Daerah barat Mimika sejak abad-18 menjadi jangkauan terjauh pengaruh "Uli Siwa" Kesultanan Tidore di pesisir barat selatan Pulau Papua. Wilayah ini dipengaruhi oleh tiga kelompok besar, yakni suku Koiwai, Kamoro, dan Asmat. Hubungan perdagangan akan budak, peralatan besi, kain, dan ornamen tubuh yang terbentuk menanamkan banyak pengaruh terhadap penduduk lokal dengan ditandainya penggunaan gelar asal Maluku (raja, mayor, kapitan, dan orang tua) dan juga kebudayaan Islamis masyarakat seperti penggunaan topi berbentuk surban dan kebiasaan tidak makan babi hingga pada tahun 1950-an.[15]
Pusat perdagangan di wilayah ini berpusat di Kipia yang dipimpin oleh seorang yang mendapat gelar raja dari Kerajaan Namatota (Koiwai) bernama Naowa. Kipia memimpin konfederasi kampung Kamoro bernama Tarya We, bersama Poraoka, Maparpe, Wumuka, Umar dan Aindua. Mereka bekerja sama karena wilayahnya yang kurang akan Sagu dan mengintimidasi wilayah yang lebih subur disebelah timur dengan kano dan minaki (senjata api) yang diterima dari perdagangan. Sedangkan di timur terjadi perang besar bernama Perang Tipuka dimana kampung Tipuka dihancurkan oleh Koperapoka dibantu koalisi Mware, Pigapu, Hiripau dan Miyoko yang diperkirakan atas balas dendam karena Tipuka menculik warga untuk didagangkan.[16] Hubungan perdagangan dan pengaruh dari Maluku ini lambat laun hilang dengan semakin kuatnya kolonialisme Belanda, dan masuknya misionaris Katolik serta pedagang asal Tiongkok.[15][16]
Masa Hindia Belanda
Kawasan pedalaman Papua Tengah dihuni oleh suku-suku seperti Mee (Ekari) dan Moni. Orang Mee hidup secara tradisional dengan membuka ladang dan bertanam umbi-umbian, beternak babi, mencari ikan di danau dan berpesta. Mereka juga sudah membuka hubungan perdagangan dengan dunia luar menggunakan mata uang mege yang terbuat dari kerangkuwuk (cowrie) yang hanya ditemukan di pesisir. Penjelajah Eropa pertama kali menemukan komunitas ini saat ekspedisi oleh British Ornithologists' Union pada tahun 1909-1911. Saat itu mereka dinamakan Tapiro Pygmy dikarenakan tinggi badan mereka yang lebih pendek dari orang Papua (suku Kamoro).[17] Kemudian pada tahun 1930-an, seorang pilot bernama Frits Wissel terbang di atas kawasan ini dan menemukan tiga danau besar tempat suku Mee hidup. Danau tersebut terdiri dari Danau Paniai, Tigi, dan Tage. Oleh Belanda, kawasan ini diberi nama Wisselmeeren (danau-danau Wissel). Setelah zaman penjajahan, nama Paniai menjadi lebih populer dibanding Wisselmeeren.[18]
Saat Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan proklamasi yang menyatakan bahwa wilayah Papua yang dikuasai oleh Hindia Belanda akan berada di bawah yurisdiksi gubernemen yang disebut sebagai gubernemen Nugini. Kemudian pada tahun 1952 Nugini ditetapkan sebagai provinsi seberang lautan Belanda.[19] Nugini Belanda secara resmi dibagi menjadi empat Afdeling pada tanggal 10 Mei 1952. Kabupaten Nugini Tengah merupakan salah satu dari empat afdeling tersebut dan meliputi Wisselmeren sebagai onderafdeling. Meski demikian, tidak seperti kabupaten lainnya, Afdeling Nugini Tengah tidak memiliki ibu kota. Gubernemen Nugini mengalami reorganisasi lebih lanjut pada tahun 1954 dan Afdeling Nugini Tengah untuk sementara ditempatkan secara langsung di bawah pengawasan Residen Geelvinkbaai (sekarang Teluk Cenderawasih).[19]
Masuknya PT Freeport Indonesia
