Share to:

 

Abdul Qadir bin Abdul Mutalib

Abdul Qadir bin Abdul Muthalib
NamaAbdul Qadir bin Abdul Muthalib
Nisbahal-Indunisi al-Mandili al-Makki asy-Syafi’i
JabatanUlama, guru, Da'i
Karya yang terkenalTuhfah al-Qari‘ al-Muslim fi al-Ahadits al-Muttafaq ‘Alaiha Bayn al-Imam al-Bukhari wa al-Imam Muslim,
Al-Khazain As-Saniyyah,
Syarh ‘Aqidah Thahawiyyah,

Syekh Haji Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hassan (bahasa Arab: الشَّيْخُ عَبْدُ القَادِرِ بْنُ عَبْدِ المُطَّلِبِ بْنِ حَسَنٍ الأَنْدُوْنِيْسِي المَنْدِيْلِي المَكِّيّ الشَّافِعِيْ) (Mandailing, Sumatera Utara 1910 M - Mekkah, Arab Saudi 1965 M)[1] adalah seorang ulama Nusantara yang ternama di kalangan Melayu.[2] Dilahirkan pada tahun 1329 H di desa Sigalapang, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Namanya adalah ‘Abdul Qadir bin ‘Abdul Muththalib bin Hassan Al-Andunisi Al-Mandili Al-Makki Asy-Syafi’i. Sebenarnya, nama bapaknya masih diperselisihkan oleh kalangan sejarawan. Ada yang menyebut Thalib, sedangkan di pihak lain menyebut ‘Abdul Muththalib. Akan tetapi perselisihan ini akan segera sirna jika kita kembalikan pada apa yang dituliskan Syaikh ‘Abdul Qadir sendiri. Antara lain dalam Al-Khazain As-Saniyyah, Syarh ‘Aqidah Thahawiyyah, dan Kunci Anak Syurga, dia menulis bahwa ayahnya bernama ‘Abdul Muththalib, bukan Thalib.[3] Biografinya telah diangkat dalam sebuah buku yang berjudul Syeikh Abdul Qadir Al-Mandaili (1910-1965): Biografi dan Pendidikan Akhlak karya Prof. Madya Dr. Ramli Awang, seorang tenaga pengajar di Pusat Pengajian Islam dan Pembangunan Sosial, Universitas Teknologi Malaysia.[2] Artikel tentang biografi dia pun telah ditulis oleh Fiman Hidayat Mawardi di situs muslim.or.id.[3] Ia berasal dari kalangan keluarga petani.[1][2] Ia dijuluki “Al-Mandaili” karena berasal dari suku Mandailing.[1][2] Ada dua nama Syaikh Abdul Qadir asal Mandailing yang terkenal, satu terkenal di Makkah dan satunya lagi terkenal di dunia Melayu.[2] Yang lebih senior dan terkenal di Makkah adalah Syeikh Abdul Qadir bin Shobir Al Mandili, kelahiran Huta Siantar, Panyabungan Kota, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Sedangkan Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib lebih terkenal di Melayu dahulu baru kemudian pada tahun 1936 berangkat ke Makkah untuk menuntut ilmu.[2]

Pendidikan Awal

Ia mendapat pendidikan awal di Sekolah Belanda pada 1917 dan lulus kelas Lima pada 1923. Pada 1924, Ia berhijrah ke Kedah untuk mendalami ilmu agama.[1] Merantau ke negeri Malaysia bukan hanya banyak dilakukan orang-orang Indonesia pada zaman sekarang. Bahkan sudah sejak dahulu kala masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sumatra pada khususnya, sudah sering mengadakan perantauan ke negeri jiran tersebut. Alasan kuat yang menyebabkan penduduk Sumatra sering menjalin hubungan dengan negeri jiran adalah karena mereka sama-sama berbangsa Melayu sehingga banyak kesamaan antara keduanya, baik dari segi agama, bahasa, maupun adat istiadat. Salah satu di antara orang Sumatra yang melawat ke negeri seberang itu adalah ‘Abdul Qadir Al-Mandili, yaitu pada tahun 1924 M, satu tahun setelah kelulusannya dari sekolah Belanda. Hanya saja perjalanan yang ia lakukan ini bukan karena dorongan kebangsaan ataupun kesukuan, namun lebih pada perjalanan menimba ilmu agama yang sudah menjadi kebiasaan penuntut ilmu di seluruh dunia. Itulah perjalanan yang oleh sahabat Abu Darda’ –radhiyallahu ‘anhu– disebut sebagai perjalanan fi sabilillah.[3]

