Penarikan mundur pasukan Romawi dari Afrika (255 SM)
Penarikan mundur pasukan Romawi dari Afrika adalah upaya Republik Romawi pada 255 SM untuk misi penyelamatan bagi anggota pasukan ekspedisi yang berhasil selamat atas kekalahannya dari Kartago Afrika dalam Perang Punik I. Armada besar yang dipimpin oleh Servius Fulvius Paetinus Nobilior dan Marcus Aemilius Paullus ini, berhasil mengevakuasi para penyintas setelah mengalahkan armada Kartago yang mengadang, lalu kehilangan sebagian besar armada kapalnya karena dihantam badai saat perjalanan kembali. Bangsa Romawi menginvasi bumi Kartago (wilayah Timur laut Tunisia saat ini) pada 256 SM. Setelah kemenangan awal, Romawi yang berkekuatan 15,500 pasukan, melakukan pemondokan selama musim dingin. Pasukan yang dipimpin oleh Marcus Atilius Regulus tersebut, akhirnya dikalahkan secara telak dalam Pertempuran Sungai Bagradas pada musim semi 255 SM, hingga Marcus Atilius Regulus ditangkap. Kemudian armada Romawi yang terdiri dari 390 kapal, dikirim untuk menyelamatkan dua ribu orang penyintas yang dikepung di pelabuhan Aspis atau Kelibia (bahasa Arab: قليبية). Armada Kartago yang terdiri dari 200 kapal mengadang Romawi di lepas tanjung Hermaeum (saat ini Cape Bon atau Ras at-Taib (bahasa Arab: الرأس الطيب)), di sebelah utara Aspis. Armada Kartago berhasil dikalahkan oleh Romawi dengan kerugian 114 armada kapal termasuk awak kapal ditangkap dan 16 kapalnya tenggelam. Tidak diketahui pasti seberapa besar kerugian yang diderita Romawi, tetapi sejarawan modern beranggapan bahwa Romawi tidak mengalami kerugian. Bangsa Romawi tiba di Aspis, lalu membubarkan para pengepung dan menyerbu negeri disekitarnya untuk mencari perbekalan makanan, kemudian semuanya berangkat menuju Italia. Armada Romawi tersebut dihantam badai dahsyat setibanya di ujung Tenggara Sisilia yang menyebabkan 384 dari 464 armada kapalnya tenggelam, juga 300 kapal angkut dan lebih dari seratus ribu orang hilang. Meskipun Romawi dan Kartago sama-sama menderita kerugian hebat, perang terus berlanjut hingga 14 tahun kemudian, sebagian besar terjadi di Sisilia atau perairan terdekat yang berakhir dengan kemenangan Romawi. Sumber utamaSumber utama hampir setiap aspek Perang Punik I,[note 1] berasal dari sumber Polibios (ca 200–118 SM), seorang Yunari yang dikirim ke Roma pada 167 SM sebagai sandera.[3] Karya-karyanya termasuk petunjuk tentang taktik militer yang telah hilang,[4] tetapi ia terkenal karena karyanya The Histories, ditulis sekitar tahun 146 SM kira-kira satu abad setelah Pertempuran Tanjung Hermaeum.[4][5] Secara luas, karya Polibios dianggap objektif dan sebagian besar netral dari sudut pandang Kartago maupun Romawi.[6][7] Catatan tertulis Kartago dihancurkan bersamaan dengan kehancuran ibu kotanya yang bernama Kartago terjadi pada 146 SM, sehingga catatan Polibios tentang Perang Punik I berdasarkan beberapa sumber Yunani dan Latin (yang juga telah hilang).[8] Polibios adalah seorang sejarawan analitis, ia sedapat mungkin secara pribadi akan mewawancarai sendiri peserta yang terlibat dalam peristiwa yang akan ia tulis.[9][10] Dari 40 buku ''The Histories'', hanya buku pertama yang membahas tentang Perang Punik I.[3] Keakuratan catatan Polibios telah banyak diperdebatkan selama 150 tahun terakhir, tetapi konsensus modern sebagian besar telah menerimanya secara nilai. Dalam sumber-sumber modern, rincian pertempuran, hampir seluruhnya didasarkan pada interpretasi dari catatan Polibios.[3][11] Sejarawan modern Andrew Curry menganggap bahwa "Ternyata Polibios cukup dapat diandalkan",[12] sementara Dexter Hoyos menggambarkannya sebagai "seorang sejarawan yang sangat rajin, berpengetahuan dan berwawasan luas".