Share to:

Pertempuran Kendari

Pertempuran Kendari
Bagian dari Perang Dunia II, Perang Pasifik,
Kampanye Hindia Belanda
Tanggal24 Januari 1942
(Grup gerilya terakhir menyerah tanggal 27 Maret, 1942)
LokasiKendari, Pulau Sulawesi bagian Tenggara
1°9′48″N 124°51′26″E / 1.16333°N 124.85722°E / 1.16333; 124.85722
Hasil Kemenangan Jepang
Pihak terlibat
 Netherlands  Japan
Tokoh dan pemimpin
Belanda E.G.T. Anthonio  Menyerah
Belanda F.B. van Straalen  Menyerah (Kedua komandan menyerah 27 Maret)
Kekaisaran Jepang Kunizō Mori
Kekaisaran Jepang Takeo Takagi
Kekuatan
400[1] c. 3000[2]
Korban
Tidak diketahui
Para pasukan desersi, mundur, dieksekusi atau menyerah setelah 24 Januari 1942
4 terluka
Satu kapal penjelajah rusak
Satu kapal penghancur rusak

Pertempuran Kendari terjadi pada tanggal 24 Januari 1942 sebagai bagian dari serangan Jepang di Hindia Belanda. Lapangan terbang Kendari II menjadi sasaran penting pasukan Jepang karena lokasinya yang strategis dan kualitas infrastrukturnya. Menghadapi sedikit atau tanpa perlawanan, pasukan Jepang berhasil merebut lapangan terbang dalam satu hari, karena pasukan Belanda sudah mundur ke pedalaman.

Latar Belakang

Dibangun pada tahun 1938, Lapangan Terbang (Lanud) Kendari II, yang terletak 27 km dari kota eponymous, meningkatkan signifikansi militer Daerah Sulawesi Tenggara secara eksponensial. Setelah selesai, Kendari II dianggap sebagai lapangan terbang terbaik di seluruh Hindia Belanda, jika bukan di seluruh Asia Tenggara.[3] Lapangan terbang ini memiliki tiga landasan pacu dan ruang tambahan untuk ekspansi. Sebelum pecahnya perang, pasukan Belanda telah membangun barak yang dapat menampung 500 tentara dan berencana untuk memperluasnya lagi untuk bala bantuan Australia atau KNIL.

Untuk memperkuat pertahanannya, empat brigade KNIL (masing-masing 15-18 tentara) menjaga lapangan terbang, sebelum mereka diperkuat oleh pasukan tambahan, senjata AA, senapan mesin dan mortir dari Jawa. Pada akhir tahun 1941, kekuatan pasukan Belanda di kota itu berjumlah sekitar 500 tentara, 320 di antaranya adalah tentara reguler.[4] Pada tahun 1942, sekitar 3.000 bom dan satu juta liter bahan bakar pesawat telah ditempatkan di Kendari II untuk mengakomodasi pengebom Amerika yang menggunakan lapangan terbang sebagai pangkalan untuk mengisi bahan bakar dan mempersenjatai kembali dalam operasi mereka melawan Filipina selatan.[5]

Bagaimanapun, lanud ini adalah salah satu pangkalan yang harus direbut pasukan Jepang untuk membangun jaringan dukungan udara yang solid untuk berhasil menduduki Jawa, bersamaan dengan lanud yang ada di Sumatera bagian selatan, Kuching, Banjarmasin dan Makassar. Penangkapannya akan memungkinkan Jepang untuk melakukan serangan udara di Jawa bagian timur, sambil mempertahankan perlindungan udara yang membentang dari Ambon ke Kupang dan Pulau Bali, di samping mendirikan pangkalan angkatan laut baru.[6]

Susunan Pasukan

Jepang

Pasukan Darat

  • Pasukan Pendaratan Khusus Gabungan Sasebo (Komandan: Kapten Kunizō Mori)[7]

Unit Angkatan Laut

Unit Serang Timur (Komandan: Laksamana Muda Takeo Takagi):[7][8]
Armada Penghancur Ke-4

(Komandan: Laks. Muda Takeo Takagi):

Grup Udara (Unit Udara Ke-2)

