Share to:

 

Filsafat dan cinta

Adam dan Hawa.

Filsafat dan cinta adalah dua konsep yang dianggap berseberangan menurut masyarakat umum. Jika seseorang membicarakan filsafat, pikiran awam akan langsung tertuju kepada sesuatu yang berat, “merusak” iman, dan identik dengan para pemikir (filsuf). Sebaliknya, jika membicarakan mengenai cinta, pikiran seseorang akan tertuju kepada hubungan dua kekasih, rasa kasih sayang antara orang tua dan anak, serta relasi antara Tuhan dan hamba-Nya. Namun, yang paling dominan adalah cinta antara dua insan. Cinta adalah kehidupan itu sendiri, bahkan Tuhan menciptakan alam semesta ini tidak lain karena cinta. Kehidupan manusia sepanjang hayatnya juga selalu bersinggungan dengan cinta. Sejak Adam bersama Hawa di surga hingga zaman yang identik dengan modern, cinta selalu mengitari kehidupan manusia.

Konsep

Cinta.

Salah satu tokoh yang sering membicarakan cinta adalah Taylor Swift, penyanyi asal Amerika Serikat. Dia mengatakan bahwa, "Aku mempunyai banyak aturan dalam hidup, tetapi tidak untuk cinta”. Tokoh lain yang mengulik cinta adalah aktivis Soe Hok Gie. Dalam bukunya berjudul Catatan Seorang Demonstran, dia mengatakan, “Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta". Hal lain yang tidak kalah terkait cinta ini terdapat dalam film animasi Frozen, yaitu “Cinta sejati akan mencairkan hati yang beku”. Hal ini merujuk kepada pengorbanan besar yang dilakukan oleh tokoh utama dalam film tersebut, yaitu Elsa. Terakhir, penyair Sitok Srengenge mengatakan bahwa, “Tuhan menciptakan alam semesta dengan cinta, selain Tuhan adalah makhluk, cinta adalah makhluk Tuhan yang pertama”.[1]

Para filsuf sendiri adalah seorang pencinta sejati. Semua filsuf tanpa terkecuali pernah membicarakan cinta.[2] Definisi filsafat sendiri pun adalah cinta itu sendiri. Philo berarti cinta dan sophia berarti kebijaksanaan. Jadi, para filsuf adalah pencinta kebijaksanaan (hikmah). Secara historis, awal munculnya filsafat juga tidak bisa dipisahkan dengan cinta. Berdasarkan literatur yang ada, filsafat bermula dari seorang pencinta ilmu pengetahuan, ahli hikmah, dan beragam julukan lainnya, yakni Idris. Dia dianggap sebagai bapak para filsuf karena filsafat berawal dari dirinya. Hal tersebut merupakan salah satu faktor kedekatannya dengan pencipta alam Tuhan, sedangkan dia sendiri adalah seorang nabi. Idris yang juga dikenal oleh sebagian orang sebagai Hermes kemudian diberikan hikmah (filsafat), yang kemudian menyebar ke Mesir, Persia, dan Yunani.[a] Fahruddin Faiz (dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga) menjelaskan bahwa urutannya adalah Idris (Hermes), Syis (Agathodaimon), Empedokles, Pythagoras, Sokrates, Plato, dan seterusnya.[3]

Tokoh filsuf dalam Islam meliputi Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Kindi, Mulla Sadra, dan Suhrawardi,[4] sedangkan filsuf Barat yang membangun model berpikir tersendiri meliputi Karl Marx, René Descartes, Immanuel Kant, David Hume, Auguste Comte, Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, dan lain-lainnya. Semua filsuf ini adalah pecinta hikmah karena mereka melakukannya dengan kesadaran diri sendiri sebagai subjek, yang kemudian menangkap segala sesuatu terkait objek (realitas).[5]

Ada pula di antara mereka yang berfilsafat demi menggapai realitas yang sejati, yakni wujud Tuhan.[6][7] Hal ini dapat dijumpai pada para filsuf Islam dan ahli mistik yang melintasi zaman. Kalaupun yang mereka cari bukanlah Tuhan dalam arti umum, tetap saja mereka selalu ingin menemukan sesuatu yang sejati.[8] Heidegger di Jerman misalnya, dia mengagung-agungkan yang “ada” mistisisme. Filsuf lain adalah Nietzsche yang terkenal dengan konsep “kehendak untuk berkuasa”, Kant yang identik dengan hakikat terdalam dari realitas, Hegel dengan “roh absolut", dan Plato dengan dunia “idea". Pencarian tanpa henti ini tidaklah berhenti di situ karena pada era Revolusi Industri pun tetap bermunculan para pencinta yang tetap haus akan hikmah. Filsuf yang sering disebut pada era tersebut adalah Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Peirce, Michel Foucault, Roland Barthes, Pierre Bourdieu, Jacques Derrida, dan sebagainya.[9]

Ketika bicara tentang cinta dalam arti yang sederhana, nama Joseph Fletcher tidak luput dari pembahasan filsafat. Kajian filsuf asal Norwegia ini masuk dalam ranah estetika. Dia juga dikenal dengan "etika situasi". Baginya, kebenaran sesungguhnya adalah cinta. Hanya ada satu parameter pasti yang baik dan bermoral bagi setiap orang, kapan pun dan dalam situasi apa pun, itulah cinta.[10] Cinta yang menjadi kebenaran sejati. Jika berbicara mengenai cinta, setiap orang tidak akan mempertanyakan lagi aspek keraguannya. Dengan kata lain, cinta bersifat universal.[2][11]