[13] Sejarah perang lainnya yang (kemudian) ada, tetapi dalam bentuk potongan catatan atau ringkasan[14][15] dan biasanya catatan-catatan tersebut mencatat operasi-operasi militer di darat yang lebih terperinci daripada di laut.[16] Sejarawan modern biasanya juga memperhitungkan sejarah selanjutnya dari Diodorus Siculus dan Dio Cassius, meskipun ahli klasik Adrian Goldsworthy menyatakan bahwa "catatan Polibios biasanya lebih dipilih ketika terdapat perbedaan dengan catatan-catatan kita yang lain."[10][note 2] Sumber-sumber lain mencakup prasasti, bukti arkeologi dan bukti empiris dari rekonstruksi seperti trireme Olympias.[18] Sejak tahun 2010, sejumlah artefak telah ditemukan dari lokasi bekas Pertempuran Aegates. Pertempuran terakhir sebelum berakhirnya perang Aegates ini, terjadi empat belas tahun kemudian. Analisis dan pemulihan benda-benda lain selanjutnya, masih berlangsung.[19] Latar belakangOperasi di SisiliaKonfrontasi Romawi dengan Kartago dalam Perang Punik I, pecah pada 264 SM.[20] Kartago memiliki kekuatan maritim yang kuat di Mediterania Barat, sementara Romawi menyatukan daratan Italia di wilayah selatan sungai Arno di bawah kekuasaannya. Menurut ahli klasik Richard Miles, sikap Roma yang ekspansif setelah Italia Selatan berada dalam kekuasaannya, dikombinasikan dengan pendekatan khusus yang dimiliki Kartago kepada Sisilia, menyebabkan dua kekuatan tersebut terbentur menjadi peperangan lebih karena ketidaksengajaan.[21] Penyebab langsung dari perang tersebut karena kendali atas kota Messana (saat ini Messina) di Sisilia.[22] kapal-kapalKapal-kapal standar yang digunakan selama perang ini adalah quinquereme yang berarti "berdayung lima".[16] quinquereme adalah sebuah galai, yakni kapal yang menggunakan dayung sebagai penggerak utama, memiliki panjang kira-kira 45 meter, lebar kira-kira 5 meter dengan tinggi dek 3 meter di atas permukaan laut dengan berat kira-kira 100 ton. Seorang pakar galai, John Coates menyatakan bahwa kecepatan galai tersebut berkisar 7 knot (13 kilometer per jam) dan dapat melaju dalam waktu yang lama.[23] Replika modern galai Olympias mampu meraih kecepatan tertinggi 85 knot (157 kilometer per jam) dan mampu melaju dengan kecepatan 4 knot (7,4 kilometer per jam) selama berjam-jam.[16] Kecepatan rata-rata 5–6 knot (9–11 kilometer per jam) tercatat pada pelayaran modern hingga satu minggu.[24] Kapal dibangun sebagai kapal katafrak atau "terlindungi" dengan lambung tertutup dan dek yang mampu membawa legiuner sebagai marinir dan ketapel.[25][26] Kapal-kapal tersebut memiliki "kabin dayung" secara terpisah yang melekat pada lambung utama. Kabin dayung ini berisi para pendayung yang memungkinkan lambung kapal dapat diperkuat, lalu dapat meningkatkan kapasitas muat dan kondisi yang lebih baik bagi para pendayung.[27]Teori yang dapat diterima secara umum mengenai pengaturan dari para pendayung di quinqueremes adalah, bahwa terdapat set atau barisan dari tiga pendayung, satu di atas yang lainnya dengan dua pendayung dari masing-masing dua dayung paling atas dan satu di bawah dengan total lima pendayung per barisan, hal ini berlaku di setiap sisi galai dengan masing-masing 28 barisan setiap sisi, sehingga menjadi total 168 dayung secara keseluruhan.[28] Sebelum pecah Perang Punik I, bangsa Romawi kurang berpengalaman dalam kemaritiman, pada beberapa kesempatan Romawi mengandalkan skuadron (maritim) kecil dari sekutu Yunani atau Latin.[29][30][31] Pada 260 SM, orang-orang Romawi mulai membangun armada kapalnya dengan menggunakan quinquereme Kartago yang karam sebagai contoh kapal yang akan dibangun.[32] Sebagai pembuat kapal pemula, Romawi membuat kapalnya dengan bobot yang lebih berat daripada kapal Kartago, yang membuat pergerakan kapalnya lebih lambat dan tidak mudah untuk bermanuver.