Suku Biak
Suku Biak adalah kelompok etnis yang berasal dari Kepulauan Biak di Teluk Cenderawasih, tepat di lepas pantai utara Pulau Papua. Masyarakat Biak memiliki beberapa sub-suku, seperti Aimando, Betew, Kafdaron, Karon, Usba, dan Wardo yang kebanyakan telah bermigrasi dan menetap di Kepulauan Raja Ampat sejak abad ke-15.[3] EtimologiPenamaan Biak sendiri diawali zaman pemerintahan kolonial Belanda pada abad ke-17, orang Belanda memberi nama kepulauan Biak-Numfor dengan sebutan Schouten Eilanden. Ada juga yang menyebutnya Numfor, Mafor, Wiak, atau Vyak. Fonem [w] pada kata "wiak" sebenarnya berasal dari fonem [v] yang kemudian berubah menjadi [b] sehingga muncul kata "Biak", sedangkan kata Biak-Numfor, dengan tanda garis mendatar penghubung dua kata itu, dipakai secara resmi untuk menamakan daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih. Keterangan cerita lisan rakyat berupa mite, menceritakan bahwa nama Biak berasal dari warga klan Burdam yang meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klan Mandowen. Menurut cerita itu, warga klan Burdam memutuskan berangkat meninggalkan Pulau Warmambo (nama asli Pulau Biak) untuk menetap di suatu tempat yang letaknya jauh sehingga Pulau Warmambo hilang dari pandangan mata. Ketika mereka berangkat meninggalkan pulau sesekali menoleh ke belakang mereka melihat Pulau Warmambo masih tampak di atas permukaan laut. Kondisi ini menyebabkan mereka berkata, "v'iak wer" atau "v'iak", artinya 'ia muncul lagi'. Kata "v'iak" inilah yang kemudian dipakai oleh mereka yang pergi untuk menamakan Pulau Warmambo. Sedangkan nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli Pulau Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan daerah di kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-Numfor pada tahun 1959.[4] Asal usulSuku Biak yang mendiami Kepulauan Biak dikenal sebagai penjelajah lautan yang tangguh. Sama seperti kemampuan suku Bugis, mereka menjelajah lautan dari Kepulauan Maluku, Sulawesi, Jawa, hingga ke Semenanjung Malaka. Penjelajahan suku Biak ini dilakukan karena motif letak geografis yang kurang menghasilkan secara ekonomi, lahan yang kurang subur sehingga terjadinya kekurangan sumber pangan, selain itu ada juga alasan persaingan atau korfandi, yaitu adanya perselisihan antar suku, serta adanya perselisihan tata adat dalam suku Biak. Namun hal yang paling mendorong suku Biak menjelajah adalah karena dorongan kebutuhan bahan pangan yang pada saat itu terjadi kemarau berkepanjangan di Biak, berawal berlayar di sekitar Teluk Cenderawasih hingga ke Kepulauan Raja Ampat. Karena ketangguhannya, mereka menguasai aspek perdagangan dan politik di wilayah pesisir Papua bagian utara. Bukti-bukti kekuasaan suku Biak ini dapat dilihat dari penamaan beberapa kota di pesisir utara Papua yang menggunakan kata dalam bahasa Biak, antara lain Manokwari dari kata mnuk war yang artinya "kampung tua", serta Sorong yang berasal dari kata soren. Aktivitas berdagang suku Biak menggunakan sistem kongsi dagang antar sahabat yang disebut manibobi, yaitu dengan cara berlayar dan berdagang keliling. Komoditas yang mereka dagangkan antara lain sagu, kulit kayu mesoyi, burung cenderawasih, dan para budak. Mereka menjajakan berbagai komoditas ke beberapa gugusan kepulauan Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan Teluk Dore, Manokwari, Amberbaken, hingga meluas hingga ke berbagai perairan Nusantara. Hubungan dagang suku Biak juga terjalin dengan para pelaut dari Ternate, Tidore, Halmahera, Flores, Gebe, Sulawesi, Buton, Seram, dan Tiongkok. Sebagai hasil kongsi dagang tersebut, para pelaut suku Biak mendapatkan barang-barang berupa porselin dari Tiongkok, manik-manik, parang, tombak besi, gelang dari besi atau logam, serta berbagai jenis kain dari daerah dan beberapa daerah yang disinggahi. Bahkan para pelaut suku Biak pada zaman kolonial Belanda dikenal dengan sebutan Papoesche Zeerovers yang artinya 'para bajak laut Papua'. Mereka berlayar menggunakan perahu layar tradisional wai roon yang biasanya digunakan untuk perang dengan suku-suku lain dan menangkap budak-budak. Wai mansusu dan wai papan digunakan untuk berdagang. Suku Biak juga sudah menguasai ilmu navigasi yang baik dengan mengandalkan rasi bintang, biasanya bintang Orion (Sawakoi) dan Scorpio (Romanggwandi).