Suhardiman
Mayor Jenderal TNI (Purn.) Prof. Dr. Suhardiman, S.E. (16 Desember 1924 – 13 Desember 2015) adalah tokoh politik yang telah melewati 5 masa kepemimpinan Indonesia: zaman Hindia Belanda, zaman Jepang, presiden Soekarno, presiden Soeharto, dan masa reformasi. Suhardiman kerap disebut sebagai dukun politik karena intuisinya sangat kuat dalam memprediksi peristiwa politik terutama dalam konteks suksesi kepemimpinan dan merupakan pendiri partai Partai Golkar.[1] Dia turut mewarnai perjalanan politik Indonesia bersama dengan SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia), yang awalnya dia dirikan untuk membendung penyebaran paham komunisme oleh PKI. Dalam perjalanannya, SOKSI menjadi salah satu ormas yang melahirkan Partai Golkar dan menjadi tempat pengkaderan para pemimpin bangsa. Komentar dan pendapat Prof. Dr. Suhardiman kerap diminta sejumlah media terutama mengenai suksesi kepemimpinan di negeri ini karena intuisi politiknya sangat kuat dalam memprediksi calon-calon pemimpin masa depan.[2] Riwayat HidupPendidikan dan karierSuhardiman lahir di Gawok, Solo pada tanggal 16 Desember tahun 1924 sebagai bungsu dari 7 bersaudara. Dia menamatkan pendidikan SD di Surakarta, SGL Blitar, dan SMA di Jakarta. Ayahnya yang menjabat sebagai kepala desa menginginkan Suhardiman remaja menjadi sekretaris desa. Secara halus dia menolak permintaan itu karena minatnya yang tinggi akan ilmu pengetahuan. Dia meniti karier di bidang militer sambil terus menuntut ilmu hingga memperoleh gelar sarjana ekonomi dari fakultas ekonomi UI Jakarta (1962) dan gelar doktor ilmu administrasi niaga dari Universitas 17 Agustus, Jakarta (1971), dengan disertasi Pembaharuan Struktur Sosial sebagai Prasyarat Pembangunan Niaga Nasional. Pendidikan militer yang pernah dia ikuti adalah Akademi Militer Yogyakarta (tamat tahun 1948), Seskoad (1969) dan Sekolah Infantri Fort Benning, Amerika Serikat (1971). Suhardiman Pensiun dari Militer dengan pangkat Mayor Jenderal. Dia pernah bertugas sebagai sebagai komandan Subkomando Distrik Militer Yogya Selatan sampai dia menjabat Kaset KSAP dan Dosen SSKAD. Dalam karier militernya dia terlibat dalam perang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah dan mempertahankan keutuhan negara dari gerakan-gerakan makar. Selain berkiprah di dunia militer, Suhardiman juga meniti karier di pemerintahan dengan menjabat sebagai Anggota MPR/DPR RI (1983-1988) dan wakil ketua DPA RI (1993 – 1998). Dia juga pernah menjabat Dirut PN Jaya Bhakti, Dirut PT Berdikari, Direktur PT Evergreen Hotel dan Komisaris Utama PT. Bank Duta Ekonomi. Di bidang olahraga dia lama memimpin Perguruan Bela Diri Tangan Kosong Indonesia sebagai Ketua Umum. Karier PolitikKeterlibatan aktif Suhardiman dalam dunia politik dimulai dengan pendirian SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia), sebuah organisasi massa yang menekankan pentingnya konsep kekaryaan. Gerakan kekaryaan tersebut digalakkan untuk membendung infiltrasi paham komunisme yang dikampanyekan secara gencar oleh PKI. Sejak kejatuhan PKI, SOKSI di bawah kepemimpinan Suhardiman memposisikan diri sebagai salah satu wadah pengkaderan calon-calon pemimpin. Para kader Soksi telah menduduki sejumlah jabatan penting di pemerintahan dan partai politik negeri ini. SOKSI selalu menekankan konsep manusia sebagai insan karya bagi setiap kadernya. Maka semua calon pemimpin berasal dari SOKSI telah dipersiapkan untuk selalu siap berkarya bagi nusa dan bangsa. Selain itu Suhardiman dan SOKSI selalu memposisikan diri sebagai mitra kritis bagi pemerintah. SOKSI kemudian