Suku Dayak Bakumpai
Suku Dayak Bakumpai (Belanda: Becompaijers/Bekoempaiers/Becompayer) adalah salah satu subetnis Dayak Ngaju[2] yang beragama Islam.[3] Suku Bakumpai terutama mendiami sepanjang tepian daerah aliran sungai Barito di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yaitu dari kota Marabahan, sampai kota Puruk Cahu, Murung Raya. Secara administratif Suku Bakumpai merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 7,51% dari penduduk Kalimantan Tengah, namun akhirnya suku Bakumpai digabung ke dalam suku Dayak semenjak sensus BPS RI tahun 2010.[4].
Suku Bakumpai berasal bagian hulu dari bekas Distrik Bakumpai sedangkan di bagian hilirnya adalah pemukiman orang Barangas/Baraki (bagian Distrik Banjarmasin). Sebelah utara (hulu) dari wilayah bekas Distrik Bakumpai adalah wilayah Distrik Mangkatip (Mengkatib) merupakan pemukiman suku Dayak Bara Dia atau Suku Dayak Mangkatip. Suku Bakumpai maupun suku Mangkatip merupakan keturunan suku Dayak Ngaju dari Tanah Dayak. Asal Usul Dayak BakumpaiBerdasarkan cerita rakyat mengenai asal usul orang Bakumpai rakyat pun menunjukkan hal yang sama. Dahulu kala, sungai Barito dari Muara Pulau sampai ke sebelah hilir Ujung Panti itu tidak ada. Waktu itu sungai Barito yang ada hanya Muara Pulau terus ke hulu sana. Dari Muara Pulau itu kalau orang hendak ke Banjar atau orang Banjar hendak ke Barito terpaksa belok ke sungai Kahayan, yang hanya satu-satunya lalu lintas air Banjar – Barito. Pada waktu itu hulu Sungai Barito sana ada sebuah kampung yang bernama Air Manitis, yang didiami oleh suku bangsa Dusun Biaju. Suku itu diperintah oleh seorang kepala suku yang mempunyai dua orang anak kembar kemanikan (laki-laki dan perempuan). Anak yang tua laki-lakai namanya Patih Bahandang Balau. Ia diberi nama demikian, karena rambutnya (balau) merah (bahandang) seperti rambut orang Belanda, sedangkan nama Patih itu bukan nama jabatan akan tetapi memang namanya. Anaknya yang kecil perempuan yang diberi nama Datu Sadurung Malan. Ia dinamakan demikian karena kelihatannya ia seperti memakai kerudung (tutup kepala) yang biasanya dipakai oleh perempuan yang sedang bertani (malan), sedangkan nama Datu bukan datu yang berarti orang tertua dari nenek, tetapi memang namanya demikian. Datu Sadurung Malan sangat cantik parasnya, sehingga banyak pemuda yang ingin memperistrinya. Karena parasnya sangat cantik sehingga kakaknya jatuh cinta padanya. Pernah sekali ia bersama berada di sawah, pada waktu itu kakaknya mengatakan bahwa ia ingin memperistrinya. Tentu saja Datu Sadurung Malan tidak akan mau kawin dengan kakaknya sendiri. Setelah kejadian itu Datu Sadurung Malan tidak lagi pergi ke sawah bersama kakaknya, kecuali kalau ada ayahnya, baru ia berani. Hari terus berjalan, Patih Bahandang Balau makin bertambah keinginannya untuk memperistrikan adiknya. Orang tua mereka tidak mengetahui persoalan mereka berdua. Tidak kuat menahan hatinya lagi, maka Pathi Bahandang Balau mengancam hendak membunuh adaiknya kalau ia tidak mau kawin dengannya. Mendengar ancaman kakaknya itu, Datu Sadurung Malan berpikir hendak pergi jauh. Waktu tengah malam ketika kakak dan ayahnya sedang tidur, ia pergi ke luar rumah dan terus turun ke sungai masuk ke dalam perahunya. Sesudah tali sampannya lepas, dikayuhnya sampannya perlahan. Hatinya terasa lega ketika ia telah jauh dari rumah. Dengan perasaan hati yang lega dipercepatnya kayuhannya, dan bermaksud hendak ke Banjar dan terus ke Jawa. Sampai di Muara Pulau, ia