Hijrah ke Malaysia

Saat ia hijrah ke Kedah, Malaysia pada tahun 1924, awalnya Syaikh Abdul Qadir muda berguru kepada Tuan Guru Haji Bakar Tobiar, di Pondok Penyarum, Pendang, selanjutnya ia melanjutkannya ke Pondok Air Hitam di bawah bimbingan Tuan Guru Haji Idris dan Lebai Dukun.[1][2]

Pada 1926, Syaikh Abdul Qadir bersekolah di Madrasah Darul Sa’adah Al-Islamiyah atau Pondok Titi Gajah, yang ketika itu diasuh Syaikh Wan Ibrahim bin ‘Abdul Qadir Al-Fathani atau biasa disapa Pak Chu Him yang terkenal itu.[3] Setelah 10 tahun belajar, ia diterima sebagai guru di pondok ini sekitar 1934.[2]

Dikisahkan pula bahwa di saat ia masih nyantri di Darul Sa’adah Al-Islamiyyah, ia biasa memanfaatkan masa liburan untuk bekerja sebagai pemukul padi karena memang lokasi madrasah terletak di lingkungan persawahan. Meski sebagai seorang santri, ia tidak canggung menjalani pekerjaannya itu. Dalam pikirannya, yang penting itu halal tidak perlu malu dijalani. Meski harus bekerja, ia tidak lantas melupakan tujuan utamanya melawat. Sambil bekerja memukul padi, ia terlihat tampak sembari menghafalkan sesuatu. Mungkin matan kitab atau semacamnya. Berkat karunia Allah, kemudian berkat ketekunannya belajar ini tidak heran jika ia sampai berhasil menguasai banyak bidang keilmuan.

Selain terkenal tekun belajar, ‘Abdul Qadir Al-Mandili juga terkenal dengan ketekunannya beribadah pada Allah. Tidak hanya ibadah wajib yang ia kerjakan, namun ibadah-ibadah sunnah pun banyak yang ditekuninya. Maka tidak sekadar belajar, tetapi ia juga mengamalkannya. Dan demikianlah akhlak keseharian seorang penuntut ilmu yang seyogianya terus dilakukan. Karena dengan mengamalkan ilmu, ilmu akan semakin bertambah dan tidak lekas lupa, kata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –rahimahullah-[3].

Sesudah 12 tahun berada di Titi Gajah, dahaganya kepada ilmu semakin memuncak. Ia berkeinginan untuk berguru kepada Syaikh Wan Ismail (Syaikh Isma’il bin ‘Abdul Qadir Al-Fathani bersapa Pak Da ‘Ali[3]), yang tak lain adalah kakak Syaikh Wan Ibrahim, yang mengajar di Makkah.[2]

Berguru ke Tanah Haram

Pada tahun 1355 H, Syaikh ‘Abdul Qadir bin ‘Abdul Muththalib al-Mandili bertolak ke Makkah Al-Mukarramah, suatu negeri yang selalu menjadi dambaan semua orang, apatah lagi penuntut ilmu. Adalah suatu kebiasaan yang lazim menjadi ‘sunnah’ penuntut ilmu di Nusantara, terasa belum sempurna jika tidak mengambil bagian belajar di kota kelahiran Rasulullah ﷺ tersebut. Maka pada waktu tersebut ‘Abdul Qadir tidak lagi kuat menahan hasratnya untuk segera berangkat menujunya. Sesampainya di Makkah dan setelah menyempurnakan ibadah haji pada tahun tersebut, ia bertekad untuk lebih lama tinggal di sana, tidak lain untuk menimba ilmu dari para ulamanya walaupun keilmuannya sudah bisa dibilang dalam dan matang. Akan tetapi karena dahaganya pada ilmu yang masih belum terobati, ia merasa harus lebih lanjut mendalaminya.[3]

Di Makkah ia berguru kepada banyak ulama besar,[2] di antaranya:

  • Syaikh Isma’il bin ‘Abdul Qadir Al-Fathani,
  • Syaikh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi,
  • Syaikh Abdul Karim Ad-Daghistani,
  • Syaikh Ali Al-Fathani,
  • Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki,
  • Syaikh Hassan Al-Masysyath,
  • Syaikh Muhammad Al-Arabi,
  • Sayyid Alwi bin Abbas Al-Hasani,
  • Syaikh Muhammad Ahyad,
  • Syaikh Hasan Al-Yamani,
  • Syaikh Umar Hamdan Al-Mahrasyi,
  • Syaikh Muhammad Nur Saif,
  • Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani,
  • Syaikh Abdullah Al-Lahji,
  • Syaikh Zakaria Bila.

