Drs.Mohammad Hatta (né: Mohammad Athar) (12 Agustus 1902 – 14 Maret 1980), akrab oleh teman seperjuangannya dengan sapaan Bung Hatta, adalah seorang negarawan, konseptor dan ekonom yang berperan banyak dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia sebagai Proklamator Kemerdekaan bersama Soekarno memainkan peranan sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Sehari setelahnya, Hatta menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia pertama dalam sejarah. Ia dikenal akan komitmennya terhadap sistem demokrasi dengan mengeluarkan Maklumat X yang menjadi tonggak awal demokrasi di Indonesia. Pada 1956, ia mundur dari jabatan wakil presiden.
Kiprahnya di pemerintahan Indonesia tidak hanya duduk sebagai wakil presiden, ia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Di bidang ekonomi, pemikiran dan sumbangsihnya terhadap perkembangan koperasi membuat ia dijuluki sebagai Bapak Koperasi.[1][2]
Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulamaNaqsyabandiyah di Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatera Barat[5][6][7] dan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi. Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902. Namanya, Athar berasal dari bahasa Arab, yang berarti "harum".[8] Athar lahir sebagai anak kedua, setelah Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Abdurrahman Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari surau yang bertahan pasca-Perang Padri.[9] Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.
Ayahnya meninggal pada saat ia masih berumur tujuh bulan.[8] Setelah kematian ayahnya, ibunya menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang.[10] Haji Ning sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu. Perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning melahirkan empat orang anak, yang semuanya adalah perempuan.[8]
Pendidikan dan pergaulan
Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta.[11] Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya. Namun, pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga.[12] Ia lalu pindah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913,[12] dan melanjutkan ke MULO sampai tahun 1917. Di luar pendidikan formal, ia pernah belajar agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya.[13] Selain keluarga, perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap perekonomian. Di Padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Oesaha dan aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara.[14] Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School. Mohammad Hatta tetap menjadi bendahara di Jakarta.[15]
Kakeknya bermaksud akan ke Mekkah, dan pada kesempatan tersebut, ia dapat membawa Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran di bidang agama, yakni ke Mesir (Al-Azhar).[16] Ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas surau di Batuhmpar yang memang sudah menurun sejak meninggalnya Abdurrahman. Namun, hal ini diprotes dan mengusulkan pamannya, Idris untuk menggantikannya.[16] Menurut catatan Amrin Imran, Pak Gaeknya kecewa dan Syekh Arsyad pada akhirnya menyerahkan kepada Tuhan.[17]
Pada tahun 1926, ia menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Sebagai akibatnya, ia terlambat menyelesaikan studi.[20] Di bawah kepemimpinannya, PI mendapatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia dengan memberikan banyak komentar, dan banyak ulasan di media massa di Indonesia.[20] Setahun kemudian, ia seharusnya sudah berhenti dari jabatan ketua, namun ia dipilih kembali hingga tahun 1930.[21] Pada Desember 1926, Semaun dari PKI datang kepada Hatta untuk menawarkan pimpinan pergerakan nasional secara umum kepada PI,[20] selain itu dia dan Semaun membuat suatu perjanjian bernama "Konvensi Semaun-Hatta". Inilah yang dijadikan alasan Pemerintah Belanda ingin menangkap Hatta.[22] Waktu itu, Hatta belum menyetujui paham komunis. Stalin membatalkan keinginan Semaun, sehingga hubungan Hatta dengan komunisme mulai memburuk.[23] Sikap Hatta ini ditentang oleh anggota PI yang sudah dikuasai komunis.[24]
Pada tahun 1927, ia mengikuti sidang "Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan Nasional" di Frankfurt.[a] Dalam sidang ini, pihak komunis dan utusan dari Rusia tampak ingin menguasai sidang ini, sehingga Hatta tidak bisa percaya terhadap komunis.[25] Pada waktu itu, majalah PI, Indonesia Merdeka masuk dengan mudah ke Indonesia lewat penyelundupan, karena banyak penggeledahan oleh pihak kepolisian terhadap kaum pergerakan yang dicurigai.
[26]
Pada 25 September 1927, Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Abdulmadjid Djojoadiningrat ditangkap oleh penguasa Belanda atas tuduhan mengikuti partai terlarang yang dikait-kaitkan dengan Semaun, terlibat pemberontakan di Indonesia yang dilakukan PKI dari tahun 1926–1927, dan menghasut (opruiing) supaya menentang Kerajaan Belanda. Moh. Hatta sendiri dihukum tiga tahun penjara.[27] Mereka semua dipenjara di Rotterdam.[28] Dia juga dituduh akan melarikan diri, sehingga dia yang sedang memperkenalkan Indonesia ke kota-kota di Eropa sengaja pulang lebih cepat begitu berita ini tersebar.[29]
Semua tuduhan tersebut, ia tolak dalam pidatonya "Indonesia Merdeka" (Indonesië Vrij) pada sidang kedua tanggal 22 Maret 1928.[28] Pidato ini sampai ke Indonesia dengan cara penyelundupan. Ia juga dibela 3 orang pengacara Belanda yang salah satunya berasal dari parlemen. Yang dari parlemen, bernama J.E.W. Duys. Tokoh ini memang bersimpati padanya. Setelah ditahan beberapa bulan, mereka berempat dibebaskan dari tuduhan, karena tuduhan tidak bisa dibuktikan.[30]
Sampai pada tahun 1931, Mohammad Hatta mundur dari kedudukannya sebagai ketua karena hendak mengikuti ujian sarjana, sehingga ia berhenti dari PI; namun demikian ia akan tetap membantu PI.[21] Akibatnya, PI jatuh ke tangan komunis, dan mendapat arahan dari partai komunis Belanda dan juga dari Moskow. Setelah tahun 1931, PI mengecam keras kebijakan Hatta dan mengeluarkannya dari organisasi ini.[31] PI di Belanda mengecam sikap Hatta sebab ia bersama Soedjadi mengkritik secara terbuka terhadap PI. Perhimpunan menahan sikap terhadap kedua orang ini.[32]
Pada Desember 1931, para pengikut Hatta segera membuat gerakan tandingan yang disebut Gerakan Merdeka yang kemudian bernama Pendidikan Nasional Indonesia yang kelak disebut PNI Baru. Ini mendorong Hatta dan Sjahrir yang pada saat itu sedang bersekolah di Belanda untuk mengambil langkah konkret untuk mempersiapkan kepemimpinan di sana. Hatta sendiri merasa perlu untuk menyelesaikan studinya terlebih dahulu. Oleh karenanya, Sjahrir terpaksa pulang dan untuk memimpin PNI.[33] Kalau Hatta kembali pada 1932, diharapkan Sjahrir dapat melanjutkan studinya.[33]
1932–1941: Pengasingan
Sekembalinya ia dari Belanda, ia ditawarkan masuk kalangan Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP) untuk menjadi anggota parlemen Belanda, dan menjadi perdebatan hangat di Indonesia pada saat itu. Pihak OSP mengiriminya telegram pada 6 Desember 1932, yang berisi kesediaannya menerima pencalonan anggota Parlemen.[34] Ini dikarenakan ia berpendapat bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi anggota dalam parlemen Belanda.[35] Sebenarnya dia menolak masuk, dengan alasan ia perlu berada dan berjuang di Indonesia.[b] Namun, pemberitaan di Indonesia mengatakan bahwa Hatta menerima kedudukan tersebut, sehingga Soekarno menuduhnya tidak konsisten dalam menjalankan sistem non-kooperatif.[36]
Setelah Hatta kembali dari Belanda, Sjahrir tidak bisa balik ke Belanda karena keduanya keburu ditangkap Belanda pada 25 Februari 1934 dan dibuang ke Digul, dan selanjutnya ke Banda Neira.[37] Baik di Digul maupun Banda Neira, ia banyak menulis di koran-koran Jakarta, dan ada juga untuk majalah-majalah di Medan. Artikelnya tidak terlalu politis, namun bersifat lebih menganalisis dan mendidik pembaca. Ia juga banyak membahas pertarungan kekuasaan di Pasifik.[38]
Semasa diasingkan ke Digul, ia membawa semua buku-bukunya ke tempat pengasingannya. Di sana, ia mengatur waktunya sehari-hari. Pada saat hendak membaca, ia tak mau diganggu. Sehingga, beberapa kawannya menganggap dia sombong.[39] Ia juga merupakan sosok yang peduli terhadap tahanan. Ia menolak bekerja sama dengan penguasa setempat, misalnya memberantas malaria. Apabila ia mau bekerja sama, ia diberi gaji f 7.50 sebulan. Namun, kalau tidak, ia hanya diberi gaji f 2.50 saja.[40] Gajinya itu tidak ia habiskan sendiri. Ia juga peduli terhadap kawannya yang kekurangan.[40]
Di Digul, selain bercocok tanam,[41] ia juga membuat kursus kepada para tahanan. Di antara tahanan tersebut, ada beberapa orang yang ibadah shalat dan puasanya teratur; baik dari Minangkabau maupun Banten. Tapi, mereka ditangkap karena -pada umumnya- terlibat pemberontakan komunis.[42] Pada masa itu, ia menulis surat untuk iparnya untuk dikirimi alat-alat pertukangan seperti paku dan gergaji. Selain itu, dia juga menceritakan nasib orang-orang buangan dalam surat itu. Kemudian, ipar Hatta mengirim surat itu ke koran Pemandangan di Jakarta dan segera surat itu dimuat. Surat itu dibaca menteri jajahan pada saat itu, Colijn.[43] Colijn mengecam pemerintah dan segera mengirim residenAmbon untuk menemui Hatta di Digul. Maka uang diberikan untuknya, Hatta menolak dan ia juga meminta supaya kalau mau ditambah, diberikan juga kepada pemimpin lain yang hidup dalam pembuangan.[41]
Pada 1937, ia menerima telegram yang mengatakan dia dipindah dari Digul ke Banda Neira.[c] Hatta pindah bersama Sjahrir pada bulan Februari pada tahun itu, dan mereka menyewa sebuah rumah yang cukup besar. Di situ, ada beberapa kamar dan ruangan yang cukup besar. Adapun ruangan besar itu digunakannya untuk menyimpan bukunya dan tempat bekerjanya.[44]
Sewaktu di Banda Neira, ia bercocok tanam dan menulis di koran "Sin Tit Po" (dipimpin Liem Koen Hian; bulanan ini berhenti pada 1938) dengan honorarium f 75 dalam Bahasa Belanda. Kemudian, ia menulis di Nationale Commantaren (Komentar Nasional; dipimpin Sam Ratulangi) dan juga, ia menulis di koran Pemandangan dengan honorarium f 50 sebulan per satu/dua tulisan.[45] Hatta juga pernah menerima tawaran Kiai Haji Mas Mansur untuk ke Makassar, dia menolak dengan alasan kalaupun dirinya ke Makassar dia masih berstatus tahanan juga.[46] Waktu itu, sudah ada Cipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri. Mereka semua sudah saling mengenal.
Selain itu, di Banda Neira, Hatta juga mengajar kepada beberapa orang pemuda. Anak dr. Cipto belajar tata-buku dan sejarah. Ada juga anak asli daerah Banda Neira yang belajar kepada Hatta. Ada seorang kenalan Hatta dari Sumatera Barat yang mengirimkan dua orang kemenakannya untuk belajar ekonomi dan juga sejarah.[47] Selain itu, dari Bukittinggi dikirim Anwar Sutan Saidi sebanyak empat orang pemuda yang belajar kepada Hatta.[48]
Pada tahun 1941, Mohammad Hatta menulis artikel di koran Pemandangan yang isinya supaya rakyat Indonesia jangan memihak kepada baik ke pihak Barat ataupun fasisme Jepang. Kelak, pada zaman Jepang tulisan Hatta dijadikan bahan oleh penguasa Jepang untuk tidak percaya Hatta selama Perang Pasifik.[49] Yang mana, kelak tulisan Hatta dibaca Murase, seorang Wakil Kepala Kempeitai (dinas intelijen) dan menyarankan Hatta agar mengikuti Nippon Seishin di Tokyo[50] pada November 1943.[51]
1942–1945: Penjajahan Jepang
Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Hal ini memicu Perang Pasifik, dan setelah Pearl Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Dalam keadaan genting tersebut, Pemerintah Belanda memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena khawatir kerja sama dengan Jepang. Hatta dan Sjahrir dipindahkan pada Februari 1942,[52] ke Sukabumi setelah menginap sehari di Surabaya dan naik kereta api ke Jakarta. Bersama kedua orang ini, turut pula 3 orang anak-anak dari Banda yang dijadikan anak angkat oleh Sjahrir.[53]
Setelah itu, ia dibawa kembali ke Jakarta. Ia bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke Indonesia. Harada menawarkan kerjasama dengan Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan penting. Hatta menolak, dan memilih menjadi penasihat.[54] Ia dijadikan penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan Timur dan rumah di Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro). Orang terkenal pada masa sebelum perang, baik orang pergerakan, atau mereka yang bekerja sama dengan Belanda, diikutsertakan seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno Mangunkususmo, Sunarjo Kolopaking, Supomo, dan Sumargo Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat tenaga-tenaga baru. Pekerjaan di sini, merupakan tempat saran oleh pihak Jepang.[55] Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasihat yang menguntungkan mereka, malah Hatta memanfaatkan itu untuk membela kepentingan rakyat.[56]
1945: Mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia
Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia. Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi. Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari dimana Bung Karno bersama Bung Hatta diculik kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang pimpinan PETA, Djiaw Kie Siong, di sebuah kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat).[58]
Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka menemui somabuco (kepala pemerintahan umum) Mayjen Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepahaman sehingga tidak adanya kesepahaman itu meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan itu tanpa kaitan lagi dengan Jepang.[59]
1945–1956: Menjadi Wakil Presiden pertama Indonesia
Pada 17 Agustus 1945, hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia dia bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pukul 10.00 WIB. Keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945, dia resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI yang pertama mendampingi Presiden Soekarno.[60]
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan dengan nada sangat marah, menyelamatkan Republik dengan mempertahankan naskah Linggarjati di Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari – 6 Maret 1947 dan hasilnya Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sehingga anggota KNIP menjadi agak lunak pada 6 Maret 1947.[61]
Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, Hatta dapat meloloskan diri dari kepungan Belanda dan pada saat itu dia masih berada di Pematangsiantar. Dia dengan selamat bersama dengan Gubernur Sumatra Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi. Sebelumnya pada 12 Juli 1947 Bung Hatta mengadakan Kongres Koperasi I di Tasikmalaya yang menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi di Indonesia. Kemudian dalam Kongres Koperasi II di Bandung tanggal 12 Juli 1953, Bung Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia.[62]
Kemudian, Bung Hatta dengan kewibawaannya sebagai Wakil Presiden hendak memperjuangkan sampai berhasil Perjanjian Renville dengan berakibat jatuhnya Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada era Kabinet Hatta yang dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta menjadi Perdana Menteri dan merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan.[63]
Suasana panas waktu timbul Pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September 1948, memuncak pada penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung Hatta bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. Pada tahun yang sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka. Beberapa waktu setelah pengasingan karena mengalami adanya sebuah perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, di mana Critchley datang mewakili Australia dan Cochran mewakili Amerika.[64]
Pada Juli 1949, terjadi kemenangan Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia. Tahun ini, terjadilah sebuah perundingan penting, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag sesudah berunding selama 3 bulan, pada 27 Desember 1949 kedaulatan NKRI kita miliki untuk selamanya. Ratu Juliana memberi tanda pengakuan Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat kecuali Irian Barat yang akan dirundingkan lagi dalam waktu setahun setelah Pengakuan Kedaulatan kepada Bung Hatta yang bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.[63][65]
Di Amsterdam dari Ratu Juliana kepada Drs. Mohammad Hatta dan di Jakarta dari Dr. Lovink yang mewakili Belanda kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sehingga pada akhirnya negara Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Bung Hatta terpilih menjadi Perdana Menteri RIS juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri RIS dan berkedudukan di Jakarta dan Bung Karno menjadi Presiden RIS. Ternyata RIS tidak berlangsung lama, dan pada 17 Agustus 1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ibu kota Jakarta dan Perdana Menteri Mohammad Natsir.[66] Bung Hatta menjadi Wakil Presiden RI lagi dan berdinas di Jalan Medan Merdeka Selatan 13 Jakarta.
Pada tahun 1955, Mohammad Hatta membuat pernyataan bahwa bila parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri sebagai wakil presiden.[67] Menurutnya, dalam negara yang mempunyai kabinet parlementer, Kepala Negara adalah sekadar simbol saja, sehingga Wakil Presiden tidak diperlukan lagi.
Pada tanggal 20 Juli 1956, Mohammad Hatta menulis sepucuk surat kepada Ketua DPR pada saat itu, Sartono yang isinya antara lain, "Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi."[68]
DPR menolak secara halus permintaan Mohammad Hatta tersebut, dengan cara mendiamkan surat tersebut. Kemudian, pada tanggal 23 November 1956, Bung Hatta menulis surat susulan yang isinya sama, bahwa tanggal 1 Desember 1956, dia akan berhenti sebagai Wakil Presiden RI. Akhirnya, pada sidang DPR pada 30 November 1956, DPR akhirnya menyetujui permintaan Mohammad Hatta untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden, jabatan yang telah dipegangnya selama 11 tahun.[69]
Di akhir tahun 1956 juga, Hatta tidak sejalan lagi dengan Bung Karno karena dia tidak ingin memasukkan unsur komunis dalam kabinet pada waktu itu. Sebelum ia mundur, dia mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sebenarnya gelar Doctor Honoris Causa ingin diberikan pada tahun 1951. Namun, gelar tersebut baru diberikan pada 27 November 1956.[70] Demikian pula Universitas Indonesia pada tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tetapi Bung Hatta belum bersedia menerimanya. Kata dia, “Nanti saja kalau saya telah berusia 60 tahun.”.
1956–1980: Setelah Pensiun
Setelah mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956 (yang kemudian disahkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 13 Tahun 1957 tentang Pemberhentian Dr. Mohammad Hatta dari Jabatan Sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia tertanggal 5 Februari 1957), dia dan keluarga berpindah rumah dari Jalan Medan Merdeka Selatan 13 ke Jalan Diponegoro 57.[71] Bung Hatta tak pernah menyesal atas keputusan yang telah ia buat. Kegiatan sehari-hari Bung Hatta setelah pensiun adalah menambah dari penghasilan menulis buku dan mengajar. Meskipun sudah tak menjabat lagi sebagai Wakil Presiden, pada tahun 1957 dia berangkat ke Cina karena mendapat undangan dari Pemerintah RRC. Rakyat sana masih menganggap dia sebagai “a great son of his country”, terbukti dari penyambutan yang seharusnya diberikan kepada seorang kepala negara di mana PM Zhou Enlai sendiri menyambut dia yang bukan lagi sebagai wakil presiden.
Tahun 1963 Bung Hatta pertama kali mengalami jatuh sakit dan mendapatkan perawatan di Stockholm, Swedia atas perintah Soekarno, dengan biaya negara, karena perlengkapan medis di sana lebih lengkap.[72]
Pada 31 Januari 1970, melalui Keppres No. 12/1970 telah dibentuk Komisi Empat yang bertugas mengusut masalah korupsi. Untuk keperluan itu Dr. Moh. Hatta (mantan Wakil Presiden RI) telah diangkat menjadi Penasehat Presiden dalam masalah pemberantasan Korupsi. Komisi Empat ini diketuai oleh Wilopo, SH, dengan anggota-anggota: IJ Kasimo, Prof. Dr. Yohanes, H. Anwar Tjokroaminoto, dengan sekretaris Kepala Bakin/Sekretaris Kopkamtib, Mayjen. Sutopo Juwono. Dr. Moh. Hatta juga ditunjuk sebagai Penasehat Komisi Empat tersebut. Tetapi secara kontroversial, Presiden Suharto membubarkan komisi tersebut dan hanya memberikan izin untuk mengusut tuntas 2 kasus korupsi saja.[73]
Hatta dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Anggota Dewan Penasehat Presiden. Pada 15 Agustus 1972, Bung Hatta mendapat anugerah Bintang Republik Indonesia Kelas I dari Pemerintah Republik Indonesia.[74] Kemudian, pada tahun yang sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengangkat dia sebagai warga utama Ibukota Jakarta dengan segala fasilitasnya, seperti perbaikan besarnya pensiun dan penetapan rumah dia menjadi salah satu gedung yang bersejarah di Jakarta.
Kemudian, pada tahun 1975, Bung Hatta menjadi anggota Panitia Lima bersama Prof Mr. Soebardjo, Prof Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof Mr. Pringgodigdo untuk memberi pengertian mengenai Pancasila sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir dan batin para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. Ternyata, Bung Hatta resmi menjadi Ketua Panitia Lima.[75] Tak hanya itu, Bung Hatta kembali mendapatkan gelar doctor honouris causa sebagai tokoh proklamator dari Universitas Indonesia yang seharusnya diberikan pada tahun 1951. Pemberian gelar tersebut dilakukan di Jakarta pada 30 Juli 1975 dan diberikan secara langsung oleh Rektor Mahar Mardjono.[76]
Pada Tahun 1978 bersama dengan Jenderal Abdul Haris Nasution, Bung Hatta mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi yang bertujuan mengkritik penggunaan Pancasila dan UUD 1945 untuk kepentingan rezim otoriter Suharto.[77]
Dan pada tahun 1979, di mana tahun tersebut merupakan tahun ke-5 Bung Hatta masuk ke rumah sakit.[78] Kesehatan Bung Hatta semakin menurun. Walaupun begitu, semangatnya tetap saja tinggi. Ia masih mengikuti perkembangan politik dunia.
Kematian
Hatta meninggal dunia pada tanggal 14 Maret 1980 pada pukul 18.56 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari ia dirawat di sana.[79] Selama hidupnya, Bung Hatta telah dirawat di rumah sakit sebanyak 6 kali pada tahun 1963, 1967, 1971, 1976, 1979, dan terakhir pada 3 Maret 1980. Keesokan harinya, dia disemayamkan di kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin secara langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu, Adam Malik.
^Nama aslinya adalah "Liga tegen Imperialisme, tegen Koloniale Onderdrukking en voor Nationale Onafhankelijkheid" (Noer 2012, hlm. 21).
^Menurut Soejitno Hardjosoediro (1984), Hatta pernah melakukan wawancara dengan Sin Tit Po dan Oetoesan Indonesia, Mohammad Hatta menolak masuk karena harus mengerahkan tenaganya terhadap perjuangan di Indonesia. Sebelumnya, ia berpendapat hanya menyerahkan masalah ini pada PNI. (Hardjosoediro 1984, hlm. 52).
^Sementara Amrin Imran menulis Hatta pindah ke Banda Neira pada 1937, Deliar Noer malah menulis pada tahun 1936 (Noer 2012, hlm. 52).
Weismann, Itzchak (2009). The Naqshbandiyya: Orthodoxy and Activism in a Worldwide Sufi Tradition. Abingdon: Routledge. ISBN978-0-415-48992-8.
Bacaan lanjutan
Hatta, Mohammad, Mohammad Hatta Memoir, Tinta Mas Jakarta, 1979
Deliar Noer. 1990. Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.
Greta O. Wilson (ed.). 1978. Regents, reformers, and revolutionaries: Indonesian Voices of Colonial Days. Asian Studies at Hawaii, no 21. The University Press of Hawaii.
George McTurnan Kahin. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1975. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada
Swasono, Meutia Farida. 1981. Bung Hatta Pribadinya Dalam Kenangan. Jakarta: Sinar Harapan
Team Dokumentasi Presiden RI. 2003. Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968 – 23 Maret 1973. Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda
Tim Penyusun. 1981. Bung Hatta. Jakarta: (unknown)