Sejarah kebudayaan SwahiliSejarah kebudayaan Swahili sudah berlangsung lama di kawasan Afrika Timur, tepatnya berada pada pesisir Swahili. Daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan laut di antaranya adalah Tanzania, Kenya, Uganda, Mozambik, dan juga beberapa pulau yang berdekatan dengan Zanzibar, Komoro dan segelintir daerah yang tergabung ke dalam kedaulatan negara Kongo dan Malawi. Bahasa asli yang mereka tuturkan sehari-hari, yaitu bahasa Swahili tergolong ke dalam rumpun bahasa Niger–Kongo. Hasil kebudayaan masyarakat Swahili bermula dari riwayat kebiasaan sehari-hari masyarakat yang menghuni daerah pesisir danau-danau besar Afrika. Adapun bahasa Swahili ini bercirikan sama ragamnya dengan rumpun bahasa Bantu dan disertai sejumlah perbendaharaan kata yang memungut ungkapan-ungkapan khusus dari bahasa asing. Pangkal permulaan nama SwahiliPenyebutan kata ini berpangkal dari kosakata bahasa Arab berbentuk jamak, yaitu As-Sawahil (السواحل). Para pedagang berbahasa Arab mengungkapkan perkataan sedemikian rupa untuk ditujukan kepada tiap-tiap daerah tertentu di pesisir Afrika Timur. Penyebutan kata ini semakin meluas dengan diguna-terapkan ke dalam sejumlah bahasa-bahasa di benua Eropa. Lebih lagi, kosakata yang meminjam dari bahasa Arab ini bukan sekadar merujuk terhadap nama tempatnya, melainkan tertuju pula sebagai sebutan bagi masyarakat yang mendiami wilayah pesisir Afrika Timur dan juga tertuju kepada perantara bertalimarga yang digunakan sehari-hari oleh penuturnya yang berjumlah sebanyak 50 juta penduduk benua Afrika. Namun, kebanyakan penuturnya menjadikan bahasa ini sebagai pilihan kedua mereka saat mengadakan hubungan secara lisan dan juga tulisan satu sama lain. Hanya sekitar dua juta penduduk yang terbiasa menjadikan bahasa ini sebagai bahasa pertama sejak lahir.[1] Hampir dipastikan bahwa rupanya kemunculan sebutan ini mulai mencuat sejak masa kekuasaan kesultanan Zanzibar ketika permulaan abad ke-18. Pendatang Arab dari Oman yang menetap di kota Zanzibar pada saat itu mulai lagi menyebutkan perkataan "Sawahil" (السواحل) untuk ditujukan kepada daerah perkotaan dan pelabuhan yang terletak di wilayah pesisir Afrika dan digelari sebagai "As-Sawahiliyyin" (السواحليين) bagi masyarakat yang sejak lama menetap di sepanjang tempat tersebut.[1] Sejarah kuno kebudayaan SwahiliSuku BantuMula-mula sekali, penghuni tulen di sekeliling tempat pesisir Afrika itu diriwayatkan mulai dari suku Bantu. Penyebutan kata "Bantu" ini lumrah diperuntukkan kepada sekian ramainya bagian suku bangsa Neger yang rata-rata bertempat tinggal tetap di kawasan benua Afrika bagian tengah dan selatan. Sekarang ini, mereka digadang-gadang sebagai penduduk bukan peranakan berjumlah paling tersebar luas yang menetap di benua Afrika dengan terbagi pula ke dalam 300 hingga 600 rumpun bangsa Bantu serta berpenduduk hingga sebanyak puluhan juta jiwa.