Tahun 1936, Anton Colijn dari Belanda memimpin Ekspedisi Cartensz untuk menaklukan Puncak Jaya, gunung tertinggi di Papua. Salah satu anggota tim tersebut adalah ahli geologi bernama Jean Jacques Dozy yang menemukan banyaknya kandungan tembaga di salah satu tempat yang mereka lewati. Tempat ini kemudian dinamakan Gunung Bijih atau Ertsberg dan dipublikasikan. Laporan mengenai tempat ini akhirnya dilupakan begitu saja karena adanya Perang Dunia II. Perusahaan Amerika bernama Freeport Sulphur Company menemukan laporan berharga tersebut dan mengirim ekspedisi di tahun 1963 untuk mengonfirmasi keberadaan kekayaan alam ini. Ekspedisi ini beranggotakan ahli geologi Delos Flint dan dipimpin oleh Forbes Wilson yang nantinya akan menjadi Presiden Freeport Indonesia. Ekspedisi ini berhasil menemukan potensi yang sangat besar di wilayah tersebut sehingga di tahun 1967 ditandatanganilah Kontrak Karya pertama dengan Pemerintah Indonesia dibawah Presiden Soeharto yang baru saja mengesahkan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Tahun 1970, tambang mulai dibuka dan masyarakat Suku Amungme direlokasi ke tempat lain. Selain membuka tambang, Freeport juga membangun infrastruktur pendukung seperti Pelabuhan Amamapare di wilayah Suku Kamoro dan pemukiman bernama Kuala Kencana di tahun 1995. Perusahaan ini kemudian membuka tambang baru yaitu Tambang Grasberg di Tembagapura yang mengandung emas dan menandatangani Kontrak Karya ke-II di tahun 1991.[20][21][22]
Usulan pemekaran
Upaya untuk memekarkan Provinsi Papua (dahulu dikenal dengan nama Provinsi Irian Jaya) dilakukan sejak masa pemerintahan Gubernur Busiri Suryowinoto. Pada masa itu, Presiden Soeharto mendorong pemekaran Provinsi Irian Jaya untuk menambah perwakilan Irian Jaya pada lembaga legislatif tingkat pusat dan melancarkan pembangunan di wilayah tersebut.[23] Gagasan pemekaran ini juga dikemukakan dalam seminar "Pembangunan Pemerintah Daerah" pada tahun 1982.[24]
Sebelum wafat pada awal Agustus 1982, Busiri mengemukakan tiga usulan berbeda untuk pemekaran provinsi tersebut, yang dinilai oleh wartawan Kompas Korano Nicolash LMS sebagai konsep pertama yang "memuat secara komprehensif dan rinci pemekaran Irja menjadi tiga propinsi". Salah satu usulan Busiri tersebut adalah membagi Irian Jaya menjadi tiga provinsi, yakni Irian Jaya Timur, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Barat. Provinsi Irian Jaya Tengah terdiri dari kabupaten Mapurajaya (Mapurajaya), Nabire (Nabire), Enarotali (Enarotali), Mulia (Mulia), Yapen-Waropen (Serui), dan Teluk Cenderawasih (Biak). Meski usulan pemekaran ini tidak pernah diwujudkan,[23] Presiden Soeharto menyetujui pemecahan wilayah Irian Jaya menjadi tiga wilayah pembantu gubernur pada tahun 1984.[25]
Pemekaran tahun 1999 dan 2003
Setelah tertunda selama beberapa tahun, Presiden B.J. Habibie menyetujui pemekaran Provinsi Irian Jaya. Provinsi Irian Jaya dimekarkan menjadi Provinsi Irian Jaya, Irian Jaya Barat, dan Irian Jaya Tengah melalui Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 yang ditetapkan pada tanggal 4 Oktober 1999.[26] Mantan Pembantu Gubernur Wilayah II Herman Monim kemudian dilantik sebagai Gubernur Irian Jaya Tengah pertama pada tanggal 12 Oktober 1999.[27] Kendati demikian, pemekaran Provinsi Irian Jaya ditentang oleh DPRD Irian Jaya dan DPRD Irian Jaya mengeluarkan keputusan yang membatalkan pemekaran tersebut secara sepihak empat hari kemudian. Pemerintah pusat mengakui keabsahan keputusan yang dikeluarkan oleh DPRD Irian Jaya dan undang-undang tersebut ditarik kembali.[24]
