Dimyathi Syafi'ie
KH. Dimyathi Syafi'i Nama pengganti dari Mbah Dim adalah pendiri Pondok Pesantren Kepundungan, salah satu Pesantren Islam yang tertua di Banyuwangi dan Pesantren yang ikut serta dalam berjuang meraih kemerdekaan Indonesia di tanah Blambangan.[1] BiografiKH. Dimyathi lahir tahun 1912 M di desa Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta, putra dari Kyai Syafi'i (Wonokromo) bin Kyai Istad (Bleberan) bin Kyai Hasan Mubarok bin Kyai Ageng Minak bin Kyai Ageng Kalimundu bin Kyai Ageng Jangkung (Kyai Landoh). Muhibbut Thobari adalah nama kecilnya. Saat usia 14 tahun setelah meninggalnya sang ayah, mulailah ia menimba ilmu agama ke tanah Blambangan Banyuwangi dan saat itu ia diajak bersama sang kakak (Kiai Ma'shum).[2] KH Dimyathi ketika masa-masa remaja, ia ingin menuntut ilmu ke luar dari wilayah Blambangan Banyuwangi.[butuh rujukan] Maka, ia pun mengutarakan maksudnya ini kepada ibundanya(Nyai Munthoshiroh).[2] Namun sang ibu menyatakan bahwa keluarganya sedang tidak memiliki bekal yang cukup untuk membiayai keinginannya.[2] Keluarga di Banyuwangi hanya memiliki tanah persawahan yang tidak dapat diharapkan banyak karena sulitnya zaman akibat penjajahan.[2] Namun Dimyathi tampaknya tetap teguh dengan keinginannya.[2] Ia menginginkan untuk menjual sawah yang menjadi bagain warisannya.[2] Kendati terheran-heran dan hampir tak percaya, Ibunya pun kemudian menyanggupi ketika melihat tekad bulat anaknya ini.[2] Ibunya lebih heran lagi ketika melihat bahwa semua uang hasil penjualan sawah satu hektare bagiannya, dibelikan kitab. Saking herannya ibunya bahkan sempat mengatakan, ”Makan tuh kitab.”[3] Walhasil Dimyathi pun kemudian berangkat mondok ke Pesantren Tremas, di Pacitan.[3] Karena seluruh uangnya telah dibelikan kitab, maka ia hanya dibekali oleh ibunya dengan sekarung cengkaruk/ karak campur jagung.[3] Meski hanya dengan bekal sekarung cengkaruk, Dimyathi mampu bertahan hingga tiga tahun di Pesantren Tremas. Rupanya ia bertahan di Tremas dengan cara menjadi buruh mengabsahi/maknani kitab untuk mencukupi kebutuhannya selama mondok.[2] Selama di Pesantren Dimyathi memang terkenal sebagai santri yang tekun, konon ia adalah santri kesayangan gurunya.[1] Pada saat itu Pesantren Tremas berada di bawah bimbingan KH. Dimyathi bin Abdulloh saudara Syekh Mahfudz bin Abdulloh Tremas.[1] Karena saking sayangnya, di sinilah Dimyathi berganti namanya menjadi Dimyathi, nama yang digunakannya hingga akhir hayatnya. Sebelumnya, nama lahirnya adalah Muhibbut Thobari. Maka setelah boyongan dari Pesantren Tremas, ia pun menggunakan nama Dimyathi. Sementara nama lahirnya, Muhibbut Thobari, tak lagi digunakan.[1] KeluargaSelama memimpin Pondok Pesantren Kepundungan, KH. Dimyathi Syafi'ie telah dikaruniai 2 putra dan 5 putri dari tiga istrinya.[4] Karenanya Dimyathi kemudian menerapkan metode ini di pesantrennya yang telah ia bangun kembali.[2] Dua putra Beliau yakni KH. Hamadulloh Dimyathi dan KH. Hazim Fikri, sedangkan putrinya sebagian besar dipinang oleh Pengasuh Pondok Pesantren.[4] KeturunanDari istri pertama
Dari istri kedua, Nyai Saudah binti Kyai Hadist Tugung
Dari istri ketiga, Nyai Jazimah binti Kyai Sholeh Wonokromo
