Tionghoa Guyana
Masyarakat Tionghoa berperan penting di Guiana Britania dari tahun 1853. Bahkan Presiden Guyana yang pertama, Arthur Chung (menjabat 1970 hingga 1980), adalah orang Tionghoa. Orang Tionghoa adalah salah satu dari "enam suku bangsa" yang disebutkan dalam lagu kebangsaan Guyana. Pada abad ke-20, banyak orang Tionghoa profesional yang pindah ke luar Guyana, sehingga sebagian besar dari orang Tionghoa Guyana saat ini bermukim di luar negeri.[1] SejarahEmpat belas ribu orang Tionghoa tiba di Guiana Britania antara tahun 1853 hingga 1879 dengan menumpangi 39 kapal yang berlayar dari Hong Kong. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan pekerja di perkebunan gula; di Guyana pada masa tersebut, terjadi kekurangan pekerja akibat penghapusan perbudakan. Beberapa dari mereka sudah menganut agama Kristen sebelum mendatangi Guyana.[2] Delapan puluh lima persen pendatang Tionghoa ini adalah laki-laki, dan sebagian besar kembali ke Tiongkok atau pindah ke wilayah lainnya di Amerika Selatan setelah menyelesaikan atau melarikan diri dari tugas mereka. Orang Tionghoa yang masih berdiam di Guyana memutuskan untuk berdagang.Pada dasawarsa 1890-an, orang Tionghoa memiliki 50% lisensi toko makanan dan 90% lisensi toko alkohol.[3] Walaupun awalnya mereka dikenal sebagai penjahat dan pengedar candu dan ganja, pada akhir abad ke-19 reputasi ini sudah digantikan oleh pandangan bahwa mereka adalah warga yang rajin dan taat hukum.[4][5] Tidak seperti orang Tionghoa perantauan, lainnya, orang Tionghoa Guyana dengan segera meninggalkan adat istiadat, agama, dan bahasa mereka.[6] Kesediaan mereka dalam menerima agama Kristen sangat berbeda dengan orang Tionghoa perantauan lainnya.[7] Banyak orang Tionghoa Guyana generasi pertama yang sudah menjadi orang Kristen saat masih berada di Tiongkok, dan sisanya juga masuk agama Kristen. Mereka membangun gereja-gereja di Guiana.[4] Pada pertengahan abad ke-20, keturunan para pendatang Tionghoa telah terasimilasi ke dalam budaya kolonial Britania sampai-sampai mereka tidak lagi dianggap menarik oleh para antropolog.[5] Antropolog Morton Fried mengamati bahwa mereka sudah nyaman dengan budaya Eropa dan perwujudannya di Guyana.[8] Referensi
|