Share to:

 

Rumah Tradisional Patah Sembilan Rejang Pesisir

Miniatur Rumah Tradisional Patah Sembilan Rejang Pesisir

Sejarah Rumah Patah Sembilan

Kabupaten Rejang Lebong dialiri oleh 2 sungai yaitu sungai Musi yang melintasi Nuak Musai dan sungai Ketahun melintasi Nuak Lebong. Meskipun Sungai ini mempunyai sumber yang mulanya berdekatan akan tetapi satu Sungai Musi mengalir ke pantai utara dan sungai ketahun mengalir kepantai selatan. kedua sungai ini merupakan sumber kesuburan tamah yang di lintasinya. Oleh karenanya mayoritas penduduk Rejang Lebong bermukim disekitar pesisir pantai atau sungai karena mata pencaharian mereka sangat bergantung pada hasil alam. Rumah Patah Sembilan Rejang Pesisir merupakan rumah masyarakat Suku Rejang zaman dahulu yang letaknya di pesisir pantai. Rumah tersebut di tempati oleh masyarakat biasa yang mayoritas penduduknya bergantung pada hasil bertani, berburu dan nelayan.[1]

Arsitektur

Bentuk dari pada bangunan tersebut di cirikan dengan atap bumbungan jembatan yang terbuat dari ijuk. Pada bagian depan pintu rumah memiliki Berendo dan memiliki ruang lain seperti ruang tengah, ruang halaman atau tempat berembuk yang memiliki bilik atau kamar yang memiliki dapur dan garang. Di topang oleh tiang kayu dengan jumlah sembilan buah terdapat, tangga di bagian depan dan belakang untuk yang digunakan untuk naik dan turun. untuk di bagian bawah atap dan di atas pelapon biasanya di pakai kaum anak perempuan dan juga ibu - ibu sebagai tempat menenun.

Adapun fungsi dari tiap- tiap ruangan,yang pertama Berendo berfungsi sebagai tempat bergunjing pada pagi dan sore dengan tamu mau pun tetangga akrab pada waktu senggang selain itu di gunakan sebagai tempat duduk memandang, menegur orang lewat dan tempat anak-anak bermain (fungsi sosial) .Fungsi ekonomis nya di pakai biasanya di pakai sebagai tempat menukang (tempat membuat alat transport, alat penangkap ikan dan lain nya) serta tempat menjemur pakaian. Fungsi umeak danea yaitu sering di gunakan tempat menerima tamu, musyawarah dan tempat duduk anak-anak bujang waktu bersyair dan tempat duduk anak gadis. Ruang pendukuan di gunakan sebagai tempat tidur, tempat beristirahat orang tua. Disampingnya ada pemenyep (tempat penyimpanan barang-barang berharga, gulungan tikar dan sebagai nya. Dapur berfungsi sebagai tempat memasak, berdiang dan ruang tempat makan. Garang berfungsi sebagai tempat mencuci dan menyimpan air serta tempat menjemur bahan makanan. Geligei berfungsi sebagai tempat anak gadis.[2]

Tradisi

Sebelum mendirikan bangunan terdapat beberapa upacara yang di dilakukan oleh masyarakat Rejang salah satunya yaitu mengambil dan mintak Tanah berdasarkan dongeng suku Rejang adalah wali empat yang khususnya menguasai atau mengurus masalah tanah " maksud janggut " beliau menyerahkan pula pengurusannya kepada " Tuan Melum Dudung Saktei " selaku pemegang pusat ( puting) bumi. Saat itu beliau dibantu oleh tujuh orang pembantu, yaitu: Sayak Alei kersei, sayak Alei gemalei, Sayak Alei mumet, Sayak Alei mumin, Sayak Alei almina, Sayak Alei almuna, Sayak Alei alkanan. masyarakat suku rejang mempercayai bahwa masing - masing dari tujuh orang tersebut dapat menjaga bidang kerukunan, keselamatan, memberi cahaya rumah, kesehatan. Orang - orang senang berada di dalam rumah, tidak atau di jauhkan dari api, keakuran serta agar terjauhi dari ganguan setan. Kepada merekalah orang - orang Rejang Kuno menyampaikan hajatnya supaya di berikan kelancaran pada saat proses pembangunan sampai dengan rumah itu berdiri.

Upacara mengambil dan memintak tanah kepada wali dunia ( wali empat di atas ) adalah serangkaian upacara memintah izin restu pada mereka agar tanah yang di gunakan sebagai tempat berdirinya bangunan tersebut selalu aman, sehat dan berkat. Posesi tersebut berlangsung pada waktu pagi hari, untuk harinya di tentukan biasanya pada hari rabu bertempat di tanah perkarangan pada bangunan yang akan di dirikan. Alat - alat yang di butuhkan dalam upacara ini adalah ubi - ubian kemala itam, ketan uban, kembang padi, keladi hitam ( empat iris ), ubi hitam ( empat iris ), benik atau lemang

Referensi

  1. ^ Achmad, Ramli (09 Agustus 2004). Miniatur Rumah Tradisional Suku bangsa Rejang Dan Melayu Bengkulu. Bengkulu: Museum Negeri Provinsi Bengkulu. hlm. 8–9. 
  2. ^ Achmad, Ramli (9 Agustus 2004). Miniatur Rumah Tradisional Suku Bangsa Rejang dan Melayu Bengkulu. Bengkulu: Departemen pendidikan dan kebudayaan wilayah kantor provinsi Bengkulu. hlm. 24. 
Kembali kehalaman sebelumnya