(Komandan: Ruitarō Fujita):

Unit Pangkalan

(Unit Pangkalan Ke-1)

(Komandan: Laks. Muda Kyūji Kubo):

- Unit Pendukung:

- Unit Pengawal Ke-2 (Komandan: Laksamana Muda Raizō Tanaka):

- Unit Transport:

- Divisi Pesawat Terbang Amfibi Ke-11

(Chitose, Mizuho)

- Kapal Patroli P-34, P-39

- Pasukan Pangkalan Ke-1 (Nagara)

- Divisi Penyapu Ranjau Ke-21

(W-7, W-8, W-9, W-11, W-12)

- Divisi Pemburu Kapal Selam Ke-1

(CH-1, CH-2)

Belanda

Pasukan Darat

Commander: (Komandan: Capt. E.G.T. Anthonio):[9][10]
Infanteri Pelayanan/Bantuan
- 20 brigade infanteri dengan 6x senapan mesin sedang, 6x mortier 80mm dan 4 mobil lapis baja overvalwagen.
  • Tujuh Brigade di Kota Kendari (dibawah Capt. Anthonio).
  • Tujuh brigade di Lanud Kendari II di bawah komando Kapten F.B. Van Straalen.
    • Empat mobil lapis baja overvalwagen sebagai pendukung.

- Enam brigade ditempatkan diantara Kendari II dan Kota Kendari di Mandongan (penanda 7 km antara kedua lokasi) sebagai cadangan di bawah Letnan Dua T.E. Aronds.

- Penjaga pantai, yang personelnya disediakan oleh brigade Aronds.

- 2x meriam anti pesawat 40mm dan 3x senapan mesin anti pesawat 12,7mm, diawaki oleh 45 prajurit di bawah Sersan. Mayor G.F.J. Bruijnius.

- Manajemen bandara dan personel ML-KNIL di bawah Lt. M. Schalen.

- Zeni di bawah Lt. Dua M.C. Thenu.

- Dinas Medis Militer di bawah Petugas Kesehatan Kelas 1 M. Waisfisz, Kelas 2 W. J. Breslau, B. T. G. de Jong dan S. A. van Tijn; kira-kira 30 tenaga medis.

Rencana Belanda

Rencana pertahanan Belanda menyerukan untuk memukul mundur pendaratan apapun di pantai, sebelum menunda laju musuh menuju Kendari II dan mempertahankan lanud tersebut. Rencananya, separuh dari pasukan Belanda akan memukul mundur pendaratan di pesisir dekat Kota Kendari, sementara separuh lainnya akan mempertahankan Kendari II dari kemungkinan serangan pasukan terjun payung. Seperti pasukan Belanda lainnya yang ditempatkan di Luar Jawa, para pasukan ini harus bergerilya jika mereka tidak dapat mempertahankan posisi mereka. Terlepas dari rencana ini, struktur dan detail pertahanan sudah mulai terjebol pada periode menjelang pertempuran.[11][12]

Meskipun pasukan Belanda di Kendari telah dilengkapi dengan enam senapan mesin sedang dan tiga senapan mesin ringan Madsen, semua peralatan ini akhirnya dialokasikan ke Makassar pada Januari 1942. Hal ini mengakibatkan Anthonio dan pasukannya tidak memiliki senjata otomatis apapun untuk mendukung mereka.[13] Untuk motorisasi, meskipun mereka dibekali 30 truk, pasukan Belanda harus menugaskan prajurit mereka sendiri untuk mengemudikannya, sehingga mengurangi kapasitas tempur mereka. Namun pada akhirnya, karena truk-truk ini lebih sering digunakan oleh personel Belanda di Kendari II untuk pembangunan barak dan suplai bahan bakar, rencana motorisasi pun juga gagal.[14]

Kondisi dipersulit juga dengan kenyataan bahwa pasukan Belanda belum membuat rencana apapun terkait penghancuran lapangan terbang hingga akhir Desember 1941, ketika perang sudah berkecamuk. Ketika Kapten A.J. Wittich akhirnya menyusun satu rencana pada akhir Januari 1942, kekurangan bahan peledak memaksa pasukan Belanda untuk mengadopsi rencana pembakaran lapangan udara sebagai gantinya.