tidak mau belok ke sungai Kahayan, karena ia takut kalau dikejar-kejar kakaknya. Dibuatnyalah jalanan sendiri. Ditariknya sampannya sehingga terbentuk sungai kecil. Pada mulanya memang belum ada airnya, tetapi lama kelamaan berair juga karena hujan, hingga akhirnya terbentuk sungai yang banyak dilalui orang. Demikianlah sungai itu bertambah lama bertambah besar dan sampai sekarang dinamai orang Sungai Barito. Setelah Datu Sadurung Malan sampai ke Banjar, kemudian ia menumpang kapal yang menuju ke pulau Jawa, sedangkan kakaknya Patih Bahandang Balau, sesudah mengetahui adiknya tidak lagi di rumah dan mulai menginsafi dirinya. Untuk menghibur hatinya yang sakit ia beristri dengan seorang perempuan di kampungnya, sampai beranak cucu. Anak cucunya sampai saat ini masih ada yang sekarang menjadi orang Barito atau orang Dusun Biaju. Setelah Datu Sadurung Malan mendengar kakaknya sudah mempunyai istri, ia kembali ke Kalimantan. Sebelumnya ia sudah bersuami dan beranak cucu. Anak cucunya hendak dibawanya ke Air Manitis kembali. Ia heran melihat bekas jalannya dahulu ramai menjadi lalu lintas orang. Ia hendak mendirikan rumah di situn, kemudian ia menaruh ayam jantan ke arah matahati terbit, tetapi ayam itu tidak mau berkokok. Sesudah dihadapkan ke arah seberangnya, ayam itu mau berkokok, ia mempercayai bahwa itulah tandanya kalau tanah disitu baik untuk dibangun rumah. Dibuatnyalah rumah di sana, sampai akhirnya banyak orang tinggal di situ. Sampai sekarang kampung itu masih ada yang sekarang dinamai Kampung Bakumpai atau Kota Marabahan sekarang. Seperti itulah asal usul terjadinya sungai Barito, kampung Bakumpai dan kampung orang Dusun. (Ibrahim, dkk, 1979:98-99) Kisah tentang Patih Bahandang Balau ini tampaknya menceritakan beberapa hal, yakni:
Kalau ditanyakan kepada orang Bakumpai, asal-usul nenek moyang mereka dan tempat asalnya, mereka pada umumnya mengatakan berasal dari Marabahan, tepatnya dari salah satu kampung di kota Marabahan sekarang ini, yang dulu disebut lebu Bakumpai ‘kampung Bakumpai’. Ada yang mengatakan bahwa kampung itu ialah kampung Bagus sekarang ini. Nama Bakumpai ini diabadikan, yang meliputi wilayah kota Marabahan dan sekitarnya. (Ibrahim, dkk, 1979:2) [5] Silsilah Dayak BakumpaiMenurut Tjilik Riwut, Suku Dayak Bakumpai merupakan suku kekeluargaan yang termasuk golongan suku (kecil) Dayak Ngaju. Suku Dayak Ngaju merupakan salah satu dari 4 suku kecil bagian dari suku besar (rumpun) yang juga dinamakan Dayak Ngaju (Ot Danum). Mungkin adapula yang menamakan rumpun suku ini dengan nama rumpun Dayak Ot Danum. Penamaan ini juga dapat dipakai, sebab menurut Tjilik Riwut, suku Dayak Ngaju merupakan keturunan dari Dayak Ot Danum yang tinggal atau berasal dari hulu sungai-sungai yang terdapat di kawasan ini, tetapi sudah mengalami perubahan bahasa. Jadi suku Ot Danum merupakan induk suku, tetapi suku Dayak Ngaju merupakan suku yang dominan di kawasan ini. Suku Dayak (suku asal), terbagi suku besar (rumpun):
Perbandingan hubungan suku Bakumpai dengan suku Dayak Ngaju, seperti hubungan suku Tengger dengan suku Jawa. Suku Dayak Ngaju merupakan suku induk bagi suku Bakumpai. Populasi Suku Bangsa BakumpaiMenurut situs "Joshua Project" Suku Bakumpai berjumlah 41.000 jiwa. Populasi Suku Bakumpai di Kalimantan Selatan pada sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik berjumlah 20.609 jiwa. Di Kalimantan Selatan, suku Bakumpai terbanyak terdapat di kabupaten Barito Kuala sejumlah 18.892 jiwa (tahun 2000).