Cinta model Erich Fromm

Bicara cinta, mamang tak akan ada habisnya. Pada bagian lain, Erich Fromm seperti juga dijelaskan Fahruddin di MJS, mengungkai beragam karakter cinta. Dalam arti, cinta yang tulus harus terdiri dari knowledge, respect, care, dan responsibility. Dosen UIN Sunan Kalijaga ini melanjutkan. Knowledge maksudnya adalah pengetahuan yang harus dimiliki oleh seseorang yang sedang mencinta. Pengetahuanlah yang membuat cinta menjadi terang-benderang. Tentu saja kita harus mempunyai pengethuan berkai segala sesuatu, khususnya dalam wilayah hubungan si pecinta dan yang dicinta. Harus kita ketahui profil yang kita cintai, jika tidak, penyesalan, atau akibat-akibat lainnya dari buramnya informasi tentang pasangan akan muncul di kemudian hari.

Masih kata Fahruddin, berikutnya ada respect. Sebuah perasaan menghargai harus ada pada seseroang yang mencinta. Dalam hubungan dua kekasih, misalnya, menghargai pasangan sangatlah penting. Saling hormat adalah kunci bagi langgengnya relasi dua sejoli. Selanjutnya ada care, kepedulian. Dalam hubungan antara dua insan, seseorang itu pasti menginginkan perhatian lebih dari pasangannya. Minimal, ini adalah contoh yang sangat banal sebenarnya, adalah menanyakan kabar pasangan yang dicinta, atau yang paling klise adalah menanyakan sudah makan atau belum kpada sang kekasih.

Yang terakhir kata Fromm, seperti dibahas Fahruddin, adalah responsibility. Ada rasa tanggung jawab dalam diri pasangan yang lagi kasmaran. Jika ini diabaikan, akan ada celah di dalam cinta. Ada sbuah konsekuensi yang harus dimiliki pasangan kekasih. Konsekuensi ini tentunya menuntut sebuah tanggung jawab. Demikian Fromm!

Dalam mengupas cinta, sebenarnya filsafat mempunyai ranah tersendiri. Semua aliran dalam filsafat, seperti Platonisme penulis membahasakannya sendiri, Kantianisme, Mazhab Frankfurt, hingga yang terkini, Postmodernisme, semua bicara cinta dalam bahasan yang mendalam, dan tentu saja itu sangatlah berat. Ihwal cinta dalam ruang yang uum kita ketahui selama ini, yakni cinta Platonik. Hal ini, supaya seseorang bisa menerapkan makna cinta tanpa mengerutkan kening.

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Nama Idris maupun Syis dikenal oleh masyarakat purba di wilayah Timur Tengah sebagai pembawa ilmu pengetahuan. Masyarakat tersebut antara lain suku Harran, Sabiin, Babilonia, Mesir Kuno, Asyur, maupun Yunani Kuno – mereka menyebut keduanya dengan nama yang berbeda. Dalam bukunya berjudul A History of Chemistry Bab XIX: Harranians (Sabians), James Riddick Partington menjelaskan bahwa nama Syis identik dengan Agathodaimon atau Adimun, sedangkan Idris identik dengan Hermes (dalam tradisi Yunani Kuno), Hurmus (dalam tradisi Mesir Kuno), Enoch (dalam tradisi Yahudi Kuno), dan Akhnukh (dalam tradisi Arab pra Islam). Kedua nama ini (Agathodaimon dan Hermes), dikenal di kawasan Harran, Asyur, dan Babilonia, bahkan suku Harran menganggap keduanya sebagai nabi, sama seperti dalam pandangan umat Islam. Kedua nama ini dikenal oleh bangsa-bangsa Semit purba di Timur Tengah sebagai penemu atau pembawa ilmu pengetahuan pada era sebelum banjir besar zaman Nuh (Nurfuadi 2007, hlm. 270).

Rujukan

  1. ^ Darwin (2015), hlm. 2–3
  2. ^ a b Nurcholish & Dja'far (2015), hlm. xxii–xxviii
  3. ^ Darwin (2015), hlm. 3–4
  4. ^ Adib (2014), hlm. 3
  5. ^ Darwin (2015), hlm. 4–5
  6. ^ Davies (2012), hlm. 1–3
  7. ^ Pals (2011), hlm. 147
  8. ^ Fromm (2011), hlm. 28–29
  9. ^ Darwin (2015), hlm. 5
  10. ^ Sujarwa & (2001), hlm. 29–30
  11. ^ Darwin (2015), hlm. 5–6

Daftar pustaka

Buku

  • Adib, Mohammad (2014). Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-8479-93-6. 
  • Darwin (2015). Filsafat dan Cinta yang Menggebu. Yogyakarta: The Phinisi Press. ISBN 978-602-7250-62-8. 
  • Davies, Paul (2012). Membaca Pikiran Tuhan: Dasar-Dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9483-87-4. 
  • Fromm, Erich (2011). Manusia Menjadi Tuhan: Pergumulan Tuhan Sejarah dan Tuhan Alam. Yogyakarta: Jalasutra. ISBN 978-602-8252-70-6. 
  • Nurcholish, Ahmad; Dja'far, Alamsyah Muhammad (2015). Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo. ISBN 978-602-0265-30-8. 
  • Pals, Daniel L. (2011). Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif. Yogyakarta: Ircisod. ISBN 978-602-9789-08-9. 
  • Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9075-69-7. 

Jurnal ilmiah

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya