Pada tanggal 31 Mei 1965, Presiden Soekarno menyerukan pembentukan "angkatan kelima", di samping tiga angkatan bersenjata yang ada (Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara) dan polisi, yang terdiri dari buruh dan tani. Hal ini menarik tentangan keras dari Komandan Angkatan Darat Ahmad Yani,[1] tetapi segera pelatihan dimulai di daerah rawa dekat Halim yang disebut Lubang Buaya. Itu di bawah kendali Mayor Sujono, komandan pertahanan darat pangkalan Halim.[2] Di antara para peserta adalah anggota kelompok pemuda yang berafiliasi dengan PKI, Pemuda Rakyat.[3]
Pada awal 1 Oktober 1965, para anggota Gerakan 30 September meninggalkan markas mereka di Lubang Buaya dengan misi menculik tujuh jenderal, semuanya anggota Staf Umum Angkatan Darat.[3] Malamnya, mereka kembali membawa mayat tiga jenderal yang terbunuh dalam upaya penculikan serta empat tahanan yang masih hidup. Para penyintas kemudian dibunuh, dan ketujuh mayat itu dibuang ke dalam sumur bekas.
Pada tanggal 4 Oktober, mayat-mayat itu ditemukan menggunakan peralatan khusus. Soeharto secara pribadi mengawasi operasi tersebut.[4]
Selama rezim Orde Baru, upacara yang dihadiri oleh presiden dan pejabat senior diadakan setiap tahun pada tanggal 1 Oktober.[3]
Monumen dan museum
Rezim Orde Baru membangun sebuah monumen besar, yang dibuka pada tahun 1969, yang disebut "Monumen Suci Pancasila". Ini terdiri dari patung perunggu seukuran : (dari kiri ke kanan)
Di belakang mereka adalah bangunan setinggi 17m dengan Garuda perunggu besar, lambang bangsa Indonesia,.[5] Bagian depan mimbar ditutupi dengan dekorasi perunggu yang menceritakan versi resmi pemerintah tentang tindakan Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak kemerdekaan Indonesia[3]
Di dekatnya ada "Museum Pengkhianatan PKI", yang dibangun pada tahun 1990.[3] Di dalamnya terdapat 34 diorama yang menggambarkan tindakan yang diduga dilakukan oleh PKI.[3] Ada juga "Museum Suci Pancasila" yang dibuka oleh Presiden Soeharto pada tanggal 1 Oktober 1981 yang berisi 9 diorama lain dari peristiwa sebelum dan sesudah upaya kudeta, peninggalan seperti aqualung yang digunakan selama pengambilan mayat dari sumur, teater dan pameran foto.
Sumur tempat mayat-mayat dilemparkan sekarang dilindungi oleh sebuah paviliun. Sebuah plakat kecil bertuliskan:
“Tidak mungkin cita-cita perjuangan kita menegakkan kemurnian Pancasila dikalahkan hanya dengan mengubur kita di sumur ini.
Ada sejumlah bangunan lain di sekitarnya, termasuk salah satu di mana para jenderal yang diculik diduga dianiaya (berisi diorama penyiksaan seukuran manusia), pos komando gerakan dan sebuah kantin.
Terakhir, ada empat kendaraan: mobil dinas Yani, jip yang digunakan Suharto saat itu, truk yang digunakan para penculik, dan mobil lapis baja Saracen yang digunakan untuk mengangkut mayat-mayat itu setelah ditemukan.[5]
Buku Panduan Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya Jakarta (Buku Panduan Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya Jakarta (tidak diterbitkan, tidak bertanggal)
Drakeley, S. M. (2000) Lubang Buaya: mitos, kebencian terhadap wanita dan pembantaian Clayton, Vic. : Monash Asia Institute: Kertas kerja tentang Asia Tenggara / Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Monash, 0314-6804 ; tidak. 108 ISBN0-7326-1189-X
Hughes, John (2002), The End of Sukarno – A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild, Archipelago Press, ISBN981-4068-65-9
Lev, Daniel S.Indonesia 1965: Tahun Kudeta Survei Asia, Vol. 6, No. 2 (Feb. 1966), hlm. 103–110
Roosa, John (2007) Dalih untuk Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September & Kudeta Soeharto di Indonesia, University of Wisconsin Press. ISBN978-0-299-22034-1
Sekretariat Negara Republik Indonesia (1975) 30 Tahun Indonesia Merdeka: Jilid 3 (1965–1973) (30 Tahun Kemerdekaan Indonesia: Jilid 3 (1965–1973)
Sundhaussen, Ulf (1982) Jalan Menuju Kekuasaan: Politik Militer Indonesia 1945–1967, Oxford University Press. ISBN0-19-582521-7