Pekerja sosial adalah seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai praktik pekerjaan sosial serta telah mendapatkan sertifikat kompetensi (Undang-undang No. 14 Tahun 2019). Menurut International Federation of Social Workers (IFSW), Pekerjaan sosial adalah profesi berbasis praktik dan disiplin akademis yang mempromosikan perubahan dan pengembangan sosial, kohesi sosial, dan pemberdayaan dan pembebasan orang. Prinsip-prinsip keadilan sosial, hak asasi manusia, tanggung jawab kolektif, dan penghormatan terhadap perbedaan merupakan hal yang sentral dalam pekerjaan sosial. Didukung oleh teori-teori pekerjaan sosial, ilmu sosial, humaniora dan pengetahuan asli, pekerjaan sosial melibatkan orang-orang dan struktur untuk mengatasi tantangan kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan.
Definisi lainnya ialah bidang keahlian yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan berbagai upaya guna meningkatkan kemampuan orang dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya melalui interaksi; agar orang dapat menyesuaikan diri dengan situasi kehidupannya secara memuaskan.[1] Kelebihan pekerja sosial adalah pemahaman dan keterampilan dalam memanipulasi perilaku manusia sebagai makhluk sosial. Pekerja sosial juga tidak hanya mengatasi masalah di masyarakat dengan singkat, akan tetapi mengembalikan fungsi sosial dari masyarakat itu sendiri .[1] Profesi pekerjaan sosial di Indonesia mulai berkembang pada tahun 1945, setelah kemerdekaan dan dimulai dengan kursus/ pelatihan dalam bidang pekerjaan/ kesejahteraan sosial. Kemudian mulai bermunculan perguruan tinggi penyelenggara pendidikan kesejahteraan sosial/ pekerjaan sosial seperti Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, STISIP Widuri, UMJ, Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, dan lain-lain.
Pekerja sosial dipandang sebagai sebuah bidang keahlian (profesi), yang berarti memiliki landasan keilmuan dan seni dalam praktik (dicirikan dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi),[1] sehingga muncul juga definisi pekerja sosial sebagai profesi yang memiliki peranan paling penting dalam domain pembangunan kesejahteraan sosial.[2] Sebagai suatu profesi kemanusiaan, pekerjaan sosial memiliki paradigma yang memandang bahwa usaha kesejahteraan sosial merupakan institusi strategis bagi keberhasilan pembangunan.[2] Seluruh lulusan Ilmu Kesejahteraan Sosial atau Pekerjaan Sosial ketika lulus dapat bekerja pada berbagai bidang. Para Pekerja Sosial kemudian melakukan registrasi dibawah payung Organisasi Profesi Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI). IPSPI merupakan organisasi resmi yang diakui oleh dunia internasional dan terdaftar sebagai anggota IFSW. Di Indonesia terdapat 32 Perguruan tinggi penyelenggara pendidikan Kesejahteraan Sosial/ Pekerjaan Sosial. Seluruh Perguruan tinggi tersebut tergabung dalam Asosiasi Pendidikan Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial Indonesia (ASPEKSI).
Pada perkembangannya, pilar-pilar pekerjaan sosial kemudian memperkuat dirinya pada tahun 2011 dengan membentuk Konsorsium Pekerjaan Sosial Indonesia (KPSI). Anggota pilar terdiri dari IPSPI, KEMENSOS, ASPEKSI, DNIKS, IPENSI, LSPS, BALKS, IPSM, Ikatan Relawan Indonesia, FORKOMKASI, JRPI, Social Work Sketch, APSAKI, APSANI, Ikatan Pekerja Mandiri.
