Sunario Sastrowardoyo
Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo (28 Agustus 1902 – 18 Mei 1997) adalah salah satu tokoh Indonesia pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pernah menjabat sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda. Riwayat HidupSunario lahir di Madiun pada tanggal 28 Agustus 1902. Ia adalah anak dari pasangan Sutejo Sastrowardoyo yang merupakan mantan wedana di Uteran, Geger, Madiun dan Suyati Kartokusumo. Sutejo Sastrowardoyo dan Suyati Kartokusumo memiliki 14 anak, ia merupakan anak pertama dan memiliki 13 adik. Riwayat PendidikanPada tahun 1908, Sunario masuk ke Frobelschool (sekolah taman kanak-kanak) di Madiun. Di sekolah tersebut, ia diajar oleh guru-guru wanita yang bernama Mejuffrouw Acherbeek dan Mejuffrouw Tien. Setelah ia lulus dari Frobelschool, ia masuk ke Europeesche Lagere School (ELS), yang merupakan Sekolah Dasar di Madiun tahun 1909 - 1916, Sunario tinggal di rumah kakeknya yang merupakan pensiunan Mantri Kadaster yang bernama Sastrosentono. Sunario termasuk murid yang cerdas dan tidak pernah tinggal kelas yang membuat orang tuanya bangga. Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Sunario melanjutkan sekolahnya ke MULO, yang merupakan singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (sejenis dengan Sekolah Menengah Pertama) di Madiun. Ia bersekolah disini hanya 1 tahun, dan pada tahun 1917 ia pindah ke Rechtschool (setingkat dengan SMK/Sekolah Menengah Kejuruan Hukum) di Batavia. Di Batavia, ia tinggal di rumah pamannya, yang bernama Kusman dan Kunto. Di Rechschool, ia belajar hukum dan belajar bahasa Prancis. Sewaktu ia bersekolah disitu, ia menjadi anggota Jong Java.[1] Setelah ia menyelesaikan pendidikannya di Rechtschool, ia melanjutkan pelajarannya ke Belanda. Ia berangkat ke Belanda dengan biaya sendiri dengan menaiki kapal sampai ke Genoa, lalu meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Brussel, Belgia dan menginap disana semalam. Setelah itu, ia pergi ke Den Haag dan mengganti kereta api menuju Leiden. Di Leiden, ia diterima di Universitas Leiden dan mengikuti kuliah doktoral, sehingga pada tahun 1925 ia meraih gelar Mr. atau Meester in de Rechten yang artinya ahli dalam ilmu hukum. Ia menerima ijazah pada tanggal 15 Desember dan ditandatangani oleh Prof. C. van Vollenhoven dan Prof. N.Y. Krom. Selama di Belanda, ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Sunario adalah salah satu tokoh yang berperan aktif dalam dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional Manifesto 1925 dan Konggres Pemuda II. Ketika Manifesto Politik itu dicetuskan, ia menjadi Pengurus Perhimpunan Indonesia bersama Hatta di mana Sunario menjadi Sekretaris II sementara Hatta menjadi bendahara I. Akhir Desember 1925, ia meraih gelar Meester in de Rechten kemudian pulang ke Indonesia. Aktif sebagai pengacara, ia membela para aktivis pergerakan yang berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Ia menjadi penasihat panitia Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Dalam kongres tersebut, Sunario menjadi pembicara dengan makalah "Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia."[2] Setelah Indonesia merdeka, Sunario menjadi anggota dan kemudian Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada periode 1953-1955. Pada masa jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri Mr. Sunario menjabat sebagai Ketua Delegasi RI dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Ketika menjadi Menlu, Sunario juga menandatangani Perjanjian tentang Dwi kewarganegaraan etnis Cina dengan Chou En Lai. Ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Inggris periode 1956 - 1961. Setelah itu Sunario diangkat sebagai guru besar politik dan hukum internasional lalu menjadi Rektor Universitas Diponegoro, Semarang (1963-1966) dan menjadi Rektor IAIN Al-Jami'ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah (1960-1972)[1] Diarsipkan 2011-12-21 di Wayback Machine. yang merupakan cikal bakal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada 1968, Sunario berprakarsa mengumpulkan pelaku sejarah Sumpah Pemuda, dan meminta kepada Gubernur DKI Ali Sadikin untuk mengelola dan mengembalikan gedung di Kramat Raya 106 milik Sie Kong Liang yang telah berganti-ganti penyewa dan pemilik kepada bentuknya semula. Tempat ini disepakati menjadi Gedung Sumpah Pemuda, tetapi usulan mengganti nama jalan Kramat Raya menjadi jalan Sumpah Pemuda belum tercapai.[3] Setelah pensiun, dia diangkat sebagai Panitia Lima tahun 1974. Panitia itu dibentuk pemerintah karena muncul kehebohan di kalangan masyarakat tentang siapa sebetulnya penggali Pancasila. Panitia ini diketuai oleh Bung Hatta. Anggota lainnya adalah Ahmad Subardjo, A. A. Maramis, dan A. G. Pringgodigdo, tokoh-tokoh yang ikut merumuskan Piagam Jakarta tahun 1945. Kehidupan PribadiSunario yang beragama Islam dan berasal dari Jawa Timur ini menikah dengan Dina Marananta Pantouw atau Dien Pantouw, gadis Minahasa beragama Protestan yang ditemuinya saat berlangsung Kongres Pemuda 1928. Dien Pantouw berkontribusi pada kelahiran Sumpah Pemuda yang secara spesifik membicarakan keterlibatan perempuan di bidang politik dan pendidikan, serta peran penting perempuan dalam persatuan Indonesia. Kehadiran Dien Pantouw bersama dengan jajaran perempuan lain yang hadir dalam Sumpah Pemuda ini menjadi landasan awal pentingnya dilaksanakan Kongres Perempuan Indonesia pada Desember 1928[4]. Keduanya mulai berkirim surat hingga kemudian menikah pada tanggal 7 Juli 1930.[5][6] Dari pernikahannya dengan Dien Pantouw, ia memiliki lima anak.[6] Ia merupakan kakek dari artis nasional Dian Sastrowardoyo.[7] Sunario wafat pada tanggal 18 Mei 1997 saat berusia 94 tahun di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.[6] Sementara itu, istrinya wafat tiga tahun lebih awal pada tahun 1994. Referensi
|