[2] Keberlangsungan sejarah suku Bantu dimulai pada tahun 1000 SM. Sejatinya, tempat tetap yang ditinggali pertama sekali oleh masyarakat bersuku Bantu berada di kawasan lingkungan Afrika bagian barat. Lebih rincinya, terletak di antara negara Nigeria dan Kamerun. Namun, banyak memutuskan mencari lingkungan yang baru dengan terus menjejakkan kaki mengitari benua Afrika sejak lebih dari 2.000 tahun lalu. Banyak yang menempati daerah lingkungan benua Afrika di bagian tengah, selatan, lebih-lebih di bagian pesisir timur dari benua Afrika sewaktu terjadinya perpindahan tempat tetap secara gencar yang harus ditempuh masyarakat bersuku Bantu. Kira-kira ketika masih tahun 1000 SM, sebilang masyarakat Swahili dipastikan berketurunan suku Bantu secara menyeluruh demi mencari tempat untuk menetap dan menggunakan sebaik-baiknya apabila tampak oleh mereka apa pun kekayaan sumber daya yang ada. Hidup berburu, menggembala binatang yang diternakkan, lalu menumbuhkan biji-bijian dan tanaman dengan sungai yang tak tercemar sudah berhari-hari dikerjakan oleh masyarakat setempat daerah lingkungan pesisir tersebut. Selama kurun waktu itu, titik kehidupan penduduk-penduduk tersebut berpusat tak jauh dari jangkauan pesisir Samudra Hindia dan di tepi sungai yang terhampar di sepanjang daerah lingkungan ini. Masyarakat bersuku Bantu tiba di batas selatan daerah hunian orang Swahili, yaitu Limpopo sejak tahun 500 Masehi.[3][4][5] Suku bangsa Bantu mulai tetap menduduki hampir sepaha dari tempat lingkungan pedalaman benua Afrika bagian timur seperti di sekitar semak-semak dan padang rumput yang ada pepohonannya pada tahun 600 Masehi. Masyarakat yang mendiami tempat-tempat tersebut mampu menjayakan pembudidayaan jenis-jenis tanaman dan pengolahan alat-alat logam dengan menggunakan sarana dan peralatan, bahkan beberapa di antara sekian ramainya masyarakat tersebut memulai hidup barunya di lingkungan pesisir Samudra Hindia untuk mengolahkembangkan kemajuan kehidupan perkotaan karena memang sama sekali sesuai dasar yang dibutuhkan dalam perihal menggiatkan antarhubungan dengan siapa pun dari tiap-tiap penjuru dunia secara berkelanjutan serta untuk saling bertukar barang dengan para perintis usaha dagang yang telah menjejakkan kaki di pesisir Samudra Hindia seperti dari negeri India, Tiongkok, dan lain sebagainya.[6] Bahan penerangan hal-hal mengenai daerah lingkungan pesisir Afrika Timur yang sudah berusia uzur tercantum dalam sebuah cetakan alat tulis berbahasa Yunani yang belum satu pun mengetahui secara pasti siapa pengarangnya. Pangkal permulaan cetakan alat tulis itu dahulunya berada di sebuah kota kuno, yaitu kota Iskandariyah. Bahan penerangan hal-hal tersebut diketahui merupakan hasil karangan seseorang bernama "Periplus dari Eritrea" yang berabad-abad silam telah selesai ditulis, yaitu sejak abad kedua menurut penanggalan Masehi. Keterangan-keterangan tersebut berisikan cerita sejumlah pedagang asal Semenanjung Arab bagian selatan yang mendapat wewenang dan tanggung jawab untuk berhaluan jauh menuju daerah pesisir Afrika Timur dan penyesuaian diri mereka dengan penduduk-penduduk setempat di lingkungan tersebut. Dalam karangan tersebut pulalah dinyatakan bahwa sesungguhnya para pedagang dari Semenanjung Arab turut mencoba berbahasa daerah setempat di pesisir Afrika Timur, berantarhubungan secara lisan dengan penduduk-penduduk tersebut serta bercampur baur hingga mengawini wanita-wanita asli di daerah-daerah itu.