Tren IT
Terminologi IT fashion pertama kali diperkenalkan oleh Abrahamson (1996).[1] Tren IT muncul saat organisasi muncul menjadi adopter pada tahap antara adopter awal dan adopter terakhir (late adopter). Abrahamson memisahkan antara setter tren dan perusahaan yang target dari para setter itu sendiri. Setters diantaranya: perusahaan konsultan, tokoh manajemen, mass media bisnis dan sekolah bisnis. Rangkaian kelompok ini memiliki peran-peran yang berbeda namun memiliki fungsi yang saling membentuk jejaring atas persepsi yang diterima oleh perusahaan atas Tren IT. Legitimasi atas adopsi teknologiDalam proses adopsi teknologi, setidaknya ada tiga terminilogi yang dikenal dan mengacu pada:
Setiap adopter memiliki justifikasi berbeda pada dasar atau motivasi. Para cendekiawan menemukan bahwa justifikasi pada tahap adopter awal didasarkan pada pandangan rasionalistik ekonomi. Berdasarkan pada pandangan ini, organisasi cenderung terus berusaha untuk meningkatkan kinerja mereka kemudian mengenal adanya metode atau teknik terbaru untuk dapat mencapai cara yang lebih efesien untuk mengarahkan mereka kepada tujuan mereka. Metode terbaru tersebut ada pada teknologi terbaru yang mereka buat atau dibuat oleh organisasi lain. Kemudian mereka mulai mengadopsi dan mengimplementasikan teknologi tersebut untuk mengejar aktivitas yang lebih efesien, sistem yang lebih terintegrasi dan peningkatan kinerja yang lebih. Adopter tengah (middle adopter) merupakan kelompok yang melihat bahwa adanya output yang diperoleh dari adopter awal baik bersifat reaksi stakeholder maupun shareholder atas diterapkannya teknologi terbaru tersebut. Hal ini menjadi faktor eksternal yang membentuk kepercayaan subjektif (subjective belief). Kepercayaan subjektif tersebut diperkuat dengan berbagai argumen dari faktor eksternal, misalnya para akademisi mereka membuat atau mempublikasikan bukti empiris yang menyatakan bahwa ada hasil signifikan dengan penggunaan teknologi baru, konsultan mengadakan sosialisasi, pelatihan bahkan penawaran atas jasa konsultan dalam penerapan teknologi tersebut, pasar saham yang cenderung bereaksi positif atas keberhasilan-keberhasilan organisasi yang telah menerapkan teknologi terbaru, konsumen menekan organisasi untuk segera menerapkan teknologi terbaru dengan tekanan atas variansi permintaan yang fluktuatif dan keyakinan bahwa teknologi akan meingkatkan kualitas produk yang mereka beli, supplier maupun distributor berupaya mengirimkan sinyal bahwa “teknologi terbaru akan semakin kompatible apabila adanya integrasi sistem”. Persepsi eksternal ini membentuk kepercayaan kolektif bagi organisasi untuk segera menerapkan teknologi yang sama. Tren IT ini secara dapat dicontohkan dengan kasus tren penerapan ERP di Indonesia. ERP sebelum tahun 2000 menjadi Tren Teknologi Informasi di Indonesia, Diski Naim menyatakan adopsi ERP oleh para perusahaan di indonesia sebelum tahun 2000 didasarkan karena ingin memperoleh peningkatan volume penjualan dengan melihat bahwa semakin banyaknya perusahaan yang menerapkan ERP, namun pasca sudah siapnya sistem mereka gagal untuk menerapkan best-practices dari penerapan ERP tersebut. Dari hal ini dapat dilihat bahwa perusahaan-perusahaan di indonesia memanfaatkan momentum peningkatan reputasi dan melihat adanya kecendrungan standardisasi baru dalam interaksi antar industri sehingga semakin banyak yang ingin menerapkan ERP. Momentum tersebut dapat digolongkan terjadinya Tren IT (IT Fashion). Adopter terakhir merupakan para kelompok yang dimotivasi dalam penggunaan teknologi karena didorong oleh ingin bertahan dan bertumbuh saat para saingan lain yang semakin banyak mengadopsi dan memperoleh keuntungan dari implementasi teknologi baru tersebut. Para kelompok ini sadar bahwa tanpa ikut dalam arus dimana semakin banyaknya adopsi terjadi maka apabila mereka tidak berinvestasi pada teknologi yang sedang tren tersebut maka cepat atau lambat daya kompetisi mereka akan berkurang di pasar. Cendekiawan menggunakan Teori Institusional dalam menjelaskan fenomena ini. Teori Institusional mengacu pada bagaimana organisasi berusaha menyelaraskan lingkunrang internal mereka baik dalam proses administratif atau proses operasional dengan lingkungan luar untuk memperoleh penerimaan secara sosial dan legitimasi eksternal.