Kerajaan Kaimana (Jawi: كراجأن كيمان; dikenal juga dengan nama Kerajaan Sran atau Kerajaan Komisi; dengan nama lokal Sran Emaan Muun) adalah salah satu dari kerajaan Islam yang terletak di wilayah semenanjung Bomberai, Papua Barat. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang penguasa yang bergelar Rat.
Sejarah
Asal muasal
Kerajaan Kaimana dikisahkan berasal dari kawasan pegunungan Mbaham, Tri Abuan Wanas. Leluhur mereka awalnya tinggal di Gunung Baik yang terletak di Semenanjung Kumawa atau kawasan Patimunin. Menurut penuturan Abdul Hakim Achmad Aituarauw (Raja Sran Kaimana VIII), terbentuknya pemerintahan adat kerajaan Sran Kaimana adalah usaha raja pertama bernama Imaga. Saat itu penduduk yang mendiami kerajaan itu belum banyak. Imaga lalu menyatukan mereka dalam satu pemerintahan adat, ia berjalan dari kampung ke kampung untuk menyebarkan pengaruhnya. Cara lain adalah dengan cara perkawinan, sehingga hampir di semua wilayah ada keluarganya. Alhasil penduduk kampung-kampung tersebut bersatu dan mengangkatnya sebagai raja pada 1309. Bisa dikatakan kerajaan ini adalah kerajaan keluarga, karena Imaga sebenarnya menjadi pemimpin bagi keluarga besar. Raja Imaga, bergelar Rat Sran Nati Patimunin I. Pusat kerajaan dibangunnya di Weri, terletak di Teluk Tunasgain di wilayah Fakfak.[1]
Zaman Majapahit
Semasa pemerintahan raja Imaga, kondisi kehidupan masyarakat cukup baik. Mereka menjalin hubungan perdagangan dengan orang-orang Seram Laut (Seram Timur), yang mencari burung kuning, masoi, dan emas di wilayah tersebut. Para pedagang Seram Laut pun melakukan perkawinan dengan penduduk daratan Papua. Setelah raja Imaga wafat (tahun tidak diketahui), Raja Sran selanjutnya adalah Basir Onin anak dari Imaga. Ia memindahkan pusat kerajaannya ke Pulau Adi didasarkan atas pertimbangan bahwa Pulau Adi terletak pada posisi strategis dalam lalu lintas pelayaran dan perdagangan menuju dataran Koiwai. Ia menyatakan sepuh kemudian mengangkat anaknya Woran sebagai Raja. Ibukota kerajaannya terletak di Borombouw.[2]
Pada masa pemerintahan Woran, kerajaan ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ia memperluas pengaruh dan kekuasaannya dengan cara mengunjungi desa-desa serta melakukan pernikahan di berbagai tempat. Sehingga hampir sebagian besar hidup raja-raja dahulu adalah untuk mengunjungi kampung-kampung guna menghimpun mereka dalam kepemimpinannya dan melakukan perkawinan. Hasil usaha raja Woran membuat wilayahnya berkembang meliputi dataran semenanjung Onin, dataran Bomberai dan dataran Kaimana yang berbatasan dengan dataran rendah Kamoro. Woran mengangkat anaknya Wau'a sebagai Putra Mahkota, sayangnya Wau'a meninggal dalam usia muda sebelum sempat menjadi Raja. Dalam masa kepemimpinan raja Woran, kerajaannya pernah dikunjungi oleh Patih Gajah Mada. Kunjungan ini tercatat dalam tulisan Empu Prapanca yang menyebutkan suatu daerah yang bernama Sran yang pernah dikunjungi oleh Patih Gajah Mada dalam upaya menggenapi Sumpah Palapa yang diucapkannya kepada raja Majapahit. Dalam kunjungannya ke istana raja Sran Rat Adi III yang diberi nama istana San Nabe di Borombouw, Pulau Adi, beliau disambut dengan upacara kebesaran. Istana San Nabe memiliki bumbungan berupa ukiran buaya berwarna putih merah. Dalam kunjungan itu, Patih Gajah Mada memberikan seorang putri dan bendera merah putih kepada raja Woran; sedangkan raja Woran memberikan burung Cenderawasih (syangga) dan seorang putri raja untuk diantar kepada raja Majapahit. Woran memerintah selama 92 tahun yaitu dari tahun 1348–1440.[3][4] Kontak dengan ekspedisi Jawa abad ke-15 ini juga disebutkan pula dalam kisah penduduk lokal di antara Teluk Patipi dan Rumbati dalam memori Galis.[5]
