Gereja-Gereja Ortodoks Oriental
Gereja-Gereja Ortodoks Oriental adalah sekelompok Gereja Kristen Timur berpaham Kristologi Miafisit[1][2] dengan total anggota sekitar 60 juta jiwa di seluruh dunia.[3][4] Gereja-Gereja Ortodoks Oriental tergolong dalam tradisi Kristen Nikea yang menjunjung tinggi doktrin Tritunggal, sama seperti Gereja-Gereja arus utama lainnya dewasa ini, dan merupakan salah satu cabang tertua tradisi Kristen Nikea.[5] Sebagai lembaga-lembaga keagamaan tertua di dunia, Gereja-Gereja Ortodoks Oriental telah memainkan peran penting di dalam sejarah dan kebudayaan Armenia, Mesir, Eritrea, Etiopia, Sudan, maupun sejumlah daerah di Asia Barat dan India. Sebagai persekutuan Gereja-Gereja Timur swakepala, semua uskupnya dipandang sederajat karena sama-sama menerima tahbisan uskup, dan dari segi doktrinnya merupakan persekutuan Gereja-Gereja yang hanya mengakui keabsahan tiga konsili ekumene terdahulu.[6][1] Persekutuan Ortodoks Oriental beranggotakan enam Gereja swakepala, yakni Gereja Ortodoks Koptik Aleksandria, Gereja Ortodoks Suryani Antiokhia, Gereja Apostolik Armenia, Gereja Suryani Ortodoks Malangkara, Gereja Tewahedo Ortodoks Etiopia, dan Gereja Tewahedo Ortodoks Eritrea.[1] Secara kolektif, keenam Gereja tersebut memandang diri sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik, yang diasaskan Yesus Kristus di dalam Amanat Agungnya, dan memandang uskup-uskupnya sebagai para penerus rasul-rasul Kristus. Semua anggota persekutuan Ortodoks Oriental juga menjadi anggota Dewan Gereja Sedunia. Ada tiga ritus berlainan yang diamalkan para anggota persekutuan Ortodoks Oriental, yakni Ritus Armenia yang dipengaruhi Gereja Barat, Ritus Suryani Barat yang diamalkan Gereja Suryani dan Gereja Malangkara di India, serta Ritus Aleksandria yang diamalkan umat Gereja Koptik, Gereja Etiopia, dan Gereja Eritrea. Gereja-Gereja Ortodoks Oriental bersekutu dengan Gereja Kekaisaran Romawi sebelum Konsili Kalsedon tahun 451, dan dengan Gereja di Timur sebelum Konsili Efesus tahun 431. Sebab utama retaknya persekutuan dengan Gereja-Gereja tersebut adalah beda pemahaman Kristologi. Mayoritas umat Kristen Ortodoks Oriental hidup di Mesir, Etiopia, Eritrea, India, Suriah, Turki, dan Armenia. Ada pula komunitas-komunitas kecil umat Kristen Suryani di Asia Barat. Jumlah umat menurun akibat aniaya. Selain itu, banyak komunitas Kristen Ortodoks Oriental terbentuk di berbagai belahan dunia lewat kiprah para perantau, perpindahan agama, maupun usaha misi. Nama dan ciri khasNama "Gereja-Gereja Ortodoks Oriental" digagas untuk digunakan dalam Konferensi Adis Ababa tahun 1965. Hanya lima Gereja yang bersidang ketika itu, karena Gereja Eritrea belum berstatus swakepala.[7] Sebutan-sebutan lain yang lekat dengan persekutuan ini adalah Gereja-Gereja Timur Lama, Timur Kuno, Timur Kecil, Antikalsedon, Nonkalsedon, Prakalsedon, Miafisit atau Monofisit,[8] padahal Gereja di Timur sebetulnya juga tergolong Antikalsedon, Nonkalsedon, dan Prakalsedon.[7] Teologi dan eklesiologiGereja-Gereja Ortodoks Oriental merupakan satu golongan tersendiri karena hanya mengakui keabsahan tiga konsili ekumene terdahulu yang diselenggarakan semasa agama Kristen menjadi agama negara Kekaisaran Romawi, yakni Konsili Nikea I tahun 325, Konsili Konstantinopel I tahun 381, dan Konsili Efesus tahun 431. Gereja-Gereja Ortodoks Oriental memiliki banyak kesamaan dengan Gereja Ortodoks Timur di bidang teologi maupun tradisi gerejawi, antara lain kesamaan doktrin keselamatan dan tradisi kesejawatan antaruskup, demikian pula kesamaan dalam penghormatan Teotokos dan pemakaian Syahadat Nikea.