[2] Teori Institusional ini cenderung teori yang bersifat flexible dalam menerangkan perilaku organisasi dalam menanggapi Tren IT. Teori ini dapat juga menjelaskan mengapa terjadinya resistensi perusahaan karena adanya isu internal dalam menanggapi Tren IT. Teori ini membagi tiga aspek yang melatarbelakangi perubahan perilaku aspek tersebut terbagi menjadi tiga: Coercive, Normative dan Mimetic merupakan tiga kunci tekanan yang dapat mengubah cara organisasi dalam merespon praktik yang dilakukan oleh organisasi yang lain.[3] Coercive cenderung sikap yang resisten akan perubahan karena disebabkan isu internal seperti pertimbangan akan investasi yang besar bukan hanya secara finansial namun juga secara organisasional dalam mengadopsi teknologi terbaru. kemudian Normative merupakan tekanan yang disebabkan karena adanya keinginan untuk mengkompabilitaskan kegiatan perusahaan terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh pihak eksternal. Dimaggio dan Powell cenderung memandang bahwa Mimetic merupakan aspek yang paling berpengaruh atas keputusan untuk melakukan diskontinyu atas sistem yang sudah usang dan menerapkan sistem yang terbaru. Mimetic isomorphism merupakan tendency perusahaan untuk melakukan pola peniruan atau replikasi atas tindakan dari organisasi-organisasi yang dipersepsikan memiliki legitimasi yang tinggi. Misalnya: Saat perusahaan A menerapkan sistem Just In Time dalam proses manajemen inventorynya dan telah mampu menekan biaya penyimpanan atau efesiensi persediaan hingga 800 Juta Rupiah, maka perusahaan B yang berada pada industri yang tidak berbeda berupaya melakukan replikasi atau ingin meniru aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan A. Teori SignalingSelain menggunakan perspektif teori yang dijelaskan pada tulisan di atas. Setidaknya ada dasar teori dan argumen lain yang menjelaskan motivasi yang melatar belakangi adopsi teknologi pada setiap fase. Pertama, organisasi pada fase pertama bukan hanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan efesiensi dari kegiatan operasional maupun administratif namun juga dapat dilatarbelakangi keinginan untuk meningkatkan reputasi dan legitimasi kepada stakeholder untuk dipandang secara informasi mereka (organisasi) menerapkan teknologi terbaru pada barisan pertama.[4] Tindakan seperti ini dalam literatur bisnis dikenal dengan aktivitas pensinyalan (signaling activities). untuk menjelaskan fenomena ini, Ping Wang (2010) mencoba untuk memisahkan antara adopter awal yang ingin dikenal secara informasi (Informationally associated in IT Fashion) dan kedua organisasi yang secara internal memiliki motivasi kuat untuk memanfaatkan fitur dari teknologi terbaru tersebut.[5] Sedangkan bagi adopter fase akhir (late adopters), motivasi mereka bukan hanya dikarenakan faktor external. Mereka melihat bahwa teknologi terbaru adalah sebuah inovasi yang belum dapat diuji secara layak untuk diterapkan dalam organisasi. Mereka tidak yakin bahwa teknologi tersebut mampu memberikan realibilitas dan keuntungan berlipat karena teknologi tersebut perlu waktu untuk dapat diserap dalam praktik industri. Organisasi pada fase ini merupakan tipe organisasi yang konservatif yang "not taken for granted" atas teknologi baru karena teknologi baru tersebut tentunya menjanjikan investasi yang besar namun belum mampu menjanjikan return yang besar bagi organisasi mereka. Keputusan Diskontinyu Teknologi InformasiDikarenakan tiap fase adopter berhubungan dengan keputusan melanjutkan teknologi lama atau menggantikan teknologi lama dengan teknologi terbaru (diskontinyu). Penelitian (Brent dkk, 2011) lain merangkai variabel yang melatarbelakangi keputusan dalam diskontinyu atas suatu sistem informasi / teknologi. Penelitian Brent:2011 dilakukan dengan metode kualitatif yakni pendekatan yang dilakukan dengan kajian atas penelitian terdahulu kemudian dilakukan konfirmasi atas kenyataan dilapangan. Brent dkk melakukan studi literatur kemudian mewawancarai sedikitnya 21 informan yang mewakili 17 organisasi berbeda dengan 10 industri yang berbeda juga. Pada hasil pembentukan model kajian Brent membagi faktor independen yang mempengaruhi keputusan diskontinyu menjadi dua yakni yang berpengaruh positif atas intensi diskontinyu dan yang berpengaruh negatif atas intensi dikontinyu. Faktor independen yang berpengaruh positif adalah: kinerja sistem yang tidak reliabel (System performance shortcomings), inisiasi organisasi, perubahan lingkungan. Sedangkan faktor negatif atas intensi diskontinyu adalah: Investasi sistem, Lingkup sistem (System Embeddedness) dan tekanan institusional.[6] Faktor tersebut merupakan faktor yang secara empiris mampu menjelaskan intensi diskontinyu organisasi sehingga ikut dalam adopsi pada euforia Tren IT atau meneruskan teknologi sistem informasi yang ada. Referensi
|