Teologi apofatisTeologi apofatis, atau dikenal juga sebagai teologi negatif, via negativa atau via negationis, adalah suatu teologi yang berusaha menjelaskan Tuhan Yang Maha Baik dengan hanya berbincang mengenai apa yang tidak mungkin dikatakan mengenai kebaikan sempurna, yaitu Tuhan.[1] Lawan pandangan ini adalah teologi katafatik. Sebuah contoh dapat ditarik dari pernyataan teolog John Scotus Erigena (abad ke-9): "Kita tidak tahu apa itu Tuhan. Tuhan, sendirinya, tidak mengetahui siapa diri-Nya, karena Tuhan bukanlah sesuatu. Secara literal, Tuhan bukanlah sesuatu, karena ia bersifat melampaui keberadaan (Being)." Singkatnya, teologi negatif adalah sebuah usaha untuk menjelaskan pengalaman relijius dan bahasa mengenai Yang Maha Baik melalui pemisahan, dan dengan demikian mengetahui Tuhan bukanlah apa dan tidak Tuhan adalah apa. Tradisi apofatis sering kali, meskipun tidak selalu, dihubungkan dengan pendekatan mistisisme, yang menekankan pada pengalaman spontan atau terpelajari seorang individual untuk menggapai realita surgawi hingga melampaui batas-batas persepsi biasa. Pengalaman demikian sering kali tidak dibantu oleh struktur agama terorganisir tradisional atau permainan peran terkondisikan dan sikap defensif dari pihak lain. Deskripsi Tuhan secara apofatikTeologi negatif berpandangan bahwa pengalaman ilahiah itu tak terlukiskan; suatu pengalaman mengenai kesucian yang hanya dapat dikenali atau diingat secara abstrak. Lebih jelasnya, manusia tidak dapat menjelaskan esensi kebaikan sempurna yang berbeda-beda bagi tiap individu dengan kata-kata. Manusia juga tidak mampu mendefinisikan kompleksitas besar Ilahi dalam hubungannya terhadap seluruh bidang realita. Sebagai hasilnya, seluruh penjelasan akan menjadi tidak sahih dan konseptualisasi harus dihindari. Pada akhirnya yang dihasilkan adalah adalah sebuah kondisi di mana pengalaman ilahiah tidak terdefinisikan berdasarkan definisinya sendiri.
Meskipun pada intinya teologi apofatis menolak pemahaman secara teologis sebagai jalan menuju Tuhan, beberapa orang menjadikannya sebagai latihan intelektual dengan cara mendeskripsikan Tuhan berdasarkan apa yang bukan Tuhan. Tentu harus diketahui bahwa karena pengalaman keagamaan (atau kesadaran mengenai sesuatu yang suci dan disucikan) tidak dapat disarikan menjadi bentuk pengalaman manusia yang lain, suatu pemahaman abstrak terhadap pengalaman keagamaan tidak dapat digunakan sebagai bukti bahwa diskursus atau praksis keagamaan tidak bisa memiliki nilai.[2] Dalam teologi apofatis, negasi teisme juga mensyaratkan negasi ateismenya yang berdampingan apabila metode dialektis yang digunakannya berintegritas.[3] Dalam BuddhismeBuddhisme juga menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dilabel sebagai pertanyaan teologis. Pendekatan apofatis banyak ditemukan di dalam filsafat Buddhisme. Menurut naskah Buddhis awal, Sang Buddha menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu mengenai proposisi metafisis yang dikenal sebagai empatbelas jawaban tidak terjawab (Kanon Pali menulis hanya sepuluh). Pertanyaan-pertanyaan ini berhubungan dengan topik-topik tertentu seperti atta (diri/jiwa), asal-usul alam semesta, dan kehidupan setelah kematian. Sang Buddha menjelaskan bahwa dia tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu karena pertanyaan tersebut tidak memiliki guna dalam pengejaran nirwana; ia bahkan berkata, "Vaccha, ‘pandangan spekulatif’ merupakan sesuatu yang telah disingkirkan oleh Tathagata."