Share to:

Bioavailabilitas

Dalam bidang farmakologi, ketersediaan hayati atau bioavailabilitas (BA) adalah pecahan dari dosis obat diberikan yang dapat mencapai peredaran sistemis, salah satu profil penting dari farmakokinetika obat. Berdasarkan definisi, ketika obat diberikan secara intravena, ketersediaan hayatinya adalah 100%.[1] Namun, ketika obat diberikan melalui rute pemberian lain (misalnya peroral), pada umumnya ketersediaan hayatinyaTH["] akan menurun (karena obat tersebut tidak diserap sepenuhnya dan metabolisme lintas pertama) atau dapat bervariasi antara satu pasien dengan pasien lainnya. Ketersediaan hayati sangat penting dalam farmakokinetika, salah satu pentingnya hal tersebut adalah ketersediaan hayati harus diperhitungkan dalam perhitungan dosis untuk pemberian obat selain rute intravena.

Untuk suplemen makanan, jamu, dan nutrisi lain yang pada umumnya rute pemberiannya hampir semuanya melalui peroral, ketersediaan hayati hanya didefinisikan sebagai jumlah atau pecahan dari dosis yang diserap (bukan yang masuk dalam peredaran sistemis).[2]

Pendefinisian dari ketersediaan hayati sedikit berbeda antara obat-obatan dan suplemen makanan karena perbedaan metode pemberiannya dan peraturan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Bioaksesibilitas adalah suatu konsep yang berhubungan dengan ketersediaan hayati dalam konteks biodegradasi dan pencemaran lingkungan. Suatu molekul (sering berupa zat pencemar organik persisten) dikatakan bioaksesibel ketika "molekul tersebut dapat menembus membran sel dari lingkungan luar, jika organisme mempunyai akses ke molekul tersebut."[3]

Definisi

Dalam farmakologi

Dalam farmakologi, ketersediaan hayati menunjukkan suatu pengukuran laju dan bahan aktif atau bagian aktif yang diserap dari suatu produk obat dan tersedia pada tempat aksi.[4] Ketersediaan hayati dinotasikan dengan huruf "f" (atau, jika dalam bentuk persen, dengan F).

Dalam ilmu gizi

Konsep ketersediaan hayati dalam ilmu gizi tidak mempunyai standar yang berkaitan dengan industri farmasi. Definisi ketersediaan hayati dari ilmu farmakologi tidak berlaku untuk zat nutrisi, karena penyerapan dari zat ini dipengaruhi oleh keadaan tubuh dan nutrisi yang ada di dalam tubuh pasien,[5] sehingga terdapat perbedaan nilai yang lebih besar antara satu individu dengan individu lainnya (variasi antarindividu). Oleh karena itu, ketersediaan hayati untuk suplemen makanan dapat didefinisikan sebagai bagian dari zat yang diberikan yang mampu diserap dan dapat digunakan atau disimpan.[6]

Dalam kedua bidang ini, ketersediaan hayati diukur dengan menghitung kawasan di bawah kurva (area under curve AUC) dari grafik konsentrasi obat terhadap waktu.

Ketersediaan hayati mutlak

Ketersediaan hayati mutlak atau bioavailabilitas absolut adalah perbandingan AUC antara pemberian intravena (iv) dan per oral (po)

Ketersediaan hayati mutlak merupakan perbandingan dari ketersediaan hayati dari zat aktif obat di peredaran sistemis pada pemberian obat bukan intravena (seperti pemberian per oral, rektal, transdermal, subkutan, atau sublingual), terhadap ketersediaan hayati obat yang sama pada pemberian intravena atau pecahan obat yang diserap pada pemberian bukan intravena dibandingkan dengan obat yang diserap pada pemberian intravena. Untuk melakukan perbandingan, harus menggunakan dosis normal. Oleh karena itu, jumlah obat yang diserap dikoreksi terlebih dahulu dengan membagi nilai tersebut dengan dosis yang diberikan.