Setelah Irian Jaya mengalami perubahan nama menjadi Papua pada tahun 2000, tuntutan tentang pemekaran provinsi Papua kembali mengemuka. Pada tanggal 23 Agustus 2003, Andreas Anggaibak (Ketua DPRD Mimika), Jacobus Muyapa (Ketua DPRD Paniai), dan Philip Wona (Bupati Yapen Waropen) mendeklarasikan pembentukan provinsi Papua Tengah. Akibat dari deklarasi tersebut, masyarakat di wilayah Papua Tengah terpolarisasi menjadi dua, yakni massa yang mendukung dan yang menolak pemekaran provinsi Papua Tengah. Kedua kelompok tersebut bertikai dan saling menyandera satu sama lain selama kurang lebih seminggu hingga akhirnya pemerintah pusat mengeluarkan keputusan untuk menunda pemekaran provinsi pada tanggal 28 Agustus. Kedua pihak akhirnya memutuskan untuk berdamai sehari setelah keputusan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Pertikaian tersebut mengakibatkan lima orang tewas dan puluhan orang lainnya terluka.[26]
Pemekaran kabupaten
Setelah merdeka, wilayah Papua Tengah yang resmi sekarang masih terpencar di antara Kabupaten Paniai dan Fakfak. Tahun 1966, ibu kota Paniai dipindahkan dari Enarotali di wilayah pedalaman ke Nabire di wilayah pesisir karena mudah diakses dengan transportasi laut sehingga sangat strategis sebagai gerbang masuk ke daerah pedalaman lainnya. Kemudian menurut PP Nomor 52 tahun 1996, Kabupaten Paniai yang beribukota di Nabire berubah nama menjadi Kabupaten Nabire yang disusul dengan pembentukan Kabupaten Paniai dengan ibu kota Enarotali dan Kabupaten Puncak Jaya dengan ibu kota Mulia. Selanjutnya, pemekaran diatas lebih lanjut diundangkan dalam UU Nomor 45 tahun 1999. Dalam Undang-Undang tersebut juga dilakukan pemekaran Kabupaten Mimika beribukota di Timika dari Kabupaten Fakfak.[28][29][30]
Pasca disahkannya UU mengenai otonomi daerah, mulai bermunculan proposal-proposal pembentukan daerah baru sehingga jumlah kabupaten dan kota bertambah secara pesat. Pada tahun 2008, Wilayah Papua Tengah sendiri berkembang dari sebelumnya 4 kabupaten menjadi 8. Kabupaten Paniai bagian timur dimekarkan menjadi Kabupaten Intan Jaya, wilayah Paniai di sekitar Danau Tigi dimekarkan menjadi Kabupaten Deiyai, sisi selatan Kabupaten Nabire dipisahkan menjadi kabupaten bernama Dogiyai, dan terakhir bagian barat Puncak Jaya dimekarkan menjadi Kabupaten Puncak.[31][32][33][34]
Upaya lanjutan
Bupati dari 7 kabupaten di Papua menandatangani dukungan pemekaran Papua Tengah pada surat tertanggal 1 November 2019.[36] Dalam diskusi, kabupaten Mimika dan Puncak memilih Timika menjadi ibu kota, sedangkan enam kabupaten seperti Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, Intan Jaya, Puncak Jaya menginginkan ibu kota di Kabupaten Nabire. Perbedaan pendapat itu karena secara fasilitas Kabupaten Mimika dinilai lebih layak jadi ibu kota Provinsi Papua Tengah, di sisi lain, Nabire lebih mudah diakses jalan darat oleh beberapa kabupaten lain.[37] Akhirnya panitia kerja RUU DOB telah menetapkan Kabupaten Nabire sebagai ibu kota Papua Tengah disusul dengan pengesahan Papua Tengah sebagai provinsi baru pada rapat paripurna DPR 30 Juni 2022. Hari itu juga, terjadi demonstrasi oleh beberapa kelompok yang menuntut menjadikan Timika sebagai ibu kota.[38] Bupati Mimika Eltinus Omaleng pun turut mengkritik penempatan ibu kota Papua Tengah di Nabire pada Juli 2022.[39]