[9][10] Perbedaan utama Gereja-Gereja Ortodoks Oriental dengan Gereja Ortodoks Timur terletak di dalam pemahaman Kristologi. Gereja-Gereja Ortodoks Oriental menolak rumusan Kristologi Kalsedon dan sebagai gantinya menganut rumusan Kristologi miafisit,[11][12] yakni percaya bahwa kodrat insani dan kodrat ilahi Kristus itu menyatu. Secara historis, rohaniwan-rohaniwan Ortodoks Oriental dari generasi terdahulu berpandangan bahwa rumusan Kristologi Kalsedon menyiratkan penolakan terhadap doktrin Tritunggal atau kompromi terhadap Nestorianisme. Gereja-Gereja Ortodoks Oriental tidak serta merta pecah dari Gereja Kekaisaran Romawi. Persatuan di antara kedua belah pihak berangsur-angsur meretak dalam kurun waktu 2 sampai 3 abad seusai Konsili Kalsedon.[13] Pada akhirnya kedua belah pihak menjadi dua lembaga yang terpisah satu sama lain, dan pihak Ortodoks Oriental tidak lagi berpartisipasi di dalam konsili-konsili ekumene selanjutnya. Gereja-Gereja Ortodoks Oriental memelihara suksesi apostolik purbanya sendiri.[14] Penatalaksanaan Gereja-Gereja Ortodoks Oriental diselenggarakan oleh sinode kudus masing-masing, yang diketuai seorang uskup primus inter pares selaku primat. Para primat menyandang gelar batrik, katolikos, atau paus. Kebatrikan Aleksandria dan Kebatrikan Antiokhia bersama-sama Keuskupan Roma merupakan pusat-pusat kepemimpinan Gereja purba yang paling terpandang. Gereja-Gereja Ortodoks Oriental tidak memiliki kepala magisterial seperti Gereja Katolik, dan persekutuannya pun tidak memiliki pemimpin yang berwenang menyelenggarakan sinode-sinode ekumenis seperti Gereja Ortodoks Timur. Kristologi NonkalsedonSkisma yang memisahkan golongan Kristen Ortodoks Oriental dari golongan Kristen Kalsedon berpangkal dari beda pemahaman Kristologi. Konsili Nikea I tahun 325 memaklumkan bahwa Yesus Kristus adalah Allah, yakni "sehakikat" dengan Allah Bapa. Kemudian hari, konsili ekumene ke-3 di Efesus memaklumkan bahwa sekalipun bersifat ilahi sekaligus insani, Yesus Kristus hanyalah satu keberadaan atau satu pribadi (hipostasis). Dengan demikian Konsili Efesus secara terbuka menolak Nestorianisme, yakni paham Kristologi yang mengajarkan bahwa Kristus adalah dua pribadi yang berlainan yang berdiam di dalam raga yang sama, yang satu bersifat ilahi (selaku Logos) dan yang lain bersifat insani (selaku Yesus). Gereja-Gereja yang kemudian hari membentuk persekutuan Ortodoks Oriental sangat gigih menentang Nestorianisme, dan oleh karena itu menjunjung tinggi keputusan-keputusan Konsili Efesus. Dua puluh tahun seusai Konsili Efesus, Konsili Kalsedon menegaskan kembali pandangan bahwa Yesus Kristus adalah satu pribadi, tetapi pada saat yang sama memaklumkan bahwa satu pribadi tersebut wujud "dalam dua kodrat sempurna", yang satu bersifat insani dan yang lain bersifat ilahi. Adakalanya golongan Kristen Kalsedon menyebut golongan Kristen Ortodoks Oriental sebagai kaum monofisit, yakni menuding mereka sebagai penganut ajaran Eutikes (ca. 380 – ca. 456), rahib yang berpandangan bahwa Yesus Kristus semata-mata bersifat ilahi dan tidak bersifat insani sama sekali. Monofisitisme dibidatkan bersama-sama Nestorianisme, sehingga menuding suatu pihak sebagai kaum monofisit sama saja dengan menuding pihak tersebut sudah tersesat ke ekstrem yang merupakan kebalikan dari Nestorianisme. Meskipun demikian, golongan Kristen Ortodoks Oriental menampik tudingan semacam itu sebagai sebutan yang tidak akurat, karena sudah secara resmi membidatkan ajaran Nestorius maupun ajaran Eutikes. Mereka justru menyebut diri kaum miafisit,[11][12] yakni kaum yang berpendirian bahwa Kristus memiliki satu kodrat, tetapi kodrat yang satu itu bersifat insani sekaligus ilahi.