Epistemologi
Epistemologi
Pekerjaan Sosial memiliki akar epistemologi yang kuat dari Ilmu Kesejahteraan sosial, dimana praktik pekerjaan sosial adalah bentuk aksiologi dari Epistemologi Ilmu Kesejahteraan sosial sebagai sebuah bangunan keilmuan[3].Dengan demikian landasan epistemologi pekerjaan sosial adalah Ilmu Sesejahteraan Sosial yang keduanya merupakan satu kesatuan eksistensial dimana antara praktik pekerjaan sosial dan Ilmu Kesejahteraan sosial sejatinya tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu tubuh yang saling menjelaskan.[3]
Konteks perkembangan
Ada dua konteks berbeda akan perkembangan pekerja sosial, karakteristiknya, dan model-modelnya.[4] Model pertama didasarkan pada pengaruh asli negara-negara maju di Dunia Pertama, yang secara umum diwakili oleh dua negara industrialis, yaitu Inggris dan Amerika Serikat.[4] Model kedua dibentuk oleh pengalaman banyak negara berkembang di Dunia Ketiga di beberapa wilayah benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin.[4] Menurut Ragab (1990) Perkembangan pekerja Sosial di Dunia Ketiga mengambil sebuah jalan yang sepenuhnya berbeda,[4] di mana ketimbang memberikan respon-respon menjadi diri sendiri terhadap berbagai kebutuhan lokal, mereka telah menjadi produk-produk final yang ditranspalasikan dari Negara-negara maju.[4]
Sejarah
Konteks kelahiran dan perkembangannya
Di Inggris dan Amerika Serikat, pekerja sosial muncul karena menanggapi banyak dampak negatif yang disebabkan oleh keseluruhan proses industrialisasi ekonomi dan urbanisasi seperti kemiskinan dan penciptaan kelas-kelas pekerja.[4]
Sejarah awal pekerja sosial pada kedua negara industrialisasi tersebut sebenarnya adalah sebuah sejarah tentang berbagai aktivitas kedermawanan (charity) atau filantropis demi menolong rakyat miskin atau juga dikenal dengan istilah penanganan kemiskinan(Hick 2003).[4] Aktivitas-aktivitas filantropis itu secara resmi diturunkan dari undang-undang terkenal mengenai kemiskinan: yaitu Undang-Undang kemiskinan Elizabeth yang keluar pada abad ke-17 (Barkerm1995).[4] Gerakan dari aktivitas kedermawanan ke arah sebuah profesi modern disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa jenis bantuan yang ada bagi rakyat miskin memunculkan kesulitan-kesulitan besar.[4] Sebagian besar hambatan tersebut adalah keterbatasan sumber daya, kurang koordinasi, pelaksanaan yang diskriminatif, ketidakperdulian, kurangnya transparansi, dan ketidakmampuan untuk memberikan pelayanan secara memadai (Midgley,1981).[4]
Awalnya, ada dua reaksi spesifik terhadap bentuk baru dalam meregulasi kaum miskin sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Kemiskinan itu.[4] Yang pertama adalah the Charity Organization Society (COS), dan kedua Fabian Society, yang ditransformasikan langsung kepada sebuah pendekatan the Settlement House Movement, adalah asal-muasal profesi pekerja sosial, dan secara nyata adalah produk-produk industrialisasi dan urbanisasi (Jhon 1995).[4]
Proses pekerjaan sosial
Setiap ahli memiliki pandangan yang beragam mengenai proses pekerjaan sosial.[1] Latar belakang budaya, bidang garapan dan objek pekerjaan sosial yang berbeda di antara para ahli tersebut sehingga menghasilkan proses pekerjaan sosial yang berbeda.[1]
Menurut Dean H. Hepworth & Jo Ann Larsen:[1]
Membangun hubungan: masuk, klarifikasi, struktur, hubungan[1]
Memfasilitasi dengan tindakan positif: eksplorasi, konsolidasi, perencanaan, pelepasan[1]
Nilai-nilai dasar
Nilai-nilai dasar pekerjaan sosial berdasarkan pada nilai-nilai masyarakat demokratis, yang seperti dikemukakan oleh Helen Northen, mengandung makna bahwa:
Setiap orangbebas untuk mengungkapkan dirinya sendiri.[1]
Setiap orang bebas untuk menjaga kerahasiaan dirinya.[1]
Setiap orang bebas berpartisipasi di dalam pembuatan keputusan yang menyangkut kepentingan pribadinya.[1]
Setiap orang berkewajiban untuk mengarahkan kehidupan pribadinya secara bertanggung jawab agar dapat bertindak secara konstruktif dalam kehidupan masyarakat.[1]
Setiap individu dan kelompok punya tanggung jawab sosial untuk meningkatkan kehidupan masyarakat.[1]
Prinsip-prinsip praktik
Penerimaan merupakan prinsip Pekerja Sosial yang fundamental, yaitu dengan menunjukkan sikap toleran terhadap keseluruhan dimensi klien (plant,1970).[1]
Tidak memberikan penilaian, hal ini berarti Pekerja Sosial menerima klien dengan apa adanya disertai prasangka atau penilaian.[1]
Individualisasi berarti memandang dan mengapresiasi sifat unik dari klien (Bistek,1957).[1] Setiap klien memiliki karakteristik kepribadian dan pemahaman yang unik, yang berbeda dengan setiap individu yang lain.[1]
Menentukan sendiri, ialah memberikan kebebasan mengambil keputusan oleh klien, jika memang masalah klien sesuai dengan rencana yang dipersiapkan.[1]
Tampil apa adanya, berarti Pekerja Sosial sebagai seorang manusia yang berperan apa adanya, alami, tidak memakai topeng, pribadi yang asli dengan segala kekurangan dan kelebihannya.[1]
Mengontrol keterlibatan emosional, berarti Pekerja Sosial mampu bersikap objektif dan netral.[1]
Kerahasiaan, Pekerja Sosial harus menjaga kerahasiaan informasi seputar identitas, isi pembicaraan dengan klien, pendapat profesional lain atau catatan-catatan kasus mengenai diri klien.[1]
Sistem dasar
Sistem pelaksana perubahan
Sistem pelaksana perubahan adalah sekelompok orang yang tugasnya memberi bantuan atas dasar keahlian yang berbeda-beda dan bekerja dengan sistem yang berbeda-beda pula ukurannya.[2] Seorang pekerja sosial dapat disebut sebagai pelaksana perubahan, sementara itu lembaga-lembaga kesejahteraan sosial yang memperkerjakannya disebut sebagai sistem pelaksana perubahan.[2]
Sistem Klien
merupakan individu, kelompok, keluarga, organisasi atau masyarakat yang meminta bantuan atau pelayanan kepada sistem pelaksana perubahan.[2] Sistem Klien adalah yang bermanfaat bagi klien, yang seluruhnya berfokus pada kekuatan dan sumber-sumber klien.