Pada 29 Juli 2022, Presiden Indonesia Joko Widodo mengesahkan UU Nomor 15 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah sebagai dasar pembentukan provinsi tersebut.[40] Masyarakat Suku Wate mendukung penuh lokasi ibu kota di Nabire dengan penggunaan lahan seluas 300 Ha yang terletak di Kampung Karadiri II, Distrik Wanggar, Kabupaten Nabire untuk menjadi sarana pusat pemerintahan (Praspem) Provinsi Papua Tengah.[35] Untuk mendukung ibu kota provinsi baru, Pemerintah Papua Tengah juga berencana membangun bandara baru di Wanggar.[41] Proyek bandara ini sebenarnya telah dibangun dari tahun 2019 sampai 2021, namun tidak selesai dan terbengkalai karena kekurangan anggaran.[42] Bandara ini baru diresmikan Presiden Joko Widodo pada November 2023.
Insiden kekerasan
Wilayah Papua sejak terintegrasi ke Indonesia di tahun 1963 diwarnai berbagai insiden kekerasan yang dilakukan berbagai pihak baik kelompok teroris Organisasi Papua Merdeka maupun masyarakat lokal. OPM aktif di wilayah pegunungan seperti Tembagapura, Intan Jaya, Puncak, dan Puncak Jaya dan melakukan tindak kriminal seperti pembakaran fasilitas umum dan rumah warga, penyerangan masyarakat hingga timbul korban jiwa dan penembakan pesawat terbang.[43][44][45] Selain tindakan terorisme oleh OPM, juga sering terjadi kericuhan di masyarakat yang menimbulkan kerugian materi dan korban jiwa. Insiden yang terjadi antara lain pembakaran lebih dari 30 rumah di ibu kota Dogiyai pada Mei 2022,[46] pembakaran puluhan kios Pasar Waghete di Deiyai pada Desember 2022 akibat keributan antara penjual dan pembeli,[47] pemalakan terhadap sopir truk di Dogiyai pada Januari 2023 yang berujung pembakaran sejumlah kios,[48] pembakaran gedung DPRD Dogiyai pada Maret 2023,[49] konflik lahan antara Suku Dani dan Mee di Kampung Urumusu, Nabire yang menewaskan 2 orang dan menyebabkan 21 unit rumah terbakar pada Juni 2023,[50] serta pembakaran 69 unit bangunan di Dogiyai pada Juli 2023 setelah terjadi penghadangan terhadap konvoi Brimob.[51]
Secara sederhana Papua Tengah dapat dibagi menjadi tiga wilayah besar, yaitu kawasan Teluk Cenderawasih berupa dataran rendah dan pesisir di utara yang menjadi lokasi ibukota provinsi yaitu Nabire, kawasan Pegunungan Tengah di bagian tengah, dan dataran rendah serta pesisir di bagian selatan yang menjadi lokasi Kabupaten Mimika. Pegunungan Tengah adalah rantai pegunungan di tengah Pulau Papua yang memanjang dari Papua Tengah hingga Papua Nugini dan memiliki berbagai puncak dengan ketinggian lebih dari 4.000 mdpl. Wilayah Pegunungan Tengah di Indonesia sering disebut dengan Pegunungan Jayawijaya dan ada juga yang memberi nama Pegunungan Sudirman. Puncak tertinggi Indonesia sekaligus Oseania berada di provinsi ini yaitu Puncak Jaya dengan ketinggian lebih dari 4800 mdpl serta tertutup salju. Pegunungan ini menjadi sumber air untuk sungai-sungai besar yang mengalir ke utara maupun selatan.[52][53]
Diantara gunung gunung itu terdapat berbagai lembah dengan ketinggian lebih dari 1.500 mdpl yang menjadi tempat pemukiman suku asli terutama Suku Mee. Ditengah kawasan ini terdapat tiga danau besar yaitu Danau Paniai, Tigi, dan Tage. Ibukota Paniai dan Deiyai berada di tepian danau tersebut. Danau ini menjadi sumber perikanan air tawar bagi masyarakat. Tanah di lembah tersebut cukup subur dan membuat tempat ini cocok menjadi lahan perkebunan dengan komoditas utamanya adalah ubi jalar yang dijadikan makanan pokok, namun ada juga usaha untuk menanam tanaman lain seperti kopi jenis Moanemani di Lembah Kamuu Dogiyai.[52][54] Walaupun subur, beberapa wilayah rentan terkena embun beku akibat suhu yang sangat dingin sehingga menyebabkan gagal panen. Akhirnya timbul bencana kelaparan yang memakan korban jiwa seperti yang pernah terjadi di Agandugume dan Lambewi di Kabupaten Puncak. Infrastruktur yang minim dan banyaknya aktivitas teroris Organisasi Papua Merdeka menyebabkan bantuan sulit dikirimkan.[55]