Zaman Tidore
Namun pasca meninggalnya raja Woran, ada tiga orang raja lagi yang memerintah, namun tidak ada data yang jelas raja-raja selanjutnya ini. Menurut La Aga Samay (sesepuh Kerajaan Sran/Kaimana), pada tahun 1498, pasukan hongi Tidore, menyerang daerah Sran sehingga terjadi perang antara kerajaan Sran melawan pasukan hongi Tidore. Sejak itu Sran harus membawa budak dan burung kuning untuk diantar kepada Tidore. Oleh raja Tidore, mereka ini diberi hadiah-hadiah serta gelar-gelar. Pada abad ke-XV (1460–1541) penguasa pertama di pulau Adi, Ade Aria Way, telah menerima Islam yang dibawa oleh Syarif Muaz yang mendapat gelar Syekh Jubah Biru, yang menyebarkan Islam di utara dan kawasan itu. Namun sambutan positif lebih banyak diterima di pulau Adi dalam hal ini di daerah kekuasaan Ade Aria Way. Setelah masuk Islam Ade Aria Way berganti nama menjadi Samai.[3][6]
Sultan Tidore, pernah mengangkat seorang raja di Pulau Adi, hal ini tertuang dalam Memorie-(Vervolg) van Overgave van de (Onder) Afdeeling West Nieuw Guinea, 1932, dikatakan bahwa Sultan Tidore mengangkat seorang raja di Pulau Adi dan daerah Karufa, seorang Mayor Wanggita, penguasa yang berpengaruh di Teluk Arguni, namun penerus keturunan raja-raja Adi dan Aiduma tidak dapat mempertahankan eksistensinya sebagai raja (A.L. Vink, Memorie-(Vervolg) van Overgave van de (Onder)Afdeeling West Nieuw Guinea, 1932). Selanjutnya dalam laporan Etna yang dikutip oleh Pendeta F.C. Kamma (Kepulauan Tidore dan Papua) bahwa tahun 1859 juga ada seorang raja di Adi, yang kerajaannya terbentang dari Teluk Kamrau sampai Tanjung Baik serta mencakup Pulau Kara dan Adi. Tidak bisa diselidiki apakah yang dimaksudkan dengan Kara, Karas, atau Karawatu (Memorie van Overgave L.L.A. Maurenbrecher, 1953). Keterangan tersebut sesuai bahwa, pusat kerajaan Sran berada di Pulau Adi, namun pernah terjadi konflik diantara keluarga kerajaan sehingga untuk beberapa waktu lamanya tidak ada raja di kerajaan Sran.[7]
Zaman kolonial Belanda
Pada tahun 1808, Nduvin diangkat sebagai raja Sran ke IV. Pada waktu itu, pusat Kerajaan Sran masih berkedudukan di Pulau Adi. Raja Nduvin memindahkan pusat pemerintahan kerajaannya dari Borombow di Pulau Adi ke E'man atau Kaimana. Nduvin menikah dengan putri Wai dari Bonggofut. Putri tersebut bermarga Ai dan berasal dari Gunung Natau di Kampung Faranyau yang bernama Mimbe Werifun. Nduvin memiiki seorang anak bernama Nawaratu, atau Naro'e. Disamping Naro'e, Raja Nduvin masih memiliki keturunan dari Umburauw kampung Bahumia dan Ubia Sermuku.[8]
Perjanjian yang ditanda tangani oleh Belanda dan kerajaan Maluku pada tahun 1824 itu berisi bahwa Irian Barat secara resmi diakui sebagai daerah kekuasaan Sultan Tidore (Kamma, 1981). Sebagai tindak lanjut perjanjian tersebut, pada tahun 1828, Belanda membangun benteng di teluk Triton di kaki gunung Lemansiri di Lobo (Namatota), Kaimana. Benteng ini diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1828 dengan nama “Fort Du Bus”. Upacara peresmian dihadiri oleh orang Belanda dan juga warga lokal. Seusai upacara dilakukan penandatanganan surat perjanjian yang ditandatangani oleh Sendawan (raja Namatota), Kassa (raja Lakahia) dan Lutu (orang kaya Lobo dan Mawara). Ketiga raja ini oleh Belanda masing-masing diberi surat sebagai kepala daerah, berikut tongkat kekuasaan berkepala perak. Selain ketiga kepala daerah ini, diangkat pula 28 kepala daerah bawahan (Koentjaraningrat, 1992). Dengan demikian raja Sran Kaimana menjadi kepala daerah bawahan dari Kerajaan Namatota.