Secara keseluruhan, bahkan sebelum pasukan Jepang datang, moral pasukan di Kendari sudah tertatih-tatih. Sebuah laporan NEFIS (Badan Intelijen Pasukan Hindia Belanda) yang diterbitkan setelah perang menyatakan bahwa kepemimpinan Belanda di Kendari memiliki sedikit kepercayaan bahwa mereka dapat mempertahankan lapangan terbang secara memadai, dimana Anthonio menyuarakan: "Apa yang dapat kita lakukan dengan 400 orang?"[15]

Rencana Jepang

Menurut rencana Jepang, operasi merebut Kendari akan dilaksanakan dalam jalur Menado – Kendari – Makassar yang menjadi tanggung jawab Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Rencananya, pendaratan di Kendari dilakukan 43 hari setelah serangan umum Jepang pada 8 Desember dimulai, yakni pada 20 Januari.[16] Pasukan Pendarat Gabungan Sasebo yang mengambil bagian dalam penangkapan Manado ditugaskan untuk operasi ini. Meskipun operasi di Tarakan dan Manado selesai lebih cepat dari jadwal, Komandan Hindia Belanda, Wakil Laksamana Ibo Takahashi menunda serangan Kendari menjadi 24 Januari karena keterlambatan kedatangan Regu Konstruksi dan operasi yang sedang berlangsung untuk membersihkan Laut Maluku dari kapal selam sekutu.[17] Pada tanggal 21 Januari, Pasukan Sasebo dan pengawal angkatan lautnya meninggalkan pelabuhan Bangka, menuju Kendari.[18]

Pertempuran

Serangan udara pendahuluan

Pada tanggal 12 Januari sebuah pesawat pengintai Jepang terbang di atas Lanud Kendari II. Keesokan harinya, sebuah pesawat pengintai C5M menjatuhkan selebaran di atas Kendari II. Selebaran itu mengatakan bahwa pasukan Belanda lebih baik menyerah. Pada hari berikutnya, sembilan pengebom melakukan serangan udara disitu. Pada tanggal 15 Januari, pesawat tempur Zero dari Grup Udara ke-3 menembaki lapangan udara, tetapi tembakan AA Belanda merusak satu pesawat Zero. Meskipun serangan-serangan ini tidak menimbulkan banyak kerusakan kepada lanud, mereka membantu dalam merusak moral pasukan Belanda.[19] Sehari setelah serangan pertama, seluruh awak Indonesia dari detasemen anti pesawat dan beberapa dari pasukan Belanda desersi dari pos mereka dan memaksa Anthonio untuk mengirim dua brigade untuk menangkap mereka. Pasukan Belanda kemudian mengevakuasi perempuan dan anak-anak ke kota Wawatobi, sekitar 60 km dari Kendari. Terlepas dari tindakan-tindakan ini, kinerja kepemimpinan Belanda yang buruk masih tetap ada. Selama serangan udara pertama, Kapten Van Straalen segera melarikan diri setelah sirene serangan udara berbunyi dan hanya kembali 90 menit setelah sinyal All-Clear (semua aman) sudah diberikan.[20]

Pelarian USS Childs

Kapal induk pesawat laut USS Childs (AVD-1)

Ketika armada invasi Jepang mendekat, semua kapal-kapal sekutu sudah menjauh dari Teluk Staring Bay dan pelabuhan Kendari, kecuali kapal induk pesawat laut Amerika USS Childs, yang tiba pada malam 22 Januari. Nakhodanya, Letnan Komandan J. L. "Doc" Pratt, ditugaskan untuk mengirimkan 30.000 galon avtur untuk Kendari II.[21]