[5] TradisiWorMasyarakat Biak masih memiliki kebudayaan kuno yang mengacu pada kepercayaan animisme lokal sebelum masuknya pekabaran Injil ke Papua. Aliran kepercayaan tersebut lebih ditonjolkan melalui rangkaian upacara ritual yang lebih dikenal sebagai Wor. Wor dalam bahasa Biak berarti lagu dan tari tradisional. Seorang anak yang terkena wabah penyakit dianggap bernasib malang, kegagalan berladang, bahkan kecelakaan dianggap sebuah malapetaka sehingga harus diadakan upacara adat untuk menangkal penyakit ataupun mara bahaya. Wor adalah ekspresi aktivitas semua aspek kehidupan suku Biak. Beberapa upacara adat yang masih sering dilakukan oleh suku Biak disebut sebagai tradisi Wor. IyakyakerTradisi Iyakyaker suku Biak, yaitu tradisi pemberian maskawin antara lain berupa, hewan babi, manik-manik, guci, piring antik, hasil perkebunan, hasil laut, hewan hasil buruan, serta beragam harta benda lainnya yang dimiliki. Piring antik (ben bepon), dan guci masih sering di jumpai dalam ritual adat suku Biak. Pemberian maskawin atau disebut dengan istilah ararem.[6] Ararem ini dapat terkumpul melewati prosesi adat suku Biak sejak kecil hingga menjelang dewasa. Antara lain mengeluarkan anak dari kamar, menggendong anak, menggunting rambut, membawa anak ke gereja semua ini harus dilakukan dengan pembayaran maskawin dari pihak marga atau ipar-ipar dalam tatanan adat suku Biak. Ararem ini nantinya akan disimpan ditempat khusus yang disebut arem. Setelah menentukan calon anak mantu maka orang tua akan mengundang paman dan bibi dari pihak ibu untuk melakukan peminangan. Apabila pihak perempuan menerima lamaran pihak laki-laki maka pihak perempuan akan mengajukan besaran maskawin kepada pihak laki-laki. Adapun besarnya jumlah maskawin (mahar) biasanya ditentukan oleh status perempuan bisa dilihat dari latar belakang keluarga, keperawanan, maupun kecantikan dan saat sekarang ini faktor pendidikan juga ikut menentukan besaran jumlah maskawin. Keunikan lain saat mengantar maskawin berupa piring antik dan guci adalah adanya bendera Merah Putih sebagai simbol lambang negara ikut mengantarkan prosesi maskawin, tradisi ini baru berkembang sejak masuknya Papua menjadi salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1963. Sebaliknya, pihak perempuan yang sudah menerima pihak keluarga laki-laki juga menyiapkan sesuatu berupa barang-barang rumah tangga sehingga dalam menjalan kehidupan kelak tidak mengalami kesulitan. Selain itu juga menjadi sikap dasar pihak perempuan yang nantinya kedepannya tidak jadi penilaian yang kurang baik dari pihak laki-laki.[7] KebudayaanMakanan tradisionalMakanan tradisional sekaligus makanan pokok masyarakat suku Biak adalah pokem atau otong yang lebih populer dengan nama 'gandum Papua'. Pokem adalah terigu dari tumbuhan (tanaman) kelas Monocontiledonae, famili Gramineae, genus Sorghum, spesies Sorghum rumbrawer (L) mirip dengan gandum (Avena sativa). Tanaman ini merupakan asli dan dibudidayakan oleh suku bangsa Biak sebagai makanan pokok di Pulau Numfor. Bentuknya seperti padi namun batangnya lebih kecil. Umur tanaman ini 90 hari, pokem bisa dipanen setiap tiga bulan. Jadi dalam satu tahun bisa menghasilkan empat kali panen. Bagi masyarakat suku Biak, ada lima jenis tanaman pokem yang terdiri dari pertama pokem resyek atau pokem coklat, kedua pokem verik atau pokem merah, ketiga pokem vepyoper atau pokem putih dan keempat pokem vepaisem atau pokem hitam, dan kelima pokem venanyar atau pokem kuning.[8] Proses pengolahan pokem dengan cara melepaskan bulir pokem dari tangkai, bulirnya ditumbuk agar lepas dari kulitnya, mirip dengan proses padi menjadi beras, kemudian diayak agar terpisah buliran dan kulit pokem. Pokem kemudian ditumbuk lagi hingga halus, dan siap untuk dimasak. Proses memasaknya sendiri dengan merebus tepung pokem dengan air kemudian ditambahkan santan kental agar gurih, diaduk hingga kental kemudian ditambahkan gula pasir dan susu, diaduk hingga warna kekuningan dan kemudian siap disajikan.[9] Kuburan tua PadwaMarga Swabra adalah marga tua suku Biak yang berada di Kampung Padwa, Distrik Yendidori. Di Kampung Padwa ini, masih bisa ditemukan kuburan tua didalam celah tebing-tebing karang tepi pantai, tengkorak yang berada ditepi tebing, maupun ada dalam peti kayu yang masih tertata rapi. Hal ini berkaitan dengan tata cara penguburan suku Biak pada zaman dahulu. Namun, semenjak Injil masuk ke Biak pada tahun 1855 maka penguburan tradisi ini sudah jarang dilakukan.[10] Tokoh terkenalPolitisi/negarawan
Militer
Agamawan
Aktivis
Pendidikan & keilmuan
Budayawan/seniman
Olahragawan
Referensi
|