[9] Selama beberapa tahun berikutnya, Nduvin lebih memfokuskan perhatiannya untuk melawan ekspedisi hongi, sampai pada tahun 1898, Raja Nduvin wafat.[8]
Ia digantikan anaknya Naro'e yang dinobatkan sebagai raja dengan gelar Rat Sran Kaimana V. Namun pada tahun 1898 setelah Nieuw Guinea dinyatakan sebagai milik Belanda, terjadi berbagai perubahan politik yang menyebabkan banyak terjadi perubahan dalam tatanan wilayah kekuasaan raja Kaimana yang berdampak semakin turunnya kekuasaan raja. Raja berkuasa atas rakyatnya, namun raja maupun rakyatnya berada di bawah kekuasaan Belanda dan harus tunduk pada aturan Belanda.[10] Dalam tahun 1898, parlemen Belanda mensahkan pengeluaran anggaran sebanyak ƒ115.000 untuk mendirikan pemerintahan di Nieuw Guinea. Pemerintah Belanda membagi dua bagian daerah Nieuw Guinea, bagian utara dinamakan Afdeeling Noord Nieuw Guinea dengan kontrolir ditempatkan di Manokwari, lalu bagian Barat dan Selatan dinamakan Afdeeling West en Zuid Nieuw Guinea dengan kontrolir ditempatkan di Fakfak (Koentjaranigrat, 1992). Kondisi geografis dan minimnya alat transportasi, menyebabkan banyak daerah di Afdeeling West en Zuid Nieuw Guinea yang penduduknya belum mengetahui kalau pemerintah Belanda sudah menguasai daerah tersebut.[8]
Raja Naro'e sebagai raja Kaimana pada saat itu pun belum mengetahui hal itu, sehingga ia tetap melakukan ekspansi wilayah kerajaannya ke arah barat dan timur melalui perkawinan di kawasan Teluk Berau. Keluarganya antara lain Fimbay dan Refideso di Miwara. Di Uduma dengan keluarga Kamakula, di Teluk Bicari dengan keluarga Nanggewa, Nambobo serta keluarga Ai dan di kawasan Mbaham Iha dengan Boki Sekar. Disamping itu ia juga melakukan perang dengan melakukan ekspedisi hongi untuk membebaskan daerah kekuasaannya yang diekspansi oleh pihak lain dengan pasukannya yang bernama Sabakor. Ia menikahkan anak perempuannya Koviai Bata dengan Lakatei yang kemudian menjadi raja Wertuar. Ia juga membangun hubungan kekeluargaan dengan raja Namatota. Anak perempuan lainnya yang bernama Sekar Bata dinikahkan dengan Lamora, raja Namatota, disini Naro'e menganggap Sran bukan lagi bawahan Namatota. Disamping itu cucu perempuannya dinikahkan dengan seorang Pangeran Kerajaan Fer di Langgiar (Nuhu Yuut). Gambaran mengenai pernikahan ini sangat jelas memperlihatkan usaha raja Naro'e untuk memperluas pengaruh kerajaannya, melalui hubungan kekerabatan.[8]
