Share to:

Sekolah Kartini

Kartini School di Batavia (Jakarta)
Opening of the Katrini School di Buitzenborg (Bogor) Mei 1915
Bangunan Kartini School di Buitenzorg (dibuka 1918)
Ruang kelas
Kartini school di Malang

Kartini School atau Sekolah Kartini adalah sekolah khusus untuk perempuan yang didirikan oleh Yayasan van Deventer di beberapa tempat untuk mendidikan para siswa perempuan berdasarkan keinginan Raden Ajeng Kartini. Awalnya berdiri tahun 1912 di Semarang.

Latar Belakang Kartini School

Pada masa keuasaan VOC aktivitas pendidikan di Nusantara atau saat itu dikenal dengan Hindia Belanda khusunya untuk kaum pribumi berjalan lambat. Hingga kemudian pada pertengahan abad ke-19. Beberapa sekolah mulai didirikan pemerintah seperti Hogere Burger School (HBS) pada tahun 1864 di Batavia. Disusul pendirian HBS di Surabaya pada tahun 1875 dan di Semarang tahun 1878.[1]

Pada tahun 1903, Kartini mendirikan sekolah untuk wanita-wanita Jawa, yang bertujuan memberikan pendidikan dan keterampilan kepada mereka sehingga dapat mengejar karier dan menjalani kehidupan mandiri. Sekolah tersebut, yang ia sebut "Sekolah Kartini," adalah inisiatif yang revolusioner yang membuka jalan bagi pendidikan perempuan di Indonesia. Melalui karyanya, Kartini menjadi teladan dan inspirasi bagi perempuan di seluruh negeri.[2]

Dengan diresmikannya politik etis pada awal abad ke-20 menjadi momentum perbaikan sistem pendidikan bagi penduduk pribumi agar lebih baik. Pada awal pelaksanaan politik etis, pribumi sulit masih takut untuk bersekolah di sekolah pemerintah karena khawatir akan terpengaruh budaya barat yang dianggap tidak baik. Hingga pada tahun 1906 secara perlahan antusiasme pribumi yang menempuh pendidikan di sekolah semakin besar, namun jumlah sekolah yang disediakan tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang ingin bersekolah.[3]

Keadaan pendidikan yang belum merata untuk semua lapisan masyarakat, menimbulkan inisiatif dari para elit[4] untuk mendirikan sekolah. Mereka mendirikan berbagai sekolah umum dan kejuruan yang meniru metode dan sistem pengajaran Barat dengan landasan cita-cita nasional. Perhatian terhadap pendidikan bagi penduduk Hindia Belanda juga datang dari kalangan masyarakat Belanda yaitu para misonaris dan zending serta tokohtokoh masyarakat Belanda salah satunya adalah CH. T. Van Deventer.

Van Deventer yang merupakan salah satu penggiat politik etis melakukan sebuah gebrakan dalam bidang pendidikan dengan mendirikan Sekolah Kartini di Semarang pada tahun 1913. Sekolah ini berada di bawah naungan Yayasan Kartini (Kartini Vereneging) yang didirikan di Belanda pada 1912 dan hanya menerima siswa perempuan Jawa.

Lokasi Kartini School

Yayasan Kartini pertama kali mendirikan Sekolah Kartini di Semarang pada tahun 1913. Sekolah ini kemudian didirikan di kota lain di Pulau Jawa pada tahun berikutnya. Total keseluruhan Sekolah Kartini berjumlah tujuh buah.

Lokasi Sekolah Kartini dan Tanggal Diresmikan[5]
No Lokasi Diresmikan
1 Semarang 15 September 1913
2 Madiun 5 Januari 1914
3 Batavia 11 Januari 1914
4 Buitenzorg Februari 1914
5 Malang September 1915
6 Cirebon 31 Januari 1916
7 Pekalongan 1 November 1916

Conrad Theodore van Deventer (1857-1915)

Conrad Theodore van Deventer (1857-1915) dikenal sebagai seorang ahli hukum Belanda dan juga tokoh Politik Etis (1901).