Dalam farmakologi, untuk dapat menentukan ketersediaan hayati mutlak obat, kajian farmakokinetika harus dilakukan untuk memperoleh plot grafik konsenstrasi obat dalam plasma vs waktu dari obat setelah pemberian melalui intravena (iv) dan ekstravaskular (bukan intravena, contoh per oral). Untuk menghitung ketersediaan hayati mutlak dapat menggunakan persamaan di bawah ini.

Oleh karena itu, obat yang diberikan secara intravena akan memiliki ketersediaan hayati mutlak sebesar 100% (f=1), sedangkan obat-obatan yang diberikan melalui rute lain biasanya memiliki ketersediaan hayati mutlak kurang dari satu. Jika kita ingin membandingkan dua dosis yang berbeda dengan zat aktif yang sama dan membandingkan ketersediaan hayati kedua obat tersebut, maka perbandingan itu disebut ketersediaan hayati perbandingan (bioavailabilitas komparatif).

Meskipun mengetahui ketersediaan hayati mutlak dari suatu obat sangat berguna, kenyataan penelitian ini tidak sering dilakukan. Alasannya adalah untuk menilai ketersediaan hayati memerlukan data dari pemberian intravena yang merupakan rute pemberian dengan seluruh obat dapat menuju peredaran sistemis. Kajian seperti ini memerlukan banyak biaya, dan juga memerlukan uji ketoksikan praklinis untuk menjamin keamanan obat, serta terdapat potensi masalah yang disebabkan keterbatasan kelarutan sehingga obat tersebut akan sulit untuk diserap.

Tidak ada peraturan yang mengatur minimal ketersediaan hayati mutlak yang diperlukan agar obat tersebut dapat dipasarkan, namun badan pengawas terkadang meminta data ketersediaan hayati mutlak dari rute pemberian ekstravaskular jika ketersediaan hayatinya rendah atau bervariasi dan jika terdapat kaitan yang dapat dibuktikan antara farmakodinamika dan farmakokinetika pada dosis terapi. Dalam kejadian tersebut, untuk melakukan kajian ketersediaan hayati mutlak memerlukan data dari obat yang diberikan secara intravena.[7]

Pemberian secara intravena terhadap obat yang tengah dikembangkan dapat memberikan informasi mengenai parameter farmakokinetika dasar seperti volume persebaran (V) dan klirens (CL).[7]

Ketersediaan hayati relatif dan kesetaraan hayati

Dalam farmakologi, ketersediaan hayati relatif mengukur ketersediaan hayati (sebagai AUC) dari suatu formulasi (A) obat tertentu yang dibandingkan dengan perumusan (formulasi) yang lain (B) pada obat yang sama, biasanya dengan standar yang telah ditetapkan, atau melalui rute pemberian yang berbeda. Ketersediaan hayati relatif dapat dihitung dengan persamaan berikut.

Ketersediaan hayati relatif merupakan salah satu langkah yang digunakan untuk menilai kesetaraan hayati (bioekivalensi) (BE) antara dua produk obat. Untuk mendapat persetujuan dari FDA, produsen obat generik harus menunjukkan apabila 90% dari selang kepercayaan untuk nisbah dari respons rerata (biasanya dalam bentuk AUC dan konsentrasi maksimum, Cmax) terhadap produk "penemunya"OB["] harus berada dalam rentang 80%-125%. AUC menggambarkan sejauh mana ketersediaan hayati dapat dicapai, Cmax menggambarkan laju ketersediaan hayati, sedangkan Tmax menggambarkan waktu yang diperlukan bagi obat untuk mencapai Cmax.

Ketika mekanisme bagaimana formulasi dapat mempengaruhi ketersediaan hayati dan kesetaraan hayati (bioekivalensi) telah banyak dipelajari di obat-obatan, faktor formulasi dalam memengaruhi ketersediaan hayati dan kesetaraan hayati pada suplemen nutrisi masih belum banyak diketahui diketahui.[8] Pada akhirnya, di ilmu gizi, ketersediaan hayati atau bioekivalensi relatif paling umum dipakai untuk mengukur ketersediaan hayati, membandingkan ketersediaan hayati suplemen makanan dengan formulasi satu dengan formulasi lainnya.