Sistem Sasaran
adalah pihak-pihak yang dapat dijadikan sasaran perubahan, atau dijadikan media yang dapat mempengaruhi proses pencapaian tujuan pertolongan.[2]
Sistem Kegiatan
menunjukkan pada orang-orang yang bekerjasama dengan pekerja sosial untuk melakukan usaha-usaha perubahan melalui pelaksanaan tugas-tugas atau program kegiatan.[2]
Fokus Praktik
Hal terpenting adalah memberdayakan klien dan memantapkan hubungan pertolongan yang kolaboratif.[5] Dalam praktik pekerjaan sosial berbasis-kekuatan, suatu hubungan pertolongan kolaboratif dibentuk antara seorang profesional dan seorang individu, atau keluarga, atau kelompok, atau sebuah organisasi, atau suatu masyarakat dengan tujuan memberdayakan dan meningkatkan keadilan sosial dan ekonomi.[5]
Fokus Praktik Pekerja Sosial
Mikro adalah ditujukan hanya kepada ruang lingkup kecil baik satu orang/meningkatkan keberfungsian dan keberdayaan klien.[5]
Fokus Praktik Pekerja Sosial Mezzo
Mezzo adalah pada perubahan keorganisasian dan komunitas kecil, keluarga dan masyarakat.[5]
Fokus praktik pekerja sosial Makro
Makro adalah ditujukan untuk sebuah kebijakan dalam mengubah dan meningkatkan keberfungsian sosial masyarakat, baik dari segi ekonomi, sosial dan budaya.
[5]
Klien-klien
Klien sukarela
klien yang mencari pelayanan dari pekerja sosial atau badan-badan sosial atas dasar keinginan sendiri karena mereka memang membutuhkan bantuan yang berhubungan dengan sejumlah aspek kehidupannya sendiri.[5]
Klien tidak sukarela
Klien yang ditekan atau dipaksa untuk mencari bantuan oleh seseorang yang mereka kenal dekat, bisa anggota keluarga ataupun bukan.[5] Mereka tidak memperoleh mandat dari pengadilan atau hukum atau badan sosial untuk memperoleh bantuan.[5]
Klien bukan sukarela
Klien yang memiliki mandat hukum untuk menerima pelayanan-pelayan.[5] Mereka tidak memiliki pilihan lain untuk hal tersebut.[5]
Penelitian
Penelitian pekerja sosial adalah suatu penelitian yang sistematis dan kritis terhadap persoalan-persoalan di dalam praktik pekerjaan sosial, dengan maksud untuk memperoleh jawaban terhadap masalah-masalah pekerjaan sosial, serta memperluas dan menggenaralisasikan pengetahuan dan konsep pekerja sosial.[6]
Kaitan penelitian dengan praktiknya
Penelitian Pekerjaan Sosial diharapkan dapat mengembangkan konsep, teori atau pengetahuan yang valid bagi keperluan Praktik Pekerja Sosial dalam bentuk metode-metode praktik yang ilmiah yang memenuhi persyaratan standar ilmiah.[6]
Para pekerja sosial dan pelaksana pelayanan pekerja sosial lainnya diharapkan lebih memahami dan membaca berbagai hasil Penelitian Pekerja Sosial serta menerapkan konsep, teori dan pengetahuan yang dikembangkan oleh peneliti Pekerja Sosial, kedalam praktik-praktik pertolongan Pekerjaan Sosial.[6]
Referensi
^ abcdefghijklmnopqrstuvwxyzaaabacadaeBudi Wibhawa, Santoso Tri Raharjo & Meilany Budiarti. 2010. Dasar-Dasar Pekerja Sosial. Bandung: Widya Padjadjaran. Hal 42,63,128,129,129,130,131,132
^ abcdefgEdi Suharto. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial & Pekerjaan Sosial. Bandung: LSP STKS. Hal 233,320
^ abAsep Jahidin, 2016, Epistemologi Ilmu Kesejahteraan Sosial. Perjalanan Dialektika Memahami Anatomi pekerjaan sosial Profesional. Samudra Biru, Yogyakarta. hal. 7
^ abcdefghijklBudi Rahman Hakim. 2010. Rethinking Social Work Indonesia. Jakarta Selatan: RMBOOKS. Hal 21,22,23,24,25
^ abcdefghijSantoso Tri Raharjo. 2014. Assessment dan Wawancara. Bandung: Unpad Press. Hal 1,2,3,11,12,13
^ abcJusman Iskandar& Niti Miharjo. 1981. Pengantar Penelitian Pekerjaan Sosial. Bandung: LSP STKS. Hal 32