Suku Kamoro
Suku Kamoro atau Mimika Wee[2] adalah kelompok etnis yang tinggal di wilayah pesisir selatan Papua, Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Luas daerah tersebut sekitar 250 km, yang membentang dari Sungai Otakwa di sisi timur hingga mendekati Potowai Buru di sisi barat. Sebagai masyarakat semi-nomaden, orang Kamoro tinggal di tiga ekosistem, yaitu hutan hujan tropis, rawa-rawa bakau dan daerah muara yang kaya akan sumber makanan.[3] EtimologiNama Kamoro berasal dari kata kamoroaiku yang berarti orang hidup, nama Kamoro mulai populer saat tahun 1996 disaat Freeport Indonesia mulai membagikan dana 1 persen melalui Yayasan Kamoro. Nama ini berdasarkan kepercayaan rakyat tentang peperangan Kamoroaiku dengan Bee (setan) yang dimenangkan Kamoroaiku (orang hidup).[2] Sumber lain menyebut asal nama tersebut adalah kamuruu yang artinya "pendatang",[4] berkebalikan dengan nama suku Sempan, yang berarti "tuan tanah".[5] Sedangkan nama suku Mimika diambil karena Mimika memiliki daerah aliran sungai yang besar dan memiliki arus. Sungai tersebut bernama Mimiaika. Mimi artinya air dan Aika artinya arus sehingga Mimiaika adalah Arus dari gunung. Nama sungai ini digunakan pertama kali oleh Portugis untuk menyebut suku yang tinggal di daerah tersebut.[2] PopulasiPada tahun 1986 jumlah penduduk distrik Mimika Timur adalah 16.305 jiwa dan distrik Mimika Barat 6.743 jiwa, yang tersebar di antara 75.766 jiwa penduduk Kabupaten Fakfak. Pada tahun 1990 penduduk kabupaten ini telah menjadi 88.488 jiwa. Jumlah orang Kamoro sendiri diperkirakan sekitar 8.000 jiwa, sekaligus penutur bahasa yang disebut bahasa Kamoro. Suku Kamoro kaya akan ragam budaya, antara lain kegiatan menganyam oleh kaum wanita, mengukir oleh kaum pria, nyanyian, tarian, cerita legenda dan ritual ‘karapao’ yang masih diselenggarakan hingga saat ini. AdatTaparuStruktur sosial terkecil suku Mimika adalah taparu yang berarti tanah. Kelompok Taparu sendiri kemudian terbagi menjadi beberapa klen (marga). Nama dari Taparu mengambil dari tiga sumber yaitu: toponimi sungai, tanah, atau daerah; otepe terkenal; atau nama nenek moyang asal. Pemilihan sumber tersebut menjadi taparu terjadi secara spontan. Jika kelompok penghuni taparu yang ingin ditonjolkan, nama taparu tersebut ditambahi akhiran -we.[4] Taparu dimaknai oleh orang diluar Mimika (pemerintah Belanda dan Indonesia, maupun misionaris) sebagai komunitas atau kampung. Walaupun pemahaman tersebut kurang sepenuhnya benar. Taparu berarti organisasi sosial yang berupa fratri bilineal. Kelompok ini terdiri dari gabungan klen yang memiliki kesamaan leluhur perempuan, karena suku Mimika merupakan masyarakat matrilokal, nama nenek moyang tersebut bisa diabadikan sebagai nama taparu. [4] Pada masa lampau suku Mimika mempraktikkan 'taparu eksogami', sehingga perkawinan harus dilakukan oleh pasangan dari kelompok taparu yang berbeda. Selain itu taparu juga merupakan pembeda orang berdasarkan fungsi kerja dalam ritual keagamaan masyarakat kamoro. Walau sekarang kedua hal tersebut sudah tidak dilakukan karena pengaruh kuat agama Katolik. [4] Taparu-taparu bisa disatukan kedalam taparu lain yang lebih muda. Walau merupakan contoh kesalahan budaya, beberapa taparu yang berjumlah anggota sedikit sudah berfungsi sebagai klan.[4] KepemimpinanSecara umum kepemimpinan dalam sebuah kampung dibagi menjadi dua, pemimpin yang dipilih penduduk kampung sesuai aturan pemerintah sebagai Kepala Kampung. Sedangkan pemimpin adat kampung/ taparu yang disebut Kepala Suku. Dalam praktiknya untuk menyelsaikan masalah kampung, Kepala Suku, Kepala Kampung, dan masyarakat bermusyawarah dalam rumah panjang kakurukame.[4] Karena masyarakat Mimika sudah dipengaruhi oleh interaksi dengan dunia luar seperti Kerajaan Tidore, Kerajaan Namatota, dan Kerajaan Aiduma, gelar-gelar dan struktur kepimpinan kerajaan dari Maluku sudah dipakai secara adat seperti:[6]
Selain itu terdapat beberapa jabatan lain seperti Kakuruwe (pengatur pesta), Tauruwe (pengatur tari), Bakipiakare (ahli bernyanyi), Amotawe (pengatur sagu), Opakowe (pengatur sukun), Kawe (pengatur pisang), Rawe (pengatur ikan), dan lain lain.[6] KeterampilanOrang Kamoro dikenal sebagai masyarakat yang memiliki keterampilan dalam membuat seni ukir atau patung, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.Teurupun dalam Seni Ukir Suku Kamoro (1990). Hasil karya mereka terkesan lebih abstrak dibandingkan dengan karya-karya orang Asmat. Beberapa hasil ukiran berupa tiang mbitoro, ote kappa (tongkat), pekaro (piring makan), tamate (perisai), dan wemawe (patung manusia).[6][7] Ekspresi seni dituangkan pada tongkat (ote-kapa) dengan motif sirip ikan (eraka waiti) dan latau tulang sayap kelelawar (tako-ema). Ini berarti bahwa pemilik tongkat yang membuat motif itu mempercayai bahwa mereka berasal dari ikan atau kelelawar. Tidak semua orang bisa jadi pengukir (maramowe), hanya yang mendapat warisan dari nenek moyang, sehingga orang yang tidak bisa mengukir bisa memesan motif tertentu sesuai dengan asal usulnya kepada seorang pengukir.[7] Motif lain adalah "ruas tulang belakang" (uema) yang bisa diartikan tulang belakang manusia, ikan, atau unggas. Orang Kamoro berpendapat bahwa ruas tulang belakag itu merupakan lambang kehidupan. Motif awan putih berarak (uturu tani) yang dapat menimbulkan macam-macam imajinasi, baik pada diri pengukir, pemilik atau siapa pun yang melihatnya. Imajinasi tersebut bisa menyangkut kerinduan pada kampung halaman, kekasih yang sudah tiada, ingatan terhadap peristiwa gempa bumi, dan lain-lain. Dalam budaya populerPada tahun 2010 program Lost in the tribal di saluran Cuatro España, memilih suku ini untuk melaksanakan musim ke-2.[8] Referensi
Pranala luar
|