Faktor-faktor yang memengaruhi ketersediaan hayati

Ketersediaan hayati mutlak obat, ketika diberikan dengan rute pemberian ekstravaskular, biasanya bernilai kurang dari satu (F <100%). Berbagai faktor-faktor fisiologi mengurangi ketersediaan obat sebelum memasuki peredaran sistemis. Waktu meminum obat apakah sebelum atau sesudah makan juga akan memengaruhi penyerapan obat. Obat lain yang diminum secara bersamaan dengan obat tersebut juga dapat mempengaruhi penyerapan dan metabolisme lintas pertama. Kemotilan (motilitas) usus memengaruhi pelarutan (disolusi) obat dan dapat memengaruhi laju degradasi kimia obat oleh mikroflora pada usus. Adanya penyakit memengaruhi metabolisme di hati atau kerja saluran pencernaan.

Faktor-faktor lain mungkin termasuk, tetapi tidak terbatas pada:

  • Sifat fisik obat (hidrofobisitas, pKa, kelarutan)
  • Formulasi obat (tablet lepas segera, eksipien yang digunakan, metode pembuatan; tablet lepas termodifikasi – lepas tunda, lepas diperpanjang, lepas lambat, dll.)
  • Obat tersebut diberikan saat makan atau dalam keadaan puasa
  • Laju pengosongan lambung
  • Perbedaan ritme sirkadian
  • Interaksi dengan obat atau makanan lain:
    • Interaksi dengan obat-obatan lain (contoh: antasid, alkohol, nikotin)
    • Interaksi dengan makanan lain (contoh: jus jeruk, jeruk bali, jus kranberi, sayur brasika)
  • Pengangkut (transporter): Substrat dari pengangkut efluks (contoh P-glikoprotein)
  • Fungsi saluran pencernaan
  • Merangsang atau menghambat enzim oleh obat atau makanan lain:
    • Merangsang enzim (meningkatkan laju metabolisme sehingga obat tidak akan bertahan lama di tubuh), contoh Fenitoin merangsang CYP1A2, CYP2C9, CYP2C19, dan CYP3A4
    • Enzim penghambat (inhibitor enzym) (menurunkan laju metabolisme sehingga obat bertahan lebih lama di tubuh), contoh jus jeruk menghambat CYP3A → kadar nifedipin lebih tinggi dari normalnya
  • Perbedaan metabolisme
  • Penyakit yang dialami

Faktor-faktor ini dapat bervariasi dari pasien ke pasien lainnya (variasi antarindividu), dan tentu pasien yang sama dari waktu ke waktu (variasi intraindividu). Dalam uji klinis, variasi antarindividu merupakan faktor penting yang digunakan untuk menilai perbedaan ketersediaan hayati dari pasien kepada pasien agar memastikan dosis yang tepat.

Ketersediaan hayati pada obat dan suplemen makanan

Dibandingkan dengan obat-obatan, ada perbedaan yang signifikan terhadap penentuan ketersediaan hayati pada suplemen makanan. Perbedaan tersebut antara lain: suplemen nutrisi memberikan manfaat yang sangat bervariasi antarindividu; pengukuran penyerapan gizi kurang ketepatan; suplemen nutrisi dikonsumsi sebagai pencegahan terhadap penyakit dan menjaga kesehatan; suplemen nutrisi tidak menunjukkan ciri-ciri kurva dosis-respons; dan selang pemberian dari suplemen nutrisi. Oleh karena itu, tidak terlalu ketat seperti pada obat.[6]

Di samping itu, kurangnya metodologi dan peraturan yang tetap mengenai konsumsi suplemen makanan membuat penggunaan perhitungan ketersediaan hayati pada suplemen jarang jika dibandingkan dengan obat-obatan. Dalam uji klinis suplemen makanan, ketersediaan hayati berfokus pada statistik dari rerata perbedaan AUC antara kelompok perlakuan, walau seringnya gagal untuk membandingkan standar penyimpangan (deviasi) atau variasi antarindividu dari perbedaan AUC. Kegagalan tersebut meninggalkan pertanyaan tentang apakah individu di dalam kelompok mendapatkan manfaat yang dijelaskan oleh perbandingan perbedaan rerata. Lebih lanjut, bahkan jika masalah ini dibahas, masalah ini akan sulit untuk menjelaskan makna dari variasi antarsubjek kepada konsumen atau dokter.