Untuk mengurangi risiko serangan udara Jepang, lambung kapal dicat hijau dan pergerakannya dibatasi hanya ke berlayar di malam hari; pada siang hari, Pratt menyembunyikan kapalnya di teluk kecil di antara pepohonan. Selama pemindahan bahan bakar di Kendari, Childs diikat ke beberapa pohon kelapa untuk menyembunyikan diri. Namun air surut membuat tempat pembongkaran menjadi kering, mengakibatkan kapal itu hampir terbalik di lumpur. Pada saat ini, sebuah pesawat pengintai Jepang terbang di atas dan melihat kapak induk pesawat laut ini. Berkat cat hijau dan posisi miringnya, Childs selamat dari serangan apapun. Dengan datangnya air pasang, kapal itu bisa diposisikan ulang kembali.[22]

Saat sebuah sekunar terlihat berlayar di dekatnya, Pratt yakin bahwa pasukan Jepang sedang memantau kapalnya, dan ia langsung menyuruh Childs berlayar pada pukul 05:25 di 24 Januari. Tapi saat mereka berlayar ke selatan, seorang awaknya melaporkan bahwa empat kapal perusak Jepang sedang berusaha untuk mencegat mereka, dan salah satu dari mereka menantang Childs dengan sinyal "A8Y...A8Y...A8Y." Pemberi sinyal di kapal, Rodney Nordenfelt, memberikan sinyal yang sama dan memberi waktu bagi Pratt untuk mengubah arah ke saluran sempit dengan kecepatan penuh di bawah lindungan badai hujan lebat.[23]

Saat kapal induk pesawat laut itu keluar dari selat, Pratt melihat bahwa keempat kapal perusak Jepang masih mengejar mereka. Namun, akhirnya, mereka menganggap bahwa Childs hanya sebuah kapal dagang dan kembali ke pelabuhan. Namun 30 menit kemudian, tiga pesawat tempur Jepang mengintai di atas. Pertahanan anti-pesawat (AA) Childs segera melepaskan tembakan dan mengusir mereka, namun para pesawat itu kembali lagi 5 menit kemudian. Kali ini, tembakan AA merusak salah satu pesawat dan memaksa mereka mundur. Sebuah pesawat laut muncul pada pukul 14:15 dan menantang Childs dengan sinyal "A8Y" lagi. Ketika Childs menggunakan strategi yang sama untuk menipunya, pesawat itu langsung menjatuhkan dua bom. Keduanya meleset dan tembakan AA Childs memaksa pesawat apung itu mundur. Pratt sekarang mengarahkan kapalnya ke tenggara dengan kecepatan penuh untuk menghindari kemungkinan bertemu dengan kapal perang Jepang. Dalam dua hari, Childs berhasil mencapai Soerabaja (Surabaya) dengan selamat.[24]

Pendaratan Jepang

Pada saat Jepang mendarat pada tanggal 24 Januari, pasukan Belanda di Kendari tersebar dengan susunan sebagai berikut:[25]

  • Sejumlah penjaga pantai, termasuk di Sampara.
  • Dua brigade yang sedang melacak para desertir.
  • Empat brigade di bawah Kapten Anthonio di Kota Kendari.
  • Tiga brigade di bawah Letnan Aronds di daerah Mandongan-Lepo Lepo.
  • Empat brigade (masing-masing dua di bawah Sersan Mayor Michiel Vellinga dan Kapten Van Straalen) di Kendari II, didukung oleh meriam antipesawat.
  • Dua brigade cadangan di bawah Van Straalen (yang disebut cadangan) dekat Amboepoea (Ambupua).
  • Sekitar 22 orang di Mandongan (kebanyakan personel non-tempur).

Saat pasukan Mori mendarat pada pukul 04:28, komando Belanda sangat terkejut dan mengalami kesulitan dalam mengatur pertahanan karena kurangnya komunikasi yang baik. Meskipun Anthonio menerima telegram berkode terjadwal dari pergerakan armada Jepang, dia benar-benar terkejut ketika pertama kali diberitahu bahwa armada Jepang sudah berlabuh di lepas pantai Kendari. Pukul 06:00, Van Straalen melihat pemandangan pesawat Jepang dan suara tembakan artileri dan berusaha menghubungi Anthonio tetapi gagal. Hanya setelah personel non-tempur dan brigade dari Lepo Lepo tiba di Kendari II, baru ia menerima laporan tentang pendaratan Jepang di dekat Sampara.[26]

