Sidónio Pais
Sidónio Bernardino Cardoso da Silva Pais, CavC, OA, CavA (diucapkan [siˈðɔnju ˈpajʃ]; 1 Mei 1872 – 14 Desember 1918) adalah seorang politikus, perwira militer dan diplomat asal Portugal yang menjabat sebagai Presiden dan Perdana Menteri Portugal pada tahun 1918. Salah satu figur pemecah belah dalam sejarah Portugal, Pais dijuluki oleh penulis Fernando Pessoa sebagai Presiden-Raja, sebuah julukan yang menggambarkan rezim pemerintahannya[1]. Kehidupan Awal dan PendidikanPais dilahirkan di Caminha pada 1 Mei 1872 sebagai anak sulung dari Sidónio Alberto Marrocos Pais, seorang notaris keturunan Yahudi dan Rita Júlia Cardoso da Silva. Kedua orang tuanya berasal dari Caminha[2]. Pais menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sertã, dimana ia tinggal dari umur tujuh hingga sebelas tahun. Ia kemudian menyelesaikan pendidikan menengahnya di Lyceum Viana do Castelo (Sekolah Tinggi Santa Maria Maior). Setelahnya ia melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Coimbra untuk mengambil kursus persiapan dibidang matematika dan filsafat. Pada tahun 1888, ia memutuskan untuk berkarir di dunia kemiliteran dan mendaftar masuk ke Akademi Militer. Ia menyelesaikan pendidikan militernya dengan sejumlah penghargaan dan mendapat promosi menjadi pembantu-letnan (alferes) pada tahun 1892, menjadi letnan pada tahun 1895, kapten pada tahun 1906 dan terakhir sebagai mayor pada tahun 1916[3]. Setelah menyelesaikan pendidikan militer, Pais kembali mendaftarkan dirinya sebagai mahasiswa di Universitas Coimbra dan lulus dibidang matematika. Ia juga meraih gelar doktoral di Universitas Coimbra pada tahun 1898. BerpolitikSelama Pais masih belajar di Universitas Coimbra, tahun-tahun tersebut juga melemahnya Kerajaan Portugal sehingga mendorong Pais untuk berpikir menjadi seorang republikan. Selain itu ia juga ikut dalam keanggotaan Freemason di Coimbra, meskipun tidak pernah muncul. Pais telah dipertimbangkan sebagai salah seorang matematikawan yang berprestasi dan ia memilih untuk tetap bekerja di Coimbra. Ia kemudian diangkat menjadi profesor pada Fakultas Kalkulus Integral dan Diferensial. Selain itu ia juga merupakan profesor di Sekolah Industri Brotero dimana ia juga menjadi Ketua Sekolah tersebut dari tahun 1905 hingga 1909. Pada 23 Oktober 1910, ia diangkat menjadi Wakil Kanselir Universitas Coimbra dibawah kepemimpinan Rektor Manuel de Arriaga. Sebagai seorang republiken, Pais terlibat aktif dalam kehidupan politik setelah didirikannya Republik Portugal Pertama pada tahun 1910. Ia kemudian terpilih menjadi Deputi dalam Majelis Konstituen Nasional yang ditugaskan untuk merancang Konstitusi Portugal pada tahun 1911[2]. Selain itu karena kiprahnya sebagai Deputi di Majelis Konstituen Nasional, ia kemudian ditunjuk menjadi Menteri Pekerjaan Umum dalam kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri João Chagas dari 24 Agustus 1911 hingga 3 November 1911. Pais juga yang menjadi perwakilan pemerintah dalam sebuah pesta perayaan memperingati hari ulang tahun ke-1 berdirinya Republik Portugal yang diselenggarakan di Porto. Setelah kejatuhan pemerintahan Perdana Menteri Chagas, Pais ditunjuk menjadi Menteri Keuangan dalam kabinet Perdana Menteir Augusto de Vasconcelos yang dikenal sebagai Kabinet Konsentrasi. Ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dari 7 November 1911 hingga 16 Juni 1912. Dalam masa-masa ketegangan menjelang terjadinya Perang Dunia I, Pais ditunjuk menjadi Duta Besar Portugal untuk Jerman pada 17 Agustus 1912[2]. Ia menjadi duta besar selama masa-masa kritis sambil menjaga keseimbangan perbedaan antara tekanan dari Pemerintah Portugal dengan sudut pandang Anglophile yang semakin pro-perang, upaya untuk menyelesaikan konflik perbatasan secara diplomatis di wilayah kontak antara koloni Portugis dan Jerman di Afrika, dan posisinya yang semakin Germanophile. Meskipun mengalami kesulitan-kesulitan ini, ia memegang posisi tersebut hingga 9 Maret 1916, tanggal ketika Jerman menyatakan perang terhadap Portugal setelah penyitaan kapal-kapal Jerman di pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah kendali Portugis. Kudeta Desember 1917Setelah kembali ke Portugal, Pais kemudian membentuk kelompok penentang keikutsertaan Portugal dalam Perang Dunia I, memicu meningkatnya ketidakpuasan yang disebabkan oleh dampak upaya perang di dalam negeri dan hasil buruk yang diperoleh Korps Ekspedisi Portugis di garis depan. Ia menjadi pemimpin oposisi utama terhadap pemerintahan Partai Demokrat pimpinan Afonso Costa, dan dari tanggal 5 hingga 8 Desember 1917, ia memimpin kudeta yang dilakukan oleh sekitar 250 tentara. Kudeta berakhir dengan kemenangan setelah tiga hari konfrontasi sengit, di mana peran kelompok sipil sangat menentukan keberhasilan para pemberontak. Pada pagi hari tanggal 8 Desember Costa menyerahkan kekuasaan kepada junta militer Pais[2]. Memimpin PortugalKelompok Pais kemudian menolak usul untuk membentuk pemerintahan baru dan justru mencopot Presiden Bernardino Machado dari jabatannya serta membuatnya melarikan diri. Setelah itu pada 11 Desember 1917, Sidónio Pais mengambil alih jabatan Perdana Menteri Portugal dan jabatan Menteri Perang dan Menteri Luar Negeri. Pais juga mengambil alih sementara jabatan Presiden Portugal hingga terlaksananya pemilihan presiden yang dijangka akan dilaksanakan pada awal tahun 1918 [4]. Semua tindakannya tersebut merupakan pelanggaran langsung terhadap Konstitusi Portugal 1911, yang dirancang olehnya sendiri. Selama kudeta dan tahap awal pemerintahannya, Sidónio Pais mendapat dukungan dari berbagai kelompok buruh, sebagai imbalan atas pembebasan rekan-rekannya yang dipenjara, dan karena adanya ekspektasi dari dalam Serikat Pekerja Nasional yang berpengaruh, yang berupaya memposisikan dirinya sebagai pusat kekuasaan kaum kiri republik [2][5]. Setelah mengambil alih sejumlah jabatan, Pais kemudian menerbitkan dekret tanpa berkonsultasi dengan Kongres Republik dan menangguhkan beberapa bagian penting dalam Konstitusi Portugal yang memberikan memberikan rezim tersebut citra presidensial yang nyata. Jabatan Presiden Portugal diubah statusnya menjadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang secara signifikan keseluruhannya terdiri dari Sekretaris Negara dan menghapus jabatan menteri. Arsitektur Politik yang baru ini digelar oleh para pendukung Pais sebagai Republik Baru, dimana Kepala Negara memegang kekuasaan yang tidak ada tandingannya dalam sejarah Portugis sejak berakhirnya absolutisme. Oleh karena itu, julukan yang diberikan oleh penulis Fernando Pessoa kepada Pais sebagai "Presiden-Raja" memang pantas ia terima[6]. Dalam tujuannya dan dalam berbagai bentuknya, Republik Baru merupakan cikal bakal Estado Novo yang dipimpin oleh António de Oliveira Salazar. Pais juga berupaya untuk menormalisasikan hubungan Portugal dengan Gereja Katolik Roma dengan melakukan amandemen Undang Undang Pemisahan Negara dan Gereja pada tanggal 23 Februari 1918. Usahanya ini menimbulkan penentangan dari kaum freemason dan republikan konservatif, tapi orang-orang Katolik, republikan moderat dan penduduk kota mendukung upayanya tersebut. Selain itu dengan adanya amandemen terhadap undang undang tersebut, Portugal berhasil mendirikan hubungan diplomatik dengan Tahta Suci yang ditandai dengan ditunjuknya Mgr. Benedetto Aloisi Masella (dikemudian hari dikenal sebagai Nunsius di Brasil, Kardinal dan Camerlengo) sebagai Nunsius Apostolik Tahta Suci yang berkedudukan di Lisboa per tanggal 25 Juli 1918. Langkah