PendidikanPesantren yang pertama ia singgahi adalah Pesantren Damsari Genteng di bawah bimbingan KH Abdulloh Syuja, Lalu ia melanjutkan ke Pesantren Cemoro di bawah asuhan KH Abdulloh Faqih, di sini kurang lebih selama 6 Tahun. Kemudian ia melanjutkan pendidikan terakhir di Pesantren Tremas Pacitan dibawah bimbingan KH. Dimyati bin Abdulloh bin Abdulmanan Termas .[5] Metode PengajaranDalam sistem pendidikan di pesantrennya, KH Dimyathi lebih mengandalkan sistem sorogan. Sistem ini menjadikan santri-santrinya menyimak dengan saksama. Karena sorogan yang dipakai oleh KH Dimyathi adalah “sorogan tak langsung”.[5] Artinya para santri mengulangi membaca kitab yang telah dibaca oleh sang kyai beberapa hari sebelumnya.[5] Jadi para santri secara otomatis akan mendengarkan dengan saksama ketika sang Kyai sedang membacakan, karena mereka harus mengulanginya secara terjadwal.[5] Sementara cara lain yang digunakan oleh KH Dimyathi di Pesantrennya adalah metode bandongan.[6] Dalam mekanisme bandongan sang kyai bebas menerangkan agar para santri mengerti maksud-maksud tersirat dari teks-teks kitab yang sedang dipelajari.[6] Cara ini lazim digunakan di madrasah-madrasah Blambangan selatan sebagaimana juga pesantren-pesantren Nusantara lainnya.[6] Selama mengasuh Pesantren, selain terlibat dalam perjuangan melawan para penjajah, KH Dimyathi juga masih sempat untuk membuat karangan kitab baik fan fiqih atau adab.[5] Karangan ini semuanya berbentuk Nadzom. Nadzom karangan KH Dimyati ini berjudul Nadzom Safinah Jawa dan Muidzotus Syibyan[1] Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb / Pondok Pesantren Kepundungan sendiri sangat mengutamakan penguasaan ilmu alat mulai dari nahwu,shorof dan i'lal.[2] Meski tentu saja ilmu fiqih dan tafsir juga menjadi kajian utama para santrinya.[2] Menurut beberapa santri yang sempat menimba ilmu kapada KH Dimyati, kehebatan Pesantren Nahdlatut Thullab adalah dalam pengembangan aqoid 50-nya .[2] Melalui pembinaan Aqoid 50 ini para santri yang telah boyong dapat membetulkan dan meneguhkan iman dari masyarakat daerahnya sendiri.[2] Banyak dari beberapa alumni karena sangat besar kadar kecintaan kepada gurunya dan semangat dalam belajar, mereka memperoleh kebaikan yang begitu banyak, terutama terbukanya Futuh Ilmu yang selama ini terhijab.[2] Artinya, dulu ketika diajar langsung terkadang mereka tidak memahami pelajaran saat itu juga, tetapi setelah keluar dan mengabdi untuk masyarakat, mereka tiba-tiba teringat dan mengerti maksud penjelasan KH Dimyathi sewaktu di Pesantren dahulu.[2] Metodenya pembelajaran KH Dimyathi sebenarnya sangat sederhana sekali.[2] Namun karena keyakinan tinggi dari para santrinya, maka mereka mendapatkan semacam pencerahan.[2] Hal pertama yang ditancapkan kepada para santri adalah Al-Qur’an. Para santri diwajibkan senantiasa mendawamkan membaca Al-Qur’an di sepanjang hari, di setiap aktivitas mereka.[2] Kemudian barulah didoktrin dengan Aqoid 50 dan baru belajar nahwu shorof serta ilmu-ilmu lainnya.[2] Hal penting lain yang diajarkan KH Dimyathi adalah pendidikan bilhal/ bifi’li.[2] Yakni pendidikan praktik langsung, bukan hanya teori.[2] KH Dimyathi terkenal suka mengajak para santrinya untuk bersilaturrahim. Hal ini adalah salah satu aspek pendidikan yang terus tertanam di hati para santrinya sepanjang hidup mereka.[2] Peran Dalam Kemerdekaan RIPada zaman-zaman perjuangan merebut kemerdekaan, banyak sekali korban yang harus dipertaruhkan oleh bangsa Indonesia.[1] Tak terhitung lagi korban yang telah dipersembahkan demi sebuah emerdekaan.[1] Bukan sekadar harta dan nyawa, tetapi juga perasaan terhinakan karena terus dikejar-kejar dan terusir dari kampung halaman.[1] Namun tentu saja banyak sekali para pahlawan yang justru memanfaatkannya untuk berjuang di dua ranah, yakni perjuangan fisik dengan mengangkat senjata dan perjuangan dakwah dengan mendidik generasi penerus bangsa.[7] Salah satu di antara sekian banyak para pahlawan bangsa yang berjuang di dalam dua medan perjuangan sekaligus ini adalah KH Dimyathi Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb Kabupaten Banyuwangi.