Pada 1899 Deventer menulis dalam majalah De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). Pengertian Eereschuld secara substasial adalah: Hutang yang demi kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat di tuntut dimuka hakim. Tulisan itu menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur dan aman (adanya kereta api, bendungan-bendungan, dst) adalah hasil kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di Hindia Belanda, sementara Hindia Belanda saat itu miskin dan terbelakang. Jadi sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan.

Ketika pada tahuan 1911 surat-surat Kartini diterbitkan, Van Deventer terkesan sekali, sehingga tergerak untuk menulis sebuah resensi yang panjang-lebar, sekadar untuk menyebarluaskan cita-cita Kartini, yang cocok dengan cita-cita Deventer sendiri: mengangkat bangsa pribumi secara rohani dan ekonomis, memperjuangkan emansipasi mereka.

Sekolah Kartini berdiri di Semarang tahun 1912

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah Sekolah Kartini. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Kartini Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Sekolah Khusus Putri Priayi

Sebelum beroperasi secara resmi, Sekolah Kartini telah menerima dana tidak kurang dari f23.000 dari pemerintah Belanda. Dana tersebut diberikan untuk pembangunan fasilitas sekolah. Hal tersebut membuat Sekolah Kartini menjadi sekolah perempuan swasta pertama yang menerima subsidi dana secara resmi dari pemerintah Belanda.

Pada tahun pertama pembukaan sekolah ini, ada sekitar 112 siswi mulai dari usia 7 sampai dengan 13 tahun. Setiap siswa menempuh pendidikan di sekolah ini selama dua tahun. Sekitar tahun 1920-an, sekolah ini memiliki lebih dari 200 siswi. Lama pendidikan di sekolah ini pun berubah menjadi tujuh tahun.

Awalnya, karena status Kartini sebagai ningrat, sekolah ini hanya berisi anak-anak priyayi. Pengurus serta pengajar sekolah pun masih dikelola oleh para perempuan Belanda. Setelah keberadaan sekolah mulai dikenal luas dan semakin bertambahnya jaringan sekolah, perlahan kebijakan sekolah pun berubah. Jumlah anak-anak gadis dari kalangan menengah mulai menyekolahkan anaknya di sekolah ini.

Selain di Semarang, Vereeniging Bataviasche Kartinischool (Perhimpunan Sekolah Kartini Batavia) mendirikan juga Sekolah Kartini di Jakarta. Sekolah ini menjadi menampung anak-anak yang berasal dari kalangan menengah di sekolah Kemadjoean Istri School. Sekolah ini dikategorikan sebagai sekolah pribumi kelas dua.

Pada tahun 1928, keadaan Sekilah Kartini mulai mengalami perubahan. Keterlibatan perempuan dalam kebangkitan nasional mulai memengaruhi kebijakan sekolah. Perempuan pribumi mulai dilibatkan untuk mengajar dan menjadi pengurus di sekolah tersebut[6]

Referensi

  1. ^ Bosma, Ulbe (2008). Being "Dutch" in the Indies: A History of Creolisation and Empire, 1500-1920. NUS Press. 
  2. ^ "R.A Kartini: Pioneering Women's Rights and Education in Colonial Indonesia". Raffles Bali (dalam bahasa Inggris). 2023-04-25. Diakses tanggal 2023-08-06. 
  3. ^ Van Niel, Rober (1984). Munculnya Elit Modern Indonesia, terjemahan Zahara Deliar Noer. Jakarta: Pustaka Jaya. 
  4. ^ Pengertian para elit adalah para penduduk pribumi yang telah berhasil untuk mendapatkan pendidikan. Dalam stratifikasi sosial penduduk saat itu, mereka dianggap sebagai golongan baru yaitu golongan terdidik yang mulai memiliki rasa nasionalisme. Kepedulian mereka terhadap nasib kaum sebangsanya (pribumi Hindia Belanda) sangat besar sehingga mereka rela mengorbankan apa yang dimiliki demi perjuangan.
  5. ^ Jubileum Verslag Uitgegeven Ter Gelegenheid Van Het 25 Jarig Bestaan Der Vereeniging Kartinifonds.
  6. ^ "Sekolah Kartini: Balas Budi Perempuan Belanda kepada Pribumi". tirto.id. Diakses tanggal 2021-06-11. 

.

Baca informasi lainnya:
Kembali kehalaman sebelumnya