Puyi
Pǔyí (Hanzi tradisional: 溥儀; Hanzi sederhana: 溥仪; 7 Februari 1906 – 17 Oktober 1967) dari klan Aisin Gioro suku Manchu, merupakan Kaisar Tiongkok terakhir dan penguasa ke-12 dan penutup dari Dinasti Qing. Sejak umur 2 tahun, ia telah berkuasa sebagai Kaisar Xuantong (Hanzi: 宣統; Pinyin: Xuāntǒng Dì; Wade–Giles: Kaisar Hsuan-tung) dari tahun 1908 hingga penurunan takhtanya pada 12 Februari 1912, setelah Revolusi Xinhai berhasil dilancarkan. Dari tanggal 1 hingga 12 Juli 1917, ia sempat mengalami restorasi singkat berkat bantuan Jenderal Zhang Xun. Pada tahun 1934 ia mendeklarasikan diri sebagai "Kaisar Kangde" (Wade-Giles: "Kaisar Kang-te") dari negara boneka Manchukuo yang dikendalikan Kekaisaran Jepang. Ia berkuasa di sana hingga akhir Perang Tiongkok-Jepang Kedua pada tahun 1945. Setelah Republik Rakyat Tiongkok didirikan pada tahun 1949, Puyi ditahan sebagai penjahat perang selama 10 tahun, menulis tentang masa lalunya, dan menjadi anggota Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China. Penurunan takhta Puyi pada tahun 1912 menandai akhir dari ribuan tahun kekuasaan dinasti di Tiongkok. Ia pun terkenal di seluruh penjuru dunia dengan julukan "The Last Emperor (Kaisar Terakhir)". Nama dan gelarNamaNama Puyi diromanisasikan menjadi "Puyi" (Pǔyí dalam Hanyu Pinyin) atau "Pu-i" (dalam Wade–Giles). Saat Puyi kehilangan gelar kekaisarannya pada 1924, ia disapa sebagai "Tuan Puyi" (Wade-Giles: Tuan Pu-i; Hanzi sederhana: 溥仪先生; Hanzi tradisional: 溥儀先生; Pinyin: Pǔyí Xiānshēng) dalam bahasa Tionghoa dan "Tuan Fugi" (溥儀先生; Fugi Sensei) dalam bahasa Jepang. Nama klannya "Aisin Gioro" (Hanzi sederhana: 爱新觉罗; Hanzi tradisional: 愛新覺羅; Pinyin: Àixīn Juéluó; Wade–Giles: Ai-hsin Chüeh-lo), juga terkadang digunakan.¹ Puyi dikenal pernah memakai nama dari Barat, "Henry", yang dipilihkan oleh guru bahasa Inggris-nya, Reginald Johnston.[1][2] GelarSaat ia menjabat sebagai Kaisar Dinasti Qing dari tahun 1908 sampai 1912 dan saat restorasi singkatnya pada 1917, nama zamannya adalah "Xuantong" (Wade-Giles: Hsuan-t’ung), sehingga dikenal sebagai "Kaisar Xuantong" (Wade-Giles: Kaisar Hsuan-t’ung; Hanzi sederhana: 宣统皇帝; Hanzi tradisional: 宣統皇帝; Pinyin: Xuāntǒng Huángdì) selama dua periode tersebut. Dikarenakan Puyi merupakan orang terakhir yang menjadi Kaisar Tiongkok, maka ia juga dikenal sebagai "The Last Emperor (Kaisar Terakhir)" (Hanzi: 末代皇帝; Pinyin: Mòdài Huángdì; Wade–Giles: Mo-tai Huang-ti) di Tiongkok dan belahan dunia lain. Ia juga terkadang disebut sebagai "Kaisar Terakhir dari Dinasti Qing" (Hanzi: 清末帝; Pinyin: Qīng Mò Dì). Setelah penurunan takhtanya, Puyi juga dikenal sebagai "Xun Di" (Wade-Giles: Hsun Ti; Hanzi sederhana: 逊帝; Hanzi tradisional: 遜帝; Pinyin: Xùn Dì; secara harfiah: Kaisar yang Mengalah) atau "Fei Di" (Wade-Giles: Fei Ti; Hanzi sederhana: 废帝; Hanzi tradisional: 廢帝; Pinyin: Fèi Dì; secara harfiah: Kaisar yang Dimansuhkan). Kata "Qing" (Hanzi: 清; Pinyin: Qīng) terkadang ditambahkan pada dua gelar ini untuk menandakan pertaliannya dengan Dinasti Qing. Saat Puyi memimpin negara boneka Manchukuo dari 1934 hingga 1945, nama zaman miliknya adalah "Kangde" (Wade-Giles: Kang-te), maka ia dipanggil sebagai "Kaisar Kangde" (Hanzi: 康德皇帝; Pinyin: Kāngdé Huángdì) pada masa tersebut. LeluhurPihak ayahKakek buyut Puyi adalah Kaisar Daoguang (menjabat: 1820–1850), yang tahtanya diteruskan oleh anak keempatnya, Kaisar Xianfeng (menjabat: 1850–1861).