Pengendalian hama biologis (bahasa Inggris: biological pest control atau biocontrol) adalah pemanfaatan makhluk hidup untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.[1] Makhluk hidup yang digunakan untuk tujuan ini disebut agens pengendali hayati. Pengendalian hama biologis amat bergantung kepada konsep yang ada di dalam ekologi, yaitu predasi, parasitisme, herbivori, dan sebagainya yang menjadi musuh alami hama di alam. Selain itu, peran manusia sebagai pengelola lahan dalam pengendalian hama terpadu juga penting.
Langkah-langkah pengendalian hama biologis
Terdapat tiga langkah dasar pengendalian hama biologis, yaitu importasi, augmentasi, dan konservasi.[2]
Importasi
Importasi adalah kegiatan membawa musuh alami hama dari tempat lain ke lahan pertanian untuk dilibatkan dalam pengendalian hama biologis. Karena berbagai hal seperti lingkungan yang tidak cocok akibat tingginya penggunaan pestisida dan pupuk kimia, atau faktor geografis, musuh alami tersebut tidak dapat hadir secara alami ke lahan pertanian. Jika hama tersebut adalah sebuah spesies invasif, maka sangat dimungkinkan jika musuh alaminya tidak ikut hadir bersama dengan hama tersebut. Hewan yang menjadi predator alami hama dapat diundang dengan cara tertentu. Misal burung pemakan ulat dapat diundang dengan membangun rumah burung yang memiliki lubang dengan diameter tertentu sehingga memungkinkan ia dapat masuk tapi burung lain tidak bisa.[3]
Agar musuh alami hama tersebut dapat bertahan dari muncul dan hilangnya habitat (akibat pergantian musim tanam), koloni dari musuh alami hama tersebut harus dipertahankan sehingga dapat jumlah populasi dapat dipertahankan meski mangsanya tidak ada.[4]
Augmentasi
Augmentasi adalah peningkatan populasi musuh alami hama yang telah ada, dengan melepaskan varietas yang telah dikendalikan sifatnya. Pelepasan populasi musuh alami hama dapat dilakukan dengan periode tertentu dan dalam jumlah tertentu tergantung siklus hidupnya dan siklus pertanaman. Augmentasi dibagi atas dua yaitu secara inokulasi dan Inundasi, secara inokulasi dapat dikatakan bahwa pelepasan musuh alami yang dilakukan bertujuan untuk generasi yang selanjutnya sedangkan secara inundasi adalah pengaplikasian musuh alami yang dilakukan ketika terdapat OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) yang muncul hingga OPT tersebut tidak ada.
Konservasi
Konservasi adalah mempertahankan musuh alami hama, yang telah beradaptasi dengan baik dan sudah memiliki hubungan predasi yang tetap, sehingga mempertahankannya akan lebih mudah. Penambahan fasilitas tertentu seperti pemecah angin, pagar hidup, kolam, kompos, mulsa, dan sebagainya dapat membantu mempertahankan populasi. Berbagai musuh alami hama dapat memiliki habitat yang bervariasi. Burung hantu misalnya, hidup di lubang pohon, katak berenang di kolam, dan landak hidup di lubang-lubang di dalam tanah dan kayu. Sisa tanaman pertanian yang relatif keras dan berkayu dapat dipertahankan di musim dingin sebagai sarana untuk mempertahankan diri dari cuaca dingin.[3]
Tipe musuh alami hama
.
Predator
Predator mampu memakan sejumlah besar mangsa selama hidupnya. Kumbang Coccinellidae adalah predator utama aphid, namun juga memakan rayap, ulat, dan serangga kecil lainnya. LalatSyrphidae memiliki larva yang aktif memangsa serangga lain, terutama aphid, selama 50 hari hingga membentuk pupa. Lalat Syrphidae dewasa biasanya memakan nektar dan pollen sehingga mereka juga berfungsi sebagai polinator.
Capung merupakan musuh utama nyamuk dan keduanya hidup di dan dekat dengan air. Larva capung memangsa larva nyamuk, dan capung dewasa memangsa nyamuk dewasa. Hal ini tidak banyak diketahui masyarakat karena pemberantasan nyamuk massal dengan bahan kimia ikut menghabisi populasi capung.
