglaya dari permaisuri Nyimas Padmawati, permaisuri memberikannya karena mengetahui bahwa pangeran Guru Gantangan sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.

Konflik Keluarga Kerajaan

Saat pangeran Mundinglaya dewasa, pangeran Guru Gantangan lebih menyayangi pangeran Mundinglaya daripada pangeran Sunten Jaya. Hal ini disebabkan perbedaan sifat antara pangeran Mundinglaya dan pangeran Sunten Jaya. Pangeran Mundinglaya selain rupawan juga baik budi pekertinya sedangkan anak angkat-nya bersifat angkuh dan manja. Hal ini membuat iri pangeran Sunten Jaya, terlebih lagi ibu mereka juga sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.

Sayangnya perhatian istri pangeran Guru Gantangan memberikan perhatian yang sangat berlebihan terhadap pangeran Mundinglaya sehingga pangeran Guru Gantangan akhirnya juga cemburu. Hal ini berakibat Mundinglaya dijebloskan kedalam penjara oleh saudaranya itu dengan alasan bahwa pangeran Mundinglaya mengganggu kehormatan wanita. Keputusan ini menjadikan masyarakat dan bangsawan Pajajaran terpecah dua, ada yang menyetujui dan ada yang menentang keputusan tersebut sehingga mengancam ketentraman kerajaan ke arah permusuhan antar saudara.

Mimpi Permaisuri

Di dalam periode yang tidak stabil ini. Pada suatu malam, permaisuri Nyimas Padmawati bermimpi melihat tujuh guriang, mahluk yang tinggal di puncak gunung. Salah satu di antara mereka ada yang membawa jimat yang disebut Layang Salaka Domas. Di dalam mimpinya, para guriang berkata bahwa Pajajaran akan tenteram hanya jika seorang kesatria dapat mengambilnya dari Jabaning Langit.

Segera setelah bangun pada pagi harinya, permaisuri menceritakan mimpi itu kepada raja. Prabu Siliwangi tertarik dengan mimpi permaisuri dan segera meminta seluruh rakyat dan bangsawan, termasuk pangeran Guru Gantangan dan pangeran Sunten Jaya, untuk berkumpul di depan halaman istana untuk membahas mimpinya permaisuri. Setelah seluruhnya berkumpul, sang raja menayakan apakah ada seorang kesatria yang berani pergi ke Jabaning Langit untuk mengambil jimat Layang Salaka Domas.

Tidak ada satupun yang menjawab, termasuk Pangeran Sunten Jaya. Dia takut akan berhadapan dengan Jonggrang Kalapitung, seorang raksasa berbahaya yang selalu menghalangi jalan ke puncak gunung. Setelah beberapa saat, Patih Lengser kemudian angkat bicara dan memberitahukan bahwa setiap orang telah mendengarkan apa yang disampaikan oleh sang raja, kecuali satu orang, karena dia berada dalam penjara. Orang ini adalah pangeran Mundinglaya. Mendengar ini, raja memerintahkan agar pangeran Mundinglaya dibawa menghadap. Patih Lengser kemudian meminta izin pangeran Guru Gantangan untuk melepaskan pangeran Mundinglaya.

Tawaran Untuk Mundinglaya

Saat pangeran Mundinglaya sudah berada di hadapannya, sang raja menanyakan apakah Mundinglaya mau mengambil jimat Layang Salaka Domas, yang diperlukan untuk mencegah negara dari kehancuran akibat malapetaka. Karena Layang Salaka Domas penting bagi keselamatan negara, Mundinglaya bersedia pergi untuk mencarinya.

Baik sang raja, para bangsawan, dan masyarakat sangat senang mendengar jawaban ini. Bagi pangeran Mundinglaya, tugas ini juga berarti kebebasan jika dia berhasil mendapatkan Layang Salaka Domas. Sementara bagi pangeran Sunten Jaya ini berarti menyingkirkan musuhnya, karena dia yakin bahwa pamannya akan dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung.

Namun pangeran Sunten Jaya tidak bersedia melepaskan Mundinglaya begitu saya. Dia khawatir bila Mundinglaya dibiarkan pergi sekarang, tidak akan ada jaminan bahwa dia akan kembali. Pengeran Sunten Jaya kemudian mengusulkan bila Mundinglaya tidak kembali setelah sebulan, ibunya, Nyimas Padmawati akan dipenjarakan di dalam istana.

Semua orang terkejut mendengar permintaan ini. Prabu Siliwangi menerukan usuluan ini ke pangeran Mundinglaya, dan sang pangeran berjanji akan kembali dalam sebulan.

Pertemuan Di Muara Beres

Dalam beberap minggu, pangeran Mundinglaya diajari oleh Patih Lengser ilmu perang dan cara menggunakan berbagai senjata sebagai persiapan untuk menghadapi rintangan yang akan ditemui selama perjalanan ke Jabaning Langit. Kemudian pangeran Mundinglaya meninggalkan Pajajaran. Karena dia tidak pernah keluar dari ibu kota tersebut, pangeran Mundinglaya tidak mengetahui jalan ke Jabaning Langit. Dengan berserah diri kepada Tuhan, sang pangeran pergi melewati berbagai hutan lebat untuk menemukan Jabaning Langit dan bertemu dengan para guriang.