Mengajar di Makkah

Setelah sekian lama berguru kepada banyak ulama Tanah Suci, ia mendapatkan izin mengajar di Masjidil Haram. Ia mengajar selama hampir 30 tahun, dalam berbagai cabang keilmuan.[4] Majelisnya yang terkenal adalah sebuah majelis yang terletak di sisi Bab Al-Umrah, salah satu pintu utama Masjidil Haram. Halaqahnya ini amat terkenal di kalangan penuntut ilmu di Masjidil Haram, terutama di kalangan santri Melayu.[4]

Adapun jadwal kajian Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Mandili adalah setiap usai shalat ‘Ashar, Maghrib, dan Shubuh. Selain di Masjidil Haram, ia juga biasa memberi pelajaran di rumahnya sendiri dan tempat lainnya.[3]

Tentang halaqah pengajian Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Mandili, Syaikh Zakariya bin ‘Abdullah Bela pernah menuturkan, “Dia memeiliki beberapa pelajaran yang disampaikannya di Masjidil Haram dalam bidang fiqih madzhab Syafi’i, nahwu, sharaf, balaghah, hadits, mushthalah hadits, tafsir, selain beberapa pelajaran yang diterimanya dari guru-gurunya. Majelis pengajiannya tidak kurang dari 200 pelajar dalam setiap pengajiannya karena sebab kepiawiannya yang begitu kuat dalam metode menerjemahkan (pelajaran), pengalamannya yang luas dalam menyampaikan pelajaran, dan metode-metode pengajaran.”[3]

Sementara itu ‘Abdul Wahhab bin Ibrahim Abu Sulaiman dan Muhammad Ibrahim Ahmad ‘Ali menuturkan, bahwa pengajian Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Mandili tampak begitu jelas di antara pengajian-pengajian lain yang ada di Masjidil Haram. Biasanya digelar saat masjid tengah sepi, yaitu selepas shalat ‘ashar, isya’, dan shubuh di Bab Al-‘Umrah. Dia duduk di sebuah kursi yang tinggi agar suaranya dapat didengar banyak pelajar yang menghadiri pengajiannya yang mengelilinginya di setiap sisinya.[3]

Pengajiannya berlangsung hingga beberapa jam, dua atau tiga jam. Para hadirin pun dengan penuh antusias menyimak pelajaran yang ia sampaikan seakan-akan di atas kepala mereka terdapat burung. Suaranya dikenal membahana dan berderak memenuhi masjid. Dia biasa mengenakan serban dan jubbah Makkah. Cara jalannya penuh dengan keistimewaan, kesehariannya dilalui dengan kesungguhan, selalu bersikap rendah hati di hadapan para muridnya, dan bertingkah layaknya ulama-ulama Makkah pada umumnya.[3]

Ketika menjadi guru di Masjidil Haram, Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib pernah ditawarkan dengan berbagai jabatan, sebagai guru agama di Cape Town, Afrika Selatan. Presiden Soekarno juga dikisahkan pernah menawarkan sebagai Mufti Indonesia, sedangkan Raja Arab Saudi menawarkan posisi Qadhi Al-Qudat dengan gaji yang besar.[1][4] Tetapi semua itu ditolak olehnya karena ia lebih memilih konsentrasi dalam hal mengajar di Masjidil Haram.[1][4] Sesuai dengan gelar yang diberikan kepadanya yakni "Khuwaidam Talabah al-Ilmu as-Syarif bil Harami al-Makki (Khadam kecil bagi penuntut ilmu di Masjidil Haram)".[1]

Beberapa Pokok Pemikiran Dia

Iman

Prinsip Iman Menurut Al-Mandili

Dia berkata, “Dan bahwa iman itu pada madzhab imam kita Asy-Syafi’i, dan Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahumullah-, mengaku dengan lidah, dan membenarkan dengan hati, dan membenarkan dengan anggota. Seperti mengucap dua kalimat syahadat, dan seperti mengi’tiqadkan dengan putus (baca: kokoh) bahwa Nabi Muhammad itu hamba Allah dan rasul-Nya, dan seperti mengerjakan sembahnyang. Karena hadits Al-Bukhari:

قال أتدرون ما الإيمان بالله وحده؟ قالوا الله و رسوله أعلم . قال شهادة أن لا إله إلا الله و أن محمدا رسول الله

Artinya: Bersabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ‘Adakah mengetahui kamu apa iman dengan Allah ketunggalan-Nya?’. Bersambah mereka (baca: para shahabat) itu, ‘Allah Ta’ala dengan pesuruh-Nya jua yang lebih mengetahui.’ Bersabda ia, ‘Bersaksi bahwa tiada yang disembah dengan sebenar melainkan Allah Ta’ala dan bahwa Nabi Muhammad itu pesuruh Allah Ta’ala.’ Dan karena firman Allah Ta’ala:

و ما كان الله ليضيع إيمانكم

Artinya, ‘Dan tiada ada Allah Ta’a menghendaki akan mensia2kan akan sembahyang kamu menghadap ke Baitul Maqdis, bahkan memberi pahala Ia akan kamu atasnya.’ (Anak Kunci Syurga hal. 11)[3]

Berkurang dan Bertambahnya Iman

Dia berkata, “Dan adalah iman itu bertambah ia dengan sebab bertambah taat, dan kurang ia dengan kurang taat, karena firman Allah Ta’ala:

ليزدادوا إيمانا مع إيمانهم

Artinya, ‘Supaya bertambah mereka itu akan iman serta iman mereka itu.’ Dan tiap2 yang menerima ia akan bertambah, menerima ia akan kurang.” (Anak Kunci Syurga hlm. 11)[3]

Makna Kalimat La Ilaha Illallah

Dia berkata ketika menjelaskan perkataan Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi, “و لا إله غيره”, “Dan tiada yang disembah sebenar lain daripada-Nya.”

“Ini kalimat tauhid yang menyeru kepadanya oleh sekalian Rasul –‘alaihimush shalatu wassalam-. Dan bermula mengitsbatkan tauhid dengan ini kalimat adalah ia dengan ditilik kepada nafi dan itsbat yang memberi paham akan tersimpan ketuhanan itu pada tuhan yang satu. Karena bahwa itsbat saja kedatangan tasanya ihtimal (baca: memungkinkan) ada yang lain, maka barang kali karena inilah tatkala berfirman Allah Ta’ala ‘و إلهكم إله واحد’ artinya, ‘bermula tuhan kamu tuhan yang satu,’ berfirman Ia kemudian, ‘لا إله هو الرحمن الرحيم’artinya, ‘Tiada yang disembah dengan sebenar melainkan Ia jua, Tuhan yang mengaruniakan rahmat yang besar2 dan rahmat yang kecil2.’ Maka bahwasannya terkadang melintas di hati seseorang, bahwasannya Tuhan kita satu, maka bagi orang lain Tuhan yang lain, maka menolak Allah Ta’ala akan dia dengan firman-Nya, ‘لا إله إلا هو الرحمن الرحيم’, telah terdahulu maknanya.” (Perisai Bagi Sekalian Mukallaf hlm. 21-22)[3]

Tauhid

Pembagian Tauhid

Dia berkata, “Dan ketahui olehmu bahwasannya tauhid itu terbahagi ia tiga bahagian. Pertama tauhid rububiyyah. Artinya mengesakan Allah Ta’ala dengan segala perbuatan-Nya. Dan kedua, tauhid uluhiyyah. Artinya mengesakan Allah Ta’ala dengan segala perbuatan hamba. Ketiga, tauhid asma wa shifat. Artinya, mengesakan Allah Ta’ala dengan segala nama-Nya dan shifat-Nya. Wallahua’lam.”(Perisai Bagi Sekalian Mukallaf hlm. 6)[3]

Tauhid Rububiyyah di Mata Dia

Dia berkata, “Dan tauhid rububiyyah ini mengaku dengan dia oleh orang2 kafir pada masa hidup Rasulullah ﷺ, tetapi tiada memasukkan ia akan mereka itu kedalam agama Islam karena ingkar mereka itu akan tauhid uluhiyyah yang akan datang.”

Kemudian dia memaparkan dalil-dalilnya, yaitu QS Luqman ayat ke-25, QS Az-Zukhruf ayat ke-9, dan QS Al-Mukminun ayat ke- 84.