[7] Masyarakat bersuku bangsa Bantu mulai ikut membangun permukiman penduduk kota secara meluas sejak tahun 800 M di sepanjang kawasan pesisir Afrika Timur. Pembangunan permukiman penduduk kota di sepanjang kawasan tersebut cukup terbilang memakan waktu banyak dalam mewujudkannya lantaran para ilmuwan percaya bahwa penduduk tersebut tidak begitu mengetahui cara menggali sumur di tanah. Mau tak mau, mereka pun memutuskan berdiam di sekitar pinggir sungai saja. Adapun ketika mereka telah menerapkan secara nyata cara menemukan air yang belum tercemar sekalipun melalui penggalian, mereka pun mulai memeratakan pembangunan tempat tinggal mereka di sepanjang kawasan tersebut. Tempat pertama yang dikotakan berada di daerah gugusan pulau Lamu. Lalu, pengerjaan hal tersebut dilanjutkan di lepas pantai Kenya. Dalam masa-masa tersebut, hubungan perdagangan antara penduduk Afrika dan orang-orang Islam yang datang dari Semenanjung Arab sekadar digiatkan dalam bentuk aneka ragam produk dasar yang diberikan secara cuma-cuma, bukan mengutamakan tujuan supaya bisa beroleh laba (substansial).[8] Bisa jadi, masyarakat Bantu pernah sering saling bertukar barang dagangan mereka dengan orang-orang Arab, India, dan Persia atas keputusan sendiri. Lain dari itu, mereka pernah membangun jenis kendaraan air yang bermacam-macam untuk melayari Samudra Hindia lalu hidup bermasyarakat dengan orang-orang di sekitar mereka. Pembauran budaya dan peradaban di antara masyarakat bersuku Bantu, Arab, India dan Persia melahirkan hubungan perdagangan yang sama-sama dijalin keempat suku bangsa tersebut. Dengan demikian, hal tersebutlah yang telah merintis jalan untuk mendorong kemajuan pesat bagi bahasa dan budaya Swahili berkat adanya pertukaran antar kebudayaan.[9][10][11] Seni dan kerajinan SwahiliMasyarakat Swahili dari sudut pandang kebudayaan juga menonjol dari karya seni dan kerajinan mereka. Karya seni masyarakat Swahili tersalurkan berkat daya cipta mereka sendiri, beserta pula melalui corak yang dirancang dan perihal kegunaannya dalam berbagai hal tertentu. Pengejawantahan kemajemukan budaya Swahili tampak kentara pada kesenian, barang-barang perlengkapan (perabot atau mebel) dan pengetahuan dalam merancang bangun (arsitektur). Mereka tidak sering membuat rancangan gambar berupa makhluk-makhluk yang hidup karena mereka yakin ajaran Islamlah yang mengarahkan mereka bahwa hal tersebut diharamkan. Sebaliknya, masyarakat Swahili semula menghasilkan karya rancangan gambar yang lebih banyak memperlihatkan segi ilmu ukur (geometris). Jumlah pakaian-pakaian yang didayahasilkan oleh masyarakat Swahili boleh jadi sulit dihitung dan dianggap penting sebagai bentuk keterwakilan dari adanya kesenian dan kerajinan karya semua masyarakatnya, di antaranya ada yang dinamai Kanga. Pakaian Kanga tidak hanya sejenis potongan pakaian berbentuk persegi panjang, melainkan sebagai barang benda pula dari hasil peradaban kebudayaan Swahili. Bahan-bahan yang beralih ke barang jadi untuk dikenakan masyarakat Swahili mengedepankan perawatan yang benar-benar menjelimet. Jika sebuah pakaian Kanga tidak cocok dikenakan saat salah satu musim berlangsung, maka tidaklah layak pakai dan barangkali bisa dimanfaatkan untuk dijadikan popok bayi dan celemek di dapur. Meski harga pakaian Kanga memang boleh jadi tidak seberapa bagi orang-orang lain, pakaian tersebut mempunyai andil sebagai wujud kekayaan budaya Swahili. Pakaian Kanga dirajut sedemikian rupa di Tanzania dan kelihatan amat memikat perhatian apabila dikenakan oleh kaum hawa ketimbang kaum adam. Akan tetapi, tidak ada ketentuan yang membatasi bagi siapa saja untuk mengenakan pakaian tersebut, baik kaum adam maupun kaum hawa. Pakaian Kanga dijadikan sebagai kain gendongan bagi bayi. Sumber acuan
|