Wilayah dataran rendah di Papua Tengah memiliki topografi yang lebih datar sehingga perkembangannya jauh lebih pesat dan menarik banyak pendatang terutama Timika yang merupakan salah satu kota terbesar di Papua dan Nabire yang dijadikan ibukota provinsi. Nabire dan Mimika juga menjadi salah satu tujuan transmigrasi, serta pembentukan sawah padi dan perkebunan sawit. Meskipun sama-sama berupa dataran rendah, wilayah selatan di Mimika lebih banyak ditemukan zona ekoregion hutan hujan dataran rendah yang mirip dengan Papua Selatan serta zona mangrove yang menjadi rumah bagi Suku Kamoro dan Suku Sempan. Pesisir Nabire termasuk dalam Taman Nasional Teluk Cenderawasih dengan pantai berpasir putih dan pulau-pulau serta perairan yang menyimpan keanekaragaman bahari yang tinggi seperti hiu paus dan terumbu karang.[11][56][57]
Kawasan utara Kabupaten Mimika masih termasuk bagian dari Pegunungan Jayawijaya. Di wilayah inilah terjadi penambangan emas yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia tepatnya di tambang Grasberg. PT Freeport membangun sebuah kota kecil bernama Tembagapura untuk menjalankan operasinya. Limbah sisa atau tailing dari penambangan ini dialirkan ke sungai-sungai di Mimika seperti Sungai Ajkwa dan Otomona yang sekarang dipenuhi lumpur. Namun lumpur ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencari sisa sisa emas dengan alat sederhana.[58]
Data dari Badan Pusat Statistik melalui Sensus Penduduk Indonesia 2010, kelompok suku bangsa di Papua dikategorikan sebagai orang Papua dan Non Papua atau bukan orang asli Papua. Dari data sensus tersebut, untuk wilayah Papua Tengah, penduduk berdasarkan suku bangsa menurut jenis kelamin laki-laki, yakni sebanyak 349.634 jiwa atau 77,26% adalah orang Papua dan selebihnya sebanyak 102.916 jiwa atau 22,74% adalah non Papua. Sebagian besar penduduk di Kabupaten Mimika dan Kabupaten Nabire adalah pendatang atau bukan orang asli Papua.[60]
Berikut adalah jumlah penduduk provinsi Papua Tengah berdasarkan orang asli Papua dan non Papua menurut jenis kelamin laki-laki:[60]
Wilayah Papua Tengah seperti Ertsberg, Grasberg dan Blok Wabu memiliki bahan tambang yang melimpah. Grasberg adalah salah satu tambang emas terbesar di dunia yang terletak di kawasan pegunungan Kabupaten Mimika. Tambang ini dikelola oleh PT Freeport Indonesia (PTFI) yang merupakan anak perusahaan Freeport-McMoRan dari Amerika Serikat. Tidak hanya emas, Grasberg juga menghasilkan tembaga dan perak.[67][68] Untuk mendukung penambangan tersebut, PTFI juga membangun pemukiman Kuala Kencana, Tembagapura, dan pelabuhan Amamapare. Menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun 2021 ekspor terbesar Pulau Papua berada di pelabuhan ini.[69] Blok Wabu adalah kawasan di Kabupaten Intan Jaya yang juga memiliki kandungan emas yang banyak. Wilayah ini dilepas oleh Freeport kepada negara dan sekarang banyak perusahaan yang berencana melakukan eksplorasi di sana.[70]