Dia berkata, “Dan bermula ini tauhid sebenar ia tiada syak padanya. bahkan segala hati manusia dijadikan akan dia mengaku dengan ini tauhid lebih daripada mengaku dengan yang lainnya daripada segala yang ada.”

Selanjutnya dia mengutarakan dalil-dalilnya yang tertera dalam QS Al-Isra’ ayat ke-102, QS Ibrahim ayat ke-10, dan QS An-Naml ayat ke-14. (Perisai Bagi Sekalian Mukallaf hlm. 7-8)[3]

Seruan Tauhid

Dia berkata, “Dan bahwa Allah Ta’ala ketunggalan Ia dengan perbuatan hamba-Nya yang disuruh. Seperti sembahyang, maka tiada kita sembahyang melainkan karena Allah, dan jangan kita sujud melainkan akan Allah Ta’ala, dan jangan kita bernazar melainkan bagi Allah Ta’ala, dan jangan kita kerjakan ibadah melainkan karena Allah Ta’ala, dan janganlah kita sekutukan Allah Ta’ala dengan yang lain-Nya pada ibadah kita, dan jangan kita menyembelih qurban melainkan bagi Allah Ta’ala, dan jangan kita menyembelih karena hantu, dan tok keramat, dan tok ninik. Dan jangan kita harap melainkan akan Allah Ta’ala. Dan jangan kita takut melainkan akan Allah Ta’ala. Dan jangan kita mintak tolong melainkan akan Allah Ta’ala, karena firman Allah Ta’ala:

و لقد أوحي إليك و إلى الذين من قبلك لئن أشركت ليحبطن عملك و لتكونن من الخاسرين

Artinya, ‘Dan sungguhnya diberi tahu kepada engkau, wahai Rasulullah, dan kepada sekalian pesuruh yang dahulu daripada engkau, demi Allah jika menyekutukan engkau akan Allah Ta’ala pada ibadah –fardhu taqdir- niscaya bathil segala amal ibadah engkau, dan niscaya adalah engkau daripada sekalian yang rugi pada dunia dan akhirat.’

Dan firman-Nya:

قل إن صلاتي و نسكي و محياي و مماتي لله رب العالمين

Artinya, ‘Berkata olehmu, wahai Rasulullah, bahwasannya sembahyangku, dan menyembelih aku, dan hidupku, dan matiku, tertentu semuanya bagi Allah Ta’ala yang menjadikan segala alam.’

Dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

و إذا سألت فاسأل الله و إذا استعنت فاستعن بالله

Artinya, ‘Apabila berkehendak engkau akan memintak sesuatu maka mintak olehmu akan Allah, dan apabila berkehendak engkau akan meminta tolong maka mintak tolong olehmu akan Allah Ta’ala.’ Allahua’lam.”(Anak Kunci Syurga hlm. 8-9 atau penjelasan lebih panjang dapat dilihat dalam Perisai Bagi Sekalian Mukallaf hlm. 9-12)

Dalam Perisai Bagi Sekalian Mukallaf, Syaikh berkata, “Dan bermula tauhid uluhiyyah yaitu mengesakan Allah Ta’ala dengan segala perbuatan hamba yang mensyara’kan akan dia oleh Allah Ta’ala bagi mereka itu. Seperti doa, dan nazar, dan menyembelih qurban, dan mintak tolong, dan sembahyang, dan puasa, dan zakat, dan haji, dan umrah, dan lain daripada yang demikian.

Maka wajib atas tiap2 mukallaf bahwa tiada mendoa ia melainkan akan Allah Ta’ala, dan bahwa tiada bernazar ia melainkan bagi Allah Ta’ala, dan bahwa tiada mintak tolong ia melainkan akan Allah Ta’ala, dan bahwa tiada sembahyang ia melainkan karena Allah Ta’ala, dan bahwa tiada takut ia melainkan akan Allah Ta’ala, dan bahwa tiada harap ia melainkan akan Allah Ta’ala, dan bahwa tiada menyembelih qurban ia melainkan bagi Allah Ta’ala, dan bahwa tiada sujud ia melainkan bagi Allah Ta’ala, dan bahwa tiada berserah ia melainkan kepada Allah Ta’ala.

Pendeknya, bahwa tiada mengerjakan ia akan amal ibadah melainkan karena Allah saja, dan jangan menyangkutkan ia akan Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya pada ibadahnya.