[3][4] Kakek Puyi dari pihak ayah adalah Yixuan (1840–1891), anak ketujuh dari Kaisar Daoguang dan adik dari Kaisar Xianfeng. Kaisar Xianfeng Emperor hanya memiliki satu anak lelaki, yang kelak meggantikannya sebagai Kaisar Tongzhi (menjabat: 1861–1875).[5] Kaisar Tongzhi meninggal pada usia 18 tahun tanpa meninggalkan seorang anak lelaki dan digantikan oleh Kaisar Guangxu (menjabat: 1875–1908), putra dari Pangeran Chun Yixuan dan Lady Yehenara Wanzhen (adik dari Ibu Suri Cixi). Kaisar Guangxu pun meninggal tanpa meninggalkan seorang pewaris.[6] Puyi, yang menggantikan Kaisar Guangxu, merupakan putra tertua dari Zaifeng, yang merupakan putra dari Yixuan dan selir keduanya Lady Lingiya (1866–1925). Maka dari itu, Zaifeng merupakan adik tiri dari Kaisar Guangxu dan juga kerabat terdekat yang paling berhak dalam hal suksesi Kaisar Guangxu.[7] Puyi berasal dari klan Aisin Gioro yang memiliki kekerabatan dengan Ibu Suri Cixi, yang bersal dari klan Yehenara. Keponakan Cixi, yang kelak menjadi Ibu Suri Longyu (1868–1913), menikah dengan Kaisar Guangxu. Adik Puyi, Pujie (1907–1994), menikah dengan sepupu Kaisar Hirohito, Lady Hiro Saga. Aturan suksesi pun memperbolehkan Pujie untuk menggantikan Puyi, yang tidak memiliki keturunan.[8][9] Pihak ibuIbunda Puyi adalah Youlan (1884–1921), anak perempuan dari Ronglu (1836–1903), seorang negarawan dan jenderal dari klan Guwalgiya. Ronglu merupakan salah satu pimpinan faksi konservatif di Dewan Besar Kerajaan pada dinasti Qing. Ia juga merupakan pendukung setia Ibu Suri Cixi; Cixi memberikan imbalan kesetiaan dengan menikahkan putrinya, ibu Puyi, dengan seseorang bangsawan kerajaan. Klan Guwalgiya merupakan salah satu klan Manchu yang terkuat selama masa Dinasti Qing. Oboi, seorang komandan militer berpengaruh yang menjadi wali saat kekuasaan Kaisar Kangxi, berasal dari klan Guwalgiya.[10] Pohon silsilah
BiografiKaisar Tiongkok (1908–1912)Setelah dipilih oleh Ibu Suri Cixi langsung dari ranjang kematiannya,[6] Puyi menjadi kaisar pada umur 2 tahun 10 bulan pada Desember 1908, tak lama setelah Kaisar Guangxu meninggal pada 14 November. Bergelar Kaisar Xuantong (Wade-Giles: Kaisar Hsuan-tung), perkenalan Puyi pada kehidupan kekaisaran dimulai dengan kedatangan pejabat istana ke rumah keluarganya untuk menjemputnya. Puyi yang saat itu masih kecil, menjerit dan melawan saat pejabat isatana menyuruh para kasim untuk mengambilnya.[11] Ayahnya, Pangeran Chun, diangkat menjadi Pangeran-Wali (摄政王). Saat dilangsungkan acara penobatan Puyi di Aula Kedamaian Abadi, kaisar muda ini dituntun ke singgasana oleh ayahnya. Puyi begitu ketakutan dengan suasana di hadapannya. Suara-suara genderang upacara yang memekakkan telinga pun membuatnya menangis pada upacara tersebut. Ibu susu Puyi, Wen-Chao Wang, merupakan satu-satunya orang yang mampu menghibur Puyi. Maka dari itu, ia diperbolehkan menemani Puyi di Kota Terlarang. Puyi sendiri tidak bisa bertemu dengan ibu kandungnya, Selir Chun, selama tujuh tahun setelahnya. Hubungannya dengan Wen-Chao Wang kian lama kian intim, hingga Puyi pun meyakini bahwa ibu susunya merupakan satu-satunya orang yang bisa mengendalikan dirinya. Namun, Wen-Chao diusir dari istana saat Puyi berusia delapan tahun. Setelah menikah, Puyi terkadang mengajak Wen-Chao ke Kota Terlarang, dan kelak ke Manchukuo, untuk mengunjunginya. Setelah memperoleh grasi khusus pada tahun 1959, ia mengunjungi putra adopsi Wen-Chao dan baru pada saat itu ia tersadar akan pengorbanan Wen-Chao saat menjadi ibu susunya.