[33] Quinquereme adalah ujung tombak armada maritim Romawi dan Kartago selama Perang Punisia, meskipun heksareme (enam pendayung per baris), quadriremes (empat pendayung) dan triremes (tiga pendayung), terkadang juga disebutkan dalam sumber-sumber. Jadi Polibios secara umum menyebutnya dengan singkatan "kapal perang."[34] Sebuah quinquereme dapat membawa 300 awak, 280 di antaranya adalah para pendayung dan 20 perwira dek.[35] Kapal tersebut biasanya juga membawa pelengkap 40 marinir[36] dan akan ditingkatkan menjadi 120 bila dianggap telah mendekati pertempuran.[37][38] Untuk membuat para pendayung sebagai satu kesatuan, terutama dalam melakukan manuver pertempuran yang lebih kompleks, memerlukan pelatihan yang panjang dan sulit.[39] Bila kapal ingin dikendalikan secara efektif, setidaknya setengah dari jumlah pendayung harus memiliki pengalaman.[25] Sehingga orang-orang Romawi pada awalnya berada dalam posisi yang kurang menguntungkan dalam konfrontasi melawan Kartago yang lebih berpengalaman. Seluruh armada kapal perang dilengkapi dengan ram, suatu benda berbentuk bilah perunggu rangkap tiga dengan panjang 60 cm (2,0 ft) dan berat hingga 270 kg (600 pon) diposisikan pada garis air pada haluan kapal[40] dan dipaku dengan paku perunggu serta dibuat dengan menggunakan metode Cire perdue (lost-wax casting).[41] Idealnya pihak musuh akan menyerang kapal dari samping atau belakang, sekaligus menghindari kemungkinan tabrakan. Diperlukan keahlian untuk menabrak kapal musuh dengan cukup kuat dan mematahkan kayunya dan membuat lawan kandas.Setiap kapal bergantung kepada sejumlah besar kapal-kapal lain dalam skuadronnya untuk taktik dan perlindungan yang melibatkan manuver seluruh armada kapal dalam kesatuan skuadronnya daripada kapal secara individu, meskipun dalam pertempuran kadang terjadi rangkaian serangan antar kapal secara individu seperti yang terjadi pada pertempuran udara.[42] Invasi AfrikaKarena penemuan sebuah alat yang disebut dengan Corvus, yakni sebuah jembatan yang memungkinkan bagi pasukan Romawi untuk menyeberang ke kapal musuh dengan mudah, pasukan Kartago berhasil dikalahkan dalam pertempuran besar maritim di Mylae (260 SM) dan Sulci (257 SM). Berdasarkan hal tersebut dan kecewa pada jalan buntu yang berkepanjangan di Sisilia, Romawi mengubah fokusnya menjadi strategi berbasis maritim dan mengembangkan rencana untuk menyerang jantung bangsa Kartago di Afrika Utara dan Kartago (dekat Tunis).[43] Kedua belah pihak bertekad untuk membangun supremasi maritim dan menginvestasikan sejumlah besar uang dan tenaga dalam mempertahankan dan meningkatkan jumlah armada maritimnya.[44][45] Armada Romawi yang dipimpin oleh konsul Romawi pada masa itu, Marcus Atilius Regulus dan Lucius Manlius Vulso Longus,[46] terdiri dari 330 armada kapal perang, ditambah sejumlah kapal pengangkut bertolak dari Ostia[47] pada awal 256 SM. Armada tersebut berkekuatan sekitar 26.000 legiun terpilih dari pasukan Romawi di Sisilia, berencana untuk menyeberang ke Afrika dan menyerang tempat yang kini menjadi Tunisia.[36][48][49] Bangsa Kartago menyadari maksud Romawi tersebut, lalu di bawah komando Hanno[note 3] dan Hamilcar, Kartago kemudian mengerahkan seluruh armada kapal perangnya yang berjumlah 350 kapal untuk mengadang Romawi di lepas pantai selatan Sisilia. Dari total keseluruhan kapal yang berjumlah sekitar 680 armada kapal perang dengan 290.000 awak dan marinir,[note 4][47][50][53] bertemu dalam konfrontasi Pertempuran Tanjung Ecnomus. Setelah pertempuran panjang dan membingungkan, Kartago dikalahkan dengan kehilangan 30 kapalnya yang tenggelam dan 64 kapal ditangkap, sedangkan Romawi kehilangan 24 kapalnya yang tenggelam.[54] Setelah pertempuran, tentara Romawi yang dipimpin Regulus, tiba di Afrika dekat Aspis (kini Kelibia)[55] dan mendudukinya.