Maka jangan mintak ampun pada segala dosa melainkan akan Allah Ta’ala, karena tiada ada yang mengampuni dosa melainkan Allah Ta’ala, seperti yang tersebut di dalam Sayyidul Istighfar. Maka tiada harus bagi seseorang mintak ampun dan mintak maaf akan hantu, atau tok keramat, atau tok ninik. Seperti berkata ia pada ketika lalu pada tempat yang disangkanya ada hantu padanya, ‘Assalamu’alaikum, mintak tabik datuk bumi putera di sini, jangan ambil salah silih, anak cucu tiada arti bas, mintak ampun maaflah.’ Maka yang demikian itu perbuatan orang jahiliyah. Karena firman Allah Ta’ala:

و أنه كان رجال من الإنس يعوذون برجال من الجن …

Artinya, ‘Dan bahwasannya adalah pada zaman jahiliyah beberapa orang laki2 daripada manusia memintak pelihara mereka itu pada tempat yang ditakuti.’

Dan jangan menyembelih ia akan binatang seperti ayam, dan kambing, dan kerbau balir, dan lainnya karena hantu laut, atau hantu darat, atau tok ninik,atau tok keramat, atau tok lainnya, karena sabda Nabi ﷺ:

لعن الله من ذبح لغير الله

Artinya, ‘Menjauhkan Allah Ta’ala daripada rahmat-Nya akan mereka yang menyembelih karena lain daripada Allah Ta’ala'. Menceritakan dia oleh Muslim.”

Selanjutnya dia membawakan perkataan Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Dia berkata, “Dan ini tauhid ialah yang mengingkarkan akan dia oleh musyrikun. Dan inilah perbantahan antara sekalian rasul dan sekalian umat mereka itu dari semenjak Nabi Nuh sampai kepada Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihima wa sallam-.”[3]

Karya

Syeikh Abdul Qadir juga aktif dalam menulis, sekitar 24 buah karya tulis dalam bahasa Melayu dan Arab[1][4] telah lahir dari kegigihan ia menutut ilmu dan mengajar, termasuk di antaranya enam buah karya terjemahan. Tulisannya meliputi berbagai bidang seperti ushuludin, fiqih, pendidikan, hukum, dan akhlaq, politik, dan perundangan. Syaikh Abdul Qadir telah lebih dahulu "modern" dalam pemikiran di kalangan ulama-ulama tradisional lainnya pada masa itu tatkala ia memperbincangkan ideologi kapitalisme, sosialisme, dan komunisme.[2][4] Tulisan-tulisan tersebut masih terus dicetak dan dipelajari di berbagai lembaga pendidikan formal maupun non formal. Pada tulisan-tulisannya itu dapat dengan jelas kita rasakan nuansa dakwah kepada tauhid yang dia prioritaskan.

Di antara karya-karya dia adalah:

  • Al-Khaza‘in as-Saniyyah min Masyahir al-Kutub al-Fiqhiyyah Li A‘immatina al-Fuqaha‘ asy-Syafi’iyyah.[1][4] Kitab ini, kata ‘Abdul ‘Aziz As-Sayib, seperti yang dampak pada judul dan muqaddimah penulisnya, (disusun) untuk orang hendak membaca kitab-kitab fiqih Syafi’i. Al-Mandili memaksudkan agar orang yang mentelaah kitab-kitab itu menjadi mudah karena nama-nama pengarang kitab yang dikandungnya terkadang masih samar bagi pembaca, serta istilah-istilah dan semacamnya yang boleh jadi belum diketahui oleh pelajar. Dari sanalah Syaikh Al-Mandili menjadikan kitabnya terdiri dari 8 pasal. Pertama nama-nama kitab yang kerap disebutkan dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyyah. Inilah pokok kitab Al-Khazain As-Saniyyah dan intinya yang paling banyak dihimpunkan oleh si penulis. Kedua, menentukan pakar fiqih yang 7 yang berada di Madinah Munawwarah. Ketiga, nama-nama reformer umat ini. keempat, nama-nama pakar hadits yang sering disebutkan dalam kitab-kitab fiqih. Lima, rumus nama-nama pengarang kitab. Keenam, beberapa istilah, yaitu gelar dan sifat sebagian ulama yang sering disebutkan dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyyah seacara khusus, dan kitab-kitab ilmiah secara umum. Ketujuh, nama-nama komplotan sesat. Kedelapan, pakar qiraah yang tujuh beserta para perawinya.[3]
  • Risalah Pokok Qadiani, memaparkan kesesatan dan bahaya ajaran Mirza Ghulam Ahmad[1][4]
  • (1949) Senjata Tok Haji dan Tok Labai[1][4]
  • (1950) Pembantu bagi Sekalian Orang Islam dengan Harus Membaca Quran dan Sampai Pahalanya kepada Sekalian Yang Mati[1][4]
  • (1952) Tuhfah al-Qari‘ al-Muslim fi al-Ahadits al-Muttafaq ‘Alaiha Bayn al-Imam al-Bukhari wa al-Imam Muslim.[1][4] Kitab ini beberapa hadits pilihan yang disepakati periwayatannya oleh Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari dan Imam Abul Hajjaj Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naesaburi.[3]
  • (1953) Bekal Orang yang Menunaikan Haji[1][4]
  • (1956) Hukm al-Ihram min Jaddah, Penawar bagi Hati, Perisai bagi Sekalian Mukallaf, Pendirian bagi agama Islam [1][4]
  • (1956) Pendirian Agama Islam, memperbincangkan ideologi ciptaan manusia seperti kapitalisme, sosialisme, dan komunisme serta persinggungannya dengan aqidah dan pemikiran Islam[1][4]
  • (1958) Sinar Matahari Buat Penyuluh Kesilapan Abu Bakar al-Asy’ari, kritik pemikiran golongan kaum muda[1][4]
  • (1958) Al-Madzhab atau Tiada Haram Bermadzhab. Kandungan isi kitab ini seperti yang diterangkan penulisnya di muqaddimah, “Maka ini sebuah kitab yang kecil, yang mengandung ia akan hukum bermadzhab dan taqlid. Hamba sesunkan dia karena permintaan Tuan Guru Haji Hasan Ahmad Fathani, yang memberi ia akan hamba akan sebuah risalah ‘Al-Madzhab Wajibkah Atau Haramkah Bermadzhab?’ yang terbangsa kepada Al-Fadhil Tuan Hassan Ahmad Bandung (baca: Al-Ustadz A. Hassan Bandung), dan menyuruh ia akan hamba dengan menerangkan barang yang di dalamnya daripada segala yang menyalahi. Maka karena tiada dapat hamba menyalahi permintaan itu, terpaksalah hamba menyusun akan ini risalah, sekalipun hamba tiada ada ahli bagi yang demikian itu. Dan hamba namakan dia dengan ‘Al-Madzhab Atau Tiada Haram Bermadzhab’. Mudah-mudahan menjadikan dia oleh Allah Ta’ala ikhlas, serta memberi manfaat ia bagi hamba sendiri dan bagi sekalian maudara yang beragama Islam. Innahu ‘ala kulli syai-i’ qadir.”[3]
  • (1959) Siasah dan Loteri dan Alim Ulama dan Islam: Agama dan Kedaulatan, yang menjelaskan hukum judi yang dilegalisasi pemerintah lalu dananya digunakan untuk membina masjid dan sekolah agama[1][4]
  • (1961) Kebagusan Undang-undang Islam dan Kecelaan Undang-undang Ciptaan Manusia, menjelaskan kepada orang Melayu, yang dengan itu karyanya ditulis dalam bahasa Melayu, tentang keadilan dan kebaikan undang-undang Allah serta kekeliruan hukum cara manusia, terlebih lagi infiltrasi undang-undang penjajah di negeri-negeri Melayu[1][4]
  • Anak Kunci Syurga.[3]
  • Syarah ‘Aqidah Thahawiyyah yang berjudul Perisai Bagi Sekalian Mukallaf atau Simpulan Iman Atas Jalan Salaf.[3]
  • Al-Asad Al-Mu’aar Li Qatl At-Tis Al-Musta’aar.[3]
  • Petunjuk Bagi Sekalian Ummat. Kitab ini membahas tentang perbedaan ulama tentang sunnah tidaknya shalat qabliyyah Jum’at. Sedangkan dalam kitab ini, Syaikh Al-Mandili cenderung berpendapat sunnah. Oleh karena itu, dinampakkannya berbagai dalil yang menguatkannya. Isinya kurang lebih seperti kitab yang pernah ditulis oleh Imam Ibnul Mulaqqin yang kemudian diberi catatan tambahan oleh Syaikh Zakariya bin ‘Abdullah Bela Al-Andunisi.[3]
  • I’tiad Orang yang Percaya Akan Quran Dengan Turun Nabi Isa ‘Alaihissalam Pada Akhir Zaman[3]
  • Menakutkan Daripada Memasukkan Kanak2 Kedalam Sekolah Bangsa Kafir.[3]
  • Penawar Bagi Hati.[3]
  • Risalah Pada Penerangkan Makna Sabilillah yang Mustahiq Akan Zakat.[3]

