Tommy Soeharto
Hutomo Mandala Putra (lahir 15 Juli 1962)[3] atau yang lebih dikenal dengan nama Tommy Soeharto adalah seorang pengusaha, dan politikus. Ia adalah merupakan putra dari Presiden Republik Indonesia ke-2 Soeharto. Ia juga adalah politisi Partai Swara Rakyat Indonesia. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai anggota Fraksi Karya Pembangunan DPR RI pada 1 Oktober 1992 hingga 21 Mei 1998. Kehidupan awalTommy lahir di Jakarta tanggal 15 Juli 1962 sebagai anak kelima dari Mayor Jenderal TNI Soeharto dan Siti Hartinah, biasa dipanggil Ibu Tien. Kakak-adiknya adalah Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto (Sigit), Bambang Trihatmodjo (Bambang), Siti Hediati Hariyadi (Titiek), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek). Nama tengahnya diambil dari nama operasi militer Indonesia, Komando Mandala Pembebasan Irian Barat, yang dibentuk bulan Januari 1962 dan dipimpin oleh Mayor Jenderal TNI Soeharto untuk mengusir Belanda dari wilayah Nugini Belanda (Papua Barat). Dalam autobiografinya, Soeharto menulis bahwa nama tengah Tommy merupakan pengingat operasi Mandala.[4] Pada tanggal 27 September 1965, saat masih berusia tiga tahun, Tommy mengalami luka bakar di wajah dan tubuhnya. Sebelumnya ia bermain dengan adiknya, Mamiek, di rumah keluarga di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta Pusat. Ia kemudian menabrak ibunya yang sedang membawa panci berisi sop buntut panas ke ruang makan. Ibunya segera mengoleskan minyak hati ikan kod ke kulit Tommy yang melepuh.[5] Ia dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto di Senen.[6] Soeharto menjenguk Tommy selama tiga malam berturut-turut. Ini salah satu momen bersejarah di Indonesia karena pada malam hari tanggal 30 September 1965, sejumlah elemen militer melaksanakan rencana kudeta dan menembak mati enam jenderal sekitar pukul 04:00 tanggal 1 Oktober. Sebelum pembunuhan terjadi, Soeharto masih berada di rumah sakit. Pada tengah malam, Tien meminta Soeharto pulang untuk menjaga Mamiek yang ditinggal sendiri bersama seorang pembantu. Ia pulang sekitar pukul 00:15 dan tidur. Ia dibangunkan sekitar pukul 04:30 dan menerima kabar penembakan tersebut. Tommy bersama ibunya meninggalkan rumah sakit pada 1 Oktober malam ditemani adik ipar Soeharto, Probosutedjo, dan ajudannya, Wahyudi. Tommy beserta kakak-adiknya dipindahkan ke rumah Wahyudi di Kebayoran Baru karena lebih aman.[7] Setelah lulus SMP di Jakarta, Tommy masuk Akademi Penerbangan Sipil. Ia kemudian kuliah pertanian di Amerika Serikat, tetapi tidak selesai. Ia pulang ke Indonesia untuk merintis karier bisnisnya.[8] Tommy sering dianggap sebagai putra favorit orang tuanya.[9] Biografi resmi Tien tahun 1992 menyatakan, “Hal yang membedakan Tommy dengan kakaknya, Sigit dan Bambang, adalah ia cenderung lebih gesit. Tommy, dengan kumisnya, selalu memakai kacamata RayBan-nya. Pada usia 28 tahun, ia tampak seperti kembaran bapaknya. Jauh di lubuk hatinya, ia sangat menyukai ibunya.”[10] Semasa muda, Tommy dikenal menggemari aktris, klub malam, dan kasino. Majalah Time tahun 1999 mencantumkan bahwa Tommy senang berjudi dan mudah sekali menghabiskan $1 juta dalam sekali putaran.