[15] Menggalang kesepahaman pada zaman modernGereja-Gereja Ortodoks Oriental dewasa ini bersekutu secara paripurna satu sama lain, tetapi tidak bersekutu dengan Gereja Ortodoks Timur maupun Gereja-Gereja lain. Meskipun bersekutu secara paripurna, Gereja-Gereja Ortodoks Oriental tidak membentuk satu Gereja tunggal sebagaimana Gereja Katolik atau Gereja Ortodoks Timur. Dialog yang berjalan lamban menuju pemulihan keesaan di antara persekutuan Ortodoks Oriental dan persekutuan Ortodoks Timur mulai dirintis pada pertengahan abad ke-20.[16] Persekutuan Ortodoks Oriental juga terus membina dialog dengan Gereja Katolik dan pihak-pihak lain.[17] Pada tahun 2017, Gereja Ortodoks Koptik Aleksandria dan Gereja Katolik sepakat untuk saling mengakui keabsahan pembaptisan yang diselenggarakan di kedua Gereja tersebut.[18] Kesepakatan yang sama juga dicapai Gereja Apostolik Armenia dengan Gereja Katolik.[19][20] Gereja-Gereja Ortodoks Oriental pada umumnya dipandang bersikap lebih konservatif terkait isu-isu sosial dan bersikap antusias terkait hubungan ekumenis dengan Gereja-Gereja di luar persekutuan Ortodoks Oriental. Semua anggota persekutuan Ortodoks Oriental adalah anggota Dewan Gereja Sedunia.[21] SejarahPasca-Konsili Kalsedon tahun 451Skisma yeng memisahkan Gereja-Gereja Ortodoks Oriental dari Dunia Kristen selebihnya terjadi pada abad ke-5. Salah satu sebabnya adalah penolakan Paus Dioskorus dan tiga belas uskup Mesir lain terhadap dogma kristologi yang dipromulgasikan Konsili Kalsedon, yakni pendirian bahwa Yesus wujud dalam dua kodrat, yang satu bersifat ilahi dan yang lain bersifat insani. Mereka hanya bersedia menerima jika frasa yang dipakai adalah "dari dua kodrat", bukannya "dalam dua kodrat." Para waligereja yang kelak menjadi pemimpin golongan Ortodoks Oriental ini berpandangan bahwa frasa "dalam dua kodrat" setali tiga uang dengan Nestorianisme, ajaran yang dijabarkan dengan istilah yang tak terukunkan dengan pemahaman kristologi mereka. Nestorianisme dipahami sebagai pandangan bahwa Kristus memiliki dua kodrat terpisah, insani dan ilahi, masing-masing dengan tindakan dan pengalaman yang berlainan, bertolak belakang dengan rumusan "Satu Kodrat Allah Logos Yang Menjelma" yang diajukan Sirilus dari Aleksandria,[22] (atau "Satu Kodrat Penjelmaan Sang Sabda", menurut terjemahan lain)[23] yang menitikberatkan keesaan penjelmaan di atas segala-galanya. Tidak sepenuhnya jelas apakah Nestorius sendiri menganut Nestorianisme. Itulah sebabnya Gereja-Gereja Ortodoks Oriental kerap disebut kaum monofisit, sekalipun mereka tolak lantaran berkaitan dengan Monofisitisme yang diajarkan Eutikes. Mereka lebih suka disebut "kaum miafisit".[11][12] Pada tahun-tahun seusai Konsili Kalsedon, batrik-batrik Konstantinopel masih memelihara persekutuan dengan batrik-batrik Aleksandria dan Antiokhia (baca artikel Henotikon) kendati terputus-putus, sementara Roma putus hubungan dengan Antiokhia dan tidak sepenuhnya rukun dengan Konstantinopel. Perpecahan baru terasa pada tahun 518, ketika Yustinus I, kaisar baru yang pro Kalsedon, menuntut Gereja di Kekaisaran Romawi menerima keputusan-keputusan Konsili Kalsedon.