inkonstitusional yang dibuat Pais selanjutnya adalah menerbitkan dekrit mengenai pemilihan umum Presiden melalui sebuah plebisit. Dengan mengandalkan kepopulerannya diantara orang-orang Katolik, Pais kemudian terpilih menjadi Presiden Portugal dengan perolehan suara sebesar 470.831 suara. Ia kemudian dilantik menjadi Presiden Portugal pada 9 Mei. bahkan tanpa perlu berkonsultasi dengan Kongres, dan menikmati legitimasi demokratis langsung, yang ia gunakan – namun tidak berhasil – untuk menghancurkan upaya oposisi. Dekrit-dekrit yang dikeluarkan pada bulan Februari dan Maret 1918, yang karena kontradiksinya yang mendalam dengan konstitusi saat ini diberi label "Konstitusi 1918", mengubah Konstitusi Portugis tahun 1911 secara mendalam dan memberikan rezim tersebut karakter presidensial yang jelas, mengubah undang-undang pemilu, dan mengubah Undang Undang Pemisahan Gereja dan Negara serta pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Pada bulan April 1918, Korp Ekspedisi Portugas menderita kekalahan dalam Pertempuran Lys dan pemerintah Portugal mengalami ketidakmampuan untuk mengirimkan bala bantuan atau sekadar mengirimkan suplai harian tentara. Situasinya mencapai sedemikian ekstrem sehingga, bahkan setelah perang berakhir, Portugal tidak dapat mengangkut pasukannya kembali ke negaranya. Konflik sosial telah meningkat hingga menciptakan pemberontakan permanen di Portugal. Situasi menandai akhir dari eksisnya pesona rezim Pais. Munculnya pemogokan, konflik, dan konspirasi yang bergantian, sejak musim panas tahun 1918 dan seterusnya sebagai upaya untuk mengakhiri rezim "Sidonis" menjadi semakin parah dan penuh kekerasan, yang menyebabkan Pais mengumumkan keadaan darurat pada tanggal 13 Oktober 1918. Dengan tindakan tersebut, dan dengan melakukan penindakan yang keras terhadap gerakan-gerakan lawan, ia berhasil memperoleh kembali kendali situasi politik untuk sementara waktu, namun rezimnya jelas-jelas terluka parah sebagai konsekuensi dari tindakan mereka. Menjelang berakhirnya tahun, situasi politik tidak kunjung membaik, meskipun telah berakhirnya pertempuran dengan Gencatan Senjata 11 November 1918, sebuah peristiwa yang disertai dengan pesan penuh kasih sayang dari Raja George V dari Britania Raya, yang berusaha meremehkan Sidónio Sikap Pais yang pro-Jerman. PembunuhanPercobaan pembunuhan terhadap Pais pertama kali terjadi pada 5 Desember 1918 yang terjadi pada saat penyerahaan penghargaan untuk para penyintas kapal Augusto de Castilho. Pais selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Pais terbunuh pada upaya pembunuhannya untuk kedua kalinya yang terjadi sembilan hari kemudian. Pada sore hari tanggal 14 Desember 1918, Pais berangkat menuju Stasiun Kereta Api Lisboa-Rossio setelah menikmati jamuan makan malam di restoran Silva yang berlokasi di Chiado. Dalam perjalanannya Presiden Pais ditemani oleh saudara dan anak laki-lakinya. Mereka berencana untuk naik kereta menuju Porto dalam rangka untuk bertemu dengan Junta Militer di Utara. Pada saat Pais memasuki stasiun pada pukul 23.00, Garda Republik telah menerjunkan pasukannya untuk mengawal sang presiden. Upaya pembunuhan terhadap Pais yang gagal pada 5 Desember 1918 membuat pengawalan terhadap Pais semakin diperketat. Namun hal tersebut tidak merusak suasana karena ada band yang memainkan lagu populer saat Presiden memasuki stasiun[7]. Di dalam stasiun, aktivis sayap kiri José Júlio da Costa telah menunggunya sembari menyembunyikan sebuah pistol dalam jubah Alentejo-nya . Saat sang presiden melewati da Costa di lantai pertama Stasiun Rossio, da Costa berhasil menembus barisan polisi ganda yang mengelilingi Presiden dan melepaskan dua tembakan dari pistol yang disembunyikan di balik jubahnya. Tembakan pertama mengenai lengan