[56] Sebagian besar armada kapal Romawi kembali ke Sisila, meninggalkan Regulus dengan 15.000 infanteri dan 500 kavaleri untuk melanjutkan pertempuran di Afrika. Regulus bergerak maju ke kota Adys dan mengepung kota tersebut.[56] Sementara itu, pasukan Kartago menarik mundur Hamilcar dari Sisilia dengan 5.000 infanteri dan 500 kavaleri. Hamilcar, Hasdrubal dan Bostar ditempatkan dalam komando pasukan gabungan yang kuat dalam bidang kavaleri dan pasukan gajahnya, kira-kira sama besarnya dengan jumlah pasukan Romawi.[57] Pasukan Romawi melakukan mars pada malam hari dan melancarkan serangan fajar dua arah yang mengejutkan kamp-kamp Kartago. Setelah pertempuran yang membingungkan tersebut, pasukan Kartago tercerai berai dan melarikan diri.[58] Kekalahan dan penarikan mundur RomawiPertempuran TunisRomawi melanjutkan dan merebut Tunis yang berjarak 16 kilometer (10 mil) dari Kartago. Dalam situasi putus harapan, bangsa Kartago menuntut perdamaian, tetapi syarat yang diajukan Regulus terlalu berat, sehingga bangsa Kartago memutuskan untuk tetap terus berjuang.[59] Kartago menyerahkan pelatihan pasukannya kepada Xanthippus, seorang komandan tentara bayaran Sparta.[60] Pada musim semi 255 SM, Xanthippus memimpin pasukan yang terdiri dari 12.000 infanteri, 4.000 kavaleri dan 100 pasukan gajah, melawan pasukan Romawi yang berbasis infanteri dalam Pertempuran Tunis.[61] Pasukan Romawi yang tidak memiliki tandingan efektif dalam melawan pasukan gajah dan pasukan kavalerinya yang kalah jumlah, berhasil dikepung oleh pasukan Kartago dan dikalahkan telak. Sebagian besar pasukan Romawi terbunuh, sementara sekitar 500 orang, termasuk Regulus ditangkap[61] dan 2.000 orang lainnya melarikan diri dan mundur ke Aspis[60] yang terletak di posisi yang tinggi dan menghadap ke pelabuhan Teluk Kelibia.[54] Takut akan rasa iri dari jenderal-jenderal Kartago yang ia kalahkan, Xanthippus mengambil upahnya dan kembali ke Yunani.[60] Pertempuran Tanjung HermaeumKemudian pada 255 SM, Romawi mengirim sebanyak 350 armada quinqueremes[note 5] dan lebih dari 300 kapal angkut untuk mengevakuasi orang-orang yang selamat dari lokasi yang dikepung di Aspis. Kedua konsul Romawi pada tahun tersebut adalah Servius Fulvius Paetinus Nobilior dan Marcus Aemilius Paullus yang memimpin armada.[63][64][65] Dalam perjalannya, mereka merebut pulau Cossyra.[66] Bangsa Kartago berusaha untuk menentang upaya evakuasi tersebut dengan mengerahkan 200 armada quinqueremes. Mereka mengadang pasukan Romawi di lepas Tanjung Hermaeum (Cape Bon atau Ras ed-Dar), sedikit ke arah utara Aspis. Sebanyak 40 armada Romawi yang ditinggalkan untuk mendukung pasukan Regulus selama musim dingin, bertolak dari Aspis untuk bergabung dalam pertempuran. Orang-orang Kartago yang khawatir bahwa mereka akan dikepung oleh armada pasukan Romawi yang lebih besar, berlayar dekat ke pantai. Namun, kapal-kapal Kartago berhasil dikalahkan dan dalam posisi yang terjepit, karena armada Romawi menggunakan Corvus, sehingga banyak kapal-kapal Kartago yang berhasil ditaklukkan dan dipaksa ke pantai.[67][68] Kartago berhasil dikalahkan dan 114 armada kapalnya ditangkap bersama dengan awaknya, sementara 16 kapal lainnya ditenggelamkan.[67] Jika ada kerugian yang diderita oleh Romawi tidak diketahui pasti, kebanyakan sejarawan modern bahwa kerugian tersebut dianggap tidak ada.[63][65] Sejarawan Marc DeSantis menyatakan bahwa kurangnya pasukan marinir pada armada kapal Kartago, dibandingkan dengan jumlah pasukan marinir Romawi, mungkin menjadi faktor kekalahan Kartago dan banyaknya kapal-kapal Kartago yang ditangkap.