Industri 4.0 adalah nama tren otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi pabrik. Istilah ini mencakup sistem siber-fisik, internet untuk segala, komputasi awan,[1][2][3][4] dan komputasi kognitif. Industri 4.0 menghasilkan "pabrik cerdas". Di dalam pabrik cerdas berstruktur moduler, sistem siber-fisik mengawasi proses fisik, menciptakan salinan dunia fisik secara virtual, dan membuat keputusan yang tidak terpusat. Lewat Internet untuk segala (IoT), sistem siber-fisik berkomunikasi dan bekerja sama dengan satu sama lain dan manusia secara bersamaan. Lewat komputasi awan, layanan internal dan lintas organisasi disediakan dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak di dalam rantai nilai.[1]
Sebagaimana revolusi terdahulu, Industri 4.0 berpotensi meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh dunia. Namun, kemajuan di bidang otomatisasi dan kecerdasan buatan telah menimbulkan kekhawatiran bahwa mesin-mesin suatu hari akan mengambil alih pekerjaan manusia. Selain itu, revolusi-revolusi sebelumnya masih dapat menghasilkan lapangan kerja baru untuk menggantikan pekerjaan yang diambil alih oleh mesin, sementara kali ini kemajuan kecerdasan buatan dan otomatisasi dapat menggantikan tenaga kerja manusia secara keseluruhan yang digantikan oleh teknologi dan robotik[5]
Sejarah
Revolusi Industri 1.0
Revolusi ini dimulai pada tahun 1776 yaitu dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Mesin uap yang ditemukan oleh James Watt itu memiliki efesiensi yang jauh lebih murah dibandingkan mesin uap sebelum tahun 1776. Mesin uap ini menggunakan energi dari kayu dan batu bara. Sebagai bukti efisensinya, mesin uap tersebut mampu menggerakan kapal - kapal selama 24 jam penuh. Sejak ditemukan mesin uap tersebut , Negara - negara Imperialis di Eropa mulai melakukan ekspansi atau penjajahan di kerajaan - kerajaan Afrika dan Asia. Selain dampak penjajahan, dampak yang lain mulai terjadi pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari penggunaan mesin - mesin uap tersebut sebagai penghasil berbagai produk.
Revolusi Industri 2.0
Revolusi Industri Kedua terjadi pada awal abad ke-20. Revolusi industri ini ditandai dengan penemuan listrik oleh Thomas Alfa Edison.[6] Tenaga otot dan mesin uap sudah tergantikan oleh tenaga listrik. Walaupun begitu, masih ada beberapa kendala yang menghambat proses produksi di pabrik, yaitu masalah transportasi. Untuk mengatasi kendala tersebut maka di akhir 1800-an, mulai dikenal mobil dan mulai diproduksi secara massal. Produksi massal ini membutuhkan proses yang lama dalam penyelesaiannya karena pada proses perakitan mobil dibutuhkan banyak orang, artinya untuk proses perakitan masih membutuhkan tenaga manusia.
Seiring dengan perkembangan, mulai ditemukan dan sekaligus digunakan "ban berjalan" atau conveyorbelt pada 1913. Ban berjalan mengakibatkan proses produksi berubah total karena untuk menyelesaikan satu mobil, tidak diperlukan satu orang untuk merakit dari awal hingga akhir. Setiap orang akan menjadi spesialis yang mengurus satu bagian saja. Para perakit tersebut juga dibantu oleh alat-alat yang menggunakan tenaga listrik, sehingga pekerjaan tersebut jauh lebih mudah dan murah daripada tenaga uap.
Revolusi industri 2.0 ini juga berdampak pada kondisi militer pada perang dunia II. Ribuan tank, pesawat, dan senjata diciptakan dari pabrik-pabrik yang menggunakan lini produksi dan ban berjalan. Hal ini mempermudah terjadinya produksi massal. Perubahan lain yang terjadi adalah masyarakat agraris menjadi masyarakat industri boleh dibilang menjadi komplet.
