Suku Lio
Suku Lio (Ata Li'o) adalah kelompok etnis yang mendiami Pulau Flores bagian tengah. Masyarakat suku Lio pada umumnya mendiami wilayah kecamatan Wolowaru, Ndona, Ndona Timur, Detusoko, Lio Timur, Maurole, Detukeli, Ndori, Kelimutu, beberapa wilayah di kecamatan Maukaro, Lepembusu Kelisoke, Kotabaru, Wolojita, dan Wewaria. Populasi masyarakat Lio berjumlah sekitar 300.000 jiwa pada tahun 1998.[1] Suku Lio juga menempati bagian barat wilayah Kabupaten Sikka, yakni di kecamatan Paga, Mego, Tanawawo, dan Magepanda. SejarahMenurut tutur lisan setempat, suku Lio adalah manusia pertama di wilayah Ende-Lio turun dari gunung tertinggi yaitu gunung Lepembusu yang berada di kawasan pemukiman desa Wolotolo. Suku Lio di desa Wolotolo dipimpin oleh empat Mosalaki (kepala suku) dan tujuh Kopokasa (wakil kepala suku). Kepala suku dan wakilnya memegang peranannya masing-masing sesuai dengan tugas yang diamanatkan turun temurun dari nenek moyang sebelumnya. Keempat kepala suku bertempat tinggal di sao ria (rumah besar) masing-masing. Suku Lio di desa Wolotolo memiliki berbagai macam elemen permukiman adat bangunan mulai dari sao ria (rumah besar), sao keda (tempat musyawarah), kanga (arena lingkaran), tubu musu (tugu batu), rate (kuburan), dan kebo ria (lumbung). Bangunan-bangunan adat suku Lio ini memiliki berbagai macam bentuk sesuai dengan fungsinya masing-masing.[2] Kemudian ada versi lain mengatakan orang Lio awalnya datang dari Melaka di Semenanjung Melayu, ada juga yang berpendapat datang dari wilayah Wehali di Pulau Timor. Orang tersebut adalah Lio Laka yang mendarat di kecamatan Wewaria saat ini. Hal ini menunjukan bahwa versi yang mengatakan bahwa orang Lio merupakan keturunan orang Tetun Malaka yang berasal dari Pulau Timor yang terletak di selatan Pulau Flores.[2] Agama dan kepercayaanSuku Lio dikenal sangat memegang teguh terhadap keyakinan dan kepercayaan mereka terhadap wujud tertinggi yang disebut Du'a Ngga'e (tuhan), Nitupa'i (roh halus yang paling ditakuti dan harus dihormati), Atamata atau Babo Mamo (leluhur) yang wajib dihormati. Dalam konteks ini, Du'a Ngga'e berada pada titik puncak yang wajib disembah. Sementara Nitupa'i dan Atamata wajib dihormati. Masyarakat suku Lio juga percaya adanya kekuatan adikodrati serta percaya bahwa roh-roh para leluhur dan roh-roh alam sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka. Walaupun sebagian kecil masih mempraktikkan agama asli Nusantara (agama leluhur) tetapi saat ini hampir seluruh masyarakat Lio sebagian besar sudah menganut agama-agama Abrahamik, yakni Katolik dan Islam. Saat ini mayoritas suku Lio menganut agama Katolik dan sisanya menganut Islam. BudayaRumah adatBangunan tradisional suku Lio antara lain adalah sao keda bangunan pertama sebagai cikal bakal terbentuk pemukiman, sao ria (rumah besar), tupu mbusu (batu lonjong), sao bhaku (rumah penyimpanan tulang belulang), kuwu lewa (dapur umum), rate (kuburan besar), kebo ria (lumbung), dan kanga merupakan area ritual dalam menjalani seremonial adat suku Lio yaitu untuk melakukan persembahan terhadap Dua Ngae (Tuhan) dalam kepercayaan suku Lio. Bangunan sao keda awalnya dahulu tempat peristirahatan masyarakat suku Lio saat pulang dari berburu dan bertani yang biasanya berada di dekat daerah pertanian tempat suku Lio bekerja sehari-hari. Kelompok sosialKelompok sosial yang sangat penting dalam suku Ende lio mewujudkan struktur piramida yang di puncaknya duduk kepala suku yang secara turun temurun dijabat oleh anak laki-laki sulung. Ia berstatus dan bertindak sebagai orang tua (ine ame) dan disebut pula sebagai ahli waris (teke ria fai nggae). Warga suku Lio yang masih seketurunan dengan Laki Ine Ame dinamakan Aji Ana, artinya sama dengan adik dan anak. Selanjutnya masyarakat yang tinggal dalam kampung itu, tetapi tidak ada hubungan kerabat dengan kepala suku tadi disebut Fai Walu. Masyarakat semacam ini tidak mendapat warisan yang berasal dari nenek moyang suku, akan tetapi bila ia berjasa terhadap suku maka akan diberi imbalan tertentu.