Share to:

Bauke Jan Haga

Bauke Jan Haga

Dr Bauke Jan Haga, biasa disingkat B.J. Haga, adalah gubernur Borneo (1938–1942) dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Kalimantan yang berkedudukan di Banjarmasin yang merupakan pusat pemerintahan dan militer kolonial Belanda. Status residensi (karesidenan) untuk Borneo telah ditingkatkan menjadi provinsi sejak tahun 1938. Sebagai gubernur diangkat dr. Haga, seorang kolonial yang baik untuk tugasnya di sebuah koloni, seorang penggemar Hukum Adat dan Peraturan-peraturan desentralisasi Ia dikenal bersikap kaku dan formalistis.[1][2]

Kedatangan Tentara Jepang

Perkembangan antara 8 Desember 1941 hingga 10 Februari 1942 menjelang Tentara Jepang memasuki kota Banjarmasin, menggambarkan segala kepanikan dan kehancuran pemerintahan di daerah, yaitu adanya pertentangan antara pemerintah sipil dan militer. Sementara terbetik kabar Jepang memasuki utara Kalimantan Selatan melalui desa Bongkang pada tanggal 8 Februari 1942, sehingga Gubernur Haga terpaksa meninggalkan Banjarmasin yang sengaja dibumihanguskan, mengungsi ke pedalaman sungai Barito (sebagai rencana merebut kembali Banjarmasin dengan perang gerilya) melalui Kuala Kapuas menuju Puruk Cahu diiringi staf, rombongan tentara, pegawai sipil, dan para wanita kulit putih yang tertinggal dalam evakuasi ke pulau Jawa sebelumnya.[1]

Menyerahkan Diri

Peta pendudukan Borneo pada 1943 oleh Jepang pada Perang Dunia II dengan label ditulis dalam karakter Jepang.

Tanggal 8 Maret 1942 setelah mendengar kapitulasi Hindia Belanda tak bersyarat kepada Jepang, mereka mengirim utusan ke Banjarmasin untuk menyerahkan diri dan dikepalai Kapten van Epen yang menggunakan kapal Ellen dengan memasang bendera putih. Tanggal 17 Maret 1942 orang Jepang membawa Kapten van Epen ke Puruk Cahu untuk melucuti dan penyerahan diri yang terjadi dua kali. Pertama penyerahan diri pihak militer, yang berikutnya penyerahan diri pihak pemerintah sipil Hindia Belanda. Selanjutnya mereka dimasukan dalam barak Benteng Tatas. Dalam tawanan tersebut dr. Haga sempat membuat rencana-rencana pemulihan kembali kekuasan Belanda di Kalimantan Selatan, jika perang telah berakhir. Dalam bulan Mei 1943, Jepang menangkapi sejumlah orang (termasuk anggota Organisasi Penyokong Tawanan), yang dianggap tersangkut rencana tersebut, lebih dari 200 orang tangkapan ini mati dibunuh dan hampir semua pegawai Pemerintah Hindia Belanda dalam kasus tersebut dijatuhi hukuman mati.[1]

Pemerintah pendudukan Jepang menduga persekongkolan Haga telah menyebar ke wilayah Kalimantan lainnya, sehingga memicu terjadinya Peristiwa mandor (Pontianak Affair).[3][4][5] Di Banjarmasin mantan gubernur Haga tertangkap dan di adili namun dia meninggal karena serangan Jantung sedangkan istrinya di hukum mati 6 hari kemudian di tiang gantungan.[6]

Catatan kaki

  1. ^ a b c (Indonesia) Saleh, Idwar; SEJARAH DAERAH TEMATIS Zaman Kebangkitan Nasional (1900–1942) di Kalimantan Selatan, juga pernah menjadi Controleur di Bagansiapiapi 1915 -1918 Depdikbud, Jakarta, 1986.
  2. ^ (Inggris) Two tales of the East Indies, Univ of Massachusetts Press, 1983, ISBN 0-87023-403-X, 9780870234033
  3. ^ (Inggris) Anthony Reid, Akira Ōki, The Japanese experience in Indonesia: selected memoirs of 1942-1945,Ohio University, Center for International Studies, Center for Southeast Asian Studies, 1986, Ohio University, Center for International Studies, Center for Southeast Asian Studies, 1986
  4. ^ (Inggris) Mary F. Somers Heidhues, Golddiggers, farmers, and traders in the "Chinese districts" of West Kalimantan, Indonesia, SEAP Publications, 2003, ISBN 0-87727-733-8, 9780877277330
  5. ^ (Inggris) Paul H. Kratoska, Southeast Asian minorities in the wartime Japanese empire, Southeast Asian minorities in the wartime Japanese empire
  6. ^ (Indonesia) Syafaruddin Usman dan Isnawita Din, Peristiwa Mandor Berdarah, Media Pressindo, 2009, ISBN 979-788-109-1, 9789797881092

Pranala luar

Baca informasi lainnya:
Kembali kehalaman sebelumnya