Ketika dia menerima kabar tentang munculnya armada Jepang, Anthonio pergi ke garis pantai Kendari, di mana ia melihat kapal perang dan kapal pengangkut secara pribadi, dan segera kembali ke Mandongan. Di sana, dia mengorganisir pasukan Aronds untuk bertahan melawan serangan Jepang, namun laporan pendaratan pasukan Jepang di Sampara membuatnya pergi ke Kota Kendari; Anthonio takut para pesawat Jepang akan menembakinya jika dia menuju lanud. Di Kendari, Anthonio membagi pasukan garnisun menjadi dua kelompok (masing-masing sekitar 40 tentara) dan memerintahkan mereka untuk bergerak ke pedalaman. Satu kelompok di bawah Anthonio berhasil masuk, sementara pasukan Mori menangkap kelompok kedua dan memenggal dua sersan yang memimpinnya.[27]

Setelah diberitahu sebelumnya tentang pendaratan pasukan Jepang, Letnan Aronds meninggalkan Kendari menuju Mandongan dan menghancurkan markas Belanda di sana. Penduduk setempat kemudian menginformasikan kemajuan Jepang sepanjang jalan Kendari-Wawotobi kepadanya, dan ia meneruskannya ke Anthonio. Aronds kemudian diperintahkan untuk memberi tahu Lanud Kendari II tentang kondisi ini dan memerintahkan pasukan Belanda disana untuk memulai demolisi Lanud. Anthonio lalu mengorganisir Aronds dan 15 prajuritnya untuk bertahan melawan serangan Jepang di penanda 7 km jalan. Aronds mencoba menghubungi tiga brigade di daerah Mandongan - Lepo Lepo untuk bergabung dengannya, tetapi mereka tidak dapat dihubungi. Dia akhirnya harus mempertahankan posisi itu sendirian.[28]

Di lanud, demolisi dimulai dalam banyak kebingungan sekitar pukul 12:00. Letnan Schalen, dibantu oleh kru AA, segera menghancurkan gudang, stasiun radio, instalasi diesel, senjata AA, dan semua kendaraan. Tempat penyimpanan bom pesawat tidak dapat dihancurkan, karena mereka tidak memiliki bahan peledak.[29] Setengah jam kemudian, Van Straalen dan brigadenya mundur ke pedalaman, meninggalkan dua brigade di bawah Sersan G.J. van Duuren dan Sersan Mayor Vellinga untuk melawan pasukan Jepang saat mereka memasuki lapangan terbang. Namun pada pukul 17.00, Mori berhasil menduduki dan mengamankan Kendari II. Pada pukul 03:05 pada hari berikutnya, Mori melaporkan: "[Lapangan udara] segera tersedia untuk 30 pesawat tempur. [Kondisi] lapangan terbang cukup baik dan dapat digunakan bahkan oleh pesawat serang darat berukuran sedang tanpa masalah."[30]

Dalam beberapa jam, 25 Mitsubishi Zero dan lima Mitsubishi Babs dari Grup Serangan Udara Ke-1 mendarat di lanud, diikuti oleh Markas Besar Armada Udara Ke-21 dan 27 pesawat pembom dari Grup Udara Kanoya. Antara 27 Januari dan 6 Februari, 19 pesawat Zero dan sembilan pengebom tukik dari Grup Udara ke-2 tiba sebagai bala bantuan.[31]

Tabrakan antara Nagara dan Hatsuharu

Kapal perusak Jepang Hatsuharu

Pada pagi hari tanggal 25 Januari, kapal perusak Divisi Penghancur ke-21 (Hatsuharu, Hatsushimo, Nenohi, Wakaba) berlayar menuju Kendari untuk memperkuat Unit Pangkalan Ke-1. Jarak pandang saat itu sangat terbatas akibat hujan deras, dan ini mengakibatkan kapal perusak Hatsuharu bertabrakan dengan kapal Komandan Unit Pangkalan Ke-1, Nagara saat melaju dengan kecepatan tinggi 21 knot. Akibatnya, sisi kanan dan struktur atas Nagara rusak, sementara haluan Hatsuharu ke menara putar dan meriam depan hancur.[32]