Pada tahun 1912, raja Naro'e berangkat ke Teluk Bintuni, bertemu dengan Kapten Keyts yang memberitahunya bahwa Pemerintah Hindia Belanda sudah secara resmi mendirikan pemerintahan di Papua. Raja Naro'e menyatakan protes dan nampaknya sangat kecewa dengan tindakan sewenang-wenang Belanda yang mengklaim Papua sebagai miliknya tanpa sepengetahuan dan persetujuan pemiliknya. Akibat kekecewaan ini, ia tidak mau kembali lagi ke kota kerajaannya. Raja Naro'e memilih tinggal di daerah Kokas dan Babo selama 10 tahun (Renaissance Nusantara, 2009). Untuk sementara pemerintahan kerajaan Sran Kaimana dijalankan oleh putranya Achmad Aituarauw. Tahun 1922, Raja Naro'e kembali ke Kaimana, dan memerintahkan putranya Ahmad Aituarauw untuk menata ibu kota kerajaan, dengan membuka jalan-jalan, menerima pedagang-pedagang, dan membuka perkebunan kelapa di Kaimana, Sararota, Nusa Venda, Nanesa, Bitsyari, dan Lobo. Rakyat pun diperintahkan untuk membuka kebun-kebun kelapa, pala, dan lain sebagainya. Pada tahun 1923 Raja Naro'e meninggal dunia dan dikuburkan di samping masjid kerajaannya (masjid Raya) di Kota Kaimana.[8]
Naro'e digantikan oleh putranya Ahmad Aituarauw, pemerintah Hindia Belanda melalui raja Namatota, memberi tanggung jawab kepada raja Kaimana Ahmad Aituarauw untuk menjaga keamanan di wilayah Kaimana. Untuk melegalitas tugas raja Kaimana tersebut, pemerintah Belanda mengangkatnya dengan gelar “Raja Komisi Kaimana”. Ia memerintah dari tahun 1923 hingga tahun 1966 (wawancara La Aga Samay). Raja Ahmad cukup ahli dalam bidang pertanian dan perdagangan, serta menjalankan pemerintahannya dengan baik. Raja Achmad Aituarauw menyatakan kooperatif terhadap Belanda, dengan syarat bahwa Raja tetap mengurus rakyatnya dan budaya serta adat istiadat, pengangkatan kepala kampung oleh raja, pajak belasting harus sepengetahuan raja dan tidak akan saling menyerang serta urusan pertahanan terhadap serangan dari luar menjadi tanggung jawab Belanda. Belanda menyetujui syarat tersebut sehingga terjalin kerjasama, raja Achmad Aituarauw lalu menerima “peningen recognitie” sebesar ƒ40 per-bulan (ANRI: Memorie van Overgave L.L.A. Maurenbrecher, 1953). Pada tahun 1930, raja Achmad Aituarauw juga memperoleh penghargaan dari Kerajaan Belanda berupa bintang Oranje van Nassau (Renaissance Nusantara 2009).[11]
Zaman kemerdekaan Indonesia
Menurut pengakuan M. Achmad Aituarauw proklamasi Indonesia baru diketahui dari Frans Kaisiepo di Biak pada Desember 1946. Informasi Kaisiepo ada di Biak diketahuinya dari rakyat di teluk Arguni yang meninggalkan kampungnya untuk berkumpul ke Tiwara sebelum ke Biak. Dari informasi yang diterima di Tiwara, jenderal Amerika bersama pasukan sekutu membagikan senjata untuk rakyat Irian untuk melawan Belanda namun mereka sudah pergi ke Pulau Yamkani (Wandamen). M. Achmad Aituarauw beserta pengikutnya berjumlah sebesar 200 orang berangkat dari Tiwara menuju Wandamen. Walau saat sampai di Kampung Ambumi (Wandamen), pasukan Amerika sudah pergi ke Biak. Sehingga M. Achmad Aituaraw pergi ke Bosnik, Biak beserta 18 orang pengikutnya.[12]
Dari pertemuannya dengan Frans Kaisiepo di Biak diketahui Belanda akan membahas menyerahkan kemerdekaan kepada Indonesia (NIT) di Denpasar tetapi tanpa wilayah Irian dan juga tidak adanya wakil Irian di Denpasar. Merespon hal tersebut, M. Achmad Aituarauw beserta beberapa tokoh Papua lain melakukan konferensi pada tanggal 24 Desember 1946 di gedung Kantor Distrik Bosnik yang juga dihadiri oleh Dr. De Bruyn (onderfd Lingchef Geelvink baai) dan Dani Said (District Hoofd Bosnik). Konferensi tersebut menghasilkan resolusi rakyat Papua tidak ingin dijajah, merdeka seperti wilayah lain di satu Negara Indonesia, dan ingin sebuah pertemuan dengan wakil dari wilayah Indonesia lain.[12]