[7] Seorang ulama kharismatik yang telah memiliki banyak jasa bagi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.[7] Ia adalah salah satu di antara para ulama Nahdlatul Ulama dengan andil besar dalam perjuangan fisik yang berpuncak pada meletusnya Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama.[7] Salah satu bentuk sumbangsih nyata bagi perjuangan fisik merebut kemerdekaan adalah fatwanya yang berbunyi, seluruh santri santri di daerah Banyuwangi selatan (kawasan Blambangan lama) wajib masuk Hizbullah.[7] Fatwa ini memiliki konsekuensi yang cukup besar bagi santri-santri di kawasan Banyuwangi selatan.[7] Dengan adanya fatwa ini, para santri memiliki tugas ganda. Pada malam hari mereka harus mengendap-endap untuk menyerang pos-pos keamanan tentara Belanda dan Jepang.[7] Sementara pagi harinya mereka kembali memeluk kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran agama.[1] Walhasil sebenarnya mereka belajar di atas timbunan amunisi dan mesiu hasil rampasan dari tentara penjajah.[1] Memang secara struktural, KH Dimyathi adalah Komandan Hizbullah laskar pejuang yang berafiliasi ke NU untuk wilayah Blambangan selatan.[1] Kegiatan ganda semacam ini di jalani oleh KH Dimyathi bersama dengan santri-santrinya di Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb.[1] Bukan tanpa risiko, selain menantang bahaya pada malam hari, mereka juga selalu diintai bahaya pada keesokan hari ketika mereka sedang mengaji.[1] Banyaknya intel penjajah yang berkeliaran membuat keselamatan mereka selalu dipertaruhkan setiap saat.[1] Selain mengasuh Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb, KH Dimyathi juga dipercaya sebagai Rois Suriyah I Nahdlatul Ulama cabang Blambangan saat itu Banyuwangi selatan.[1] Sementara pada waktu tersebut Pengurus Tanfidiyah dipercayakan kepada K Syuja’i.[1] Keduanya, bersama para ulama lain, bahu membahu memimpin penduduk di sana untuk melawan penjajahan.[1] Baik secara fisik maupun melawan terhadap segala dampak buruk penindasan Belanda dan Jepang, termasuk kebudayaan negative yang dibawa oleh setiap pemerintah penjajah.[1] Keadaan ini berlangsung terus hingga masa-masa setelah kemerdekaan.[2] Dalam mempertahankan kemerdekaan, para santri terus melakukan penyerangan-penyerangan terhadap pos-pos tentara Belanda pada malam hari.[2] Maka benar saja, lama kelamaan perlawanan mereka pun tercium oleh Belanda.[2] Sehingga pondok pesantren yang dipimpinnya pun digerebek oleh tentara Belanda.[2] Seluruh bangunan dibakar, termasuk bangunan pesantren dan tempat tingaal KH Dimyathi diratakan dengan tanah oleh Belanda.[2] Seluruh kitab-kitabnya sebanyak dua lemari besar pun habis di makan api.[1] Karena di bawah bangunan pesantren banyak tertanam amunisi dan mesiu hasil rampasan para santri ketika bergerilya malam hari, maka akibat pembakaran semakin menjadi-jadi.[1] Mesiu-mesiu ini mengakibatkkan api yang melalap gedung pesantren semakin menyala menjadi-jadi dan menimbulkan ledakan-ledakan hebat.[1] Meski para santri telah diperintahkan menyingkir dan berpencar, salah seorang santri bernama Muhammad Fadlan tertembak dan gugur pada penyerangan Belanda tersebut. Muhammad Fadlan kemudian dikuburkan sebagai syuhada dan dipindahkan ke Makam Pahlawan Banyuwangi pada tahun 1962.[2] Sementara KH Dimyathi ditangkap oleh Belanda dan ditahan selama 27 bulan hingga pertengahan tahun 1949. Komandan Hizbullah Blambangan selatan ini sebenarnya sudah hampir dieksekusi oleh Belanda.