Karena kecelakaan ini, Laksamana Kubo harus memindahkan komandonya ke kapal perusak Hatsushimo, sementara Nagara ditinggalkan berlayar sendiri ke Davao untuk diperbaiki. Dikawal oleh Nenohi dan Wakaba, Hatsuharu juga berlayar ke Davao untuk perbaikan, dan akhirnya bala bantuan untuk Unit Pangkalan Ke-1 berkurang jauh. Kecelakaan ini membebani kapasitas operasional Unit Serang Timur, yang sekarang menghadapi kekurangan kapal yang lebih kecil. Laksamana Takagi kemudian menunda kembalinya Divisi Perusak ke-16 ke pelabuhan Bangka untuk mempersiapkan operasi Ambon selama satu hari.[33]

Mundur ke pedalaman

Setelah Kendari II direbut, pasukan Belanda segera mundur ke kota Tawanga di Sungai Koneweha, dan dari sana mereka akan memulai perang gerilya. Kapten Anthonio dan kelompoknya pergi ke barat untuk melalui jalan pintas ke Ambekari (Ambekairi).[34] Kelompok Lt. Aronds, yang tinggal berjumlah 4 orang (termasuk dirinya), bergabung dengan Anthonio di dekat Mandiodo, sebuah desa pesisir di barat laut Kota Kendari. Namun, kelompok ini akhirnya berkeliaran tanpa tujuan di Sulawesi Tengah sebelum akhirnya tiba di Enrekang di Sulawesi Selatan pada 8 Maret.[35] Sementara itu, grup Kapten Van Straalen menuju Mawila di timur Kendari II setelah meninggalkan lanud. Sepanjang jalan, dia membagi kelompoknya, pertama dengan memerintahkan Sersan Mayor J.C.W. van Ploeg untuk mengambil alih komando sebagian dari grup dan menggiring mereka ke Tawanga melalui Ammoesoe (Amesiu). Van Straalen dan sisa grupnya akan pergi ke Motaha, di mana dia bergabung dengan dua brigade yang sedang melacak para desertir. Rombongannya tiba di Tawanga pada tanggal 31 Januari dan mulai mendirikan markas mereka, termasuk sebuah stasiun radio di Sanggona. Dua hari kemudian, kelompok Ploeg melapor ke Tawanga dengan 20 tentara.[36]

Pasukan di Kendari II (dibagi diantara Schalen, Vellinga dan Bruijnius) menuju ke selatan, tanpa mengetahui tentang titik pertemuan di Tawanga. Grup Schalen berjalan selama 8 sampai 10 hari sebelum akhirnya mencapai Tawanga pada 14 Februari. Grup Bruijnius (33 tentara) berakhir di selatan Pegunungan Borobudur pada minggu pertama bulan Februari. Karena dia tidak yakin di mana lokasi sebenarnya markas pertemuan, grupnya memutuskan untuk meninggalkan Sulawesi dan berhasil mencapai Timor. Sebagian dari grupnya (penembak senapan mesin) akhirnya ditempatkan di Koepang (Kupang), sementara sebagian lainnya (penembak AA) dipindahkan ke Jawa. Grup Vellinga menemui pasukan Jepang dalam perjalanan ke Tawanga, dan dia dan beberapa orang dari grupnya tewas dalam baku tembak.[37]

Perang gerilya

Serangan Jepang ke Sulawesi, Januari–Februari 1942

Pada awal kampanye gerilya, Kapten Van Straalen mengkomandoi sekitar 250 orang (100 di antaranya infanteri) di Tawanga. Dia membagi para infanteri menjadi enam brigade dan menempatkan mereka dalam formasi pertahanan, dengan tiga ditempatkan tepat di selatan Asenoea (Asinua), dua di Tawanga dan satu di timur Tawanga. Karena Kapten Wittich memiliki lebih banyak pengetahuan tentang wilayah ini, Van Straalen menunjuknya untuk memimpin semua brigade. Serangan udara Jepang yang terus menerus akhirnya memaksa Van Straalen untuk memindahkan pangkalan gerilyanya 16 km ke barat ke Paraboea (Parabua).[38]