[12] Masa kecil Puyi bukanlah masa yang kondusif untuk mengasuh seorang anak agar menjadi seseorang yang sehat dan seimbang. Sepanjang hari, ia diperlakukan sebagai dewa dan tidak mampu berperilaku layaknya seorang anak kecil. Orang-orang dewasa di sekelilingnya, kecuali ibu susunya Wen-Chao, merupakan orang asing, jauh, dan tidak mampu mendisiplinkan dirinya. Kemanapun ia lewat, orang-orang dewasa akan berlutut dalam ritual kowtow serta menghindari tatapan arah kaisar sampai ia selesai lewat. Puyi muda pun segera menemukan dirinya memiliki kekuasaan mutlak atas para kasim, dan ia sering menyuruh mereka untuk dipukuli akibat pelanggaran-pelanggaran kecil.[11] Para kasim dan Departemen Rumah TanggaSetelah pernikahannya, Puyi mulai memegang kendali atas istana. Ia menggambarkan "sebuah pesta penjarahan" telah terjadi di istana dan melibatkan "setiap orang dari kasta tertinggi hingga kasta terendah". Menurut Puyi, saat upacara pernikahannya berakhir, mutiara dan batu giok di mahkota permaisuri telah dicuri.[13] Gembok-gembok rusak dan beberapa area di istana mulai dirampok. Pada 27 Juni 1923, sebuah kebakaran terjadi di area Istana Kebahagiaan Mapan. Puyi curiga bahwa kebakaran tersebut disebabkan oleh para pencuri untuk menghilangkan bukti. Ia pun semakin curiga bahwa pencuri itu berasal dari golongan kasim. Kaisar pun mulai mencari-cari pendapat-pendapat para kaisar terdahulu dan para tutornya mengenai para kasim, yang akhirnya membuat ia semakin takut atas keselamatan hidupnya. Akibatnya, ia melakukan pengusiran besar-besaran terhadap kasim dari istana.[14] Setelahnya, Puyi mencoba menata kembali Departemen Rumah Tangga; pejabat yang ia tunjuk sebelumnya, menjadi amat kaya berkat hasil pencurian dan korupsi di dapertemen tersebut, yang membuat mereka mampu menjalankan bisnis sendiri di luar istana.[15] Penurunan takhtaAyah Puyi, Pangeran Chun, berhenti menjadi wali pada 6 Desember 1911 saat Ibu Suri Longyu mencabut kekuasaannya lewat Revolusi Xinhai.[3] Kemudian Ibu Suri Longyu mengeluarkan "Dekret Kekaisaran tentang Penurunan Takhta Kaisar Qing" (清帝退位詔書) pada 12 Februari 1912, yang mendukung Revolusi Xinhai, berdasarkan kesepakatan yang diprakarsai Yuan Shikai (jenderal Tentara Beiyang) dengan Dewan Besar Kerajaan di Beijing dan pihak Republik di selatan Tiongkok.[16] Setelah sepakat dengan Republik Tiongkok, Puyi diperbolehkan mempertahankan gelar kekaisarannya dan selanjutnya diperlakukan oleh pemerintah Republik sesuai dengan protokol yang berlaku bagi raja-raja asing lainnya. Hal ini serupa dengan Hukum Jaminan Italia (1870) yang memberikan Paus kehormatan dan hak-hak spesial yang sama dengan Raja Italia.[17] Puyi dan Dewan Besar Kerajaan diperkenankan untuk mendiami bagian utara Kota Terlarang (Kediaman Pribadi) dan Istana Musim Panas. Subsidi tahunan sebanyak empat juta tael perak pun digelontorkan oleh Republik unutuk urusan rumah tangga kekaisaran, walaupun sebenarnya tak pernah dibayar penuh dan langsung dihapus beberapa tahun setelahnya. Pasal-pasal perjanjianDokumen ini bertanggal 26 Desember 1914.[18]