[4] Dalam kesempatan lain, Sang Buddha menggarisbesarkan empat jawaban yang cocok untuk pertanyaan: iya atau tidak, analisis, pertanyaan balik, dan tidak menjawab pertanyaan.[5] Dalam bukunya berjudul The Silence of God: the Answer of the Buddha, Raimundo Panikkar menganalisis empatbelas pertanyaan tidak terjawab tersebut dalam konteks dialog Kristen-Buddhis, dan berkesimpulan bahwa posisi Sang Buddha dapat dijelaskan dengan paling baik sebagai "apofatisme transendental", yaitu posisi di mana yang transenden (dalam kasus ini, nirwana) dijelaskan melalui negasi. Dalam tradisi Kristen
Baik Yahudi maupun Kristen adalah agama-agama yang berdasar pada wahyu. Tuhan memiliki sifat-sifat tertentu yang dipasangkan secara positif pada diri-Nya. Kitab sucinya diwahyukan; dalam kata lain, Tuhan merepresentasikan diri-Nya melalui kitab suci. Sebagai contoh: Kristen mengajarkan bahwa Logos merupakan inkarnasi. Tipe pemikiran ini disebut teologi katafatis. Tertullian mengatakan bahwa, "Yang infinit hanya dapat diketahui dirinya sendiri. Ini adalah yang memberikan kita penggambaran mengenai Tuhan, meskipun ia berada di luar seluruh konsepsi kita. Ketidakmampuan kita untuk meraih Dia tetap memberikan kita sedikit ide atas apa Dia itu. Dia diberikan kepada pikiran kita dalam kebesaran-Nya yang transenden, yang pada saat yang bersamaan diketahui dan tidak diketahui."[6] Santo Cyril dari Yerusalem menyatakan dalam homilinya: "Karena kita tidak menjelaskan apa itu Tuhan tetapi mengakui secara jujur bahwa kita tidak memiliki pengetahuan yang eksak mengenai-Nya. Karena di dalam apa yang berhubungan dengan Tuhan, mengakui bahwa kita tidak tahu adalah pengetahuan terbaik."[7] Para Bapa-bapa Kapadokia pada abad ke-4 menyatakan bahwa mereka percaya kepada Tuhan, tetapi mereka tidak percaya bahwa Tuhan ada dengan penginderaan yang sama dengan benda-benda lainnya. Lebih jelas, mereka menyatakan bahwa semua hal yang ada (eksis; exists) diciptakan, namun sang Pencipta sendiri melampaui keberadaan (eksistensi; existence). Esensi Tuhan seluruhnya tidak dapat dijangkau manusia; manusia hanya dapat mengetahui Tuhan via energi-Nya. Pengaruh teologi apofatis terasa sangat kuat dalam karya-karya Pseudo-Dionysius Areopagite dan Maximus Sang Syahid. (Pseudo-Dionysus dikutip 1.760 kali oleh Thomas Aquinas dalam karya Summa Theologica).[8] Teologi negatif juga memainkan peranan yang penting dalam sejarah Kristen, misalnya dalam karya-karya Klemens dari Alexandria. Tiga teolog lainnya yang mementingkan teologi negatif demi mencapai pengertian ortodoks mengenai Tuhan adalah Gregorius dari Nyssa, John Chrysostom, dan Santo Basil yang Agung. Yohanes dari Damaskus menggunakan teologi negatif ketika ia menulis bahwa pernyataan-pernyataan positif mengenai Tuhan "tidak" membukakan "sifat Tuhan, namun hal-hal yang melingkupi sifat Tuhan". Teologi negatif tetap menjadi penting dalam Ritus Timur. Pernyataan-pernyataan apofatis penting bagi banyak teolog modern dalam Kristen Ortodoks. Dalam teologi Ortodoks, teologi apofatis dianggap lebih tinggi nilainya dibanding teologi katafatis. Meskipun Aquinas menganggap bahwa teologi positif dan negatif harus dilihat sebagai lawan dialektis sebagaimana tesis dan antitesis menghasilkan sintesis, namun Vladimir Lossky, mendasarkan pandangannya pada pembacaan karya Dionysius dan Maximus Konfesor, bahwa teologi positif selalu lebih rendah dibanding teologi negatif.