Andi Makkasau merupakan putra kedua Parenrengi Daeng Pabeso Karaengta Tinggimae adalah seorang bangsawan. Kakeknya bernama Ishak Manggabarani, seorang tokoh yang menyandang gelar Karaeng Mangeppe Arung Matoa Wajo, Datu Pammana, Karaeng Pabbicara Gowa, Jenderal Bone, Tellu Lattena Sidenreng.[2]
Sebelum Kemerdekaan Indonesia
Pada tahun 1926, Andi Makkasau dinobatkan sebagai Datu Suppa yang kemudian diberi gelar sebagai Datu Suppa Toa.[3] Penobatan rakyat kepada Andi Makkasau langkah dalam menyatukan warga Kerajaan Suppa terutama dalam usaha mereka menentang kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Parepare dan sekitarnya. Andi Makkasau juga membentuk dan mempelopori organisasi kemasyarakatan dan politik yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia diantarannya,: Partai Sarikat Islam di Parepare dibentuk pada tahun 1927, Sumber Darah Rakyat (SUDARA) dibentuk tahun 1944, Penunjang Republik Indonesia (PRI) dan pada tanggal 28 Agustus 1945 dibentuk Pandu Nasional atau Pemuda Nasional Indonesia (PNI).[2] Ia pernah mengundang tokoh nasional seperti Buya Hamka, AM Sangaji, H. Agus Salim, dan H.O.S Cokroaminoto ke Suppa, untuk memberikan pendidikan politik kepada rakyatnya.
Setelah Kemerdekaan Indonesia
Sebulan setelah Kemerdekaan Indonesia tepatnya tanggal 12 September 1945, bendera merah putih dikibarkan di Lapangan Labukkang, Suppa. Andi Makkasau juga ikut membuat deklarasi Jongayya pada 15 Oktober 1945, yang menyatakan mendukung Indonesia merdeka. Ketika pasukan Sekutu dan NICA datang kembali (masa Revolusi Nasional Indonesia), Andi Makkasau mengadakan Konferensi Parapare pada 1 Desember 1945. Dalam konfrensi tersebut, dibuat suatu keputusan untuk mendukung Sam Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi dan menolak kembalinya Belanda di Indonesia.
Pembantaian Westerling 1946–1947
Pembantaian Westerling ini juga disebut peristiwa korban 40.000 jiwa yang dilakukan militer Belanda dan dipimpin oleh Raymond Westerling dari 11 Desember 1946 hingga Februari 1947.[4] Serbuan Westerling ke Asuppo dihadang oleh pasukan Andi Makkasau. Namun, senjata yang terbatas dan personel yang kurang membuat laskar Andi Makkasau tidak bisa lama bertahan. Andi Makkasau tertangkap. Tapi, sekeluarnya dari penjara, ia kembali melawan. Westerling kembali dihadapinya dan ia kembali ditangkap, lalu ditahan dan di penjara di Sawitto Pinrang. Dalam masa tahanannya, terjadi penyiksaan fisik dan kemudian dieksekusi.[5] Dalam peristiwa ini pada 26 Februari 1947, Andi Makkasau bersama 25 stafnya diculik oleh militer Belanda. Mereka mengalami penyiksaan di lapangan Afdeling Parepare, kemudian Andi Makassau bersama 2 orang lainnya ditenggelamkan ke dalam lautan Suppa.[6]
Kematian
Andi Makkasau wafat pada 28 Januari 1947 pada masa Revolusi Nasional, diduga dieksekusi oleh Belanda dengan dibuang di tengah laut. Pada 30 Januari 1947 Andi Makkasau ditemukan oleh warga Marabombang dalam keadaan terikat terdampar di pesisir pantai dengan tangan terikat.[2]
Peninggalan
Beberapa tempat dan fasilitas umum di daerah Kota Parepare dan sekitanya memakai nama Andi Makkasau sebagai penghormatan dalam perjuangannya melawan Belanda, diantaranya:
Puskesmas Makkasau: Puskesmas yang terletak di Makassar
Markas Pasukan Tentara
Batalyon Infanteri 721/Makkasau: Batalyon Infanteri yang berada dibawah komando Brigif 11/Badik Sakti, Kodam XIV/Hasanuddin, bermarkas di Benteng, Patampanua, Pinrang, Sulawesi Selatan[11]