Restorasi singkat (1917)Pada tahun 1917, Jenderal Zhang Xun melakukan restorasi dengan mengembalikan kekuasaan kepada Puyi sebagai kaisar yang dimulai pada tanggal 1 Juli hingga 12 Juli.[19] Zhang Xun memerintahkan pasukannya untuk tetap menjaga taucang di kepala mereka sebagai bukti kesetiaan terhadap kaisar. Selama masa restorasi yang singkat ini, sebuah bom berskala kecil, yang dijatuhkan dari pesawat pihak Republik, meledak di Kota Terlarang dan menyebabkan kerusakan kecil.[20] Peristiwa ini dianggap sebagai pengeboman udara pertama di Asia Timur. Upaya restorasi tidak berhasil dikarenakan meluasnya pengaruh pihak oposisi di seantero Tiongkok dan timbulnya campur tangan dari jenderal lain, Duan Qirui.[21] Puyi diusir dari Kota Terlarang pada tahun 1924 oleh Jenderal Feng Yuxiang.[22] Menetap di Tianjin (1924–1932)Setelah terusir dari Kota Terlarang, Puyi tinggal di kediaman ayahnya Pangeran Chun selama beberapa hari dan kemudian menetap di kedutaan besar Jepang selama satu setengah tahun.[2] Pada tahun 1925, ia pindah ke "Taman Vila Tenang"' di daerah konsesi Jepang di Tianjin.[23] Selama masa ini, Puyi dan para penasihatnya Chen Baochen, Zheng Xiaoxu dan Luo Zhenyu banyak berdiskusi tentang rencana restorasi Puyi sebagai kaisar. Untuk memuluskan rencana tersebut, Zheng dan Luo lebih cenderung kepada ide meminta bantuan dari pihak luar, sementara Chen menentang hal tersebut. Pada September 1931 Puyi mengirimkan sebuah surat kepada Jirō Minami, Menteri Perang (Pertahanan) Jepang, memberitahukan ambisinya untuk kembali ke singgasana.[24] Sebagai jawaban atas surat tersebut, Puyi mendapat kunjungan dari Kenji Doihara sebagai kepala biro intelejen Jepang, Tentara Kwantung, yang meminta kesediaan Puyi untuk menjadi pemimpin di Manchuria. Pada November 1931, Puyi dan Zheng Xiaoxu berangkat ke Manchuria untuk menuntaskan rencana negara boneka Manchukuo. Mendengar kabar tersebut, pemerintah Tiongkok memerintahkan penangkapan Puyi atas tuduhan pengkhianatan. Namun upaya penangkapan ini tak berhasil akibat solidnya pertahanan yang diberikan pihak Jepang.[2] Chen Baochen akhirnya kembali ke Beijing dan meninggal di sana pada tahun 1935.[25] Penguasa Manchukuo (1932–1945)Pada 1 Maret 1932, Puyi diangkat oleh Jepang sebagai penguasa Manchukuo, sebuah negara boneka dari Kekaisaran Jepang, dengan gelar pemerintahan Datong (Wade-Giles: Ta-tung; 大同). Pada 1934, secara resmi ia menjadi Kaisar Manchukuo dengan gelar kekaisaran Kangde (Wade-Giles: Kang-te; 康德). Secara pribadi, ia selalu berselisih dan menentang kebijakan Jepang. Namun ia tak menunjukkannya dan tampak patuh dan rukun di hadapan publik. Ia tak suka dan benci menjadi "Kepala Eksekutif" dan kemudian menjadi "Kaisar Manchukuo". Ia lebih suka direstorasi kembali menjadi Kaisar Qing. Selama masa pemerintahannya, Puyi tinggal di sebuah istana yang disediakan pihak Jepang (sekarang menjadi Museum Istana Kekaisaran Negara Manchu). Menjelang acara penobatannya, ia berseteru dengan pihak Jepang perihal pakaian yang harus ia gunakan saat acara berlangsung. Jepang ingin ia menggunakan seragam Manchukuo, sedangkan ia beranggapan bahwa menggunakan pakaian tersebut merupakan sebuah penghinaan. Ia hanya bersedia memakai jubah tradisional Manchu. Setelah melakukan perundingan, ia akhirnya memakai seragam militer ala Barat pada acara penobatannya[26] (satu-satunya Kaisar Tiongkok yang pernah melakukan hal ini) dan memakai jubah naga saat melakukan penghormatan ke langit di Kuil Surga.