[69] BadaiArmada Romawi berlabuh di Aspis, tempat garnisun Romawi yang diperkuat oleh armada marinir, memilah dan membubarkan para pengepung serta menyerbu negeri disekitarnya untuk bahan makanan. Semua armadanya kemudian bertolak menuju Italia,[70] berlayar langsung ke Sisilia, merapat di sudut barat daya, lalu melanjutkan perjalanan di sepanjang pantai selatan. Pada pertengahan Juli, di suatu tempat antara kota yang bersahabat, Kamarina dan Tanjung Passaro di sebelah tenggara Sisilia, terjadi badai musim panas secara tiba-tiba dan menghancurkan armada Romawi. Dari 464 armadanya, sebanyak 384 kapal tenggelam,[note 6] begitu juga dengan 300 kapal angkut dan lebih dari 100.000 orang hilang.[63][65][71] Marc DeSantis menganggap bahwa jumlah 100.000 orang tersebut adalah jumlah perkiraan konservatif,[72] sementara sejarawan Howard Scullard, merinci kerugian Romawi yang terdiri dari 25.000 prajurit, termasuk banyak penyintas dari pasukan Regulus dan 70.000 awak dan pendayung dengan banyak dari mereka yang hilang, kemungkinan berasal dari orang-orang Kartago yang ditawan dalam pertempuran yang baru terjadi.[70] Mayoritas korban dianggap sebagai sekutu Latin non-Romawi.[73] Terdapat kemungkinan bahwa adanya Corvus, menjadikan kapal-kapal Romawi menjadi tidak layak laut. Tidak ada catatan berikutnya mengenai penggunaan Corvus setelah bencana ini.[70][74] Polibios sangat kritis terhadap apa yang ia anggap sebagai penilaian buruk dan penampilan keahlian berlayar sebelum terjadinya badai.[75][76] Kedua konsul Romawi selamat, meskipun kehilangan sebagian besar armada kapalnya. Masing-masing konsul Romawi tersebut dianugerahi kemenangan pada awal 254 SM atas keberhasilan mereka di Tanjung Hermaeum.[77][70] Sejarawan Scullard menyatakan bahwa hal ini adalah indikasi yang jelas tentang "tragedi selanjutnya dianggap sebagai hal yang diakibatkan karena alam daripada pelaut yang buruk."[70] AkibatPaullus mendirikan kolom dengan biayanya sendiri di Bukit Capitolino di Roma untuk merayakan kemenangan.[77] Sesuai dengan tradisi,[78] ia menghiasinya dengan haluan kapal-kapal Kartago yang ditangkap. Kelak kolom tersebut hancur karena petir pada 172 SM.[77] Perang terus berlanjut, dengan tidak ada pihak yang dapat mengambil keuntungan mutlak.[79] Bangsa Romawi dengan cepat membangun kembali armadanya dengan penambahan 220 kapal baru dan merebut Panormus (kini Palermo) pada 254 SM.[80] Tahun berikutnya, Romawi kembali kehilangan 150 armada kapalnya karena badai lain.[80] Secara perlahan, Romawi telah menduduki sebagian besar Sisilia dengan mengepung dua benteng terakhir Kartago di ujung barat, pada 249 SM.[81] Romawi juga melancarkan serangan mendadak terhadap armada Kartago, tetapi berhasil dikalahkan dalam Pertempuran Drepana.[82] Pasukan Kartago melanjutkan kemenangannya dalam Pertempuran Phintias yang mengakibatkan sebagian besar armada kapal Romawi hilang dan orang-orangnya tersapu laut.[83] Hal tersebut terjadi tujuh tahun sebelum Roma kembali berupaya untuk menurunkan armada besarnya, sementara Kartago mencadangkan kapal-kapalnya untuk menghemat biaya dan membebaskan tenaga kerja.[84][85] Setelah beberapa tahun mengalami kebuntuan,[85] Bangsa Romawi membangun kembali armada maritimnya pada 243 SM[86] dan berhasil memblokade pertahanan garnisun Kartago.[87] Kartago mengumpulkan armadanya dan berupaya untuk membebaskan blokade tersebut, tetapi berhasil dikalahkan oleh Romawi pada Pertempuran Kepulauan Aegates pada 241 SM,[88][89] memaksa pasukan Kartago yang terisolasi di Sisilia untuk berunding demi perdamaian.[90][87] Persyaratan perdamaian yang ditawarkan kepada Kartago lebih ringan daripada yang diusulkan oleh Regulus.[88] Pertanyaan tentang negara bagian mana yang akan mengendalikan Mediterania Barat tetap terbuka. Ketika Kartago mengepung kota Sagunto yang dilindungi Romawi di Iberia Timur pada 218 SM, hal ini memicu terjadinya pecah Perang Punik II dengan Roma.[91] Catatan, kutipan dan pustakaCatatan
Kutipan
Pustaka
Pustaka lanjutan
|