Beberapa spesies nematoda dapat digunakan untuk menghabisi hama dan menjadikannya habitat hidup, misal nematoda Phasmarhabditis hermaphrodita yang membunuh siput lalu berkembang biak menggunakan sisa tubuh siput untuk meletakkan telur.[5]
Fauna yang lebih besar, misal centipede, laba-laba, katak, kadal, landak, burung, kucing, hingga anjing ras Dachshund. Anjing ras ini dikembang biakan secara sengaja pada masa lalu untuk memburu badger atau tikus tanah dari famili Mustelidae, dan itulah yang memberikan nama Dachshund, dari bahasa Jerman Dachs yang berarti badger dan Hund yang berarti anjing.
Serangga parasitoid
Serangga parasitoid meletakkan telurnya di dalam tubuh hewan lain untuk kemudian dijadikan bagi larva yang menetas. Kebanyakan serangga parasitoid adalah tawon dan lalat, dan biasanya memiliki berbagai jenis target.
Bakteri banyak digunakan sebagai pengendali hama karena keberadaannya sulit diketahui oleh serangga. Bakteri masuk ke dalam tubuh serangga melalui saluran pencernaan ketika serangga makan bagian tumbuhan yang dihidupi oleh serangga.[8] Bakteri Bacillus thuringiensis adalah salah satu jenis bakteri yang digunakan secara luas sebagai pengendali hama dengan setidaknya empat subspesies yang paling banyak digunakan. Lepidoptera, Coleoptera, dan Diptera mampu terinfeksi oleh bakteri ini.
^Kaya, Harry K. et al. (1993). "An Overview of Insect-Parasitic and Entomopathogenic Nematodes". Dalam Bedding, R.A. Nematodes and the Biological Control of Insect Pests. Csiro Publishing. ISBN9780643105911.Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link) Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penyunting (link) Pemeliharaan CS1: Penggunaan et al. yang eksplisit (link)
^Hoddle M.S., Grandgirard J., Petit J., Roderick G.K., Davies N. (2006). "Glassy-winged sharpshooter Ko'ed - First round - in French Polynesia". Biocontrol News and Information. 27 (3): 47N–62N.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^I.M. Hall & P.H. Dunn, Entomophthorous Fungi Parasitic on the Spotted Alfalfa Aphid, Hilgardia, Sept 1957.
^Voigt K., A.V. Marano, & F.H. Gleason. 2013. Ecological & Economical Importance of Parasitic Zoosporic True Fungi. in: The Mycota: A Comprehensive Treatise on Fungi as Experimental Systems for Basic & Applied Research Vol. 11 Agricultural Applications. 2nd edition Eds: K. Esser & F. Kempken. Springer: New York pg.243-270.
^Li Z., Q. Dong, T.P. Albright, & Q. Guo. 2011. Natural and human dimensions of a quasi-natural wild species: the case of kudzu. Biological Invasions 13:2167-2179.
^Beard, Karen H., and Eric M. O’Neill. "Infection of an invasive frog Eleutherodactylus coqui by the chytrid fungus Batrachochytrium dendrobatidis in Hawaii." Biological Conservation 126.4 (2005): 591-595.
^Sparrow FK. 1960. Aquatic Phycomyetes. The Univeristy of Michigan Press:Ann Arbor. 2nd edition
Cowie R. H. (2001) "Can snails ever be effective and safe biocontrol agents?". International Journal of Pest Management47(1): 23-40. PDFDiarsipkan 2010-10-11 di Wayback Machine.
Pereira, M.J. et al. (1998) Conservation of natural vegetation in Azores Islands. Bol. Mus. Munic. Funchal 5, 299–305
Weeden, C.R., A. M. Shelton, and M. P. Hoffman. Biological Control: A Guide to Natural Enemies in North America. Available from [1] (accessed December 2007)
Cane toad: a case study. 2003. Available from [2]Diarsipkan 2007-11-23 di Wayback Machine. (accessed December 2007)
Humphrey, J. and Hyatt. 2004. CSIRO Australian Animal Health Laboratory. Biological Control of the Cane Toad Bufo marinus in Australia
Cory, J. and Myers, J. 2000. Direct and indirect ecological effects of biological control. Trends in Ecology & Evolution. 15, 4, 137-139.
Johnson, M. 2000. Nature and Scope of Biological Control. Biological Control of Pests
Cofrancesco, A. 2007. U.S. National Management Plan: An Action Plant for the Nation- Control and Management. Army Corps of Engineers. Available from [3]Diarsipkan 2011-09-02 di Wayback Machine.
Griffiths, G.J.K. 2007. Efficacy and economics of shelter habitats for conservation. Biological Control: in press. DOI:10.1016/j.biocontrol.2007.09.002
Collier T. and Steenwyka, R. 2003. A critical evaluation of augmentative biological control. Economics of augmentation: 31, 245-256.