[27] Adik kandung Puyi, Pujie, yang menikah dengan Nona Hiro Saga, sepupu jauh dari Kaisar Jepang Hirohito, ditetapkan menjadi putra mahkota dan pewaris sah kekaisaran (apabila Puyi tidak memiliki keturunan laki-laki). Pernikahan ini sebelumnya telah diatur demi kepentingan politis oleh Shigeru Honjō, jenderal Tentara Kwantung. Puyi kemudian memutuskan tidak akan berbicara terus terang lagi di hadapan adik kandungnya tersebut dan tidak akan makan makanan yang dikirimkan oleh Hiro Saga. Puyi sendiri dipaksa menandatangi sebuah dokumen yang menerangkan bahwa jika ia kelak memiliki keturunan laki-laki (yang akan menjadi putra mahkota), maka anak tersebut akan dikirim ke Jepang dan diasuh di bawah pengendalian mereka.[28] Dari tahun 1935 hingga 1945, seorang staf senior Tentara Kwantung, Yoshioka Yasunori, (吉岡安則)[29] ditugaskan mendampingi Puyi sebagai Atase Rumah Tangga Keluarga Kerajaan Manchukuo. Pada hakikatnya, ia berperan sebagai mata-mata pemerintah Jepang, mengendalikan Puyi dengan cara menakut-nakuti, intimidasi, dan perintah-perintah langsung.[30] Terjadi banyak percobaan pembunuhan terhadap Puyi pada masa-masa ini, termasuk sebuah insiden penikaman oleh salah seorang pelayan istana pada tahun 1937.[2] Selama Puyi menjabat sebagai Kaisar Manchukuo, rumah tangganya diawasi ketat oleh pihak Jepang, yang semakin lama semakin berani mengambil langkah-langkah menuju Jepangisasi penuh atas Manchuria, mencegah Puyi agar tidak menjadi terlalu bebas dan mandiri. Ia disambut dengan hangat dan meriah oleh rakyat Jepang saat ia berkunjung ke sana, namun ia tetap harus patuh pada Kaisar Hirohito.[31] Selama tahun-tahun ini, Puyi mulai tertarik dengan hukum tradisional Tiongkok dan agama[32] (seperti Konfusianisme dan Buddhisme), namun hal ini tidak diperkenankan oleh pihak Jepang. Secara bertahap, pendukung-pendukung lamanya disingkirkan satu persatu dan para menteri pro-Jepang naik menggantikan posisi mereka.[33] Selama periode ini, kehidupan Puyi kebanyakan hanya diisi dengan menandatangani berkas-berkas penting yang sebelumnya telah disiapkan oleh pihak Jepang, membaca doa, berkonsultasi pada peramal, dan melakukan kunjungan resmi ke seluruh daerah di negaranya.[2] Bahkan ia tidak terlalu terlibat dalam rapat-rapat penting menyangkut negaranya sendiri. Pada tahun 1940, Jepangisasi di Manchuria semakin menjadi-jadi, dan sebuah altar penyembahan kepada dewi Shinto, Amaterasu, dibangun di area istana Puyi. Asal usul pembangunan altar tersebut tidak jelas. Pasca perang, pihak Jepang mengklaim bahwa Puyi membangunnya dengan tujuan mendekat kepada Kaisar Jepang sebagai sarana menolak intrik politik yang dilakukan para elit Manchukuo, sementara Puyi pada rezim Komunis Tiongkok menerbitkan sebuah autobiografi yang mengklaim bahwa ia dipaksa oleh pihak Jepang untuk menyembah di altar tersebut. Bagaimanapun juga, salah satu kewajiban Puyi saat masa perang adalah melakukan ritual doa Shinto menggunakan bahasa Tionghoa. Kaisar Hirohito terkejut mendengar hal tersebut dan bertanya-tanya mengapa ia bukannya membangun Altar Langit.