Ilmu gizi: ketersediaan hayati terandalkan dan universal

Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah untuk menentukan "ketersediaan hayati terandalkan" (bioavailabilitas reliabel) sebagai hasil ketersediaan hayati (penyerapan dengan kriteria yang ditentukan) yang mencakup 84% dari subjek percobaan dan "ketersediaan hayati universal" yang mencakup 98% dari subjek percobaan. Hal ini akan membuat ketersediaan hayati lebih mudah dijelaskan kepada dokter dan konsumen.[9]

Lihat juga

Catatan

^ TH: Salah satu pengecualian dengan obat yang memiliki F >100% adalah teofilin. Jika diberikan dalam bentuk larutan oral, F dapat mencapai 111%, karena obat diserap sepenuhnya dan metabolisme lintas pertama di paru-paru setelah pemberian intravena dilewati.[10] ^ OB: Rujukan produk obat yang didaftarkan (contoh obat penemu atau inovator) dan juga produk obat generik yang telah disetujui bedasarkan Abbreviated New Drug Application yang ada di "Orange Book" FDA.

Rujukan

  1. ^ Griffin, J.P. The Textbook of Pharmaceutical Medicine (6th Ed.).
  2. ^ Heaney, Robert P. (2001). "Factors Influencing the Measurement of Bioavailability, Taking Calcium as a Model". The Journal of Nutrition. 131 (4): 1344S–8S. PMID 11285351. 
  3. ^ Semple, Kirk. T.; Doick, Kieron J.; Jones, Kevin C.; Burauel, Peter; Craven, Andrew; Harms, Hauke (2004). "Peer Reviewed: Defining Bioavailability and Bioaccessibility of Contaminated Soil and Sediment is Complicated". Environmental Science & Technology. 38 (12): 228A–31A. doi:10.1021/es040548w. 
  4. ^ Shargel, L.; Yu, A.B. (1999).
  5. ^ Heaney, Robert P. (2001). "Factors Influencing the Measurement of Bioavailability, Taking Calcium as a Model". The Journal of Nutrition. 131 (4 Suppl): 1344S–8S. PMID 11285351. 
  6. ^ a b Srinivasan, V. Srini (2001). "Bioavailability of Nutrients: A Practical Approach to In Vitro Demonstration of the Availability of Nutrients in Multivitamin-Mineral Combination Products". The Journal of Nutrition. 131 (4 Suppl): 1349S–50S. PMID 11285352. 
  7. ^ a b Lappin, Graham; Stevens, Lloyd (2008). "Biomedical accelerator mass spectrometry: Recent applications in metabolism and pharmacokinetics". Expert Opinion on Drug Metabolism & Toxicology. 4 (8): 1021–33. doi:10.1517/17425255.4.8.1021. PMID 18680438. 
  8. ^ Hoag, Stephen W.; Hussain, Ajaz S. (2001). "The Impact of Formulation on Bioavailability: Summary of Workshop Discussion". The Journal of Nutrition. 131 (4 Suppl): 1389S–91S. PMID 11285360. 
  9. ^ Kagan, Daniel; Madhavi, Doddabele; Bank, Ginny; Lachlan, Kenneth (2010). "'Universal' and 'Reliable' Bioavailability Claims: Criteria That May Increase Physician Confidence in Nutritional Supplements" (PDF). Natural Medicine Journal. 2 (1): 1–5. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2016-03-13. Diakses tanggal 2016-07-09. 
  10. ^ Schuppan, D; Molz, KH; Staib, AH; Rietbrock, N (1981).

Sumber

Pranala luar

Baca informasi lainnya:
Kembali kehalaman sebelumnya