menjadi salah satu ormas yang membidani kelahiran Partai Golkar dan Suhardiman menjadi anggota Dewan Pembina. Kendati secara formal dia tidak pernah menduduki posisi tertinggi di Golkar, ketokohan Suhardiman sangat diperhitungkan oleh para petinggi partai, dan mereka kerap minta restunya sebelum mengambil sebuah keputusan penting. Bahkan menjelang pemilihan presiden 2014 lalu, calon Presiden Joko Widodo dan calon Wakil Presiden, Jusuf Kalla, pun secara terpisah datang ke rumahnya untuk mendapatkan dukungan moral dari sesepuh Golkar tersebut.[3] PemikiranPada masa muda, Suhardiman sangat aktif menyumbangkan pemikiran dalam karya tulis, seminar, maupun opini sejumlah media. Pemikiran-pemikirannya kemudian dihimpun dalam buku yang berjudul Pendidikan Politik Satu Abad yang disunting oleh para kadernya (Valentino Barus, dan kawan-kawan). Buku tersebut mengetengahkan pembentukan kekuatan bangsa sebagai tujuan dari pembangunan politik, yang oleh Suhardiman disebut sebagai Trisula Politik, yakni: power, hukum, dan demokrasi. Untuk tujuan itu dia mendorong adanya upaya modernisasi, rasionalisasi, dan dinamisasi yang diterapkan dalam berbagai kelembagaan politik, pendidikan politik, dan pimpinan politik sebagai prasarana dalam pembangunan politik. Prasarana kelembagaan ini tidak dapat diartikan secara sempit hanya sebagai sosok fisik organisatoris, melainkan harus diartikan secara luas menyangkut sosok sosio-kulturalnya.[4] Reformasi yang berlangsung sejak 1998, dalam pengamatan Prof Dr Suhardiman, SE, belum metampakkan jati diri dan arah tujuan Indonesia masa depan. Sistem dan struktur politik masih harus ditata supaya lebih jelas dan terarah. Dia melihat perlunya reformasi jilid dua untuk lebih mempertegas jati diri dan tujuan masa depan Indonesia. Dia mengkritisi terancamnya jati diri Indonesia saat ini. Sistem dan struktur politik masih harus ditata supaya lebih jelas dan terarah. Dia melihat perlunya reformasi jilid dua untuk lebih mempertegas jati diri dan tujuan masa depan Indonesia.[5] Prof. Suhardiman yakin dengan teori keajegan dan ramalan Jawa kuno yang menyebutkan, sejarah akan berulang kembali (historia se repete). Setiap 7 abad bangsa di nusantara akan menunjukkan kejayaannya. Pada abad ke-7 nenek moyang kita telah mengalami masa kejayaan di bawah pemerintahan kerajaan Sriwijaya. Tujuh abad kemudian, yaitu abad ke-14, kita temukan lagi masa kejayaan yang ke-2, yaitu Majapahit. Saat ini kita sedang menuju kejayaan ke-3 pada abad ke-21 ini, 7 abad setelah Majapahit. Puncak masa kejayaan itu diperkirakan terjadi pada tahun 2045 atau 1 abad (100 tahun) setelah kemerdekaan, 1945.[6] Suhardiman meninggal dunia pada hari Minggu, 13 Desember 2015. Presiden Jokowi ikut melayat dan salatkan jenazah Suhardiman di rumah duka di bilängan Cilandak. Mendagri Tjahyo Kumolo pada saat melayat mengatakan “Almarhum jauh-jauh hari ramalkan Pak Jokowi jadi presiden. Saya bertemu almarhum kala saya jadi sekjen partai (Sekretaris Jenderal DPP PDIP). Almarhum sampaikan begini, Tjahjo kok rasanya partaimu menang. Pilih presiden yang baik,” “Bapak (usulkan calon presiden) siapa pak, selain Bu Mega (Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri)? Almarhum bilang pertimbangkan Pak Jokowi,” kata Tjahjo. PenghargaanGelarAtas berbagai pengabdiannya, Suhardiman dianugerahi penghargaan gelar guru besar oleh Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan. Masyarakat Simalungun memberinya marga Saragih saat dia menjabat anggota DPR mewakili Sumatera Utara hasil Pemilu 1982.[7] Tanda Kehormatan[8]
Lihat pulaReferensi
Bibliografi
|