[34] Kehidupan selanjutnya (1945–1967)Di akhir Perang Dunia II, Puyi ditangkap oleh Tentara Merah Soviet pada 16 Agustus 1945 saat berada di pesawat yang terbang menuju Jepang.[35] Pasukan Soviet tersebut membawanya ke kota Chita di Siberia. Ia tinggal di sebuah sanatorium dan kemudian dibawa ke Khabarovsk di dekat perbatasan Tiongkok. Pada tahun 1946, ia bersaksi di Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh (IMTFE) di Tokyo,[36] memberikan rincian tentang ketidaksukaannya terhadap perlakuan yang ia terima dari pihak Jepang. Saat Partai Komunis Tiongkok di bawah pimpinan Mao Zedong berkuasa pada tahun 1949, Puyi dipulangkan ke Tiongkok setelah dilakukan negosiasi antara pihak Uni Soviet dan Tiongkok.[37][38] Kecuali pada masa meletusnya Perang Korea, saat ia dipindahkan ke Harbin, Puyi menghabiskan sepuluh tahun hidupnya dengan mendekam di Pusat Manajemen Penjahat Perang Fushun di provinsi Liaoning sampai ia dinyatakan berhasil direformasi dan bebas. Puyi tiba di Beijing pada tahun 1959 dengan izin khusus dari Presiden Mao Zedong dan tinggal selama enam bulan berikutnya di sebuah pemukiman sederhana dengan adik perempuannya, sebelum dipindahkan ke sebuah hotel yang dibiayai pemerintah. Ia menyuarakan dukungannya kepada pihak Komunis dan ditugaskan bekerja di Kebun Botani Beijing. Pada usia 56 tahun, ia menikahi Li Shuxian, seorang perawat rumah sakit, pada 30 April 1962, dalam sebuah upacara yang diselenggarakan di Aula Perjamuan Konferensi Konsultatif. Dari tahun 1964 hingga kematiannya, ia bekerja sebagai seorang editor untuk departemen literasi Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China, dengan gaji bulanan sekitar 100 yuan.[39] Dengan dorongan dari Presiden Mao Zedong dan Perdana Menteri Zhou Enlai, dan juga didukung secara terbuka oleh pemerintah Tiongkok, Puyi menuliskan autobiografi dirinya Wo De Qian Ban Sheng (Hanzi: 我的前半生; Pinyin: Wǒ Dè Qián Bàn Shēng; Wade–Giles: Wo Te Ch'ien Pan Sheng; secara harfiah: Paruh Pertama Hidupku}}; diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul From Emperor to Citizen) pada tahun 1960-an bersama Li Wenda, seorang editor Biro Penerbit Rakyat Beijing. Kematian dan pemakamanPuyi meninggal di Beijing setelah lama menderita komplikasi kanker ginjal dan penyakit jantung pada 17 Oktober 1967 saat berusia 61 tahun.[40] Berdasarkan hukum Republik Rakyat Tiongkok saat itu, tubuh Puyi pun dikremasi. Abu tubuhnya kemudian ditempatkan pertama kali di Pemakaman Revolusioner Babaoshan. Pada tahun 1995, sebagai bagian dari sebuah kebijakan komersial, janda Puyi memindahkan abu tubuhnya ke sebuah pemakaman lain. Pemakaman ini terletak di Makam Qing Barat, 120 km (75 mi) barat daya Beijing, di mana 4 dari 9 kaisar Qing telah lebih dahulu dikebumikan di tempat ini, bersama 3 permaisuri, 69 pangeran, puteri dan selir kekaisaran.[41] KeluargaSilsilah Dinasti Qing bisa dilihat di autobiografi Puyi.[42] Saudara kandungPuyi memiliki tiga adik laki-laki:
Puyi memiliki tiga adik perempuan, hanya tiga pertama yang merupakan saudari kandung:
Istri
Daftar pustakaOleh Puyi
Oleh lainnya
Penggambaran di mediaFilm
Televisi
Lihat pulaCatatan¹ Aisin-Gioro adalah nama klan dalam bahasa Manchu, dillafalkan Àixīn Juéluó dalam bahasa Mandarin; Pǔyí adalah nama kecil orang Tiongkok yang dilafalkan dalam bahasa Mandarin. Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Pu Yi.
|