Suku Dayak Tunjung
Suku Dayak Tunjung (Tonyooi) adalah suku bangsa yang terdapat di Kabupaten Kutai Barat (24,2%) dan Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.[1] Dalam wilayah Kabupaten Kutai mereka tersebar dalam sejumlah wilayah kecamatan, misalnya Kecamatan Kota Bangun, Kecamatan Melak, Kecamatan Barong Tongkok, Kecamatan Kembang Janggut, Kecamatan Kenohan dan Kecamatan Muara Pahu. Orang Tunjung ini masih dapat dibagi atas beberapa sub kelompok, misalnya sub kelompok Tunjung Bubut, Tunjung Asli , Tunjung Bahau , Tunjung Hilir, Tunjung Lonokng, Tunjung Linggang, dan Tunjung Berambai.[2] Suku Dayak Tunjung mendiami kecamatan:[3]
Tonyoi-Benuaq merupakan nama lain dari Tunjung-Benuaq. Kedua Suku Dayak ini merasa tidak terpisahkan baik dari segi sosial dan budaya. Namun sering pula disebutkan secara terpisah yaitu Suku Dayak Tunjung dan Suku Dayak Benuaq. Perbandingan hubungan suku Tunjung dengan suku Kutai, seperti hubungan suku Baduy dengan suku Banten. Suku Kutai dan suku Banten merupakan suku yang hampir seluruhnya memeluk Islam, sedangkan suku Tunjung dan suku Baduy merupakan suku yang teguh mempertahankan religi sukunya. Sejarah dan Asal Usul Nama Dayak TunjungTidak ada data tertulis tentang asal usul Suku Dayak Tunjung ini. Kita dapat mengetahui asal usul mereka hanya dari cerita-cerita rakyat dari orang-orang tua yang didapat secara turun temurun. Konon menurut cerita Suku Dayak Tunjung ini berasal dari dewa-dewa yang menjelma menjadi manusia untuk memperbaiki dunia yang sudah rusak yang terkenal dengan sebutan “Jaruk’ng Tempuq”. Jaruk’ng adalah nama dewa yang menjadi manusia dan Nempuuq atau Tempuuq berarti terbang. Nama suku Dayak Tunjung ini menurut mereka adalah Tonyooi Risitn Tunjung Bangkaas Malikng Panguruu Ulak Alas yang artinya Suku Tunjung adalah pahlawan yang berfungsi sebagai dewa pelindung. Nama asli suku Tunjung ini adalah Tonyooi. Sedangkan kata Tunjung sendiri dalam bahasa dayak Tunjung adalah “Mudik” atau menuju arah hulu sungai. Ceritanya demikian. Pada suatu hari Seorang Tonyooi Mudik dan bertemu dengan orang Haloq (Sebutan Suku Dayak kepada seseorang yang meninggalkan adat dayak) kemudian Haloq tersebut bertanya pada Tonyooi ingin pergi kemana, kemudian si Tonyooi Menjawab “Tuncuuk’ng”, maksudnya mudik. Orang Haloq lalu terbiasa melihat orang yang seperti ditanyainya tadi disebut “Tunjung” dan hingga sekarang namanya tersebut masih dipergunakan. Suku Dayak Tunjung tinggal berdampingan dengan suku Dayak Benuaq yang memiliki sejarah yang berkaitan, sebagaimana suku Dayak Benuaq, Dayak Tunjung juga beralih ke Kristen pada awal pertengahan abad ke-19. Dayak Tunjung yang tinggal dikawasan Kenohan dan Muara Wis di Kutai Kartanegara umumnya merupakan anggota Gereja Kemah Injil Indonesia (Kristen Protestan), sementara di kawasan Kutai Barat sekitar 53.5% menganut Kristen Protestan, 44.5% Menganut Katolik Roma, 1.5% Islam dan 0.5% Kaharingan. Sistem KepercayaanSebagian besar anggota masyarakat suku-bangsa ini memeluk agama Kristen dan sebagian lainnya memeluk agama Islam. Namun secara umum mereka masih saja mengadakan hubungan dengan roh-roh berdasarkan sistem kepercayaan leluhurnya. Hubungan dengan roh-roh itu untuk meminta keselamatan, rezeki dan lain-lain. Yang menjadi penghubungan dengan roh-roh itu adalah para dukun (beliatn). Pengaruh Islam dalam religi orang Tunjung tidak begitu berarti. Pengaruh yang tampak misalnya nama dewa tertinggi yang disebut Laraia. Nama itu rupanya berasal dari Allah ta'ala, akan tetapi pengertiannya tidak sama. Dalam mite dan upacara dewa tertinggi itu tidak disebut Laraja, tapi digunakan dalam rangka pembicaraan dengan orang lain.[4] Sistem Mata PencaharianMata pencaharian utama orang Tunjung adalah bertani ladang dan sebagian masih merupakan ladang berpindah dengan tanaman pokoknya padi. Di samping itu mereka juga menanam palawija, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang-kacangan, sayur-sayuran, serta tanaman keras misalnya kelapa, durian, rambutan, cempedak, langsat, dan lain-lain. Sebagai mata pencaharian tambahan mereka menangkap ikan di sungai menggunakan bubu atau alat penangkap ikan tradisional suku dayak, berburu binatang di hutan atau menggunakan jerat, mengumpulkan hasil hutan seperti rotan, damar, tengkawang, sarang burung.[5] PaguyubanDewasa ini terdapat paguyuban/ormas untuk menyatukan kedua sub-etnis ini yaitu Sempekat Tonyoi Benuaq. STB juga merupakan anggota Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT). STA (Sempekat Tonyoi ASA), gabungan sepuluh kampung dengan nama akhir asa seperti
Sempekat lainnya ada pula Sempekat Tonyooi Sekolaq yang terdiri dari beberapa kampung: Sekolaq Darat, Sekolaq Joleq, Sekolaq Oday, Sekolaq, Muliaq dan lainnya.