Meskipun mereka memiliki pasukan yang cukup besar, pasukan Belanda hanya melakukan sedikit aksi gerilya di wilayah tersebut. Antara 7-8 Februari, satu grup di bawah Ploeg menyerang dan memukul mundur patroli Jepang di Asanoea dan menghancurkan sebuah jembatan. Ketika marinir Jepang kembali lagi ke desa itu, pasukan Ploeg menyergap mereka dan memukul mereka mundur. Aksi tersebut menelan 8 korban jiwa dari sisi grup Ploeg. Pada pertengahan Februari, grup Sersan A.D. Voomeman mengusir pasukan Jepang dalam baku tembak di Ambekari;[39] pada tanggal 22 Februari, 30 tentara Jepang tewas dalam penyergapan di dekat Aimendi.[40]

Karena kemungkinan bahwa pasukan Jepang mengetahui tentang pangkalan gerilya Belanda semakin besar, Van Straalen menerima pesan radio pada tanggal 26 Februari dari Marinus Vooren, komandan semua pasukan Belanda di Sulawesi. Vooren memerintahkannya untuk bergabung dengan sisa pasukan Belanda yang masih bertahan di Sulawesi Barat Daya; 14 hari sebelumnya, Van Straalen telah mengirim semua non-kombatan di bawah Petugas Medis Waisfisz untuk bergabung dengan Vooren.[41] Pada tanggal 1 Maret, Van Straalen dan seluruh grupnya mulai berjalan melalui Pegunungan Mekongga dan mencapai desa pesisir Loho Loho setelah lebih dari tujuh hari. Mereka menyewa sepuluh perahu dan menyeberang melintasi Teluk Boni selama empat hari. Dengan sekitar 100 orang, Van Straalen tiba di Palopo pada 17 Maret, namun ia diberitahu bahwa Vooren sudah menyerah sepuluh hari yang lalu. Grupnya lalu pergi ke Enrekang dan melapor ke Letnan Kolonel A.L. Gortmans, yang masih bertahan dan menolak untuk menyerah.[42]

10 hari kemudian, setelah dibujuk oleh para sesama komandan Belanda, termasuk Vooren, Gortmans akhirnya menyerah kepada Jepang, mengakhiri semua perlawanan terorganisir Belanda di Sulawesi Barat Daya.[43][44]

Pasca-Pertempuran

Selama pertempuran di Kendari, pasukan Jepang hanya mengalami kehilangan empat orang terluka (dua selama serangan, dua dari kecelakaan tabrakan antara Hatsuharu dan Nagara).[45] Pada tanggal 26 Januari, kapal induk pesawat laut Chitose dan Divisi Perusak ke-16 meninggalkan Kendari, diikuti oleh Pasukan Sasebo dan Divisi Perusak ke-15 pada tanggal 27, kapal induk pesawat laut Mizuho dan Divisi Penyapu Ranjau Ke-21 pada tanggal 29 dan pasukan lainnya pada tanggal 30 untuk mempersiapkan serangan ke Ambon dan Makassar.[46] Satu kompi dari Batalyon Ke-2 Pasukan Sasebo tetap berada di Kendari sebagai pasukan pendudukan.[47]

Secara keseluruhan, kurangnya kepemimpinan tegas dan organisasi dari Anthonio dan Van Straalen memainkan peran penting dalam kemenangan cepat Jepang di Kendari. Kampanye gerilya yang menyusul kemudian tidak membuahkan hasil karena tidak adanya dukungan penduduk lokal. Mereka didorong baik oleh takut terhadap pasukan Jepang, atau ketidakpedulian mereka dengan pasukan Belanda. Di antara penduduk setempat, mereka berkomentar tentang militer Belanda: "Kompeni tida lakoe, Marine tida berani" ("Tentara tidak tahu apa yang dilakukannya, angkatan laut tidak memiliki keberanian.")[48]