Sekembalinya di Kaimana dengan kapal perang milik Belanda, pada tahun 1946, M. Achmad Aituarauw juga mendirikan organisasi pro-integrasi dengan Indonesia bernama Merdeka Bersama Kaimana Irian Barat (MBKIB).[13] Melalui MBKIB, warga memboikot peringatan ulang tahun Ratu Belanda setiap 31 Agustus. Hubungan usaha mendukung kemerdekaan Indonesia seperti pengiriman hasil teks linggarjati oleh masyarakat di Kaimana, dibawah pimpinan Raja Komisi Kaimana (Achmad Aituarauw) dan Raja Namatota (Muhammad Kasim Ombaier) bersama Silas Papare juga terjalin melalui perantara Abubakar Tjan Kok Tjiang, seorang Tionghoa Muslim yang lebih leluasa pergeraknya.[12] Merespon ini, pemerintah Belanda mengirim pasukan satu kompi dibawah inspektur Le Klasse Rolands ke Kaimana[12] dan menjadikan organisasi tersebut terlarang dan 'membuang' M. Achmad Aituarauw yang dijadikan kepala distrik di Ayamaru selama 10 tahun sejak 1948.[14]
Pada tahun 1953, dalam masa kepemimpinan raja komisi Achmad Aituarauw (ketika itu ia telah berusia 60 tahun), desa-desa berikut ini menjadi kekuasaan Rat Sran Raja komisi yaitu: Kilimata, Kembala, Nusawulang, Jarona, Garosa, Guriasa, Gaka, Tairi, Murubia, Kuna, dan Esania (ANRI: Memorie van Overgave L.L.A. Maurenbrecher, 1953: 319). Pengaturan pembagian wilayah administrasi pemerintah Belanda atas Nieuw Guinea membuat kekuasaan Raja Sran/Komisi Kaimana semakin lemah. Secara adat mereka masih tetap menjadi kepala pemerintahan adat, namun secara administratif kedudukan mereka di wilayah pemerintahannya tidak lagi memiliki kekuatan sepenuhnya karena mereka sudah berada di bawah perintah pemerintah Belanda.[15]
Pemerintahan
Kerajaan Kaimana dipimpin oleh seorang raja yang didampingi oleh duduvura adat dan raja muda yang kedudukannya adatnya sejajar dengan raja, namun masih berada di bawah kekuasaan raja. Dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh: pemuka agama, dukun/ahli nujum, mayora, sangaji, hukom, joujau, kapitang/kapitan laut, dan orang kaya.[1]
Wilayah kerajaan Kaimana pada masa awal berdirinya kerajaan hanya meliputi bagian kecil dari wilayah suku Mairasi di sebelah utara, Pulau Adi (Eraam Moon berasal dari bahasa Adijaya yang artinya "Tanah Haram")[3][6] di sebelah selatan, Pulau Samai di sebelah barat, dan Kipia Mimika di sebelah timur. Namun berkat hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang dilakukan oleh raja pertama, maka lambat laun para warga suku tersebut menggabungkan diri dengan kerajaan Sran, sehingga menurut legenda, wilayah kekuasaan raja Sran pada abad ke-14 berkembang menjadi semakin luas.[1]
Sebelum masuknya Belanda, kekuasaan raja adalah mutlak. Namun ketika Tidore mulai melebarkan kekuasaannya dan melakukan ekspedisi hongi di daerah ini, kekuasaan raja semakin menurun karena berada dibawah bayang-bayang Tidore. Terlebih setelah terjadi perang saudara diantara keluarga raja. Selama beberapa lama kerajaan ini tidak memiliki raja. Raja yang diangkat oleh Sultan Tidore pun tidak bertahan sehingga vakum juga.[15]
Daftar penguasa Kaimana
Berikut ini daftar penguasa Kerajaan Kaimana, sebagai berikut:[16]
Pemetaan kerajaan Islam di Papua Barat secara umum dibagi menjadi tiga daerah yaitu, kerajaan Islam Kepulauan Raja Ampat, Fakfak dan Kaimana. Kerajaan Islam di Papua Barat ini sering disebut dengan Petuanan. Kerajaan Islam di Papua Barat mayoritas berada dibawah kekuasaan kesultanan di Kepulauan Maluku, kemudian mereka diberi otonomi untuk menjalankan pemerintahan masing-masing.