[11] Kehidupan pribadiPada awal 1990-an, Tommy menjalin hubungan dengan penyanyi Maya Rumantir dan muncul dugaan bahwa mereka akan menikah.[12] Ibu Tommy kabarnya tidak menyetujui hubungan tersebut karena Maya orang Kristen keturunan Tionghoa-Manado, sedangkan Tommy orang Jawa Muslim. Jadi, orang tuanya menginginkan Tommy menikahi keturunan ningrat Jawa.[13][14] Pada tahun 2001, polisi memeriksa Maya di tengah pencarian Tommy yang masih buronan. Ia membantah menyembunyikan Tommy.[15] Tanggal 28 April 1996, ibu Tommy meninggal dunia akibat serangan jantung usai makan malam keluarga. Rumor yang berkembang di Jakarta menduga bahwa Tommy dan kakaknya, Bambang, berseteru soal kebijakan mobil nasional dan salah satu dari mereka melepaskan tembakan yang mengenai ibunya. Kabar miring ini ditepis oleh Kepala Kepolisian RI, Sutanto (ajudan presiden tahun 1996), dalam buku Pak Harto The Untold Stories (2011).[16] Bambang juga mencap rumor ini sebagai "fitnah komunis".[17] Pada usia 34 tahun, Tommy menikahi Ardhia Pramesti Regita Cahyani (22 tahun) atau 'Tata' pada tanggal 30 April 1997 di Masjid At-Tin di Taman Mini Indonesia Indah. Tata merupakan canggah Mangkunegara V.[18] Mereka memiliki dua anak, Dharma Mangkuluhur dan Radhyana Gayanti Hutami. Pada 15 Mei 2006, Tata meminta bercerai dan pindah ke Singapura. Mereka bercerai bulan September 2006.[19] Pada tahun 2017, salah satu pengacara Tommy, Salim Muhammad, mengatakan bahwa sebelum dipenjara, Tommy memberi Rp100 miliar kepada Tata untuk membesarkan kedua anaknya. Ia mengklaim bahwa uang tersebut dilarikan oleh Tata tanpa sepengetahuan Tommy.[20] Selama masa pelarian tahun 2001, Tommy menghabiskan waktunya bersama mantan model bernama Lani Banjaranti.[21] Tahun 2003, Lani mengatakan bahwa ia memiliki seorang putra berusia 13 tahun dari Tommy bernama Syalif Putrawan.[22] Ketika Tommy ditahan di Pulau Nusakambangan atas kasus pembunuhan, ia sering dijenguk oleh kekasihnya, Sandy Harun, pada malam hari. Ia kemudian melahirkan seorang putri bernama Marimbi Djodi Putri yang juga merupakan anak Tommy.[23] KarierKarier politikPada 11 Maret 1988, Tommy (saat itu berusia 25 tahun) dan kakak-kakaknya untuk pertama kali menghadiri upacara pelantikan bapaknya sebagai presiden dalam masa jabatan kelima. Kehadiran mereka menimbulkan spekulasi bahwa mereka sedang dipersiapkan untuk menduduki jabatan politik.[10] Tommy, Tutut, dan Bambang kemudian bergabung dengan Golkar, partai politik terbesar dalam rezim Suharto. Pada tahun 1992, mereka diangkat sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).[24] Usai mundurnya Suharto bulan Mei 1998, Golkar mengumumkan pada bulan Juli bahwa partainya menarik Tommy, Tutut, dan Bambang (dan istri Bambang, Halimah) dari MPR.[25] Tahun 2008, pejabat-pejabat Golkar mengatakan bahwa mereka mengizinkan anak-anak Suharto bergabung kembali dengan partai asalkan tidak terlibat masalah hukum.[26] Tahun 2009, Tommy maju sebagai calon ketua partai Golkar dalam musyawarah nasional partai di Riau. Anggota tim kampanyenya, Saurip Kadi, mengatakan bahwa Tommy berjanji akan memberi Rp50 miliar (setara dengan $5 juta) kepada setiap DPD II Golkar apabila terpilih.[27] Namun, Aburizal Bakrie menjanjikan Rp1 triliun dan akhirnya terpilih sebagai ketua.