[9] Ini disampaikan dalam pengertian bahwa mistisisme adalah ekspresi terhebat dari teologi dogmatis.[10] Teologi negatif juga memiliki peranan dalam Gereja Katolik Barat, meskipun sifatnya lebih merupakan perlawanan terhadap arus tradisi teologi positif/katafatis yang lebih umum dalam Gereja tersebut. Sebagai contoh adalah teolog seperti Meister Eckhart dan San Juan de la Cruz. Karen Armstrong dalam bukunya The Case for God (2009) menemukan sebuah arus balik teologi apofatis dalam teologi posmodern.[11] Menurut seorang kolaborator jangka panjangnya yaitu Lee Hoinacki, Ivan Illich, sang sejarawan dan kritikus sejarah, dapat dipandang sebagai seorang teolog apofatis. Ini disampaikannya dalam sebuah esai yang dipublikasikan untuk mengingat Illich berjudul "Why Philia?" Dalam filsafat YunaniSang penyair Yunani Kuno Hesiod menuliskan dalam versinya mengenai kelahiran para dewa dan penciptaan alam semesta bahwa Chaos melahirkan dewa-dewi asal: Eros, Gaia (Bumi) dan Tartarus, yang kemudian melahirkan Erebus (Kegelapan) dan Nyx (Malam). Plato melanjutkan silsilah ini di dalam Timaeus, bahwa dewa-dewi Titan dan Olympian dilahirkan oleh Langit dan Bumi. Meski demikian, Plato tidak mengungkapkan sebuah teologi negatif. Forma Kebaikan Plato (yang oleh beberapa komentator sering kali disamakan dengan Forma Kesatuan) bukannya tidak dapat diketahui melainkan merupakan objek tertinggi ilmu pengetahuan.[12] Plotinus merupakan filsuf pertama yang mengungkapkan teologi negatif. Ia mengungkapkannya dalam versinya mengenai neoplatonisme (meskipun mungkin ia sudah punya pendahulu dalam tradisi neophytagoreanisme dan Platonisme tengah). Dalam tulisannya ia menyamakan Kebaikan di dalam Republik (sebagai sebab dari Forma-forma lainnya) dengan Kesatuan yang ada di dalam hipotesis pertama di bagian kedua Parmenides (137c-142a), yang disimpulkan bukan sebagai objek pengetahuan, pendapat, maupun persepsi. Dalam Ennead Plotinus menulis: "Pemikiran kita tidak dapat menggapai Kesatuan sepanjang imaji lain tetap aktif di dalam jiwa . . . Demi mencapai tujuan ini, kamu harus membebaskan jiwamu dari seluruh hal-hal eksternal dan berbalik memasuki dirimu sendiri, dengan tak lagi bersandar pada apa yang ada di luar sana, dan membersihkan pikiranmu dari forma-forma ideal sebagaimana kamu membersihkan dirimu dari objek-objek inderawi, dan melupakan bahkan dirimu sendiri, dan dengan demikian kamu dapat melihat Kesatuan." Dalam HinduismePergerakan apofatis dalam Hinduisme dapat dilihat dalam karya-karya Shankara, seorang filsuf dari aliran filsafat India Adwaita Wedanta, dan Bhartrihari, seorang ahli tatabahasa. Shankara berpandangan bahwa sang nomenon transenden, Brahman, direalisasikan melalui penegasian setiap fenomenon termasuk bahasa. Di sisi lain, Bhartrihari berpandangan bahwa bahasa memiliki baik dimensi fenomenal maupun nomenal, dan dimensi nomenal inilah yang memanifestasikan Brahman.[13] Referensi
|