[3] Upacara adatRitual adat ka po'o dilaksanakan oleh suku Lio yang bermatapencaharian sebagai petani dan berladang, merupakan ritual adat dalam tata berladang yang dilaksanakan setiap tahun oleh para masyarakat yang berladang (fai walu ana halo) bersama-sama dengan pemangku adat (mosalaki) yang ditandai dengan upacara memasak nasi dalam bambu yang disebut are po'o oleh para ibu hal ini diyakini bahwa keterlibatan para ibu memiliki makna bahwa perempuan adalah rahim kehidupan (bumi) sehingga diyakini mendatangkan kesuburan, kelimpahan panen serta rejeki dalam keluarga. Sedangkan laki-laki disimbolkan sebagai langit yang merawat, menjaga dan melindungi. Prinsip laki-laki dan perempuan dalam suku Lio diibaratkan seperti langit-bumi yang saling melengkapi satu sama lain. Ini juga bentuk kesetaraan gender dalam tatanan adat, Upacara ka po'o diakhiri dengan makan bersama seluruh mosalaki dan penggarap ladang. Tujuan dilaksanakannya ritual adat untuk memberi makan kepada para leluhur, menolak hama penyakit sehingga lahan yang dibuka untuk berladang diberi kesuburan, keamanan dan hasil yang baik. Tak hanya sekadar ritual, tetapi upacara adat yang terus dilakukan secara turun temurun ini menjadi ajang kebersamaan dan pertemuan keluarga masyarakat adat. Pantangan adat (pire) dilakukan setelah upacara ka po'o yang berlangsung selama dua hari. Pantangan bertujuan agar para penggarap mentaati wejangan mosalaki sebagai bentuk penghargaan terhadap warisan tradisi para leluhur juga saat untuk menyiapkan segala peralatan berladang. Sanksi adat (poi) dari para mosalaki akan diberikan bagi yang melanggar pantangan. Pantangan yang harus dilaksanakan adalah tidak boleh menyentuh dan memetik daun, tidak boleh beraktivitas di kebun, tidak diperkenankan menjemur pakaian di luar rumah, tidak boleh menyapu halaman rumah serta tidak boleh memasak atau membakar di luar rumah.[4] Perkawinan adatPerkawinan adat suku Lio diawali dengan pemberian mahar (maskawin) atau dalam bahasa Ende disebut sebagai belis, dalam suku Lio belis menentukan strata kehidupan dan gengsi tersendiri dalam kehidupan sehari-hari. Belis yang biasa diberikan adalah berupa hewan ternak seperti kerbau, sapi, dan kuda. Sedangkan babi, kambing, dan ayam dianggap hanya sebagai bahan lauk yang disajikan saat makan bersama dalam upacara adat. Suku Lio menganut faham patrilineal. Ada 4 jenis pernikahan di suku Lio, yaitu:
Kain tenunKain tenun suku Lio atau disebut lawo dalam bahasa Lio. Tenun ikat patola, yaitu kain tenun yang biasanya khusus dibuat untuk kalangan kepala suku dan kerabat kerajaan. Ciri khas motif kain patola biasanya berupa daun, dahan, ranting, biawak dan manusia, ukurannya kecil dengan bentuk geometris yang disusun membentuk jalur-jalur kecil berwarna merah atau biru di atas dasar kain berwarna gelap. Biasanya dan ada tambahan hiasan berupa manik-manik dan kulit kerang ditepian bagian kain tenun hal ini khusus untuk kaum wanita kalangan bangsawan saja. Kain patola di pengaruhi oleh budaya India dan Portugis sejak abad ke-16 ketika maraknya perdagangan rempah-rempah masuk ke pulau Flores. Kain patola dianggap sangat istimewa hingga sering dikuburkan bersama jenazah, karena kain patola dijadikan penutup jenazah seorang bangsawan atau raja raja. Selain itu masih terdapat banyak lagi motif kain tenun ikat (lawo).[6] Tari tradisionalTari gawi adalah tarian tradisional yang sakral, dilakukan secara hikmat karena tarian ini merupakan ungkapan rasa syukur atas segala berkat dan rahmat yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka. Biasanya dilakukan secara massal oleh suku Lio oleh kaum laki-laki dan perempuan. Para penari membentuk formasi melingkar dengan mengelilingi tubu busu. Dalam formasi tersebut para penari laki-laki berada di depan atau bagian dalam, sedangkan penari perempuan di belakang atau bagian luar. Gerakan tariannya dilakukan dengan saling berpegangan tangan, gerakan lebih didominasi gerakan kaki maju, mundur, ke kiri, dan ke kanan secara bersamaan. Sedangkan gerakan tangan hanya diayun-ayunkan. Tari gawi biasanya tidak menggunakan musik pengiring, tetapi hanya diiringi oleh syair yang dibawakan oleh Ata Sodha. Dalam pertunjukannya Tari gawi dilakukan secara masal dengan saling berpegangan tangan dan membentuk formasi seperti lingkaran yang menjadi ciri khas tarian ini. Tari gawi sering ditampilkan dalam upacara seperti saat selesai panen, pembangunan rumah adat, pengangkatan kepala suku dan acara adat lainnya.[7] Makanan khasBagi masyarakat Lio, uwikaju atau uwiai (singkong) merupakan panganan lokal yang menjadi makanan pokok dan sudah ada sejak masa nenek moyang, salah satunya adalah uwiai ga'u. Meskipun sama-sama berbahan dasar ubi namun uwiai g'au belum sepopuler uwiai ndota atau uwiai punga. Ga'u dalam bahasa Lio artinya "aduk/diaduk". Karena masakan tersebut merupakan campuran ubi yang diaduk-aduk. Selain itu nasi dan jagung juga merupakan jenis makanan pokok yang biasa di konsumsi oleh masyarakat suku Lio.[8] Lihat jugaReferensi
|