BahasaOrang Tunjung mempunyai bahasa sendiri sebagai bahasa ibu yaitu bahasa Tunjung. Satu sumber menyebutkan bahasa ini terbagi atas lima dialek, yaitu dialek Tunjung Tengah, Tunjung Londong, Tunjung Linggang, Tunjung Berambai dan Pahu. Mereka rata-rata bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Kutai dan Banjar merupakan bahasa pergaulan di lingkungan masyarakat Kabupaten Kutai yang juga dikuasai oleh orang Tunjung. Sebagian dari mereka juga memahami bahasa tetangganya yaitu bahasa Benuaq. Bahasa Tunjung dan bahasa Ampanang termasuk kelompok bahasa Barito-Mahakam, yang penyebarannya terbatas di daerah Mahakam.[6] DialekWalaupun Dayak Tunjung merupakan sebuah sub dari Dayak, namun di dalam Dayak Tunjung itu sendiri terdapat perbedaan logat bahasa dan wujud kebudayaan, tetapi tidak begitu mendasar. Akibat penyebaran ini sehingga terjadi berbagai macam jenis yaitu:
Sistem KekerabatanPrinsip kekerabatan yang dianut oleh suku dayak tunjung ialah prinsif bilateral, yang menghitung sistem kekerabatan dari pihak pria maupun wanita. Setiap individu termasuk dalam kekerabatan ayah dan ibunya, anak-anaknya mempunya hak dan kewajiban yang sama terhadap keluarga pihak ibu maupun ayah. Kelompok kekerabatan suku dayak tunjung terikat oleh hubungan kekerabatan yang disebut Purus. Purus dihitung berdasarkan hubungan darah dan hubungan yang timbul melalui perkawinan. Kelompok kekerabatan yang diperhitungkan melalui purus disebut batak. Individu yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dalam suatu kelompok disebut sebatak (batak tai) dan yang bukan disebut batak ulunt. Adat menetap sesudah nikah berlaku adat utrolokal, sepasang pengantin bebas memilih untuk menetap di lingkungan kerabat suami atau kerabat istri. Kemungkinan lain adalah adat neolokal, artinya bisa berdiam di luar lingkungan kerabat suami atau istri. Perkembangan desa yang berasal dari sebuah rumah panjang (Luu) masih tetap mengikat penduduk menjadi suatu komunitas desa. Pada masyarakat dayak Tunjung juga terdapat pelapisan sosial yang dibedakan dengan tajam sekali ketika susunan pemerintahan desa adat (zaman lamin kuno) masih berlaku. Hilangnya pelapisan sosial adalah pengaruh masuknya pemerintah belanda kedaerah tempat orang-orang dayak bermukim. Sistem perbudakan yang ada dihapuskan bersamaan dengan pelarangan potong kepala (mengayau) yang dalam bahasa tunjung disebut balaaq. Susunan pelapisan sosial masyarakat tunjung pada zaman dulu adalah:
Organisasi LainDi daerah Tunjung Benuaq terdapat beberapa organisasi kepemudaan seperti:
Tokoh-tokoh Suku Dayak Tunjung
KesenianMasyarakat kampung orang Tunjung ini biasanya tergolong dalam satu kesatuan genealogis. Kampung-kampung semacam itu biasanya mudah mengenalnya, karena nama dari kampung itu berawal atau berakhir dengan sebutan yang sama. Nama-nama seperti itu tampak pada kelompok Asa, misalnya kampung Muara Asa, Juhan Asa, Ombau Asa, Galeo Asa, Ongko Asa, Balok Asa, dan Ngenyan Asa. Pada kelompok lain nama kampung dimulai dengan Sekolaq, misalnya Sekolaq Darat, Sekolaq Jol aq, Sekolaq Mulia, dan Sekolaq Oday. Kelompok Tunjung ini memiliki jenis-jenis ekspresi akan keindahan, misalnya seni suara. Sebuah nyanyian bernama bedoneq merupakan nyanyian yang diturunkan dari generasi sebelumnya dengan tidak diiringi alat musik. Liriknya berisi sindiran antara pria dan wanita yang sedang dimabuk cinta. Nyanyian ini dibawakan pada saat ada pesta. Doneq lagu tradisional yang dibawakan oleh muda mudi yang sedang menjalin rasa cinta kasih. Tari-tarian yang terkenal di kalangan mereka adalah tari Jepen Tungku, Jepen Tali , Jepen Sidabil. Mereka pun mengenal seni musik dengan instrumen-instrumen yang disebut klenrangan terdiri dari beberapa gong dan sejenis bonang (pompong). Pada mulanya instrumen ini terbuat dari kayu tetapi kemudian dibuat dari logam. lnstrumen ini diperkirakan berasal dari Jawa pada saat kerajaan Kutai mengadakan hubungan dengan Majapahit. Mereka menghasil karya seni berupa patung-patung. Ada patung berukuran kecil sebagai jimat misalnya untuk menolak penyakit. Patung yang lain berukuran besar sampai mencapai empat meter, misalnya patung belontakng, yang mengekspresikan lambang-lambang, yang digunakan dalam rangka suatu upacara. Patung ini bermotif manusia dengan bermacam-macam ekspresi wajah dan ada yang disertai hiasan di pundak. Lagu Dayak Tunjung
Catatan kaki
Pranala luar
|