R. Soeprapto (jaksa)
R. Soeprapto (17 Maret 1896 – 2 Desember 1964) adalah Jaksa Agung pada tahun 1951 hingga 1959. Ia mengawali kariernya sebagai hakim diberbagai daerah, meskipun ia tak sempat meraih gelar akademis (MR. atau SH) namun sepak terjangnya di dunia penegak hukum membuktikan kepiawaian dan ketegasan yang terpuji. BiografiSoeprapto lahir 17 Maret 1896 dengan ayah seorang Controlleur pajak di Trenggalek, Jawa Timur. Kemudian, Soeprpato menamatkan ELS (Europesche Lagere School) pada tahun 1914 dan melanjutkan studi ke Sekolah Hakim di Batavia, selesai tahun 1920 bersama dengan Wongsonegoro, Isqak, dan Mas Soemardi. Setelah lulus, ia ditempatkan di Landraaad (Pengadilan untuk kaum Bumi Putera) di Tulungagung dan Trenggalek. Kemudian, ia dipindahkan ke berbagai kota seperti, Surabaya, Semarang, Demak, Purworejo, Bandung, Banyuwangi, Singaraja, Denpasar sampai Mataram (Pulau Lombok). Dalam rentang tahun 1937-1941 hakim Soeprapto menjabat Kepala Landraad Cheribon-Kuningan, dilanjutkan ke Salatiga-Boyolali, dan ke Banyuwangi menjadi pengawas hukum di Karesidenan Besuki. Ketika Jepang datang pada bulan Maret 1942, Soeprapto menjabat Kepala Pengadilan Karesidenan Pekalongan. Selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia dan pindah ibu kota ke Yogyakarta hingga memperoleh kedaulatan pada 27 Desember 1949, Soeprapto tetap bekerja di pengadilan Keresidenan Pekalongan. Hingga Indonesia kembali lagi ke Jakarta pada tahun 1950 yang sejak 1920 berkarier di kehakiman, mulai memasuki kamar penuntut umum. Atas jasa-jasa dan perjuangannya menegakkan citra kejaksaan, R. Soeprapto ditetapkan sebagai Bapak Kejaksaan Republik Indonesia. Patungnya kini tegak berdiri di halaman depan Gedung Kejaksaan Agung, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dan diusulkan dan mendapatkan gelar pahlawan nasional.[1][2][3] Jaksa Agung R. Soeprapto diberhentikan dengan hormat oleh Presiden Soekarno, pada tanggal 1 April 1959. Dalam buku Lima Windu Sejarah Kejaksaan (1945-1985), pemberhentian ini merupakan ekor yang tidak sedap dari kasus peradilan Jungschläger dan Schmidt yang ditangkap pada tahun 1954. Setelah tuduhan terhadap Leon Nicolaas Hubert Jungschläger gugur demi hukum, karena yang bersangkutan meninggal dunia, maka tinggalah Schmidt yang diadili. Oleh Pengadailan Negeri Jakarta, Schmidt dijatuhi hukuman seumur hidup, pada tahun 1958. Terpidana ini mengajukan banding, dan Pengadilan Tinggi Jakarta memutus lebih ringan, 5 tahun, dipotong masa tahanan. Karena Schmidt sudah menjalani hukuman 5 tahun, Pengadilan tinggi membebasakannya. Karena Kejaksaan Agung tidak mengajukan permohonan kasasi, maka Jaksa Agung memerintahkan eksekusi. Dendam rakyat yang tidak suka pada orang Belanda pemberontak ini, menurut Jaksa Agung Soeprapto menjadi pertimbangan untuk memulangkan Schmidt ke negerinya. Menurut buku Sejarah Kejaksaan Agung, kesalahan R. Soeprapto sebagai jaksa agung tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan Menteri Kehakiman, G.A. Maengkom. Ini dikecam keras oleh partai-partai politik dan tidak dapat diterima oleh Pemerintah. Kejadian di awal 1959 ini, agaknya merepotkan Jaksa Agung R. Soeprapto. Tapi, menurut (Alm) Ny. Soeprapto kepada Forum Keadilan. “Sebenarnya perintah eksekusi Schmidt itu telah disetujui oleh Maengkom. Sekembalinya ke Jakarta, Jaksa Agung yang tegar ini menolak hadir di Istana dalam acara serah terima jabatan. Ia tidak mau minta maaf. Ia menolak menarik kembali tindakan yang ia yakini benar, baik secara hukum maupun hierarki. Apalagi untuk bergabung dengan politisi, hanya sekadar untuk mempertahankan jabatannya. Sebagai pegawai yang pejuang dengan dedikasi tinggi, cerdas, tekun, dan ulet, tidak ada dalam kamus Soeprapto untuk mempolitikkan jabatannya, demi ideologi atau kepentingan apapun selain Pancasila dan UUD yang berlaku (UUD-S 1950). R. Soeprapto dengan watak kebapakannya, telah memberikan sebagain besar perjalanan usianya untuk penegakan hukum di negeri ini. Ia buktikan dari tahun 1920 sampai 1958, dalam zaman kolonial, pendudukan militer Jepang dan RI dalam berbagai cuaca politik yang sering berganti. R. Soeprapto, akhirnya menutup mata pada tanggal 2 Desember 1964 di Jakarta, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pranala luar
Referensi
|