[28] Bulan Mei 2016, Tommy mengumumkan akan mencalonkan diri sebagai ketua partai Golkar, tetapi ia membatalkannya dan tidak mendaftarkan diri.[29] Pada bulan itu juga, Tommy diangkat sebagai anggota Dewan Pembina Partai Golkar.[30] Pada Juli 2016, Tommy mendirikan Partai Berkarya dengan menggabungkan Partai Beringin Karya dengan Partai Nasional Republik.[31] Partai baru ini mendapat izin pemerintah pada Oktober 2016. Partai Berkarya juga menggunakan logo pohon beringin dan warna kuning khas Golkar. Pada Maret 2017, Partai Berkarya dan Swara Rakyat Indonesia (Parsindo) mengumumkan bahwa mereka mendukung Tommy maju sebagai calon presiden dalam pemilihan umum Indonesia 2019. Sekretaris Jenderal Parsindo, Ahmad Hadari, memprediksi bahwa pilpres 2019 "akan menjadi perang" antara dinasti Sukarno dan dinasti Suharto.[32] Pada bulan Mei 2017, Tommy mengatakan bahwa ia prihatin dengan kondisi Indonesia saat ini karena korupsi tumbuh subur di DPR.[33] Pada September 2017, Tommy mengatakan bahwa ia tidak berminat maju dalam pilpres tahun 2019.[34] Pada Oktober 2017, pengacaranya membantah bahwa Tommy berencana maju sebagai calon presiden tahun 2019. Ia mengatakan bahwa akun-akun palsu di media sosial mengklaim bahwa ia didukung oleh berbagai organisasi massa.[35] Pada tanggal 11 Maret 2018, Tommy diangkat sebagai ketua Partai Berkarya.[36] Tanggal itu bertepatan dengan peringatan ke-52 Supersemar, surat yang ditandatangani oleh Sukarno tanggal 11 Maret 1966 yang menyerahkan kekuasaan kepada Menteri Panglima Angkatan Darat, Suharto. Dalam upacara pengangkatannya sebagai ketua partai, Tommy mengatakan bahwa pemilihan tanggal acara itu tidak disengaja.[37] Karier balapTommy sempat berkarier sebagai pembalap mobil dan mengikuti lomba Rally Indonesia tahun 1997 melawan sejumlah pembalap top dari World Rally Championship. Ia juga mendanai pembangunan Sirkuit Internasional Sentul. Tommy menjabat sebagai ketua Ikatan Motor Indonesia pada tahun 1991–1995.[38] Usai dibebaskan tahun 2006, Tommy ikut serta dalam Kejuaraan Nasional Reli SS-12 di Pecatu, Bali. Tommy mengendarai Subaru Impreza WRX, tetapi mobilnya terguling sehingga tidak bisa melanjutkan lomba.[39] Ia merupakan anggota pengurus IMI periode 2016–2020.[40] Putranya, Darma Mangkuluhur Hutomo, juga merupakan pembalap mobil. Riwayat pekerjaan
Riwayat organisasi
KasusPada April 1999, Tommy bersama rekan bisnisnya, Ricardo Gelael, disidang atas penipuan lahan senilai $11 juta.[41] Mereka dinyatakan tidak bersalah pada Oktober 1999 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada September 2000, panel tiga Hakim Agung yang dipimpin Syafiuddin Kartasasmita membatalkan putusan tersebut dan menjatuhkan hukuman penjara selama 18 bulan kepada Tommy dan Gelael atas tindak pidana korupsi. Tommy menolak dipenjara dan bersembunyi.[42] Istri Kartasasmita kemudian menduga bahwa suaminya menolak suap sebesar $20.000 dari Tommy.[43] Pada Juli 2001, Tommy membayar Rp100 juta kepada dua pembunuh bayaran untuk membunuh Kartasasmita. Kartasasmita ditembak mati di tengah perjalanan ke kantor.