Terjadi penambangan secara ilegal yang dilakukan oleh warga. Salah satu lokasinya adalah Sungai Otomona dan Ajkwa di Mimika, tempat pembuangan limbah tailing atau lumpur sisa penambangan PT Freeport Indonesia. Pendulang emas memakai alat sederhana seperti wajan dan ayakan. Saat terjadi hujan deras di wilayah tambang, ribuan pendulang berdatangan untuk mendulang emas walaupun resikonya tinggi karena banjir.[58] Penambangan emas juga terjadi di wilayah lain seperti Topo, Kabupaten Nabire dan Baya Biru, Kabupaten Paniai. Penambang mendirikan perkampungan sederhana untuk tinggal sementara dan mendulang emas di sungai. Transportasi dan distribusi kebutuhan ke Baya Biru cukup mahal menggunakan helikopter atau pesawat kecil. Penambangan disini juga penuh risiko karena aktivitas Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).[71][72]
Perkebunan dan Perikanan
Terdapat areal perkebunan kelapa sawit yang luas di Kabupaten Nabire dan Mimika. PT Nabire Baru dan PT Sariwana Adi Perkasa (SAP) mengelola lahan perkebunan sawit di wilayah adat Suku Yeresiam Gua Kampung Sima, Distrik Yaur, Nabire.[73] Mimika juga terdapat lahan perkebunan sawit yang awalnya dikelola oleh PT Pusaka Agro Lestari (PAL) yang dinyatakan bangkrut. Lahan PT PAL kemudian dilelang oleh pemerintah Mimika dan dimenangkan oleh PT Karya Bella Vita di tahun 2022.[74][75]
Kabupaten Mimika memiliki potensi perikanan yang besar sehingga pemerintah pusat membangun Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di tahun 2017 untuk memajukan ekonomi masyarakat lokal. SKPT Mimika cukup sukses memproduksi puluhan ribu ton ikan setiap tahunnya seperti ikan layang kembung, lemuru, cucut, manyung, gulama, bawal hitam dan sembilang. Ikan beku banyak dikirim ke kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Jayapura, Merauke, dan bahkan diekspor ke luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Lengkapnya fasilitas di SKPT Mimika seperti gudang beku dan pabrik es menarik banyak kapal penangkap ikan untuk berlabuh. SKPT memang dibangun di kawasan terluar supaya daerah tersebut dapat mengembangkan ekonominya.[76][77]
Pendidikan
Program afirmasi
Papua Tengah adalah salah satu daerah yang siswanya berhak mendapatkan beasiswa ADEM (Afirmasi Pendidikan Menengah) dan ADIK (Afirmasi Pendidikan Tinggi). Beasiswa tersebut merupakan program pemerintah pusat sejak tahun 2013 yang ditujukan untuk daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar). Siswa OAP (Orang Asli Papua) yang lolos seleksi akan melaksanakan pendidikan di berbagai sekolah dan perguruan tinggi di berbagai wilayah di Indonesia. Tahun 2023, terdapat 97 siswa lulusan SMP di Papua Tengah yang mendapat kesempatan untuk lanjut ke jenjang SMA di Jawa dan Bali.[78][79]
Pendidikan tinggi
Terdapat beberapa perguruan tinggi di Papua Tengah,[80] antara lain:
Somatua Training Center (STC)–lembaga pelatihan kerja bidang pertambangan di Mimika yang didirikan oleh Yayasan Somatua dan PT Mpaigelah yaitu perusahaan kontraktor lokal yang bekerjasama dengan PTFI.[83]
Pariwisata
Taman Nasional Teluk Cenderawasih
Taman Nasional Teluk Cenderawasih adalah Taman Nasional bahari yang berada di perbatasan Papua Barat dengan Papua Tengah tepatnya di Nabire. Merupakan tempat wisata dengan kekayaan alam yang tinggi dan masih asri, berupa lautan biru dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan terumbu karang dengan keanekaragaman biota laut. Selain itu pengunjung juga dapat menyelam bersama Hiu paus (Rhincodon typus) yang dapat dijumpai di Kwatisore.[11][84]