Dalam perjalanan, pangeran Mundinglaya melewati kerajaan kecil Muara Beres (atau Tanjung Barat) yang merupakan bawahan dari Pajajaran. Disana pangeran Mundinglaya bertemu dan jatuh hati dengan putri kerajaan yang bernama Dewi Kania atau Dewi Kinawati. Mereka saling berjanji akan bertemu lagi setelah pangeran Mundinglaya berhasil menjalankan tugas dari Prabu Siliwangi untuk memperoleh jimat layang salaka domas.

Raksasa Jonggrang Kalapitung

Pangeran Mundinglaya meneruskan perjalanannya. Tiba-tiba di tengah perjalanan dia dicegat oleh raksasa Jonggrang Kalapitung yang berdiri di depannya. Si raksasa menanyakan mengapa dia memasuki wilayahnya dan mengancam akan menyantap sang pangeran.

Pangeran Mundinglaya menjawabnya dengan tantangan. Jonggrang Kalapitung menubruknya tetapi pangeran Mundinglaya berkelit. Berkali-kali si raksasa menyerang pangeran Mundinglaya, tetapi lagi dan lagi jatuh ke tanah sampai akhirnya kehabisan napas.

Dengan kerisnya, pangeran Mundinglaya mengancam musuhnya, menanyakan lokasi Jabaning Langit. Jonggrang Kalapitung menjawab bahwa Jabaning Langit ada di dalam dirinya. Berpikiran bahwa si raksasa berbohong, pangeran Mundinglaya menekankan keris lebih dalam ke leher si raksasa dan menanyakan lagi. Setelah si Jonggrang Kalapitung menjawab bahwa Jabaning Langit ada di dalam hati sang pangeran. dia melepaskan raksasa tersebut, sambil memberikan ultimatum untuk tidak mengganggu rakyat Pajajaran lagi. Jonggrang Kalapitung menurutinya dan dan meninggalkan Pajajaran selamanya.

Tujuh Guriang

Ketika dia pergi, pangeran Mundinglaya menemukan suatu tempat untuk beristirahat dan berdoa meminta tolong kepada Tuhan untuk diberikan jalan. Setelah doanya dia merasakan seolah-olah terangkat dari tempatnya dan terbang ke suatu tempat yang sangat terang. Di sana dia diterima oleh tujuh guriang, mahluk-mahluk supranatural yang menjaga Layang Salaka Domas.

Mereka bertanya kepada pangeran Mundinglaya mengapa berani datang ke Jabaning Langit. Sang pangeran menjawab bahwa ia datang mengambil Layang Salaka Domas yang diperlukan oleh negaranya sebagai obat untuk mencegah permusuhan antar saudara. Akan banyak orang menderita dan mati memperebutkan yang tidak jelas.

Para guriang menghargai pangeran Mundinglaya, tetapi mereka tidak dapat memberimu Layang Salaka Domas karena ini bukan untuk manusia. Mereka kemudian menawarkan kalau pemberian lain seperti seorang putri cantik atau kesejahteraan, atau bahkan dapat menjadikannya manusia tersuci di dunia.

Pangeran Mundinglaya menolak semua itu karena yang dia inginkan hanyalah kedamaian bagi Pajajaran terlibat dalam perang. Mendengar itu para guriang menantang Pangeran Mundinglaya untuk merebutnya dari mereka.

Pemberian Layang Salaka Domas

Karena para guriang sangat kuat, pangeran Mundinglaya terjatuh dan meninggal. Segera setelah itu, muncullah Nyi Pohaci, mahluk supertanatural lainnya, yang menghidupkan kembali pangeran Mundinglaya. Pangeran Mundinglaya bersiap kembali untuk bertempur dengan para guriang.

Namun setelah melihat sifst sang pangeran yang jujur dan tidak tamak, para guriang memutuskan bahwa dia mempunyai hak untuk membawa Layang Salaka Domas. Pangeran Mundinglaya sangat bergembira dan mengucapkan terima kasih terhadap para guriand dan juga Nyi Pohaci. Dengan dipandu oleh tujuh guriang yang kemudian menyebut diri mereka sebagai Gumarang Tunggal, pangeran Mundinglaya pergi pulang ke Pajajaran.

Fitnah Pangeran Sunten Jaya

Di Pajajaran, pangeran Sunten Jaya mengganggu ketentraman permaisuri. Kepada Prabu Siliwangi, pangeran Sunten Jaya mengatakan bahwa permaisuri sebenarnya tidak bermimpi, bahwa dia berdusta untuk membebaskan putranya dari penjara. Dengan demikian, dia membujuk Prabu Siliwangi untuk menghukum mati permaisuri.

Pangeran Sunten Jaya bahkan juga mengganggu ketentraman Dewi Kinawati di Muara Beres dengan menceritakan bahwa pangeran Mundinglaya telah dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. Tentara digelar untuk mendatangi kerajaan itu. Untungnya di saat yang gawat tersebut, pangeran Mundinglaya beserta ajudannya telah sampai ke Pajajaran. Mereka senang dan berteriak kegirangan. Pangeran Sunten Jaya dan pengikutnya diusir.

Setelah itu. Prabu Siliwangi menobatkan pangeran Mundinglaya sebagai raja Pajajaran menggantikannya dengan gelar Mundinglaya Dikusumah.

Tidak lama setelah itu, Mundinglaya Dikusumah menikahi Dewi Kinawati dan menjadikannya sebagai permaisuri dan Pajajaran menjadi negara yang adil makmur dan aman.

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Noorduyn, J. (2006). Three Old Sundanese poems. KITLV Press. hlm. 10. 
Kembali kehalaman sebelumnya