[44] Mahkamah Agung Indonesia yang dikenal sangat korup[45] menanggapi kasus pembunuhan ini dengan membatalkan putusan korupsi Tommy pada Oktober 2001. Tindakan ini dinilai sebagai bagian dari kesepakatan agar ia keluar dari persembunyian. The Jakarta Post menulis bahwa putusan tersebut "melenyapkan remah-remah kredibilitas yang tersisa dari penegak hukum tertinggi di negara ini".[46] Pada tanggal 26 Juli 2002, Tommy dihukum 15 tahun penjara atas pembunuhan, kepemilikan senjata api ilegal, dan menghindari penahanan. Kasus pembunuhan sebenarnya diganjar hukuman mati, tetapi jaksa hanya menuntut kurungan 15 tahun.[47] Tommy jarang menghadiri sidang, mengaku sakit, dan absen saat putusannya dibacakan. Para pendukung bayarannya hadir di luar ruang sidang.[48] Ia menjalani tiga pekan pertamanya di sel mewah Blok H di Lapas Cipinang, Jatinegara, Jakarta Timur, lalu dipindahkan ke Pulau Nusa Kambangan di lepas pantai selatan Jawa Tengah. Sel mewahnya yang berukuran 8 x 3 meter dilapisi karpet dan dilengkapi sofa, lemari, televisi, kulkas, alat makan, pendingin udara, penyaring air, komputer jinjing, dan dua telepon genggam.[49] Ia sering diizinkan bepergian ke Jakarta dengan alasan kesehatan dan diketahui mengunjungi sebuah lapangan golf eksklusif.[50] Pada April 2006, ia dipindahkan kembali ke Cipinang.[51] Masa kurungannya dikurangi menjadi 10 tahun dengan banding. Ia dibebaskan bersyarat pada tanggal 30 Oktober 2006.[52] Ia menghabiskan empat tahun di dalam penjara. Para kritikus mengatakan bahwa Tommy dibebaskan karena ia kaya dan keluarganya masih memiliki pengaruh di Indonesia.[53] KontroversiSalah satu anak Suharto, Tommy, diuntungkan oleh nepotisme sehingga ia dapat menimbun kekayaan dalam jumlah besar.[54] Tahun 1984, pada usia 22 tahun, ia mendirikan Humpuss Group yang sukses bukan karena keterampilan atau profesionalisme, melainkan hubungan keluarga.[55] Sepuluh minggu setelah didirikan, Humpuss Group memiliki 20 anak perusahaan yang kelak bertambah menjadi 60 perusahaan. Adam Schwarz menulis dalam bukunya yang berjudul A Nation in Waiting (1994):
MinyakTahun 1985, Tommy membeli 65% saham Perta Oil Marketing, anak perusahaan Pertamina. Dengan akuisisi ini, Tommy menjadi broker dan transporter minyak mentah dan menerima komisi sebesar $0,30-0,35 per barel.[57] Laba Perta mencapai $1 juta per bulan.[58] Tommy dan kakaknya, Bambang Trihatmodjo, juga dituduh melambungkan nilai (markup) ekspor dan impor minyak dan meraup $200 juta per tahun pada 1980-an. Berbagai pihak mengklaim, "Mereka memerah Pertamina layaknya sapi."[57] Sempati AirTahun 1989, Tommy dan kroni Suharto, Bob Hasan, membeli PT Sempati Air Transport dari sebuah perusahaan militer.[59] Pada tahun 1990-an, Sempati Air menerbangkan orang-orang kaya Indonesia ke sebuah resor judi terkenal di Pulau Christmas, Australia. Investor utama di resor tersebut, Robby Sumanpow, juga merupakan direktur pemasaran monopoli cengkih Tommy.[60] Sempati Air bangkrut tahun 1998 setelah Suharto mundur. Ketika Suharto didakwa melakukan korupsi pada tahun 2000 atas penyalahgunaan dana yayasan amal, surat dakwaannya mencantumkan bahwa Sempati Air menerima Rp17,91 miliar dari Yayasan Dakab, Rp13,17 miliar dari Yayasan Supersemar, dan Rp11,168 miliar dari Yayasan Dharmais.