Gelumbang, Muara Enim
Gelumbang adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Indonesia. Kecamatan Gelumbang ber-ibu kota di kelurahan Gelumbang, dapat dicapai dengan kendaraan umum lebih kurang 45 menit hingga satu jam ke arah selatan dari terminal Karya Jaya Palembang. atau sekitar 30 menit ke arah utara dari kota Prabumulih. Belida merupakan suku asli penduduk di kecamatan ini dan 98% penduduk aslinya beragama Islam. Masjid dapat ditemukan di setiap Desa, dan Langgar (Mushola) tersebar hingga ke pelosok kampung. Wilayah asli kecamatan Gelumbang sudah berapa kali mengalami penyusutan seiring dengan pemekaran wilayah kecamatan Gelumbang menjadi beberapa perwakilan kecamatan untuk kemudian menjadi kecamatan mandiri terpisah dari kecamatan Gelumbang. Sejarah
Nama Gelumbang yang merupakan nama sebuah desa di Kabupaten Muara Enim, berada sekitar 70 km sebelah selatan dari kota Palembang. Penduduknya bermata pencaharian sebagian besar sebagai petani, pedagang dan penangkap ikan. Bercerita tentang leluhurnya, masyarakat Gelumbang semula berasal dari masyarakat pendatang yang bertujuan untuk mengungsi atau mengembara menelusuri sungai, ketika itu hubungan darat masih sulit untuk menembus daerah baru, jadi mereka memanfaatkan jalur sungai yang mudah karena memang sudah tersedia.sungai yang ditelusurin anak sungai Musi. Sungai Musi yang panjang itu mereka telusuri kehulu dan setelah tiba di salah satu anak sungai yang memiliki air jernih dengan kedalaman tak kurang dari 7M, mereka terus menelusuri sungai tersebut (Sungai Belida) banyak ikan dan tepian asri sehingga tak terasa telah jauh ke hulu anak sungai tersebut. Konon masa Kerajaan Majapahit dusun Gelumbang belum ada masih merupakan hutan belantaran tepat di hulu anak sungai itu dengan leber sekitar 70 M dan dalamnya 7 M. sang pengembara yang menggunakan perahu Jukung, berlabu salah satu pesisir sungai yang ketika itu belum tau apa nama daerah itu. Dengan memanfaatkan sebuah tongak yang bernama Satang Bambu Manyan, setelah seorang penumpangnya menamcapkan Satang Bambu Manyan tersebut ke tepian tanah. Kemudian perahu ditambatkan pada bambu tersebut. Adapun perahu Jukung tersebut kiranya membawa serta seseorang bangsawan yang bernama Raden Kuning beserta pengawalnya. Mereka menetap beberapa lama disana. Singkat kata beberapa purnama kemudian,Raden Kuning serta beberapa hari selanjutnya Raden Kuning juga meninggal dunia dikarenakan penyakit yang sama dan dikebumikan di daerah itu juga. Kini daerah itu dikenal dengan Keramat Talang Manyan. Selanjutnya berapa pengawal kembali menuju kehilir dengan membawa kabar meninggalnya Raden Kuning dan daerah yang makmur serta daerah yang asti tadi. Kabar daerah yang asri dengan tanah yang subur serta memiliki sungai yang berisikan berbagai ikan tersiar sudah. Pada tahun 1452,tepatnya tanggal 3 juli 1452,hari minggu datanglah sepasang suami istri beserta para kerabatnya tiba di sebelah hulu Talang Kerabat Manyan. Rombongan ini diketahui oleh seseorang bangsawan bernama Raden Wihardjo (Mardin) dan istrinya bernama Huminah menetap disana, yang kini bernama daerah Pengkalan Kuta.daerah yang subur itu lambat laun ramai dan menjadi tempat bercocok tanam yang menjadi daerah pasokan sayur mayur dan ikan untuk di daerah sebelah hilir. Dari beberapa pondok dan rumah dan kian lama kemudian menjadi ramai karena perkawinan dan keturunan berkembang. Suatu ketika Mardin dan istrinya Huminah bersama beberapa kerabat dusun bermufakat untuk mambuat perkampungan yang lebih luas. Daerah yang mereka tempati, ketika itu sudah mulai sesak. Hasil mufakat untuk membangun dusun di daerah darat lagi, namun karena daerah yang dituju ada di sembarang sungai diputuskan untuk membuat perahu besar. Perahu dibuat satu khususnya untuk keperluan Raden Wihardjo beserta keluarganya dan beberapa perahu kecil yang dibuat dari balok kayu.kayu yang diperlukan adalah kayu Tenan berdiameter tidak kurang dari 1 M dan panjang 7 Depa. Berkat kegigihan dan gotong