Jemparingan adalah olahraga panahan tradisional Jawa yang biasanya dilakukan di lingkungan keraton. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, hanya terdapat kata jemparing yang berarti panah.[1] Kata jemparing dalam Bausastra Jawa merupakan bentuk krama inggil dari kata panah.[2] Sehingga, jemparingan dapat disebut juga panahan.
Beberapa orang mempunyai pendapat apabila jemparingan dan panahan itu sama. Dalam bahasa Jawa kegiatan yang dilakukan untuk meluncurkan anak panah dengan menggunakan busur agar mengenai target tertentu disebut manah. Kata manah ini mempunyai arti hati atau pikiran. Arti atau makna tersebut sesuai dengan kegiatan jemparingan. Hal ini karena jemparingan merupakan salah satu cabang olahraga yang menggunakan pikiran dan rasa agar bisa fokus sehingga dapat menembak target dengan tepat.
Sejarah
Asal usul jemparingan yang masih eksis sampai sekarang dapat dilacak awalnya yaitu sejak terbentuknya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana I (1755 – 1792).
Pada awalnya Jemparingan gagrag Mataraman (gaya Mataram) ini hanya boleh dimainkan oleh anggota keluarga kerajaan.[3] Baru pada tanggal 6 Januari 2019, masyarakat Umum non abdi-dalem diijinkan ikut nguri-uri jemparingan Mataram gaya Kraton Yogyakarta. Latihan jemparingan keraton untuk masyarakat Umum dilaksanakan tiap Sabtu sore di halaman Kagungan Dalem Bangsal Kemandhungan, karaton Yogyakarta.
Hal ini sekaligus mengoreksi artikel-artikel di internet, yang menulis : Raja Yogyakarta yaitu Sultan Hamengkubuwana I memerintahkan pengikut serta rakyatnya untuk belajar memanah guna membentuk watak kesatria.
Versi lain dari sejarah terbentuknya jemparingan yaitu bermula dari kebiasaan leluhur Mataram pada masa silam. Keahlian memanah ini digunakan untuk berburu hewan, berperang, dan juga sebagai sarana mempertahankan-diri. Perlu diingat bahwa masyarakat Yogyakarta sangat setia dalam menjaga adat istiadat. Sehingga, tradisi ini tetap lestari hingga masa kini.[4]
Seperti pengertian jemparingan yang berarti memanah menggunakan rasa, gaya jemparingan yang berasal dari Kraton Ngayogyakarta ini juga mengedepankan konsep membidik tanpa menggunakan mata, tetapi dengan menggunakan mata-hati / rasa.[4]
Dalam perkembangannya jemparingan ini meluas dengan pesat hingga Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.
Pada masa kini, jemparingan semakin meluas di kalangan masyarakat bahkan menyebar hingga ke Bali. Makin banyak pula dibentuk paguyuban-paguyuban jemparingan hingga lomba-lomba jemparingan (gladhen).
Referensi