[61] Jalan Tol MerakPada tahun 1987, Suharto mengeluarkan ketetapan presiden yang mengizinkan perusahaan jalan tol milik pemerintah, Jasa Marga, mengizinkan investor swasta nasional dan asing menanamkan modal di proyek-proyek jalan tol. Tahun 1989, Tommy mendirikan sebuah konsorsium bernama Marga Mandala Sakti (MMS). MMS dikalahkan oleh perusahaan milik kakaknya, Tutut, dalam tender pembangunan jalan tol pelabuhan utara Jakarta, Jalan Tol Tanjung Priok-Cawang. MMS diberi kontrak perpanjangan jalan tol Jakarta-Tangerang sejauh 73 km ke Pelabuhan Merak. Humpuss membangun jalan tol ini tahun 1992 sampai 1996. Konsesi Tommy kemudian diperpanjang selama 10 tahun hingga 2011. Pada akhir 1996 atau awal 1997, sebuah konsorsium investor asing membeli mayoritas saham MMS senilai Rp425 miliar ($181 juta).[62] Monopoli cengkihPada Desember 1990, Tommy mendirikan monopoli dagang cengkih, Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC), meski ditentang habis-habisan oleh para produsen rokok cengkih.[63] Sesuai peraturan Kementerian Perdagangan, semua produsen rokok lokal dipaksa membeli cengkih dari BPPC yang juga menguasai impor cengkih dari luar negeri.[64] Penyelidikan kepolisian menemukan bahwa Tommy memaksa petani menjual cengkih dengan harga yang sangat murah, lalu menjualnya ke pabrik rokok dengan harga yang mahal. Tommy meraup untung besar dan banyak petani cengkih yang bangkrut.[65] Monopoli cengkih menjadi simbol nepotisme dan penipuan negara yang menghancurkan ekonomi Indonesia dan menumbangkan rezim Suharto pada tahun 1998.[66] Monopoli ini dihapus pada tahun 1998 sebagai bagian dari paket talangan ekonomi Indonesia oleh Dana Moneter Internasional (IMF).[67] Pada Juli 2007, Tommy disebut sebagai tersangka kasus korupsi senilai Rp175 miliar yang melibatkan BPPC. Jaksa Umum Hendarman Supandji mengatakan bahwa Tommy menyelewengkan pinjaman untuk membeli cengkih dari petani.[68] Tommy menepis tuduhan tersebut.[69] Tahun 2008, Jaksa Umum menghentikan kasus ini karena Tommy sudah mengembalikan uangnya.[70] Skandal Golden KeyPada awal 1990-an, Tommy membeli saham salah satu pabrik yang diusulkan oleh Golden Key, perusahaan milik Eddy Tansil yang berpusat di Jakarta. Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dipaksa memberikan 16 pinjaman bernilai total $430 juta kepada Tansil untuk proyek pembangunan pabrik, padahal ia tidak punya pengalaman di bidang petrokimia dan tidak memberi jaminan. Bapindo tidak memeriksa catatan kredit Tansil. Ketiga pabrik yang diusulkan tidak pernah dibangun dan Rencana Bapindo tidak pernah direalisasikan dan Bapindo hanya meninggalkan hutang yang banyak.[71] Menurut artikel Far Eastern Economic Review bulan Juni 1994, Tommy diduga sebagai perantara yang memperkenalkan Tansil dengan pejabat-pejabat Bapindo.[72] Sebelum skandal ini terkuak tahun 1994, Tommy sudah menjual kembali sahamnya ke pemegang saham yang lain pada tahun 1993. Tommy tidak dipanggil sebagai saksi dalam sidang Tansil. Pada Agustus 1994, Tansil divonis 17 tahun penjara, lalu "kabur" tahun 1996 dan meninggalkan Indonesia. Ada fakta yang tidak diangkat dalam sidang Tansil dan Bapindo, yaitu Tommy merupakan salah satu pemilik perusahaan yang menerima pinjaman tersebut dan Tommy menjual sahamnya setelah pinjaman tersebut dicairkan.