Pribumi
Pribumi (disebut pula orang asli atau penduduk asli) adalah masyarakat yang merupakan keturunan penduduk awal dari suatu tempat,[1][2] dan telah membangun kebudayaannya di tempat tersebut dengan status asli (indigenous) sebagai kelompok etnis yang bukan pendatang dari daerah lainnya.[3][4] Contoh masyarakat pribumi meliputi: bangsa Indian di Amerika Serikat, suku Maori di Selandia Baru, orang aborigin di Australia, dan suku Ainu di Jepang. Masyarakat pribumi bersifat autochton (melekat pada suatu tempat), sementara kumpulan masyarakat perantauan dari kelompok etnis tertentu—yang telah lama meninggalkan tanah leluhurnya—disebut diaspora,[5][6] contohnya orang Tionghoa di Indonesia, orang Jawa di Suriname, orang Jepang di Amerika, dan orang Yahudi di Rusia.[7] Di beberapa negara, kelompok orang asli terbagi ke dalam beberapa suku bangsa. Sebagai contoh, di Tiongkok (Cina), terdapat puluhan suku bangsa; yang terbanyak ialah suku Han (漢) yang merupakan orang asli Tiongkok dengan persentase 91,51% dari total seluruh penduduk Tiongkok (sejak 2010).[8] Meskipun ada 56 suku terdaftar yang diakui pemerintahnya,[9] tidak semuanya merupakan pribumi Tiongkok; beberapa minoritas berasal dari Rusia,[10] Korea,[11] dan Tajikistan.[12] Di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa yang bukan berasal dari luar Nusantara, yang disebut Pribumi-Nusantara; mayoritas merupakan Suku Jawa dengan jumlah sekitar 95 juta jiwa lebih atau sekitar hampir 100 juta jiwa,[13] disusul oleh Suku Sunda, Suku Melayu, Suku Batak, dan Suku Madura.[13] Pribumi di IndonesiaDalam masa kolonial Belanda, "Pribumi" dipakai sebagai istilah Sanskerta untuk Inlanders, salah satu kelompok penduduk Hindia Belanda yang merupakan suku-suku asli Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, Arab (semuanya dimasukkan dalam satu kelompok, Vreemde Oosterlingen atau "orang Timur Asing"), Eropa, maupun campuran (orang Indo) sering dikelompokkan sebagai "non-pribumi" meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pengelompokan ini dalam idea tidak rasistis[butuh rujukan], karena dapat terjadi perpindahan dari satu kelompok ke kelompok lain, tetapi dalam praktik menjadi rasistis karena terjadi pembedaan penempatan dalam publik, perbedaan pengupahan/penggajian, larangan penggunaan bahasa Belanda untuk kelompok tertentu, dan sebagainya.[butuh rujukan] Setelah Orde Baru, pemerintah Indonesia menginstruksikan untuk menghentikan penggunaan istilah "pribumi dan non-pribumi", serta menegaskan bahwa setiap suku asli di Nusantara merupakan "pribumi".[4] Lihat pula
Referensi
|