Patipasaung Sultan Abdullah adalah Pajung/Datu Luwu ke XVI yang memerintah pada tahun 1615-1637 M. Patipasaung merupakan anak kedua dari Andi Pattiware’, Datu Luwu pertama yang memeluk agama Islam. Ia memindahkan ibukota Kedatuan Luwu dari Malangke ke Ware' atau yang kita kenal sekarang dengan Palopo.
Kehidupan
Patipasaung diperkirakan lahir pada tahun 1583/1593/1595 M. Hal ini merujuk bahwa ketika Islam masuk di Kedatuan Luwu, Patipasaung baru berumur 10 tahun[1]. Ia adalah anak laki-laki kedua dari La Pattiware’ setelah Patiaraja. Ibunda Patipasaung ialah Karaeng-E ri Balla Bugisi, kakak kandung Sultan Alauddin, raja Gowa.
Patipasaung beristri dua kali[2]. Dari pernikahannya dengan Petta Matinro-E ri Judda, Ia memiliki dua anak yaitu:
- Petta Matinro-E ri Gowa
- Petta Matinro-E ri Bima
Adapun pada pernikahannya yang kedua dengan Datu Wittuweng, Patipasaung memiliki lima anak yaitu:
- Opu Peso
- Opu Totimo
- Opu Laja
- Opu Ngile
- Opu Daeng Makkulle
Naik Takhta
La Pattiware’ mengusulkan Patipasaung sebagai Datu Luwu setelahnya kepada Dewan Adat Kedatuan sebelum meninggal. Ia merasa bahwa Patipasaung pantas menjadi Datu sebab kelakuannya yang baik, taat beragama dan memiliki jiwa kepemimpinan. Hal ini bertentangan dengan adat Luwu, dimana seharusnya anak pertama yang menjadi raja berikutnya. Namun, ternyata Dewan Adat sepakat dengan La Pattiware’ sebab Patiaraja, anak pertama La Pattiware’ terkenal kurang patuh dalam beragama, suka tertawa terbahak-bahak, dan suka menyabung ayam.[2]
Konflik
Patiaraja menolak keputusan Dewan Adat Kedatuan. Namun, alasan yang ia kemukakan ditolak oleh dewan adat. Ia pun meninggalkan istana menuju ke Kamanre. Di sana ia mengumumkan bahwa dialah Datu Luwu sesungguhnya. Keputusan dewan adat dan ayahnya dinilai subjektif dan tidak sesuai dengan adat. Patiaraja berhasil mendapatkan dukungan dari wilayah selatan Kedatuan Luwu yaitu daerah Ponrang, Bajo, Bastem, Suli, Larompong dan Pitumpanua.
Kedatuan Luwu pun terpecah dua. Di bagian utara Luwu yaitu sekitar ibukota kedatuan di Malangke, Baebunta, Malili hingga Sorowako, adalah wilayah kedatuan yang mendukung Patipasaung. Pertikaian antara dua saudara ini akhirnya meluas ke rakyat hingga menelan korban. Peperangan saudara ini berlangsung kurang lebih 4 tahun.
Anak Tellu-E (salah satu perangkat adat dalam dewan adat) yang terdiri dari Maddika Bua, Maddika Ponrang, dan Makole Baebunta tidak terpengaruh pada pertikaian tersebut. Maddika Ponrang dan Makole Baebunta berusaha netral dalam pertikaian ini walaupun daerah mereka menjadi basecamp dari masing-masing pihak yang bertikai. Maddika Bua yang resah akhirnya berdiskusi dengan anggota Anak Tellu-E yang lain. Setelah diskusi tersebut, Maddika Bua saat itu yang bernama Daeng Siba pun setuju menjadi mediator karena wilayahnya cenderung netral dan ia juga merupakan paman dari kedua saudara tersebut. Pertemuan kedua saudara ini direncanakan akan terjadi saat pesta panen padi di Bua. Maddika Bua bertindak sebagai pengundang acara. Dua saudara yang bertikai ini tentu tidak menyia-nyiakan undangan yang dinilai dapat melebarkan sayap kekuasaan mereka.
Anak Tellu-E sepakat mempertemukan keduanya dalam satu baruga yang memiliki dua tangga. Tangga yang satu menghadap barat sedangkan yang lain menghadap timur. Penyambutan kedua saudara di baruga ini dibuat semeriah dan seramai mungkin sehingga mereka tidak menyadari bahwa saudaranya yang lain juga diundang. Di tengah baruga diberikan kain sutra sebagai tabir.
Saat kedua saudara ini tiba di tengah baruga, tabir disingkap dan kedua saudara ini pun bertemu. Maddika Bua memberi keris yang telah disediakan kepada Patiaraja dan Patipasaung yang sudah berhadap-hadapan dan memerintahkan mereka untuk bertarung (sigajang). Kedua saudara ini pun tersadar dan menitikkan air mata. Rasa persaudaraan mereka lebih besar dari jabatan yang diperebutkan. Mereka pun saling berpelukan.
Patipasaung lalu mempersilahkan kakaknya untuk menjadi Datu Luwu. Namun, Patiaraja menolak dan menyuruh adiknya tetap menjadi datu meneruskan amanat ayahnya dan dewan adat. Patiaraja lalu pamit menuju ke Kerajaan Gowa, bertemu keluarga ibunya. Akhirnya Patipasaung pun tetap menjadi Datu Luwu.[3]
Masa Pemerintahan
Konflik antara Patipasaung dengan Patiaraja berlangsung sejak tahun 1615 M hingga 1619 M. Setelah konflik berakhir, Patipasaung menata kembali struktur sosial budaya masyarakat Luwu berlandaskan nilai-nilai Islam. Ia menambahkan Kadhi sebagai anggota baru dalam Dewan Adat. Ia juga mempertegas posisi Anak Tellu-E dengan menyebut mereka sebagai pilar Tana Luwu.
Patipasaung memindahkan ibukota kedatuan dari Malangke menuju Palopo. Disana ia mendirikan masjid, istana, dan pasar. Masjid itu kelak dikenal sebagai Masjid Jami' Tua Palopo. Wilayah sekitar Masjid Jami' Tua Palopo ini sering disebut oleh masyarakat Luwu sebagai Posi'na Tana-E (Pusat Dunia). Kini, kawasan Masjid Jami' Tua dan Istana Kedatuan Luwu menjadi alun-alun kota Palopo. Pemindahan ibukota dan pembangunan yang berada di Palopo diperkirakan dimulai pada tahun 1620 M.
Referensi
- ^ Mathar, Taufiq; Haruddin, Haruddin (2021-03-29). "Peran Repositori UIN Alauddin Makassar". Literatify : Trends in Library Developments. 2 (1): 46–55. doi:10.24252/literatify.v2i1.23214. ISSN 2723-0953.
- ^ a b Anwar, Idwar (2005). Ensiklopedi sejarah Luwu. Komunitas Kampung Sawerigading (edisi ke-Cet. 1). [Palopo]: Kerjasama Komunitas Kampung Sawerigading, Pemerintah Kota Palopo, Pemerintah Kabupaten Luwu, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara [dengan] Pemerintah Kabupaten Luwu Timur. ISBN 979-98372-1-9. OCLC 60715419.
- ^ Mallondjo, Siodja Daeng (2004). Kedatuan Luwu : catatan tentang Sawerigading sistem pemerintahan dan masuknya Islam. Idwar Anwar, Komunitas Sawerigading, Palopo. Pemerintah Kota. Palopo: Pustaka Sawerigading. ISBN 979-98372-0-0. OCLC 778248581.