[24] Kaisar Yustinus memerintahkan supaya semua uskup Nonkalsedon diganti, termasuk Batrik Antiokhia dan Batrik Aleksandria. Perihal sejauh mana Uskup Roma mempengaruhi tuntutan ini masih menjadi pokok perdebatan. Kaisar Yustinianus I juga berusaha menggiring rahib-rahib yang tunak menolak keputusan Konsili Kalsedon untuk bersatu dengan pihak pendukung Konsili Kalsedon yang merupakan golongan mayoritas. Tidak diketahui kapan tepatnya peristiwa ini terjadi, tetapi dipercaya terjadi dalam rentang waktu tahun 535 sampai 548. Santo Abrahan dari Farsyut dipanggil menghadap ke Konstantinopel. Ia berangkat memenuhi panggilan dengan membawa serta empat orang rahib. Begitu tiba di Konstantinopel, Kaisar Yustinianus I memanggil dan mengultimatum mereka untuk menerima keputusan Konsili Kalsedon kalau tidak mau dicopot dari jabatan. Abraham tidak bersedia menuruti kemauan kaisar. Permaisuri Teodora berusaha membujuk Yustinianus agar berubah pikiran, tetapi agaknya tidak berhasil. Di dalam sepucuk surat kepada rahib-rahibnya, Abraham menandaskan bahwa lebih baik ia menetap di pembuangan daripada membenarkan akidah yang ia anggap bertentangan dengan akidah Atanasius dari Aleksandria. Abad ke-20Pada abad ke-20, skisma Kalsedon tidak lagi dianggap segawat dulu, dan pertemuan-pertemuan antara Takhta Suci dan persekutuan Ortodoks Oriental telah melahirkan deklarasi-deklarasi yang bersifat merukunkan dalam bentuk deklarasi bersama Batrik Suryani Mar Ignatius Zakka I Iwas dan Sri Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1984:
Alasan teknis untuk skisma kalsedon adalah tindakan Uskup Roma dan Uskup Konstantinopel mengekskomunikasi uskup-uskup Nonkalsedon pada tahun 451 lantaran tidak bersedia menerima ajaran "dalam dua kodrat", dan dengan demikian menyatakan uskup-uskup tersebut tidak lagi menjadi bagian dari persekutuan umat Kristen sedunia. IbadatUmat Kristen Ortodoks Oriental, misalnya umat Koptik, umat Suriah, dan umat India menggunakan brevir seperti Agpeya (Koptik) dan Syehimo (Suryani) sebagai panduan mendirikan sembahyang tujuh waktu dalam sehari seraya menghadap ke timur, ke kota Yerusalem, tanda setia menanti kedatangan Yesus untuk kedua kalinya. Amalan Kristen ini berakar pada nas Mazmur 118:164, yang menyebutkan bahwa Nabi Daud berdoa kepada Allah tujuh kali dalam sehari.[26] Sebelum bersembahyang, mereka membasuh muka dan kedua belah tangan supaya tampil bersih di hadapan Allah. Alas kaki juga dilepas sebagai tanda bahwa yang bersangkutan berdoa di hadapan Allah Yang Mahasuci.[27][28] Di kalangan Kristen Ortodoks Oriental, sudah menjadi adat bagi kaum wanita untuk berkerudung saat bersembahyang.[29] OrganisasiGereja-Gereja Ortodoks Oriental merupakan persekutuan enam Gereja regional swakepala (sepenuhnya mandiri secara administratif).[8] Masing-masing Gereja sudah menetapkan batas-batas geografis yurisdiksinya, dan dipimpin majelis uskup atau sinode yang diketuai seorang uskup senior selaku primat (atau hierarkes utama). Primat dapat menyandang gelar kehormatan paus (dalam tradisi Gereja Aleksandria), batrik, abuna (dalam tradisi Gereja Aksum), atau katolikos. Tiap Gereja regional terdiri atas beberapa eparki (keuskupan) yang masing-masing dipimpin seorang uskup. Beberapa Gereja telah memberikan status swatantra dalam taraf yang berbeda-beda kepada eparki atau kelompok eparki tertentu. Gereja-Gereja swatantra tersebut menjalin keterikatan dalam taraf yang berbeda-beda dengan Gereja induknya, dan taraf keterikatan ini biasanya termaktub di dalam dokumen keswatantraan. Berikut ini adalah daftar enam Gereja Ortodoks swakepala yang merupakan badan-badan utama di dalam persekutuan Kristen Ortodoks Oriental. Semuanya dipandang setara. Daftar disusun menurut abjad, masing-masing badan utama diikuti perincian Gereja dan eksarkat swatantra yang menginduk kepadanya.