Revolusi Industri 3.0
Revolusi Industri 2.0, manusia masih diberi peran yang sangat vital dalam proses produksi berbagai macam jenis barang. Tetapi, pada Revolusi Industri 3.0, manusia tidak lagi memegang peranan penting karena peran manusia sudah digantikan oleh mesin bergerak yang mampu berpikir secara otomatis, yaitu komputer dan robot. Salah satu komputer pertama digunakan perang dunia II[7] yaitu mesin komputer Colossus yang mampu memecahkan kode buatan Nazi Jerman. Komputer tersebut berupa mesin raksasa berukuran sebesar ruang tidur yang tidak memiliki RAM sehingga tidak bisa diprogram untuk menerima perintah dari manusia melalui keyboard. Komputer tersebut hanya mampu menerima perintah melalui pita kertas dengan daya listrik sangat besar, yaitu 8.500 watt.
Seiring berjalannya waktu, kemajuan teknologi komputer berkembang sangat pesat setelah selesainya perang dunia kedua. Penemuan transistor, semikonduktor dan dilanjutkan dengan penemuan integrated chip (IC) membuat ukuran komputer semakin kecil sehingga energi listrik yang dbutuhkan juga semakin kecil, serta kemampuan berhitungnya juga semakin canggih.
Semakin kecilnya ukuran komputer tersebut menyebabkan komputer - komputer tersebut dapat dipasang di mesin-mesin pengoperasian produk tertentu. Keberadaan komputer ini telah mengganti peran manusia baik sebagai operator maupun sebagai pengendali produksi industri. Mengecilnya ukuran membuat komputer bisa dipasang di mesin-mesin yang mengoperasikan lini produksi.
Revolusi Industri 4.0
Revolusi yang sedang dihadapi saat ini. Meski masih dalam tahap proses pembenahan, tetapi dampaknya sudah dirasakan. Industri 4.0 adalah tren utama di dunia industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi siber. Jerman merupakan negara pencetus Industri 4.0 yang ditandai dengan strategi teknologi canggih pemerintah yang mengutamakan komputerisasi pabrik. Pada revolusi industri ini, tenaga manufaktur sudah menjadi tren otomasi dan pertukaran data meliputi sistem siber-fisik, cognitive computing dan lain-lain.
Tren tersebut telah mengubah pola pikir dan kehidupan manusia di berbagai bidang, termasuk dunia kerja, pendidikan bahkan gaya hidup masyarakatnya. Singkatnya, revolusi industri 4.0 menjadikan teknologi cerdas atau robot[8] sebagai pusat utama untuk menghubungkan berbagai bidang kehidupan manusia.
Nama
Istilah "Industrie 4.0" berasal dari sebuah proyek dalam strategi teknologi canggih pemerintah Jerman yang mengutamakan komputerisasi pabrik.[9]
Istilah "Industrie 4.0" diangkat kembali di Hannover Fair tahun 2011.[10] Pada Oktober 2012, Working Group on Industry 4.0 memaparkan rekomendasi pelaksanaan Industri 4.0 kepada pemerintah federal Jerman. Anggota kelompok kerja Industri 4.0 diakui sebagai bapak pendiri dan perintis Industri 4.0.
Laporan akhir Working Group Industry 4.0 dipaparkan di Hannover Fair tanggal 8 April 2013.[11]
Prinsip rancangan
Ada empat prinsip rancangan dalam Industri 4.0. Prinsip-prinsip ini membantu perusahaan mengidentifikasi dan mengimplementasikan skenario-skenario Industri 4.0.[1]
Interoperabilitas (kesesuaian): Kemampuan mesin, perangkat, sensor, dan manusia untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan satu sama lain lewat Internet untuk segala (IoT) atau Internet untuk khalayak (IoP).
IoT akan mengotomatisasikan proses ini secara besar-besaran[12]
Transparansi informasi: Kemampuan sistem informasi untuk menciptakan salinan dunia fisik secara virtual dengan memperkaya model pabrik digital dengan data sensor. Prinsip ini membutuhkan pengumpulan data sensor mentah agar menghasilkan informasi konteks bernilai tinggi.