[2] Namun menurut beberapa cerita, ketika menjelang hari-hari eksekusi, dokumen-dokumen pidananya oleh Belanda ternyata hilang dan tidak pernah ditemukan lagi.[2] Sehingga eksekusi tidak pernah benar-benar dilaksanakan, sampai waktunya ia dibebaskan karena kekalahan-kelahan Belanda di Indonesia.[2] Peran di NUKH Dimyathi benar-benar menjadikan hidupnya sebagai pengabdian sepenuhnya kepada sesama, termasuk kepada orang-orang dari tanah kelahirannya, Yogyakarta. Di manapun para alumni berada, biasanya mereka mendapatkan solusi terkait relasi yang ditunjukkan oleh KH Dimyathi.[2] Dalam memperjuangkan NU KH Dimyathi tidak pernah melupakan silaturahmi, dibuktikan dengan keberadaan kunjungan menteri agama Republik Indonesia yang pertama ke Pondok Pesantren Kepundungan, yakni KH A. Wahid Hasjim, tetapi untuk KH Saifuddin Zuhri dan KH Muhammad Dahlan melakukan kunjungan ke Pondok Pesantren Kepundungan tatkala Dia belum menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia.[2] Meski sudah ada pejabat negara di tingkat pusat yang berkunjung, tetapi tamu-tamu ini tetap bersikap santai di Pesantren. Mereka biasa tidur-tiduran dan bercengkerama dengan santri di pendopo pesantren.[2] Terpenting KH Dimyathi selalu menanamkan jiwa ke-NU-an di hati anak didiknya.[1] Ia menyatakan ingin hidup sebagai orang NU dan kelak jika meninggal pun sebagai orang NU. KH Dimyathi mengabdikan seluruh hidupnya untuk kemajuan NU.[1] Sekilas KehidupanPandangan KH Dimyathi untuk masa depan anak-anaknya adalah tawakkal dalam artian semua garis masa depan ada pada kehendak Allah SWT, KH. Dimyathi menyatakan bahwa putra-putra saya kelak bisa mengembangkan kehidupan mereka sesuai dengan dunianya masing-masing. Sebagai orang tua do'a adalah elemen penting dalam mengarahkan kehidupan anak-anaknya, untuk itu urusan anak-anaknya ia pasrahkan sama Allah SWT. Termasuk kepada putranya KH. Khamadullah Dimyathi yang waktu itu masih berusia balita, sudah harus ditinggal oleh KH Dimyathi untuk berpulang ke rahmatullah di tanah suci Mekkah atau Makkah al-Mukarramah.[2] Tokoh Kharismatik dari Blambangan selatan yang terlahir pada tahun 1912 ini yang berasal dari Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, sekitar tahun 1915-an sudah harus pindah ke kawasan Blambangan selatan beserta keluarganya yang dibawa oleh Kakaknya Kyai Maksum, dan setelah banyak belajar dari Pesantren akhirnya pada tahun 1936 KH Dimyathi mendirikan pesantren untuk berdakwah di daerah Blambangan selatan.[2] Pada tahun 1959 setelah usai merampungkan pembangunan gedung pesantrennya dan menyediakan cukup lahan untuk para santrinya menopang kehidupan dan biaya belajar selama di sana, KH Dimyathi berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah atau Makkah al-Mukarramah.[2] Namun di sanalah rupanya ia datang untuk menghadap kepada Rabb-nya pada usia 47 tahun.[2] Sebuah pemakaman tanpa penghormatan militer, meskipun ia selalu berada di garis terdepan dalam pertempuran melawan tentara-tentara Belanda. Selamat jalan Komandan Hizbullah Blambangan selatan.[2] Semoga generasi masa kini dapat meneruskan perjuanganmu mengusir imperialisme dari bumi Nusantara.[2] Karya dan pemikiranK.H. Dimyathi Syafi'ie mempunyai beberapa tulisan dan catatan-catatan.[2] Namun dengan berlangsungnya pembakaran Pondok Pesantren Kepundungan oleh pihak Belanda, maka beberapa pemikiran KH. Dimyathi Syafi'ie yang sudah terbukukan dalam beberapa kitab belum bisa terselamatkan;[2] Dengan kekurangan informasi itulah, maka penulis masih berusaha mengumpulkan beberapa kitab Dia yang masih bisa diketahui, dan salah satu kitab yang sudah penulis dapatkan adalah:
ReferensiCatatan Kaki
Pranala luar
|