royong mereka bekerja sama, akhirnya jadilah sebuah dusun dan memiliki tempat untuk menjual hasil buminya maupun karya lainnya berkat kepemimpinan Mardin dusun itu menjadi nama Gelumai, dan tempat mereka semula diberi nama Pangkalan Kuta.Dusun baru itu kian lama kemudian terkenal namanya dan ramai dikunjungi pedagang. Terbukti dengan silih berganti datangnya masyarakat dari beberapa tempat untuk menetap di dusun Gelumai. Pedagang dari Kayu Agung dengan menggunakan perahu Kajang datang kesan berdagang alat rumah tangga terbuat dari tanah liat. keran, periuk, kendi,dan lain-lain. Pedagang dari Palembang banyak membawa garam, tembakau, dan alat berburu lainnya. Kegiatan berikut berlangsung sacara barter barang maupun menggunakan alat tukar lainnya seperti kulit dan daging hewan buruan ke dusun Gelumai. Dari perkawnanistri Raden Wihardjo (Huminah) melahirkan seorang anak laki-laki bernama Raden Djakso Wihardjo hingga dusun selesai di bangun Raden Djakso Wihadjo sering sakit-sakitan hingga ia berangjak usia remaja. Sahdan cerita dari keadaan Raden Djakso maka atas nasihat dan petuah masyarakat nama Raden Djakso Wihardjo dinyatakan tidak sepadang dengan raga putra tunggal Raden Wihardjo. Lalu diubahlah nama tersebut dengan nama yang diyakini akan tuah baginya, yaitu Raden Kemas Perdede. Pemudah gagah yang menjadi idaman para perawan pada masa cerita itu serta harapan bagi desa Gelumai,kiranya yang maha kuasa berkehendak lain, Raden Kemas Padede harus menjadi anak yatim.hal ini karena ayah terkasih raden wihardjo meninggal dunia konon katanya Raden wihardjo I tepi sungai dimana mereka bermukim pertama kali. Berlangsung beberapa purnama kemudian ibu tercinta Huminah meninggal dunia dan dimamkamkan disisi makam Raden Wiharjo. Disuatu pertengahan tahun,tepatnya 3 purnama setelah kepergian orang tuanya Raden Kemas Pardede terbetik inginnya yang amat sangat akan kerinduhan pada kedua orang tuanya. Bukan tanpa alasan mengapa ia ingin kesana?. Tak lain karena dia mendapat firasat buruk akan keadaan makam orang tuanya. Setelah mendapat restu dari pemuka adat masyarakat di sana, bertolak ia kesebrang untuk berziarah yang dilepas para pengawas dusun. Bergayung menuju seberang. Ditengah perjalanan tiba-tiba turun hujan yang sangat deras disertai angin kencang dan suara guntur bergemuruh yang diawali kilat maupun petir. Raden Kemas Wihardjo pantang surut akan niatnya.kekhawatiran akan makam orang tuanya ia kiat gigih mendayung mendayung sampan untuk melanjutkan perjalanan. Hujan yang tak kunjung reda malah kian deras dan akhirnya air sungai meluap tinggi dalam waktu singkat. Banjir melanda dusun Gelumai.dan demikian halnya pangkalan kuta maupun kedua makam orang tuanya hilang ditelan banjir. Tampak dari kejauhan Raden Kemas Pardede menyaksikan makam orang tuanya disapu oleh arus gelombang besar yang tiba-tiba muncul dari sungai itu dengan sekuat tenaga Raden Kemas Padede berusaha melawan arus gelombang tersebut. Perjuangan demi perjuangan untuk merengkuh dayung yang merenpa perahunya akibat gelombang yang bergulung-gulung itu, namun apa keyataannya sesampai disebrang Raden Kemas padede tak lagi menemukan makam orang tuanya. Tanah yang semula tempat makam itu telah menjadi rata akibat sapuan gelombang dasyat tadi,layaknya tak ada apa-apa disitu. Kejadian yang sangat dramatis dalam tempo singkat itu menjadi tanda Tanya besar bagi masyarakat ketika itu. Demikianlah Raden Kemas Padede hanya dapat pasrah dengan apa yang terjadi. Peristiwa itu menjadi buah bibir dan kenangan tersendiri bagi masyarakat Gelumai.sebelum wafat Raden Kemas Padede berwasiat kepada para pemuka adat saat itu, agar kelak nama kelumai diganti menjadi Gelumbang untuk mengenang hilangnya makam orang tuanya dan sekaligus tokoh berjasa akan dusun itu. Kata yang punya cerita konon makam Raden Kemas Padede terletak dibawah balai desa gelumbang saat ini dan makam Raden Wihardjo beserta istrinya Huminah terletak di belakang rumah mantan kerajaan Gelumbang. Referensi
|