Linto Baro adalah salah satu pakaian tradisional Orang Aceh yang dikenakan oleh pria dewasa. Pakaian ini biasanya digunakan dalam beberapa upacara adat Aceh. Dalam pernikahan Adat Aceh, Linto Baru dikenakan oleh pengantin pria. Sedangkan pada pengantin wanita, memakai Dara Baro.[3]
Tidak hanya upacara adat, Linto Baro juga dipakai dalam acara-acara pemerintahan. Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo, pernah mengenakannya (beserta simbol-simbol Kepresidenan) ketika memimpin upacara memperingati detik-detik Proklamasi RI (Upacara Kemerdekaan RI ke-73) di Istana Negara Jakarta, pada tanggal 17 Agustus 2018.[4]Budaya Islam terlihat jelas mempengaruhi desain Linto Baro. Diperkirakan pakaian tersebut dikenal sejak zaman Kerajaan Perlak dan Samudra Pasai.[3]
Elemen
Linto Baro terdiri dari beberapa bagian: Penutup kepala, Baju Meukesah, dan Celana Sileuweu, serta tidak lupa diselipkan di pinggang senjata khas tradisional Aceh, Siwah atau Rencong[4]
Penutup Kepala
Pemakai Linto Baro menutup kepalanya dengan Kupiah Meukeutop, semacam topinya (seperti peci) orang Aceh. Meukeuteup terbuat dari sulaman kain katun berwarna kuning, hijau, merah dan hitam.[5] Hijau menggambarkan kedamaian (warna keislam-an), kuning melambangkan kerajaan, kebangsawanan dan keagungan. Kemudian ada warna merahnya, hal ini bermakna keberanian dan kepahlawanan. Sedangkan hitam bagi Orang Aceh melambangkan kerakyatan.
Pada bagian paling atas Meukeuteup ada perhiasan berbahan emas atau perak sepuh emas yang disebut sebagai Tampoek. Kadang-kadang diselingkan dengan permata berukuran kecil. Sisi depan Meukeuteup dibalut selembar kain tenunan tradisional bersulam emas atau perak yang disebut Ija Teungkulok, di mana salah satu ujung kainnya dibuat mencuat ke atas. Di samping kanan kopiah digantungkan sebuah hiasan berbahan emas atau perak sepuh emas. Orang Aceh menyebut perhiasan ini Ayeum Gumbak.
Baju
Dinamakan Baju Meukeusah yang terbuat dari tenunan kain sutra yang biasanya berwarna dasar hitam. Bagi orang Aceh warna hitam melambangkan kebesaran, makanya baju ini juga dianggap sebagai baju kebesaran dalam adat orang Aceh. Pada baju tersebut terdapat kerah dari sulaman benang emas. Bentuk kerah diduga merupakan hasil asimilasi budaya Aceh dengan budaya Tiongkok yang dibawa para pelaut dan pedagang di masa silam.[4]
Celana
Disebut juga dengan Celana Sileuweu atau Celana Cekak Musang. Seperti juga baju, celana ini berwarna hitam yang terbuat dari kain katun. Celana panjang ini merupakan khas Adat Melayu.Sebagai penambah kewibawaan, celana cekak musang dilengkapi lilitan sarung dari kain songket berbahan sutra. Kain sarung yang bernama Ija Lamugap, Ija Krong, atau Ija Sangket tersebut diikatkan ke pinggang dengan panjang 10 cm di atas lutut.
Senjata Tradisional
Pakaian adat Aceh biasanya dilengkapi juga dengan senjata tradisional khasnya, bisa Rencong atau Siwah. Siwah (atau disebut juga Siwaih[6]) lebih besar dan lebih panjang ketimbang Rencong.[7] Selain itu, gagang rencong melengkung, sementara gagang Siwah berbentuk bulat dan ujungnya besar dan rata.[8] Tidak hanya itu, tampilan dan bahan pembuat Siwah lebih mewah ketimbang Rencong. Pada gagang Siwah selalu ada permatanya, sehingga penampakan Siwah terlihat lebih gemerlap ketimbang Rencong.[5][8] Senjata tajam ini biasanya juga menjadi pelengkap pakaian para Ulee Balang, dan para bangsawan.[7]
Dalam hal prosesi kegiatan kebesaran, senjata tusuk yang disandingkan dengan pakaian Linto Baro sebaiknya adalah Siwah. Hal ini karena Rencong dimaknai sebagai senjata kepahlawanan. Beda degan Siwah yang dianggap senjata kebesaran bagi Orang Aceh.[9] Fungsi Siwah lebih utamanya sebagai perhiasan dan sebagai senjata.[6]
Dahulu, selain digunakan sebagai alat bela diri, Siwah juga dipakai sebagai senjata perang melawan penjajah Belanda.[7] Kini Siwah berubah maknanya menjadi benda yang melambangkan kebesaran, kebanggaan dan persahabatan bagi Orang Aceh. Mata Siwah terbuat dari besi putih atau besi bekas pedang kuno. Gagangnya terbuat dari kayu pilihan, emas atau perak yang dihiasi dengan motif pucuk rebung atau ukiran tradisional Aceh lainnya. Pada tangkup gagangnya ditangkupkan lempengan emas atau perak yang disematkan batu permata. Sarungnya terbuat dari gading atau perak (bisa juga emas[6]) yang diukir dengan motif tumbuh-tumbuhan menjalar.[5]
^ abSulaiman, Nasruddin; Sufi, Rusdi; Djohan, Azhar; Wahab, Salim; Hasan, Dahlan (1993). Pakaian Adat Tradisional Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya.
^Jamaluddin; Jumadiah; Rasyid, Laila; Herinawati; Amalia, Nanda (2016). Adat dan Hukum Adat Nagan Raya. Nagan Raya: Unimal Press. ISBN9786021373774.