Ada pula beberapa Gereja yang dianggap wujud secara tidak sah menurut hukum kanon. Umat dan rohaniwan Gereja-Gereja dapat saja bersekutu maupun tidak bersekutu dengan persekutuan Ortodoks Oriental yang lebih besar. Contohnya adalah Gereja Ortodoks Keltik, Gereja Britania Purba, dan Gereja Ortodoks Britania. Organisasi-organisasi tersebut adakalanya diakui dan adakalanya tidak diakui secara resmi, tetapi jarang sekali umatnya diekskomunikasi bilamana tidak lagi mendapatkan pengakuan. Primat Gereja-Gereja semacam ini biasanya disebut episcopi vagantes (uskup kelana, uskup liar) atau singkatnya vagantes. PengikutMenurut data Encyclopædia of Religion and Ethics, Kristen Ortodoks Oriental adalah mazhab Kristen "terpenting dari segi jumlah umat yang hidup di Timur Tengah", yang bersama dengan persekutuan-persekutuan Kristen Timur lainnya mencerminkan keberadaan umat Kristen pribumi di Timur Tengah, jauh sebelum agama Islam lahir dan menyebar di kawasan itu.[30] Kristen Ortodoks Oriental adalah agama yang dominan di Armenia (94%), Republik Nagorno-Karabakh yang berpenduduk suku bangsa Armenia dan belum diakui kemerdekaannya (95%),[31][32] dan Ethiopia (43%, total populasi umat Kristen adalah 62%), khususnya di dua daerah di Ethiopia: Amhara (82%) dan Tigray (96%), serta di ibu kota Addis Ababa (75%).[33] Kristen Ortodoks Oriental juga merupakan salah satu dari dua agama yang dominan di Eritrea (50%). Kristen Ortodoks Oriental adalah agama minoritas di Mesir (<20%),[34] Sudan (3–5%), Suriah (2–3% dari total umat Kristen yang mencapai 10%), Lebanon (10% dari total umat Kristen di Lebanon yang mencapai 40%, atau 200.000 umat Armenia dan umat Gereja Timur Asiria), dan di Kerala, India (7% dari total umat Kristen di Kerala yang mencapai 20%).[35] Dari segi total jumlah umat, Gereja Ethiopia merupakan Gereja terbesar di antara seluruh Gereja Ortodoks Oriental, dan Gereja terbesar kedua (di bawah Gereja Ortodoks Rusia) di antara seluruh Gereja Timur maupun Oriental. Gereja-Gereja yang juga cukup penting adalah Kebatrikan Konstantinopel Armenia di Turki, dan Gereja Apostolik Armenia di Iran. Gereja-Gereja Ortodoks Oriental ini merupakan kelompok minoritas Kristen terbesar di kedua negara berpenduduk mayoritas muslim itu, yakni Turki[36] dan Iran.[37] Sengketa internalDalam Gereja-Gereja Ortodoks Oriental masih berlangsung sengketa-sengketa internal. Sengketa-sengketa ini menimbulkan kerusakan persekutuan, baik kerusakan besar maupun kecil. Apostolik ArmeniaSengketa yang paling kurang divisif adalah sengketa yang timbul di dalam Gereja Apostolik Armenia, antara Kekatolikosan Ejmiatsin dan Kekatolikosan Rumah Besar Kilikia. Keterpisahan dua jawatan katolikos ini timbul karena pusat Gereja ini sering kali berpindah lokasi akibat pergolakan politik dan militer. Keterpisahan ini semakin parah pada masa kekuasaan Uni Soviet. Sujumlah uskup dan rohaniwan menganggap Takhta Suci Ejmiatsin sebagai boneka tawanan Komunis. Para simpatisan mereka membentuk jemaat-jemaat yang lepas dari Ejmiatsin, dan