Peru-Tionghoa
Peru-Tionghoa, juga dikenal sebagai tusán (sebuah kata pinjaman dari bahasa Tionghoa 土生 pinyin: tǔ shēng, jyutping: tou2 saang1 "kelahiran setempat", tetapi kemungkinan dari 台山 Kanton: Toisan, pinyin: Táishān, jyutping: toi4 saan1, merujuk kepada kota Kanton, Taishan, di provinsi Guangdong di Tiongkok, yang merupakan asal usul dari kebanyakan imigran Tionghoa ke Amerika utara dan selatan), adalah orang-orang Tionghoa perantauan yang lahir di Peru, atau yang telah menjadikan peru sebagai tanah air adopsi mereka. Kebanyakan orang Peru-Tionghoa menguasai banyak bahasa. Selain bahasa Spanyol atau Quechua, banyak dari mereka yang mampu menggunakan berbagai bahasa Tionghoa, termasuk Mandarin, Kanton, Hakka, dan Minnan (Hokkian). Karena para imigran Tionghoa pertama datang dari Makau, sebagian dari mereka juga mampu berbahasa Portugis. Di Peru, warga Peru ASia diperkirakan sekurang-kurangnya berjumlah 5% dari seluruh penduduk.[1] Sebuah sumber memperkirakan jumlah warga keturunan Tionghoa sekitar 1.300.000, atau sama dengan 4% dari seluruh populasi negara itu.[2] SejarahSejarah awalBudak-budak Asia yang dikapalkan dari Filipina Spanyol ke Acapulco melalui Manila-Acapulco galleons disebut Chino ("orang Tionghoa"), meskipun pada kenyataannya mereka bukan hanya dari Tiongkok tetapi juga dari tempat-tempat termasuk apa yang kini dikenal sebagai Filipina, Jepang, Malaysia, Indonesia, Timor Leste, dan tempat-tempat yang lebih jauh lagi seperti India dan Sri Lanka.[3][4][5][6] Orang Filipina adalah populasi yang terbesar di antaranya.[7] The people in this community of diverse Asians in Mexico was called "los indios chinos" by the Spanish.[8] Kebanyakan dari para budak ini adalah laki-laki dan diperoleh dari para pedagang budang Portugis yang memperolehnya dari wilayah-wilayah kolonial dan pos-pos terdepan Portugal di Estado da India, yang mencakup wilaya-wilayah India, Bengal, Malaka, Indonesia, Nagasaki dii Jepang, dan Makau.[9][10] Spanyol menerima sebagian dari budak-budak Chino ini dari Meksiko; di sana pemilikan budak Chino menunjukkan status yang tinggi.[11] Catatan-catatan tentang tiga orang budak Jepang yang berasal dari abad ke-16, bernama Gaspar Fernandes, Miguel dan Ventura yang mendarat di Meksiko menunjukan bahwa mereka dibeli oleh para pedagang budak Portugis di Jepang, dibawa ke Manila dan dari sana mereka dikapalkan ke Meksiko oleh pemlik mereka, Perez.[12][13][14] Beberapa dari budak Asia ini juga dibawa ke Lima di Peru, dan di sana dicatat bahwa pada 1613 ada sekelompok kecil orang Asia yang terdiri dari orang-orang Tionghoa, Jepang, Filipina, Melayu, Kamboja, dan lain-lain.[15][16][17][18] Para imigran Tionghoa, yang pada abad ke-19 membutuhkan perjalanan selama empat bulan dari Makau (saat itu merupakan wilayah Portugal), menetap sebagai buruh konrak atau "kuli". Para kuli Tionghoa lainnya dari Guangdong menyusul. Seratus ribu buruh kontrak Tionghoa, 95% di antaranya orang Kanton dan hampir semuanya laki-laki dikirim kebanyakan ke kebun-kebun tebu dari 1849 hingga 1874 pada masa berakhirnya perbudakan. Mereka harus memberikan pekerjaan yang berlanjut untuk tambang-tambang guano pantai dan khususnya untuk perkebunan-perkebunan pantai; di sana mereka menjadi tenaga kerja utama (banyak menyumbang bagi boom Guano Peru) hingga akhir abad itu. Sementara para kuli diyakini akhirnya dijadikan budak, mereka juga mewakili transisi dari budak kepada buruh merdeka. Di Peru para perempuan non-Tionghoa menikahi para kuli Tionghoa yang umumnya laki-laki.[19] Di antara seluruh kuli Tionghoa yang hampir semuanya laki-laki yang bermigrasi ke Peru dan Cuba tidak ada perempuan.[20][21] Orang-orang perempuan Peru menikah dengan para lelaki imigran Tionghoa ini.[22][23][24][25][26] Kaum perempuan Arika kebanyakan tidak berhubungan seks dengan kaum lelaki Tionghoa ketika mereka bekerja sebagai kuli, sementara orang-orang Tionghoa melakukan hubungan dengan perempuan-perempuan Peru di kota-kota; di sana mereka menjalin hubungan melahirkan bayi-bayi campuran. Para perempuan ini aslinya berasal dari daerah Andes dan wilayah pantai, dan mulanya tidak berasal dari kota-kota. Di hacienda di pantai-pantai di daerah pedalaman, kaum perempuan muda penduduk asli yang berasal dari indígenas (pribumi) dan serranas (pegunungan) di pegunungan Andes turun untuk bekerja. Para perempuan asli Andes ini lebih disukai oleh kaum lelaki Tionghoa untuk dinikai daripada perempuan-perempuan Afrika, dengan para comblang yang mengatu pernikahan komunal laki-laki Tionghoa dengan perempuan-perempuan muda indígenas dan serranas.[27] Muncul reaksi rasialis oleh orang-orang Peru terhadap pernikahan kaum perempuan Peru dengan lelaki Tionghoa.[28] Ketika kaum perempuan pribumi Peru (cholas et natives, Indias, indígenas) dan laki-laki Tionghoa mendapatkan anak-anak berdarah campuran, anak-anak mereka disebut injerto dan begitu injertos ini bermunculan, maka kaum lak-laki Tionghoa mencari gadis-gadis injertas sebagai pasangan nikah mereka, anak-anak yang dilahirkan dari ibu-ibu kulit hitam tidak disebut injertos.[29] Orang-orang Peru kelas rendah melakukan hubungan seks atau menikah dengan laki-laki Tionghoa dan sebagaian perempuan kulit hitam dan Indian "bercampur" dengan orang-orang Tionghoa menurut Alfredo Sachettí, yang mengklaim bahwa percampuran itu menyebabkan orang-orang Tionghoa mengalami "degenerasi progresif", di daerah pegunungan Casa Grande kaum perempuan Indian dan laki-laki Tionghoa ikut serta dalam "pernikahan massal" komunal satu sama lain, yang diatur ketika kaum perempuan pegunungan dibawa oleh seorang comblang Tionghoa setelah menerima uang muka.[30][31] Di Peru dan Kuba beberapa perempuan Indian, mulatto, kulit hitam, dan putih terlibat dalam hubungan seks atau menikah dengan laki-laki Tionghoa, dan pernikahan dengan perempuan mulatto, kulit hitam, dan putih dilaporkan oleh Laporan Komisi Kuba dan di Peru dilaporkan oleh New York Times bahwa perempuan kulit hitam dan Indian yang menikah dengan para lelaki Tionghoa menguntungkan status mereka, sementara bagi para lelaki hal itu merugikan karena mereka mendominasi dan "merendahkan" kaum lelaki Tionghoa meskipun kontrak kerja mereka dibatalkan karena pernikahan itu, sehingga mengubah peranan dalam pernikahan dengan perempuan Peru memberikan kekuasaan pernikahan, mengatur keluarga dan membuat laki-laki Tionghoa itu diperbudak, penurut, "melayani", "tunduk" dan "feminin" dan mengatur mereka ke sana-kemari, melaporkan bahwa "Sekali-sekali...ia [lelaki Tionghoa itu] tergila-tila oleh pesona sejumlah sombre-hued chola (perempuan Indian dan mestiza) atau samba (perempuan kulit hitam campuran), dan berpindah agama dan bergabung dengan Gereja, sehingga bisa masuk ke dalam ikatan pernikahan dengan señorita berkulit gelap."