[73] LamborghiniPada tahun 1994, perusahaan milik Tommy yang terdaftar di Bermuda dan juga dimiliki Mycom Setdco asal Malaysia, Megatech, membeli produsen mobil sport Italia, Lamborghini, dari Chrysler Corp. dengan nilai $40 juta.[74] Megatech menjual Lamborghini ke Audi AG dengan nilai $110 juta saat krisis keuangan Indonesia tahun 1998.[75] Mobil Nasional TimorPada Februari 1996, Suharto mengumumkan kebijakan Mobil Nasional Indonesia. Perusahaan yang ingin memproduksi mobil nasional akan dibebaskan dari kewajiban pajak, pajak barang mewah, dan tarif impor suku cadang. Satu-satunya perusahaan yang diuntungkan oleh kebijakan tersebut adalah perusahaan yang baru didirikan oleh Tommy, PT Timor Putra Nasional. Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa mengajukan keluhan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena Indonesia melanggar aturan WTO tentang perlakuan non-diskriminatif. Tommy diizinkan mengimpor 45.000 mobil Kia dari Korea Selatan, lalu mengganti mereknya menjadi Timor. Dalam buku tentang Liem Sioe Liong tahun 2013, Richard Borsuk dan Nancy Chung menulis bahwa "skandal ini mendongkrak ketidakpuasan masyarakat terhadap Suharto dan keluarganya".[76] Pada Juli 1997, pemerintah meminta bank-bank pemerintah dan swasta meminjamkan $650 juta kepada Tommy untuk membangun pabrik mobil nasional. Pada tanggal 23 September 1997, sebagai tanggapan atas krisis keuangan Asia yang menerpa ekonomi Indonesia, Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad menghentikan lima belas megaproyek, tetapi proyek mobil nasional Timor bukan salah satunya[77] sehingga muncul selentingan klaim bahwa proyek tersebut "tidak bisa disentuh". Pada Januari 1998, Suharto mengakhiri status bebas pajak Timor sesuai syarat reformasi ekonomi IMF.[55] Dealer mobil Timor menjadi target kerusuhan 13–15 Mei 1998 menjelang mundurnya Suharto.[78] Pada 28 Agustus 2008, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa Bank Mandiri diminta untuk mentransfer Rp1,23 triliun (US$134 juta) dari Timor Putra Nasional ke rekening pemerintah. Kementerian Keuangan membuka kasus suap dan menuding Tommy menjual aset dari Timor secara ilegal ke lima perusahaan miliknya. Tommy menanggapinya dengan menggugat balik Kementerian Keuangan dengan ganti rugi US$21,8 juta. Ia memenangi kasus korupsi sipil senilai US$61 juta pada Februari 2008 dan memenangi gugatan balik senilai US$550.000.[79][80][81] Krisis keuangan 1997–1998 dan utangUsai krisis keuangan Asia 1997–1998, Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA) menyatakan bahwa Humpuss Group merupakan pemegang pinjaman tak terbatalkan (irrecoverable loan) terbesar ketiga dari bank dalam negeri (sebagian besar merupakan bank pemerintah) dengan total utang Rp5,7 triliun per 2001. Jumlah ini 2,5 kali lebih tinggi daripada pendapatan tahunan Humpuss Group tahun 1996. Dari semua utang tak terbatalkan ini, lebih dari separuhnya dipinjam oleh PT Timor Putra Nasional.[82] Separuh utang tersebut dilunasi ke IBRA dalam bentuk aset, sedangkan sisanya dilunasi lewat skema restrukturisasi utang dan penukaran utang-ke-saham.[83] Mangkuluhur CitySalah satu proyek bisnis terbaru Tommy adalah Mangkuluhur City. Ia mengembangkan proyek properti ini bersama Harry Gunawan.