Kerajaan-kerajaan Islam kecil di Raja Ampat, Fakfak, dan Kaimana merupakan hasil proses akulturasi kebudayaan Papua Barat dan kebudayaan Kepulauan Maluku yang berlangsung selama berabad-abad.[20] Sistem kesukuan masih sangat terlihat dalam kerajaan-kerajaan Islam di Papua Barat. Sistem pemerintahan berbentuk kerajaan, tetapi dalam menjalankan pemerintahan digunakanlah sistem Dewan Adat.[21]
Kerajaan Islam di kepulauan Raja Ampat
Berikut merupakan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah kepulauan Raja Ampat:[22]
Kerajaan Waigeo dengan pusat pemerintahannya di Weweyai, Pulau Waigeo
Kerajaan Salawati dengan pusat pemerintahannya di Samate, Pulau Salawati bagian utara.
Kerajaan Misool dengan pusat pemerintahannya di Lilinta kemudian berpindah ke Sel Peleket.
Kerajaan Waigama dengan pusat pemerintahan di Waigama, Pulau Misool.
Kerajaan Sailolof dengan pusat pemerintahannya di Sailolof, Pulau Salawati bagian selatan.
Kerajaan Islam di Fakfak
Dalam buku Islam dan Kristen di Tanah Papua (2006) karya J.F Onim, Kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Fakfak terdiri dari:
Bukti-bukti peninggalan sejarah mengenai agama Islam yang ada di pulau Papua bagian barat ini, sebagai berikut:[23]
Terdapat living monument yang berupa makanan Islam yang dikenal dimasa lampau yang masih bertahan sampai hari ini di daerah Papua Barat kuno di desa Saonek, Lapintol, dan Beo di distrik Waigeo.
Tradisi lisan masih tetap terjaga sampai hari ini yang berupa cerita dari mulut ke mulut tentang kehadiran Islam di Bumi Kasuari.
Naskah-naskah dari masa Raja Ampat dan teks kuno lainnya yang berada di beberapa masjid kuno.
Di Fakfak, Papua Barat dapat ditemukan delapan manuskrip kuno berhuruf Arab. Lima manuskrip berbentuk kitab dengan ukuran yang berbeda-beda, yang terbesar berukuran kurang lebih 50 x 40 cm, yang berupa mushaf Al Quran yang ditulis dengan tulisan tangan di atas kulit kayu dan dirangkai menjadi kitab. Sedangkan keempat kitab lainnya, yang salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadits, ilmu tauhid, dan kumpulan doa. Kelima kitab tersebut diyakini masuk pada tahun 1214 dibawa oleh Syekh Iskandarsyah dari Samudera Pasai yang datang menyertai ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk melalui Mes, ibukota Teluk Patipi saat itu. Sedangkan ketiga kitab lainnya ditulis di atas daun koba-koba, pohon khas Papua yang mulai langka saat ini. Tulisan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang terbuat dari bambu. Sekilas bentuknya mirip dengan manuskrip yang ditulis di atas daun lontar yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia Timur.
Masjid Tua Patimburak yang didirikan di tepi teluk Kokas, distrik Kokas, Fakfak yang dibangun oleh Raja Wertuer I yang memiliki nama kecil Semempe.