[32] Kaum lelaki Tionghoa banyak dicari untuk dijadikan suami, dan dianggap sebagai "hadiah kemenangan" oleh para "perempuan muda berkulit gelap" (kaum perempuan Peru) karena mereka dipandang sebagai "suami teladan, pekerja keras, mencintai, setia dan taat" dan "suka menolong di rumah", kaum perempuan Peru menjadi "pasangan yang lebih ideal" dan bukan "pihak yang lebih lemah" dan akan mengatur suami-suami Tionghoa mereka "semaunya dengan gaya" dan bukannya memperlakukan mereka sebagai pasangan yang sederajat, sementara kontrak kerja para kuli Tionghoa itu akan dibatalkan oleh pernikahan itu, dan istrinya yang orang Peru memandang pembatalan itu semata-mata sebagai "tuan" yang lama yang menyerahkan wewenangnya atas lelaki Tionghoa itu kepadanya karena si perempuan kini menjadi "simpanannya", tetap mempertahankan laki-laki itu "menghamba" kepadanya, dengan segera mengakhiri keluhan atau dugaan apapun oleh para lelaki Tionghoa bahwa mereka mempunyai kekuasaan dalam pernikahan itu.[33] Sebuah kelompok pemukim Tionghoa lainnya datang setelah didirikannya Republik Tiongkok oleh Sun Yat-sens pada 1912, Perang DuniaII, dan dibentuknya pemerintahan komunis pada 1949. Pada 1957 pengguna bahasa Tionghoa merupakan 85 persen dari seluruh populasi imigran Tionghoa, sisanya berbahasa Hakka.[34] Imigrasi di masa kiniImigran Tionghoa baru-baru ini bermukim di Peru dari Hong Kong dan, kembali, dari Makau karena kekhawatiran mereka tentang kembalinya pemerintahan komunis pada 1997 dan 1999, sementar ayang lainnya berasal dari tempat-tempat lain di Tiongkok daratan, Taiwan, dan komunitas-komunitas Tionghoa di Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Filipina. Banyak Indonesia Tonghoa datang ke Peru setelah kerusuhan dan pembantaian di negara-negara itu pada tahun 1960-an, 1970-an, dan akhir 1990-an. Para imigran Tionghoa belakangan ini menjadikan Peru tempat tinggal komunitas Tionghoa terbesar di Amerika Latin. EmigrasiBanyak orang Peru Tionghoa yang meninggalkan Peru pada 1960-an dan 1970-an. Kebanyakan dari mereka pergi ke Amerika Serikat, dan di sana mereka disebut Amerika Tionghoa atau Amerika Peru keturunan Tionghoa, sementara yang lainnya pergi ke Kanada, Spanyol, daratan Tiongkok, Hong Kong, Makau, Taiwan, Australia, atau Selandia Baru.[butuh rujukan] Peranan dalam ekonomiSetelah kontrak mereka selesai, banyak dari mereka mengambil nama belakang patron mereka (salah satu alasan mengapa banyak orang Peru Tionghoa yang menggunakan nama keluarga Spanyol). Sebagian kuli yang dibebaskan (dan imigran yang belakangan) mendirikan banyak usaha kecil. Antara lain chifas (restoran Peru-Tonghoa - namanya berasal dari bahasa Kanton 饎飯 (Jyutping:ci3 faan6) yang berarti "makan nasi atau makan." Calle Capón, Pecinan di Lima, juga dikenal sebagai Barrio Chino de Lima, menjadi salah satu Pecinan pertama di wilayah Barat. Para kuli Tionghoa menikahi para perempuan Peru dan banyak orang Peru Tionghoa di masa kini berdarah campuran Tionghoa, Spanyol, dan Afrika atau keturunan [priubmi Amerika. Orang-orang Peru Tionghoa juga menolong dalam membangun jalan kereta api dan pembangunan hutan tropis Amazon; di sana mereka menjadi tukang takik pohon karet, mencuci emas, menanam padi, dan berdagang dengan para penduduk pribumi. Mereka bahkan menjadi koloni asing terbesar di ibu kota Amazon Iquitos pada akhir abad XX. Tokoh Peru Tionghoa terkenal
Lihat pula
Rujuka n
Bacaan lebih lanjut
Pranala luar
|