Pegunungan Jayawijaya
Pegunungan Jayawijaya adalah jajaran pegunungan tinggi di Papua yang gunung tertingginya merupakan puncak tertinggi di Indonesia dan Oseania. Gunung tertinggi ini disebut dengan Puncak Jaya, Cartensz Pyramid, atau Nemangkawi dan memiliki ketinggian 4.884 m. Sebagai gunung tertinggi di Oseania, Puncak Jaya termasuk dalam Tujuh Puncak atau Seven Summits yaitu gunung tertinggi dari tujuh benua yang dicatat oleh pendaki legendaris Reinhold Messner. Menaiki ketujuh puncak tersebut menjadi impian pendaki gunung di seluruh dunia. Puncak Jaya diselimuti oleh salju abadi yang terancam mencair akibat perubahan iklim.[85][86]
Taman Nasional Lorentz
Taman Nasional Lorentz adalah taman nasional yang terletak di antara tiga provinsi yaitu Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan. Taman nasional ini memiliki luas 2,5 juta hektare sehingga menjadi taman nasional terbesar di Asia Tenggara dan merupakan situs warisan dunia UNESCO. Taman nasional ini terkenal karena mencakup berbagai ekosistem dari pegunungan bersalju, hutan hujan tropis hingga wilayah rawa yang luas dan memiliki banyak satwa endemik. Taman nasional ini diresmikan di tahun 1997 dan sekarang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Beberapa suku yang menghuni taman nasional ini antara lain Suku Amungme di dataran tinggi dan Suku Kamoro di dataran rendah.[87]
Kawasan Danau Paniai
Kawasan ini terdapat tiga danau besar yaitu Danau Paniai, Tigi, dan Tage di Kabupaten Paniai dan Deiyai dengan ibukota Paniai sendiri berada di tepi danau. Pada zaman kolonial, kawasan ini disebut dengan Wisselmeeren (danau-danau Wissel) karena ditemukan oleh pilot Belanda Frits Wissel. Lokasinya berada di lembah besar yang dikelilingi Pegunungan Jayawijaya dan dihuni oleh Suku Mee dan Moni. Suku Mee memanfaatkan hasil perikanan dari danau ini, salah satunya perhiasan dan mata uang tradisional mege yang terbuat dari cangkang kerang Cypraea moneta.[88][89]
Kebudayaan
Koteka
Koteka adalah penutup kelamin tradisional pria yang dipakai oleh beberapa suku pedalaman di pegunungan Papua Tengah, seperti suku Amungme, suku Damal, suku Mee, suku Moni, suku Wano, dll. Koteka terbuat dari buah labu panjang (Lagenaria siceraria) yang isinya dibuang dan dibakar, di mana setiap suku dan mungkin kampung memiliki perbedaan bentuk koteka. Pemerintah pada masa Orde Baru meluncurkan Operasi Koteka untuk menghapuskan penggunaan koteka dan diganti dengan pakaian modern, salah satunya dengan menjatuhkan puluhan ton pakaian ke pedalaman menggunakan pesawat terbang. Berangsur-angsur penggunaan koteka di kehidupan sehari-hari semakin menurun, namun koteka tetap dipakai untuk kepentingan perayaan atau pariwisata. Koteka tercatat sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.[90]
Noken
Noken merupakan tas tradisional khas Papua. Noken berbentuk jaring-jaring yang terbuat dari akar kayu pohon atau daun yang dikeringkan berupa tali-tali yang kuat dan dirajut menjadi tas jaring. Keberadaan Noken Papua telah diakui Dunia dengan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda atau warisan dunia oleh Lembaga Kebudayaan Dunia di Markas UNESCOParis, Prancis pada 4 Desember 2012.[91]
Ukiran Kamoro
Seni ukir kayu banyak dipraktekkan oleh suku-suku pesisir selatan Papua seperti Suku Asmat di Papua Selatan dan Suku Kamoro yang menghuni Mimika di pesisir selatan Papua Tengah.