memaklumkan kesetiaannya pada Takhta Keuskupan Antelias di Lebanon. Keterpisahan ini disahihkan pada 1956, manakala Takhta Keuskupan Antelias (Kilikia) melepaskan diri dari Takhta Suci Ejmiatsin. Katolikos Kilikia mengakui supremasi Katolikos Segenap Bangsa Armenia, namun mengatur rohaniwan dan keuskupan-keuskupan yang diayominya secara mandiri. Meskipun demikian, sengketa ini sama sekali tidak memutuskan jalinan persekutuan di antara keduanya. EthiopiaSesudah Abune Merkorios mengundurkan diri dan Abune Paulos terpilih pada 1992, sejumlah uskup Gereja Ortodoks Ethiopia di Amerika Serikat bersikeras menganggap pemilihan Abune Paulos tidak sah, dan melepaskan diri dari tadbir Gereja Ortodoks Ethiopia di Addis Ababa.[38] IndiaUmat Kristen India yang beriman Ortodoks Oriental terbagi ke dalam dua Gereja: Gereja Suriah Ortodoks Malankara dan Gereja Ortodoks Suriah Yakubi Malankara. Kedua Gereja ini pernah bersatu sebelum 1912, dan kembali bersatu pada 1958 setelah adanya prakarsa-prakarsa persatuan, namun kembali pecah pada 1975. Gereja Ortodoks Malankara yang juga dikenal dengan sebutan Gereja Ortodoks India, adalah sebuah Gereja autokefalos. Gereja ini dikepalai oleh Katolikos Timur dan Metropolit Malankara. Gereja Yakubi Malankara yang bernama resmi Gereja Ortodoks Suriah Yakubi Malankara adalah sebuah Gereja autonomos dalam Gereja Ortodoks Suryani di India. Gereja ini dikepalai oleh Katolikos India. Gereja Suriah Mandiri Malabar juga beriman Ortodoks Oriental, tetapi tidak menjalin hubungan persekutuan dengan Gereja-Gereja Ortodoks Oriental lainnya. Anggapan-anggapan keliruGereja Asyur di Timur kadang-kadang secara keliru disebut sebagai sebuah Gereja Ortodoks Oriental, padahal kemunculannya bermula dari sengketa-sengketa yang timbul sebelum Konsili Kalsedon, dan menganut suatu paham kristologi yang berbeda dari yang dianut oleh Gereja Ortodoks Oriental. Gereja di Timur yang bersejarah itu adalah Gereja di Iran Raya yang menyatakan diri lepas dari Gereja negara Kekaisaran Romawi antara 424–427, bertahun-tahun lamanya sebelum penyelenggaraan Konsili Kalsedon. Ditilik dari teologinya, Gereja di Timur memiliki pertalian dengan ajaran Diofisitisme Nestorian, dan dengan demikian menolak ajaran Konsili Efesus tahun 431 yang membidatkan Nestorianisme. Kristologi Gereja-Gereja Ortodoks Oriental pada hakikatnya berkembang sebagai suatu reaksi perlawanan terhadap Kristologi Nestorianisme yang menitikberatkan perbedaan antara kodrat insani dan kodrat ilahi Kristus. Ada banyak yurisdiksi gerejawi yang tumpang-tindih di India, kebanyakan yurisdiksi tersebut mewarisi khazanah liturgi Suryani dan berpusat di negara bagian Kerala. Gereja Masehi Suryani Yakubi (Malangkara), yang berstatus swatantra di bawah naungan Gereja Ortodoks Suryani, sering kali secara keliru dianggap sama dengan Gereja Suryani Ortodoks Malangkara yang berstatus swakepala karena kemiripan namanya. Lihat pulaKeteranganReferensi
Kepustakaan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Oriental Orthodoxy.
|