kanan Pais dan tembakan kedua mengenai perut sang presiden sehingga menimbulkan luka yang berakibat fatal. Pais segera jatuh ke tanah dan terjadi kepanikan. Dalam situasi yang panik tersebut, empat orang tak bersalah secara tidak sengaja terluka akibat tembakan para pengawal presiden, sementara sang pembunuh, da Costa yang memang sengaja tidak melarikan diri berhasil ditangkap setelah dihajar secara brutal oleh kerumunan massa[8]. Pada saat itu Presiden Pais masih hidup dan segera dilarikan ke Rumah Sakit St. Yosef, namun ia wafat tak lama kemudian karena lukanya dan wafat sebelum tiba di rumah sakit beberapa saat menjelang tengah malam. Pemakaman Sidónio Pais dihadiri oleh puluhan ribu orang, namun berbagai gangguan, beberapa di antaranya disertai kekerasan, terjadi saat pengunjuk rasa berbaur di antara kerumunan. Pada tanggal 16 Desember, João do Canto e Castro dipilih sebagai penggantinya oleh Kongres Republik dan bukan melalui pemungutan suara baru. Kehidupan PribadiPais menikahi Maria dos Prazeres Martins Bessa pada tahun 1895. Mereka berdua dikaruniai oleh lima orang anak : empat anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Di luar nikah, ia juga memiliki satu anak perempuan dari Ema Manso Preto. Dia adalah datuk buyut jalur ayah pemain piano dan komposer Bernardo Sassetti. LegasiPembunuhan Sidónio Pais digembar-gemborkan sebagai masa trauma bagi Republik Portugal Pertama. Sebagai seorang pemimpin yang populis dan karismatik, Pais menggambarkan dirinya sebagai harapan terakhir dari sebuah negara yang hancur, dan secara luas dianggap seperti itu. Hal ini menjelaskan mengapa pembunuhannya mempunyai pengaruh yang besar dan bertahan lama terhadap politik Portugis[9]. Sejak saat itu ketidakstabilan politik semakin membesar di Portugal yang mengarah kepada sebuah krisis permanen yang berlangsung hingga hampir delapan tahun kemudian dan berakhir setelah terjadinya Kudeta 28 Mei 1926 yang berhasil mencatatkan sejarah dimana Portugal diperintah oleh kediktatoran selama empat puluh tahun kemudian. Douglas Wheeler menggambarkan daya tarik Pais sebagai seorang pemimpin dengan memberikan garis besar terhadap kepribadiannya :
Penulis Fernando Pessoa merujuk Pais sebagai seorang "Presiden-Raja" (Portugal:Presidente-Rei), sebuah julukan yang terus melekat selama bertahun-tahun karena sangat cocok dalam menggambarkan rezimnya[1]. Khususnya di kalangan kelompok Katolik paling konservatif, Pais memasuki imajinasi Portugal sebagai perpaduan antara penyelamat dan martir, dan menyebabkan munculnya aliran sesat yang populer, mirip dengan aliran sesat yang juga muncul di sekitar sosok José Tomás de Sousa Martins, yang masih ada hingga saat ini. Hingga saat ini dapat dijumpai karangan bunga segar dan simbol keagamaan yang diletakkan di makamnya. Hal ini terutama disebabkan oleh pembalikan beberapa undang-undang anti-klerikal republik yang awal. Namun agak ironis bahwa namanya hidup paling jelas di kalangan tersebut karena Pais sendiri bukanlah orang yang religius. Pais juga memikil beberapa tanggung jawab untuk kediktatoran-kediktatoran yang ada di Eropa karena gaya otokrasi pemerintahannya dan pencopotan sejumlah pejabat sipil diera rezimnya. Ketidakefektifan rezimnya terbuktii gagal membawa ketertiban sebagaimana yang ia janjikan dan justru hanya berkontribusi dalam kerusuhan yang ada dalam Republik Portugal Pertama dan perongrongan legitimasinya. Rezim Estado Novo yang berkuasa di Portugal selama empat puluh tahun mengeksploitasi legasi dan penggunaan asosiasi Sidonisme. Misalnya, ketika Pantheon Nasional Portugis diresmikan pada tahun 1966, pihak berwenang memindahkan jenazah Pais dari Ruang Kapitel Biara Jeronimos, tempat ia dikebumikan sebelumnya. Tanda Jasa dan Penghargaan
Daftar Referensi
|