Catatan Kaki

  1. ^ Nortier (1988), pp. 63
  2. ^ Remmelink (2018), pp. 160
  3. ^ Womack (2016), pp. 123
  4. ^ Nortier (1988), pp. 61
  5. ^ Nortier (1988), pp. 61, 63
  6. ^ Remmelink (2015), pp. 4, 346
  7. ^ Bertke (2013), pp. 228
  8. ^ Nortier (1988), pp. 63
  9. ^ Koninklijke Nederlands Indisch Leger (1948), pp. 345
  10. ^ Nortier (1988), pp. 65
  11. ^ De Jong (1984), pp. 837
  12. ^ Koninklijke Nederlands Indisch Leger (1948), pp. 346
  13. ^ Nortier (1988), pp. 63
  14. ^ Nortier (1988), pp. 64
  15. ^ Remmelink (2015), pp. 130
  16. ^ Remmelink (2018), pp. 174
  17. ^ Womack (2016), pp. 122
  18. ^ Boer (1990), pp. 30
  19. ^ Nortier (1988), pp. 66, 67
  20. ^ Womack (2016), pp. 122
  21. ^ Cox (2014), pp. 174
  22. ^ Womack (2016), pp. 122
  23. ^ Womack (2016), pp. 123
  24. ^ Nortier (1988), pp. 67
  25. ^ Nortier (1988), pp. 68
  26. ^ Nortier (1988), pp. 69
  27. ^ Nortier (1988), pp. 69
  28. ^ Boer (1990), pp. 31
  29. ^ Remmelink (2018), pp. 201
  30. ^ Boer (1990), pp. 31
  31. ^ Remmelink (2018), pp. 202
  32. ^ Remmelink (2018), pp. 204
  33. ^ De Jong (1984), pp. 838
  34. ^ Nortier (1988), pp. 71
  35. ^ Nortier (1988), pp. 72
  36. ^ Nortier (1988), pp. 73
  37. ^ Nortier (1988), pp. 74
  38. ^ Nortier (1988), pp. 73
  39. ^ Koninklijke Nederlands Indisch Leger (1948), pp. 347
  40. ^ Nortier (1988), pp. 74
  41. ^ Koninklijke Nederlands Indisch Leger (1948), pp. 347
  42. ^ Womack (2016), pp. 123
  43. ^ Nortier (1988), pp. 101
  44. ^ Remmelink (2018), pp. 202
  45. ^ Remmelink (2018), pp. 204
  46. ^ Nortier (1988), pp. 74
  47. ^ Nortier (1988), pp. 73

Referensi

  • Bertke, Susan (ed.). (2013). World War II Sea War, Vol. 5: Air Raid Pearl Harbor. This Is Not a Drill. Dayton: Bertke Publications. ISBN 9781937470050.
  • Boer, P.C., et al. (1990). De luchtstrijd om Indie: operaties van de militaire luchvaart KNIL in de periode December 1941 tot Maart 1942. Houten: Van Holkema & Warendorf. ISBN 9026941609.
  • Cox, Jeffrey. (2014). Rising Sun, Falling Skies: The Disastrous Java Sea Campaign of World War II. Oxford: Osprey Publishing. ISBN 9781427810601.
  • De Jong, Loe. (1984). Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog: Deel 11a – Nederlands-Indië I. Leiden: Martinus Nijhoff. ISBN 9789024780440.
  • Koninklijke Nederlands Indisch Leger (1948). "De Strijd Op Celebes Gedurende Januari, Februari en Maart 1942". Militaire Spectator, 117.
  • Nortier, J.J. (1988). De Japanse Aanval op Nederlands-Indie. Rotterdam: Donker. ISBN 9061003024.
  • Remmelink, William. (terj. dan ed.). (2015). The invasion of the Dutch East Indies. Leiden: Leiden University Press. ISBN 978 90 8728 237 0.
  • Remmelink, William. (terj. dan ed.). (2018). The Operations of the Navy in the Dutch East Indies and the Bay of Bengal. Leiden: Leiden University Press. ISBN 978 90 8728 280 6.
  • Womack, Tom (2016). The Allied Defense of the Malay Barrier, 1941–1942. Jefferson: McFarland et Company. ISBN 978-1-4766-6293-0.
Baca informasi lainnya:
Kembali kehalaman sebelumnya