Seni ukir Kamoro saat ini belum begitu terkenal seperti ukiran Asmat yang sudah mendunia sehingga sekarang diupayakan untuk melakukan promosi dan membantu pengukir untuk menjual ke pasar yang lebih luas. Seni ukir ini juga disebut maramowe dan terdiri dari berbagai bentuk seperti yamate (perisai), wemawe (patung orang) dan mbitoro atau tiang yang menggambarkan leluhur. Mbitoro adalah tiang yang terbuat dari kayu bakau dengan pola ukiran figur-figur manusia, tiang ini memiliki kemiripan dengan tiang Bisj buatan Suku Asmat. Mbitoro banyak dipajang di depan rumah adat karapau.[92][93]
Rumah adat
Rumah adat di Papua Tengah beranekaragam sesuai dengan kebudayaan dan geografis wilayah masing-masing, contohnya rumah Kunume suku Dani (Lani) di Puncak Jaya, rumah emawa suku Mee di Paniai, Deiyai, dan Dogiyai, serta rumah Karapao suku Kamoro di Mimika. Suku Mee hidup di dataran tinggi di tepian Danau Paniai, Tigi, dan Tage. Rumah adat Suku Mee cukup sederhana terdiri atas dinding kayu dengan atap dari daun rumbia atau alang-alang.
Rumah emawa tersusun atas tiga bagian yaitu loteng di bagian atas untuk menyimpan panah, kayu bakar, dan atribut lain, ruang tengah sebagai tempat tidur dan tungku api, dan terakhir adalah kolong rumah di bagian bawah karena rumah adat ini berbentuk rumah panggung sebagai adaptasi geografinya yang mengalami pasang surut danau dan sungai. Suku Mee juga membagi rumah adat menjadi beberapa jenis yaitu rumah yame owa (disingkat emawa) untuk laki-laki, kegita owa/yagamo owa untuk perempuan, yuwo owa untuk hiburan berdansa atau pesta adat, dan uguwo owa untuk keluarga.[94][95]
Transportasi
Transportasi udara menjadi sektor transportasi utama di berbagai wilayah di Papua Tengah karena infrastruktur darat yang belum memadai. Saat ini semua ibukota kabupaten di Papua Tengah telah memiliki bandar udara yakni sebagai berikut:[96]
Selain itu, ibukota distrik berikut ini juga memiliki bandar udara yang telah berstatus kelas III: Kokonao dan Agimuga di Mimika, Beoga di Puncak, dan Ilu di Puncak Jaya.[96]
Bandar Udara Douw Aturure yang berada di Distrik Wanggar Nabire diresmikan di tahun 2023 oleh Presiden Joko Widodo. Bandara ini merupakan pengganti bandara lama yang berada di tengah kota di Distrik Nabire dan sulit untuk dikembangkan lagi karena terhalang laut dan perbukitan. Lokasi bandara baru ini strategis karena menunjang ibukota Provinsi Papua Tengah yang dibangun di Distrik Wanggar.[97]
^ abAdministrator; Levi, Cunding (1 September 2003). "Pemekaran yang Menyulut Perang". Tempo.co. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-11. Diakses tanggal 30 Juni 2022.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Afirmasi Pendidikan". Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-23. Diakses tanggal 2023-07-23.
^Koridama, Jeremias (2012). INVENTARISASI WARISAN BUDAYA TAKBENDA (WBTB) - KOTEKA(PDF). Jayapura: Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2022-06-17. Diakses tanggal 2023-04-23.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Tekege, Martinus (2021). "ARSITEKTUR RUMAH ADAT LAKI-LAKI JAME OWAA SUKU MEE". Jurnal Arkeologi Papua. Balai Arkeologi Papua - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. 13 (1): 115–128. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-03. Diakses tanggal 2023-07-25.