Secara keseluruhan populasi Suku Bakumpai diperkirakan sebagai berikut:
Agama / KepercayaanPada masa sekarang, hampir seluruh masyarakat Dayak Bakumpai beragama Islam sedangkan yang beragama Kristen hampir tidak ada dan relatif sudah tidak tampak religi suku, seperti pada kebanyakan suku Dayak (Kaharingan) lainnya. Upacara adat yang berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan lama, yakni ritual "Badewa" dan "Manyanggar Lebu". Suku Bakumpai memeluk agama Islam diperkirakan pada akhir Abad ke-16 tepatnya pada tahun 1688 Masehi. Pengaruh ajaran Islam terlihat hampir di setiap aspek kehidupan masyarakat Bakumpai, seperti: sistem kemasyarakatan, kekerabatan, gaya hidup, bahkan dalam unsur kesenian. Daerah Marabahan, merupakan pusat kediaman suku Bakumpai, yang telah banyak menghasilkan ulama-ulama besar yang menyebarkan agama Islam sampai ke hulu Sungai Barito. EtimologisSecara etimologis, bakumpai adalah julukan bagi suku dayak yang mendiami daerah aliran sungai barito. bakumpai berasal dari kata ba (dalam bahasa banjar) yang artinya memiliki dan kumpai yang artinya adalah rumput. Dari julukan ini, dapat dipahami bahwa suku ini mendiami wilayah yang memiliki banyak rumput. menurut legenda, bahwa asal muasal Suku Dayak Bakumpai adalah dari Suku Dayak Ngaju yang akhirnya berhijrah ke negeri yang sekarang disebut dengan negeri Marabahan. Pada mulanya mereka menganut agama nenek moyang yaitu kaharingan, hal ini dapat dilihat dari peninggalan budaya yang sama seperti Suku Dayak lainnya, seperti (Batatenga|bubur bahandang), mempercayai adanya nilai magis pada beras kuning (Behas Bahenda), mempercayai bahwa burung elang (burung antang) dapat membawa sebuah berita kematian, kekuatan rohani/batin disebut dengan istilah (batekang hambaruan), dan adanya tradisi (tampung tawar). Di dalam cerita mereka kemudian masuk agama Islam dan berkembang biaklah mereka menjadi suatu suku. suku bakumpai adalah julukan bagi mereka, karena apabila mereka belajar agama di suatu daerah dengan gurunya khidir, maka tumbuhlah rumput dari daratan tersebut, sehingga kemudian mereka dikenal dengan suku bangsa bakumpai. Suku Dayak Bakumpai dahulunya memiliki suatu kerajaan yang lebih tua dibandingkan dengan kerajaan daerah Banjar, akan tetapi karena daya magis yang luar biasa akhirnya kerajaan ini berpindah ke Sungai Barito dan rajanya dikenal dengan nama Datuk Barito. Dari daerah Marabahan ini kemudian mereka menyebar ke hulu Sungai Barito. Dalam hal matapencaharian, masyarakat Dayak Bakumpai umumnya mengandalkan aktivitas pertanian. Aktivitas pertanian biasanya mereka lakukan di lahan gambut. Masyarakat Dayak Bakumpai cenderung mencari lahan pertanian baru untuk mengganti lahan pertanian lama. Hal itu tentunya berbeda dengan Suku Dayak lain yang kebanyakan lebih memilih untuk tetap memberdayakan lahan yang lama. Selain itu, aktivitas pertanian yang mereka lakukan biasanya hanya untuk memproduksi satu jenis komoditas tertentu, yaitu padi. Hal itu mereka lakukan karena kebutuhan mereka hanya untuk memenuhi urusan pangan saja. Namun demikian, pertambahan jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatan kebutuhan pangan “menuntut” mereka untuk melakukan perluasan lahan pertanian yang lebih masif.[6] Meskipun melakukan pembukaan lahan lumayan masif, masyarakat Dayak Bakumpai tetap memperhatikan unsur-unsur kelestarian alam. Mereka tidak membuka lahan secara sembarangan. Mereka percaya bahwa alam dititipkan nenek moyang untuk dijaga. Kepercayaan tersebut mereka wujudkan dalam bentuk kearifan lokal yang secara turun temurun telah mampu mencegah terjadinya kebakaran dan menjaga kualitas lahan gambut, namun tetap menghasilkan produk pertanian yang memuaskan.[6] Beberapa bentuk kearifan lokal tersebut diwujudkan dalam:[6]
Organisasi Suku BakumpaiOrganisasi suku Bakumpai adalah "Kerukunan Keluarga Bakumpai" (KKB).
Organisasi KKB merupakan primordialisme Suku Bakumpai di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Di luar wilayah kedua provinsi ini biasanya orang Bakumpai bergabung ke dalam organisasi Suku Banjar. Keturunan orang Bakumpai beserta orang Kutai dan Berau di Malaysia termasuk ke dalam kategori Suku Banjar. Pada tahun 1955, Kerukunan Keluarga Bakumpai merupakan salah satu peserta pemilu di wilayah Kalimantan. Kantor pusat KKB terletak di Banjarmasin, dengan cabang-cabang yang terdapat di:
Tokoh-tokoh dan peranan
Referensi
Pranala luar |