[84] Proyek ini terdiri atas empat pencakar langit dan satu gedung tinggi di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta. Menara tertinggi memiliki 80 lantai. Dua menara difungsikan untuk perkantoran dan dua lainnya untuk hunian dan apartemen berlayanan. Hotel Crowne Plaza Jakarta adalah bagian dari proyek ini. Skandal lahan BaliPada tahun 1996, perusahaan milik Tommy, PT Pecatu Graha, mengusir penduduk sebuah desa dari tanahnya di Bali untuk membangun resor seluas 650 hektar di Pulau Serangan. Pengusiran brutal ini dibantu oleh tentara dan polisi yang menggunakan gas air mata.[85] Pemilik tanah diberi kompensasi Rp2,5 juta saja per 100 meter persegi, jauh di bawah harga pasaran Rp20 juta sampai Rp30 juta per 100 meter persegi.[86] Tuntutan hukum Garuda IndonesiaPada Mei 2011, Tommy memenangkan gugatan hukum melawan Garuda Indonesia dengan ganti rugi sebesar Rp12,51 miliar ($1,46 juta). Gugatan ini diajukan atas sebuah artikel iklan berjudul "A New Destination to Enjoy in Bali" dalam majalah pesawat Garuda edisi Desember 2009. Artikel tersebut seharusnya mengiklankan resor Tommy di Pecatu, tetapi catatan kaki di penghujung artikel (ditambahkan oleh penerjemah) mencantumkan bahwa Tommy adalah tersangka kasus pembunuhan.[87] Ketua Majelis Hakim, Tahsin, menyatakan bahwa artikel tersebut merusak reputasi Tommy sebagai "pebisnis nasional dan internasional". Ia mengatakan bahwa masa lalu Tommy seharusnya tidak dicantumkan karena ia sudah menyelesaikan masa hukumannya.[88] Kasus penyuapan Rolls-RoyceTahun 2012, mantan karyawan Rolls-Royce, Dick Taylor, menuding bahwa perusahaannya memberikan suap sebesar $20 juta dan satu mobil Rolls–Royce biru kepada Tommy pada awal 1990-an untuk membujuk Garuda Indonesia agar membeli mesin Rolls Trent 700 untuk pesawat Airbus A330.[89] Tahun 2013, pengacara Tommy mengeluarkan pernyataan yang membantah bahwa Tommy menerima uang atau mobil atau menyarankan mesin Rolls-Royce kepada Garuda.[90] Tahun 2017, Serious Fraud Office (SFO) Britania Raya menandatangani Deferred Prosecution Agreement (DPA) dengan Rolls-Royce atas skandal penyuapan dan korupsi ini. Rolls-Royce diwajibkan membayar denda £671 juta atas tindak pidananya dalam berbagai kesepakatan gelap di Indonesia, Thailand, India, Rusia, Nigeria, Tiongkok, dan Malaysia. Laporan SFO menyatakan bahwa Rolls-Royce menyuap dua orang perantara di Indonesia.[91] Pada Oktober 2017, pengacara Tommy, Erwin Kallo, kembali menepis keterlibatan Tommy dalam kasus tersebut.[92] Ia khawatir media massa ditipu oleh berita palsu tanpa memeriksa sumbernya terlebih dahulu. Ia menyalahkan Wikipedia bahasa Indonesia karena tetap mengaitkan Tommy dengan kasus Rolls-Royce meski sudah ditepis.[93] Kritik terhadap JokowiPada Februari 2018, Tommy mengkritik pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo karena membiarkan utang negara membengkak hingga $340 miliar. Ia mengatakan bahwa utang negara era Suharto hanya $54 miliar. Ia mengkritik kebijakan pembangunan infrastruktur Jokowi karena menjadi penyebab utama meningkatnya utang luar negeri. Ia berpendapat bahwa pembangunan infrastruktur harus dibarengi dengan penurunan biaya transportasi komoditas, bukan mengutamakan proyek semata.[94] Penghargaan
Lihat juga
Catatan kaki
Pranala luar
|