Leonardus Benjamin Moerdani
Jenderal TNI (Purn.) Leonardus Benyamin Moerdani, atau L.B. Moerdani, atau kerap disebut Benny Moerdani (2 Oktober 1932 – 29 Agustus 2004) adalah salah satu tokoh militer Indonesia paling berpengaruh pada era Orde Baru. Benny Moerdani dikenal sebagai perwira TNI yang banyak berkecimpung di dunia intelijen, sehingga sosoknya banyak dianggap misterius. Selain itu, Ia juga memiliki julukan yang merupakan antitesis dari Soeharto yaitu "Unsmiling General".[2] Moerdani merupakan perwira yang ikut terjun langsung di operasi militer penanganan pembajakan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 206 di Bandara Don Mueang, Bangkok, Kerajaan Thai pada tanggal 28 Maret 1981, peristiwa yang kemudian dicatat sebagai peristiwa pembajakan pesawat pertama dalam sejarah maskapai penerbangan Republik Indonesia dan terorisme bermotif jihad pertama di Indonesia. Ia juga dianggap banyak kalangan sebagai sosok yang bertanggung jawab terhadap peristiwa Tanjung Priok dan penembakan misterius pada tahun 1980-an . Dalam posisi pemerintahan, selain sebagai Panglima ABRI, ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dan juga Pangkopkamtib. Awal kehidupanMoerdani lahir pada 2 Oktober 1932 di Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah dari pasangan R.G. Moerdani Sosrodirjo, seorang pekerja kereta api dan istrinya yang seorang Indo Eurasia Jeanne Roech, yang memiliki darah setengah Jerman. Moerdani adalah anak ke-3 dari 11 bersaudara. Meskipun seorang Muslim, Moerdani Sosrodirjo mentolerir istrinya dan iman Katolik anak-anaknya.[3] Karier militerKarier militer awalSetelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Moerdani terjebak dalam gelombang nasionalisme. Pada bulan Oktober 1945, ketika berusia 13, Moerdani mengambil bagian dalam serangan terhadap markas Kempetai di Solo setelah Kempetai menolak untuk menyerah kepada pasukan Indonesia.[4] Ketika Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal ABRI dibentuk, Moerdani bergabung dengan Tentara Pelajar yang berada di bawah otoritas dari Brigade ABRI. Dari brigade ini, Moerdani mengambil bagian dalam Revolusi Nasional Indonesia melawan Belanda, dia berpartisipasi dalam sebuah serangan umum yang sukses di Solo. Setelah kemerdekaan Indonesia situasi berangsur aman, Moerdani mengambil kesempatan untuk menyelesaikan pendidikannya, lulus dari sekolah menengah pertama dan melanjutkan ke sekolah menengah atas; sementara itu ia mengambil pekerjaan paruh-waktu untuk membantu pamannya berjualan.[5] Pada tahun 1951, Pemerintah Indonesia mulai melakukan demobilisasi, brigade Moerdani dianggap telah melakukan tugas cukup baik dan para prajuritnya terus bertugas dengan ABRI. Moerdani, bersama dengan brigadenya terdaftar dalam Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) dan mulai pelatihan pada bulan Januari 1951. Pada saat yang sama, Moerdani juga mengambil bagian dalam Sekolah Pelatihan Infanteri (SPI). Moerdani menyelesaikan pendidikan militernya dari P3AD pada bulan April 1952 dan dari SPI Mei 1952.[6] Ia juga diberi pangkat Pembantu Letnan Satu. 2 tahun kemudian, pada tahun 1954, Moerdani menerima pangkat Letnan Dua dan ditempatkan di TT/III Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. KKAD/RPKADDalam upaya untuk menghadapi ancaman dari Darul Islam, Kolonel Alex Evert Kawilarang, Panglima TT/III Siliwangi membentuk Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (KESKO TT III). Keberhasilan mereka menarik Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta untuk mendukung pembentukan Satuan Pasukan Khusus. Dengan demikian, pada tahun 1954, Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD) dibentuk. Moerdani ditugaskan sebagai pelatih bagi para prajurit yang ingin bergabung dengan KKAD dan diangkat sebagai Kepala Biro Pengajaran. Pada tahun 1956, KKAD mengalami perubahan nama menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Tidak lama setelah itu, Moerdani diangkat menjadi Komandan Kompi.[7] Sebagai anggota RPKAD, Moerdani menjadi bagian dari pertempuran untuk menekan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), kelompok separatis yang berbasis di Sumatra. Pada bulan Maret 1958, Moerdani diterjunkan ke bawah di belakang garis musuh di Pekanbaru dan Medan untuk mempersiapkan dasar bagi ABRI untuk mengambil alih dua kota. Sebulan kemudian, pada tanggal 17 April 1958, Moerdani mengambil bagian dalam Operasi 17 Agustus, sebuah operasi yang memukul para pemberontak PRRI.[8] Tugas Moerdani berikutnya adalah untuk mengurus Piagam Perjuangan Semesta (Permesta), kelompok separatis lain di Sulawesi. Mirip dengan apa yang dia lakukan di Sumatra, Moerdani dan pasukannya meletakkan dasar bagi semua serangan terhadap Permesta yang kemudian menyerah pada bulan Juni 1958. Setelah penyerahan diri PRRI dan Permesta, Moerdani, ditempatkan di Aceh. Pada awal 1960, ia mempertimbangkan untuk menjadi pilot pesawat Angkatan Darat tetapi dibujuk oleh Ahmad Yani yang mengirimnya ke Amerika Serikat untuk bergabung dengan Sekolah Infanteri Angkatan Darat Amerika Serikat di Fort Benning. Di sana, Moerdani mengambil bagian dalam Kursus Lanjutan Perwira Infanteri dan berlatih dengan 101st Airborne Division. Moerdani kembali ke Indonesia pada tahun 1961 ketika ABRI sedang mempersiapkan diri untuk pengambilalihan Irian Barat. Tugas pertamanya adalah melatih pasukan terjun payung yang seharusnya mendarat di belakang garis musuh dan menyusup. Bulan-bulan pun berlalu, infiltrasi tidak membawa hasil yang nyata. Pada bulan Mei 1962, Moerdani ditugaskan untuk memimpin penurunan pasukan terjun payung yang terdiri dari tentara RPKAD dan Kostrad.[9] Setelah mendarat di Irian Barat pada akhir Juni 1962, Moerdani memimpin pasukannya dalam pertempuran-pertempuran melawan anggota Angkatan Laut Belanda sampai PBB ikut campur pada bulan Agustus 1962 dan memutuskan memberikan Irian Barat ke Indonesia. Setelah ada gencatan senjata, Moerdani ditempatkan untuk bertanggung jawab atas semua pasukan gerilya di Irian Barat. Pada tahun 1964, Moerdani kembali ke Jakarta lagi. Prestasinya selama kampanye pembebasan Irian Barat telah menarik perhatian dari Presiden Soekarno yang ingin merekrutnya sebagai Ajudan Presiden dan menikahkannya dengan salah satu putrinya,[10] tetapi Moerdani menolak kedua penawaran tersebut. Pada tahun 1964, Moerdani dan Batalyon RPKAD dikirim ke Kalimantan untuk bertempur dalam perang gerilya melawan tentara Malaysia dan Inggris sebagai bagian dari konfrontasi Indonesia-Malaysia. Namun, ia tidak menghabiskan waktu yang lama di Kalimantan, kembali ke Jakarta pada bulan September. Pada tahap ini, Moerdani sekali lagi memikirkan memperluas pengalaman kariernya dan mempertimbangkan antara menjadi komandan teritorial di Kalimantan atau sebagai atase militer. Dia memilih menjadi atase militer dan meminta untuk ditempatkan di Beijing. Pada akhir 1964, sebuah pertemuan perwira RPKAD diadakan dan Moerdani diundang bersama. Topik dari pertemuan ini adalah untuk membahas penghapusan tentara cacat dari RPKAD, tetapi Moerdani keberatan dengan hal ini.[11] Berita keberatan Moerdani sampai ke Yani, yang telah menjadi Panglima Angkatan Darat. Yani memanggil Moerdani dan menuduhnya melakukan pembangkangan. Pertemuan diakhiri dengan Yani memerintahkan Moerdani untuk dipindahtugaskan dari RPKAD ke Kostrad. Moerdani menyerahkan komando batalyon RPKAD nya pada tanggal 6 Januari 1965. KOSTRADKepindahan Moerdani dari RPKAD ke Kostrad adalah hal yang mendadak dan belum ada posisi yang disiapkan untuknya. Posisi pertamanya adalah sebagai seorang perwira Operasi dan Biro Pelatihan. Peruntungannya berubah ketika Letnan Kolonel Ali Moertopo mengetahui bahwa ia adalah bagian dari Kostrad. Setelah berkenalan dengan Moerdani selama operasi di Irian Barat, Ali mengakui potensi Moerdani dan ingin lebih mengembangkan hal itu. Kebetulan, Ali pada saat itu adalah Asisten Intelijen Divisi Infanteri 1, salah satu unit Kostrad yang ditempatkan di Sumatra dalam persiapan untuk menginvasi Malaysia. Ali merekrut Moerdani menjadi Wakil Asisten Intelijen dan memberinya pengalaman pertama kerja intelijen. Selain menjadi Wakil Asisten Intelijen, Moerdani juga menjadi bagian dari tim intelijen Operasi Khusus (Opsus). Tugasnya adalah untuk mengumpulkan informasi intelijen di Malaysia dari Bangkok ia menyamar menjadi penjual tiket Garuda Indonesia.[12] Setelah Gerakan 30 September hancur pada 1 Oktober 1965 oleh Pangkostrad Mayjen Soeharto, pekerjaan Moerdani semakin banyak. Dia dengan Ali bersama-sama mereka mulai bekerja untuk merancang upaya dalam mengakhiri Konfrontasi tersebut. Upaya mereka memuncak pada tanggal 11 Agustus 1966 ketika Pemerintah Indonesia dan Malaysia menandatangani kesepakatan untuk menormalkan hubungan antara kedua negara. Karier diplomatikMeskipun perdamaian telah tercapai, Moerdani tinggal di Malaysia sebagai chargé d'affaires. Tugas pertamanya adalah untuk menjamin pembebasan tentara Indonesia dan para pejuang gerilya yang telah tertangkap selama Konfrontasi.[13] Pada bulan Maret 1968, bersama seorang duta besar akhirnya ia ditugaskan di Malaysia, Moerdani menjadi kepala Konsulat Indonesia di Malaysia Barat. Pada saat yang sama, ia terus menjadi bagian dari Opsus dengan tugas melakukan pengawasan terhadap kejadian di dalam Perang Vietnam. Pada akhir tahun 1969, Moerdani dipindahkan ke Seoul untuk menjadi Konsul Jenderal Indonesia di Korea Selatan. Moerdani dipromosikan dari kolonel menjadi brigadir jenderal pada bulan Februari 1970 sebelum dia mulai bertugas di Seoul.[14] Pada tahun 1973, status Moerdani ditingkatkan dari Konsul Jenderal menjadi chargé d'affaires. Perwira intelijenKarier diplomatik Moerdani berakhir tiba-tiba ketika terjadi Peristiwa Malari di Jakarta pada bulan Januari 1974 dan dalam waktu seminggu setelah peristiwa itu, Moerdani telah kembali ke Jakarta. Presiden Soeharto segera memberinya posisi yang membuatnya memiliki banyak kekuasaan. Moerdani menjadi Asisten Intelijen Menteri Pertahanan dan Keamanan, Asisten Intelijen Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), Kepala Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat), dan Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).[15] Pada tahun 1975, Moerdani menjadi sangat terlibat dengan masalah dekolonisasi Timor Timur. Pada bulan Agustus 1975, Moerdani mulai mengirimkan tentara Indonesia dengan kedok relawan untuk mulai menyusup ke Timor Timur.[13] Situasi diintensifkan pada tanggal 28 November 1975 ketika Fretilin memproklamasikan kemerdekaan Timor Timur. Operasi intelijen berhenti dan operasi militer, Operasi Seroja dimulai sebagai gantinya. Meskipun operasi itu bukan sebuah operasi intelijen, Moerdani terus terlibat, kali ini sebagai perencana invasi. Metodenya dalam merencanakan invasi memicu kemarahan dari rekan-rekan karena dilakukan tanpa sepengetahuan perwira komando tinggi, seperti Wakil Panglima ABRI Surono Reksodimedjo dan Pangkostrad Leo Lopulisa yang seharusnya terlibat dalam proses perencanaan.[16] Pada 28 Maret 1981, Garuda Indonesia Penerbangan 206, yang seharusnya terbang dari Jakarta ke Medan dibajak. Berita itu tiba ketika Moerdani di Ambon di mana ia menghadiri pertemuan Pemimpin ABRI bersama Panglima ABRI M. Jusuf. Moerdani segera meninggalkan pertemuan itu untuk pergi ke Jakarta dan mempersiapkan untuk mengambil tindakan, pesawat yang dibajak telah mendarat di Bandara Don Mueang, Bangkok. Moerdani bertemu dengan Soeharto dan atas izin Presiden ia menggunakan kekuatan dalam upaya untuk membebaskan para sandera; dasar pemikirannya adalah bahwa para pembajak seharusnya tidak diperbolehkan untuk mengintimidasi pilot pesawat untuk terbang ke negara-negara lain.[17] Didampingi oleh pasukan dari Kopassandha, sebelumnya bernama RPKAD, Moerdani berangkat ke Thailand. Meskipun rencananya mengalami beberapa hambatan, terutama dari Pemerintah Thailand, pada akhirnya kesepakatan terjadi untuk mengambil tindakan militer. Pada pagi hari tanggal 31 Maret 1981, Moerdani secara pribadi memimpin pasukan Kopassandha menyerbu pesawat, mengambil kembali kendali itu, dan menyelamatkan para sandera. Panglima ABRIPenunjukanPada bulan Maret 1983, Moerdani mencapai puncak karier militernya ketika Soeharto menunjuknya sebagai Panglima ABRI dan mempromosikan dirinya menjadi Jenderal. Moerdani mencapai posisi ini dengan sedikit agak berbeda karena ia tidak pernah memerintah di unit yang lebih besar dari batalyon dan tidak menjabat sebagai Panglima Daerah Militer (Kodam) dan Kepala Staf Angkatan Darat. Selain sebagai pemimpin ABRI, Moerdani juga ditunjuk menjadi Pangkopkamtib, dan mempertahankan posisinya di Pusintelstrat, yang berganti nama menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS). Tidak seperti Panglima ABRI Orde Baru sebelumnya, Moerdani tidak memegang Departemen Pertahanan dan Keamanan. Re-organisasi ABRIMoerdani segera mengambil langkah untuk membenahi ABRI, pemotongan anggaran, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan profesionalisme sebagai tujuan langsungnya.[18] Berkaitan dengan struktur komando, pertama Moerdani likuidasi Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan), struktur komando yang telah ada sejak 1969. Ia kemudian mengubah sistem komando daerah untuk Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Komando Daerah Militer (Kodam) dikurangi dari 16 menjadi 10, 8 Komando Daerah Angkatan Laut (Kodaeral) dirampingkan menjadi 2 Komando Armada, dan 8 Komando Daerah Angkatan Udara (Kodau) sama-sama dirampingkan menjadi 2 Komando Operasi.[19] Polisi juga melakukan reorganisasi dengan pita merah yang dipotong untuk memungkinkan pasukan polisi di tingkat terendah untuk mengambil tindakan segera. Moerdani juga mengurangi porsi kurikulum non-militer Akabri. Untuk meningkatkan kualitas input Akademi serta untuk memperkuat basis nasionalis, Moerdani mengonsep sekolah menengah atas untuk melatih bakat bangsa yang cerah untuk kemudian menjadi anggota kelompok elit nasional (SMA Taruna Nusantara, sekarang berjalan dan terletak bersamaan dengan Akademi ABRI di Magelang). Moerdani juga meningkatkan kerja sama antara Angkatan Bersenjata negara-negara ASEAN.[20] Peristiwa Tanjung PriokLatar belakang Benny Moerdani yang beragama Katolik akan mencuat ke permukaan pada tahun 1984 ketika bersama-sama dengan Panglima Kodam V/Jayakarta, Mayor Jenderal TNI Try Sutrisno, memerintahkan untuk menggunakan tindakan keras terhadap demonstran Islam di Tanjung Priok, Jakarta yang mengakibatkan kematian. Moerdani mengklaim bahwa para demonstran telah terprovokasi dan tidak bisa dikendalikan secara damai dan sebagai hasilnya ia memerintahkan tindakan keras.[21] Moerdani bersikeras bahwa dia tidak pernah ingin menganiaya Muslim dan melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah Muslim di seluruh Jawa untuk meningkatkan citranya dengan Muslim. Sebagai Panglima ABRI, Moerdani bisa dibilang sebagai orang paling kuat kedua secara de facto dalam aspek sosial dan politik di Republik Indonesia saat itu, setelah Soeharto. PenghentianIa tidak lagi menjabat sebagai Panglima ABRI per 10 Februari 1988 dengan diganti oleh Try Soetrisno (yang kemudian menjadi Wakil Presiden untuk periode selanjutnya).[22] Banyak pihak menduga bahwa tindakan ini dilakukan sebagai akibat kecurigaan Soeharto bahwa Benny Moerdani mendukung PDI (Partai Demokrasi Indonesia) pada Pemilihan umum 1987 serta dugaan bahwa Ia akan mensabotase jabatan yang akan diberikan kepada Soedharmono. Karier politikSidang Umum MPR 1988Pada tahun 1988, hubungan Moerdani dengan Soeharto telah memburuk. Meskipun ia setia kepada Soeharto, Moerdani cukup tegas untuk mengkritik Presiden soal korupsi dan nepotisme dalam rezimnya. Pada saat ini, Moerdani menjadi musuh dari Prabowo Subianto, menantu Soeharto. Tahun 1988 merupakan tahun yang penting karena itu adalah tahun digelarnya Sidang Umum MPR, tempat di mana Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Sidang Umum hampir tiba, Soeharto mulai membuat tanda-tanda bahwa ia ingin Sudharmono sebagai Wakil Presidennya. Menurut Kivlan Zen, rekan dekat Prabowo, hal ini berlawanan dengan Moerdani, yang ingin agar dirinya menjadi Wakil Presiden.[23] Dengan demikian, hal ini tampaknya telah menjadi alasan pemberhentian Moerdani dari posisi Panglima ABRI pada Februari 1988, meskipun menurut Robert Elson, hal ini dilakukan lebih karena Soeharto tidak ingin Moerdani mengendalikan ABRI ketika Sudharmono dinominasikan. Robert Elson berteori kemungkinan masa Wakil Kepresidenan Sudharmono menjadi langkah terakhir sebelum dirinya menjadi Presiden Indonesia.[24] Moerdani tampaknya tidak menyerah. Pada bulan yang sama petinggi Golkar bertemu untuk membahas Sidang Umum MPR. Soal calon Wakil Presiden, fraksi-fraksi sepakat untuk mencalonkan Sudharmono. Nominasi fraksi ABRI ditunda, Moerdani terus menunda-nunda dengan mengklaim bahwa ia tidak membahas pencalonan Wakil Presiden Soeharto. Ketika ditekan, Moerdani menyatakan keprihatinan tentang pencalonan Sudharmono meskipun ia tidak memberikan alasan tertentu. Pada satu tahap, ia mulai memberikan sinyal bawah sadar bahwa Try Sutrisno harus dinominasikan sebagai Wakil Presiden. Try tidak menangkap ini dan bersama dengan perwira lainnya meyakinkan Moerdani bahwa calon Wakil Presiden fraksi ABRI adalah Sudharmono. Banyak yang percaya bahwa Moerdani bertanggung jawab atas kontroversi pencalonan Sudharmono. Diyakini bahwa serangan Brigjen Ibrahim Saleh kepada Sudharmono dan pencalonan Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Djaelani Naro sebagai Wakil Presiden adalah pekerjaan Moerdani. Namun, keinginan Suharto terwujud pada akhirnya Sudharmono terpilih menjadi Wakil Presiden. Menteri Pertahanan dan KeamananMeskipun ada upaya untuk menggagalkan Sudharmono, Soeharto tidak menurunkan Moerdani dan menunjuknya sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Namun, Moerdani kehilangan sebagian dari kekuasaannya pada bulan September 1988 dengan dibubarkannya Kopkamtib. Selama masa jabatannya sebagai Menteri, Moerdani dituduh merencanakan kudeta terhadap Soeharto.[25] Hal ini mendorong Soeharto menjanjikan tindakan keras terhadap siapa saja yang berani menggantikannya secara inkonstitusional. Sidang Umum MPR 1993Sebelum Sidang Umum MPR 1993, Moerdani dipandang sebagai insinyur pencalonan Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden. Soeharto tidak senang dengan pencalonan itu dan menerima Try dengan berat hati. Penghiburan bagi Soeharto adalah bahwa ia tidak memasukan nama Moerdani ke kabinet berikutnya sekaligus mengakhiri karir politik Benny Moerdani. Kehidupan pribadiMoerdani menikah dengan Hartini, seorang pramugari Garuda Indonesia, pada 12 Desember 1964 di catatan sipil setelah melalui masa pacaran yang tak mudah selama delapan tahun. Sebagai seorang kepala keluarga, ia termasuk orang yang "gila kerja". Diketahui ia memiliki kamar sendiri di kantor, lengkap dengan segala kebutuhannya. Ia jarang berada di rumah pribadinya karena sering menjalankan misi rahasia bahkan tanpa pamit pada sang istri. Saat hendak melahirkan pun Hartini tidak mengetahui keberadan suaminya. Hampir saja anak mereka diberi nama Harbeni Takariana oleh Presiden Soekarno, namun akhirnya Moerdani segera pulang dan mengubah nama anaknya menjadi Ria Moerdani. Meski terkesan dingin, Moerdani adalah sosok yang romantis. Ia selalu memakan bekal buatan istrinya yang ia bawa dari rumah atau diantar ke kantor. Pada hari menjelang pernikahan anak semata wayangnya, ia sebenarnya sedang sakit pingang namun bersikeras untuk memasang sendiri bleketepe. Ketika menyaksikan misa pemberkatan putrinya di Gereja Katedral, Moerdani tak kuasa menahan tangis haru ketika lagu Ave Maria dilantunkan. Tangis Moerdani kembali pecah ketika ia memberi nasihat pernikahan kepada anak dan menantunya.[26] Ada dugaan bahwa keretakan hubungan Soeharto dengan Benny Moerdani diakibatkan oleh keberanian Benny Moerdani untuk menyampaikan bahwa banyak masyarakat yang tidak menyukai keikutsertaan anak-anak Soeharto di dalam dunia bisnis ketika mereka berdua sedang bermain biliar di kediaman pribadi Soeharto di Jalan Cendana.[27] KematianMoerdani meninggal dunia sekitar pukul 01.00 WIB, Minggu 29 Agustus 2004 di RSPAD Gatot Subroto, Moerdani sudah dirawat di rumah sakit tersebut sejak 7 Juli 2004 karena stroke dan infeksi paru-paru.[28] Dia meninggalkan seorang istri, satu putri, dan lima cucu. Jenazahnya disemayamkan rumah duka Jalan Terusan Hang Lekir IV/43, Jakarta Selatan dan kemudian di Markas Besar TNI Angkatan Darat. Upacara penghormatan jenazah di Mabes AD dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu. Ia dimakamkan hari itu pula pukul 13.45 WIB di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dengan inspektur upacara Panglima TNI, Jenderal TNI Endriartono Sutarto.[29] PenghargaanTanda jasaIa mendapatkan sejumlah tanda jasa baik dari dalam maupun luar negeri, diantaranya;[30] Referensi
Daftar pustaka
Pranala luar
|