Perlu diketahui bahwa pengaruh Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Mandili di kepulauan Nusantara masih terus dapat dirasakan hingga sekarang. Buktinya adalah kitab-kitabnya yang masih dapat dengan mudah kita jumpai terus dicetakulang dan dipelajari, terutama di Malaysia, Thailand, dan sekitarnya. Jika Anda berkesempatan berkunjung ke negeri-negeri tersebut, Anda tidak akan kesulitan menjumpai pengajian kitab Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Mandili. Tidak hanya dikaji di surau dan masjid, kitab-kitabnya tersebut masih kerap dijadikan kurikulum pesantren-pesantren di sana. Sedangkan percetakan masih terus bergerak mencetak kitab-kitabnya adalah Maktabah wa Mathba’ah Muhammad An-Nahdi wa Auladih Thailand. Jelas ini merupakan prestasi yang luar biasa yang pernah diraih oleh dia –rahimahullah-.[3]

Selain itu ada beberapa kitabnya yang di kemudian hari diterbitkan dalam versi bahasa Melayu dengan font latin.[3]

Murid

Muridnya yang terkenal ialah Tuan Guru Haji Abdul Rahman Sungai Durian, Kelantan dan Tuan Guru Haji Umar Daud Meranti.[1] Salah seorang anaknya, Syeikh Muhammad al-Mandili merupakan guru agama di Masjidil Haram sekarang ini.[1][4]

Karakter dan Kepribadian

Syeikh Abdul Qadir sangat gigih mengajar dan tidak mengenal keadaan sakit. Apabila ditanya oleh anak muridnya apakah ia sudah sembuh, ia menjawab, "kalau menangis pun bukan nak lega",[1] demikian dari kalangan Melayu menyebutnya.

Syaikh Zakaria pernah menuturkan, “Di samping wataknya yang bagus, akhlaknya yang mulia, tabiatnya yang indah, dia juga dicintai di dunia intelektual, dia selalu memandangnya dengan penuh penghargaan dan penghormatan.”[3]

Wafat

Setelah menetap 29 tahun[4] lamanya di Makkah mengabdikan dirinya dalam keilmuan, pada 1965 M [Kalender Hijriyah: 18 Rabiulakhir 1385],[1][4] Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hasan Al-Mandaili mengembuskan napas yang terakhir pada usia 63 tahun lebih setelah mengalami penyakit pada kakinya.[1][4] Mungkin semacam tumor atau lainnya. Para ahli medis menyarankan agar penyakit itu dioperasi saja, akan tetapi ia menolaknya. Pada musim haji tahun 1384 H, beberapa ahli kedokteran Indonesia memberinya saran agar berobat ke Indonesia. Ia pun menyetujui saran tersebut. Akan tetapi karena di sana juga hendak dilakukan operasi, ia kembali menolaknya. Akhirnya ia kembali ke Makkah. Ia sempat berkunjung ke Madinah Al-Munawwarah.[3]

Penulis Al-Jawahir Al-Hissan mengatakan, “Sekembalinya dari Madinah, dia wafat pada 20 Rabi’ul Tsani tahun 1385 H. Yang menyampaikan berita wafatnya padaku adalah Al-Ustadz ‘Abdul Ghani Al-Mandili yang pada saat itu aku masih berada di Masjid Madinah Munawwarah. Semoga Allah merahmati dan memberinya berkah.”[3] Masyarakat Makkah sangat berdukacita dengan wafatnya dia, para pelajar sangat kehilangan ulama panutan mereka, isak tangis menyelubungi kewafatan seorang ulama yang alim, banyaknya para pelayat dan yang iku menyolatkan menunjukkan betapa besarnya kecintaan mereka kepada Syeikh Abdul Qadir Al-Mandili, ia di kuburkan di perkuburan Ma`la Makkah Mukarramah.[1][4]

Catatan kaki

Rujukan

Daftar pustaka

Website

Pranala luar

Lihat pula

Kembali kehalaman sebelumnya