Bantuan teknis: Pertama, kemampuan sistem bantuan untuk membantu manusia dengan mengumpulkan dan membuat visualisasi informasi secara menyeluruh agar bisa membuat keputusan bijak dan menyelesaikan masalah genting yang mendadak. Kedua, kemampuan sistem siber-fisik untuk membantu manusia secara fisik dengan melakukan serangkaian tugas yang tidak menyenangkan, terlalu berat, atau tidak aman bagi manusia.
Keputusan mandiri: Kemampuan sistem siber-fisik untuk membuat keputusan sendiri dan melakukan tugas semandiri mungkin. Bila terjadi pengecualian, gangguan, atau ada tujuan yang berseberangan, tugas didelegasikan ke atasan.
Dampak Industri 4.0
Pengusul mengklaim Industri 4.0 akan mempengaruhi banyak bidang, terutama:
Model layanan dan bisnis
Keandalan dan produktivitas berkelanjutan
Keamanan TI: Perusahaan seperti Symantec, Cisco, dan Penta Security sudah mulai membahas masalah keamanan IoT
Peragaan Industri: Untuk membantu industri memahami dampak Perindustrian 4.0, Cincinnati Wali kota John Cranley, menandatangani proklamasi untuk menyatakan "Cincinnati menjadi Kota Peragaan Industri 4.0".[13]
Sebuah artikel yang diterbitkan pada bulan Februari 2016 menunjukkan bahwa Industri 4.0 mungkin memiliki efek menguntungkan bagi negara berkembang seperti India.[14]
Industri kedirgantaraan kadang dikatogorikan "terdampak rendah untuk otomasi masal" namun prinsip-prinsip Industri 4.0 telah diselidiki oleh beberapa perusahaan kedirgantaraan, teknologi yang dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas di mana biaya awal otomatisasi tidak dijelaskan, salah satu contohnya adalah proyek M4 oleh pabrik komponen penerbangan Meggitt PLC.[15]
Diskusi tentang bagaimana pergeseran ke Industri 4.0, khususnya digitalisasi, akan mempengaruhi pasar tenaga kerja sedang dibahas di Jerman dengan topik Pekerjaan 4.0.[16]
Kesiapan Indonesia
Masalah kesiapan perpindahan ke industri 4.0 Indonesia terletak pada SDM dan pemerataan, beberapa sektor industri di Indonesia masih belum mendekati Industri 4.0, contoh saja pada industri agraris, masih ada petani menggunakan cangkul, walaupun beberapa daerah petaninya sudah memasuki Industri 4.0, tidak semua petani menguasai komputer.[17]
Masalah lainnya terletak pada banyaknya penduduk Indonesia yang tidak memiliki SDM memadai, karena diperkirakan dengan masuknya industri ini akan memangkas tenaga manusia dengan kemampuan SDM rendah dan kemungkinan meningkatkan angka pengangguran.[18]
Cara pemerintah mengadapi hal tersebut dimulai dari pembangunan infrastruktur untuk pemerataan distribusi di berbagai sektor dan perombakan kurikulum pendidikan guna menghadapi perkembangan industri ini.[19][20]
Selain itu, perlu diperhatikan dengan baik mengenai keamanan informasi, keamanan di dunia siber, dan keamanan di dalam jaringan komputer, terkait dengan data dan informasi, guna mencapai tujuan organisasi, privasi, dan kenyamanan pengguna layanan pada era Industri 4.0 [21]
^Kagermann, H., W. Wahlster and J. Helbig, eds., 2013: Recommendations for implementing the strategic initiative Industrie 4.0: Final report of the Industrie 4.0 Working Group
^Heiner Lasi, Hans-Georg Kemper, Peter Fettke, Thomas Feld, Michael Hoffmann: Industry 4.0. In: Business & Information Systems Engineering 4 (6), pp. 239-242
^Nihar Awani, Wahyu Indra Permana (2015). Thomas alva edison saja juga pernah gagal / Wahyu Indra Permana. Yogyakarta: FlashBooks. hlm. 228. ISBN978-602-296-109-3.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Subiakto, Ari (2015). Kronik Perang Dunia II 1939-1945. Jakarta: Matapadi pressindo. ISBN9786021634134.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)